FWB: Friends With Bittersweet

By rahmatgenaldi

1.4K 120 14

❝Antara aku yang terlalu naif, dan kamu yang terlalu baik.❞ • • • Toko buku, toko perabot, tumbler dan desser... More

1. Tentang
2. Hantu Masa Lalu
3. (Masih) Tentang Julian
4. Julian dan Masanya yang Telah Usai
5. Bab Terakhir Untuk Julian
6. Rajendra Rama Hakmani
7. Kali Pertama
8. Simbiosis Mutualisme
9. Usik
10. Sedikit Celah
11. Dua Sisi
12. Menolak Mengabaikan
13. Distraksi
14. Balada Toko Buku
15. Pertanyaan Berbahaya
16. Netra Cokelat & Degup Jantung
17. Mengusahakan Topik (1)
18. Mengusahakan Topik (2)
20. Rama & Toko Buku
21. Kamu?

19. Menghadapi Kegelisahan

11 1 0
By rahmatgenaldi

Mengabaikan adalah satu-satunya pilihan yang kuambil setelah membaca pesan terakhir yang kudapat dari Rama semalam. Dia menyebalkan! Kenapa malah meminta dikenalkan ke teman-temanku? Kalau memang dia sedang mencari pacar, apa menurutnya aku kurang cantik? Egoku benar-benar tersentil dibuatnya. Tapi tunggu dulu, kenapa aku malah keberatan seperti ini, sih? Apa aku terlihat sedang cemburu? Ayolah, Raina. Kau ini kenapa?

Kutinggalkan semua pertanyaan itu di malam dimana aku juga mengabaikan permintaan Rama untuk berkenalan dengan teman-temanku. Aku langsung tidur, kemudian terbangun dengan sisa kekesalan yang masih ada.

Pagi itu hari Sabtu. Ya, hari itu akhirnya tiba. Hari di mana aku akan bertemu Rama di toko buku. Seharusnya memang seperti itu, tapi beberapa menit lalu lelaki yang bersangkutan baru saja mengirimiku pesan permintaan maaf karena kita tidak jadi pergi.

Tidak hari ini. Katanya dia ingin berolahraga hari ini, makanya membatalkan janji bersamaku. Aku tentu kesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa selain mencari distraksi agar kesalku terhadap Rama tidak berlarut-larut. Lagipula, dia tidak sepenuhnya membatalkan janji. Dia hanya menunda, yang tadinya hari Sabtu, berpindah ke besok di hari Minggu.

Pagi itu kebetulan sedang gerimis, aku malas sekali bangkit dari tempat tidurku dan keluar dari selimut hangatku. Aku berkutat dengan laptopku yang tengah menayangkan web series yang sudah lama kutunggu-tunggu hari penayangannya. Bukan tanpa alasan, tapi series ini merupakan adaptasi novel viral yang belum lama selesai kubaca; Antares. Meski sebenarnya aku lebih suka dengan versi novelnya, menonton series Antares lumayan untuk membuatku lupa waktu.  Kulihat kembali jarum jam, ternyata sudah menunjukkan pukul sebelas pagi.

Aku beranjak dari tempat tidur dengan malas, meraih ponselku yang berdenting. Di layarnya terpampang jelas notifikasi pesan dari Andre.

Mahesa Andre Reno:
"Sebentar ini malam Minggu, Na."

Raina Genna Eldirah:
"Kita ke mana?"

Mahesa Andre Reno:
"Oh, kau mau?"

Raina Genna Eldirah:
"🙄"

"Langsung jemput saja aku jam delapan malam nanti. Aku tidak ke mana-mana, kok."

Mahesa Andre Reno:
"Siap, Nyonya!!"

Tidak apa-apa. Hitung-hitung untuk menebus kesalahanku karena sudah membuatnya sakit hati selama ini. Aku tau bahwa aku tidak salah karena menolak dia, tapi sebagai orang yang sudah lama berkawan baik dengan Andre, aku harus memperbaiki hubunganku dengan dia setidaknya sebagai sahabat. Tidak boleh ada yang berubah, apalagi merenggang.

Kemudian kembali kuletakkan ponselku, melanjutkan menonton Antares karena di hari Sabtu itu aku benar-benar kosong. Tidak ada jadwal kuliah online hari ini, pun aku memang sudah bertekad untuk tidak menulis novel dalam jangka waktu yang tidak kutentukan sebagai bentuk hadiah bagi diriku sendiri karena telah menyelesaikan novel pertama. Aku ingin hiatus selama yang kubutuhkan.

Seperti biasa, aku pasti tertidur setiap kali menonton layar laptop dengan posisi rebahan. Hari Sabtu itu terasa panjang sekali, entah kenapa. Yang kutahu pasti, aku ingin sekali hari itu cepat berakhir, atau kalau bisa aku ingin langsung melompat saja ke hari Minggu. Bertemu Rama, yang bahkan hingga sore tidak kutahu bagaimana kabarnya.

Ingin rasanya aku berbasa-basi di grup To The Moon, tapi aku terlalu gengsi. Grup itu sedang sepi karena sepertinya mereka semua sedang berada di rumahnya Rama. Aku takut jika aku tiba-tiba bicara di sana, akan ada beberapa yang sadar bahwa aku sedang mencari Rama.

Mungkin tidak akan ada yang sadar, tapi aku tetap tidak mau melakukannya. Untuk hari ini kuputuskan untuk tidak terlalu agresif perihal Rama. Aku sudah cukup mencari dia dan mengusahakan topik selama ini. Kalau memang hari ini akan ada interaksi antara aku dan dia, maka biar saja dia yang berusaha. Aku sedang tidak mau.

• • •

Malamnya aku benar-benar jadi bermalam minggu dengan Andre. Jalannya yang sederhana saja, cuma makan jagung bakar di alun-alun yang letaknya di bagian pinggir kota Cavvarta. Panoramanya tidak terlalu
memikat kalau malam, yang ada aku bisa saja masuk angin karena alun-alun ini langsung menghadap ke laut.

"Kan sudah kubilang, ke sini bagusnya sore, Na. Bisa lihat senja, dan tidak masuk angin," celetuk Andre
sambil menatap ke arahku.

Aku langsung menoleh, bagaimana bisa dia selalu tau setiap kali aku merasa tidak nyaman? "Kalau sore juga terlalu ramai, Ndre. Aku tidak suka."

"Kalau aku?" Dia bertanya, membuatku mengernyitkan dahi.

"Kau? Ada apa dengan kau?"

"Kalau aku? Kapan kau akan suka?"

Kemudian aku memukul bahunya dengan kesal, dia tertawa puas sekali karena berhasil menggodaku. Aku masih betah memukuli bahunya sebelum dia akhirnya berdiri, mengajakku kembali naik ke mobil. Entah dengan cara apa kali ini dia bisa meminjam mobil abangnya, ingatkan aku untuk meledeknya soal ini nanti.

Andre membawaku untuk mendatangi jembatan gantung yang jaraknya tidak terlalu jauh dari alun-alun. Bentuknya hampir mirip dengan Jembatan Suramadu yang ada di kota Surabaya. Bedanya, di sini memang selalu ramai muda-mudi apalagi kalau malam Minggu begini, tiap sisi jalan yang ada di jembatan hampir dipenuhi mobil dan motor yang memarkir secara asal. Sepanjang perjalanan, Andre diam dan hanya membiarkanku bersenandung mengikuti SOUR album milik penyanyi favoritku Olivia Rodrigo. Setibanya di jembatan pun, album itu masih mengalun menemani obrolan ringan yang ada di antara aku dan Andre.

Kita mengobrol cukup lama, sampai kemudian Andre sibuk dengan ponselnya. Ternyata sejak pagi tadi dia sudah resmi balikan dengan mantannya yang sempat kami bahas itu. Aku tidak punya hak untuk melarang dia, lagipula untuk apa? Itu hak dan pilihan dia sendiri yang sama sekali tidak akan merugikanku.

Aku ikut mengeluarkan ponsel setelah melihat Andre sudah terlalu lama sibuk sendiri dengan benda pipih di tangannya itu. Hitungan detik, sekarang lengkungan sabit terbit di bibirku demi melihat siapa yang baru saja muncul di layar ponselku.

Rama Hakmani:
"Raina, terima kasih, ya."

Raina Genna Eldirah:
"Terima kasih untuk apa?"

Rama Hakmani:
"Buku Pergi karya Tere Liye, rekomendasi darimu."

"Terima kasih, Na. Ceritanya bagus. Aku suka."

Raina Genna Eldirah:
"Hahaha. I've told you."

"Memangnya kau sudah sampai di bagian mana?"

Rama Hakmani:
*Sent a picture*

Raina Genna Eldirah:
"Oh! Aku tau!"

"Itu bagian di mana Bujang akan merencanakan sebuah penyerangan besar ke salah satu keluarga berpengaruh di Makau."

"Keluarga Lin."

"Mereka mencuri alat pemindai milik Keluarga Tong. Bujang datang untuk melakukan penyerangan balas dendam. Sekaligus mencuri kembali barang milik mereka."

Rama Hakmani:
"Oh, bagus. Kenapa tidak kudengarkan saja kau bercerita?"

"Seharusnya aku tidak perlu membaca buku ini lagi, kan?"

Raina Genna Eldirah
"HAHAHAHA."

"Maaf, aku terlalu bersemangat."

"Oh, iya. Apa sejauh ini kau sudah menemukan tokoh favoritmu di dalam novel itu? Ayo beritahu aku."

Rama Hakmani:
"Sejauh ini, aku suka karakter Basyir. Menurutku jiwa petarungnya lebih kental daripada Bujang sendiri."

Raina Genna Eldirah:
"Di dalam novel itu aku suka Yuki dan Kiko. Sebentar lagi kau akan sampai pada bagian di mana mereka diperkenalkan."

"Mereka ini kalau dilihat sekilas, hanya sepasang gadis kembar yang lugu nan lucu dengan gaya berpakaian mereka yang feminim dan imut. Tapi kau akan terkejut mendengar kenyataan bahwa ternyata mereka berdua adalah seorang ninja, perampok kelas kakap yang akan disewa Bujang untuk melakukan misi. Salah satunya, ya itu tadi. Penyerangan terhadap maskar Keluarga Lin di Makau. Yuki dan Kiko akan bersama-sama dengan Bujang melakukan misi itu."

Rama Hakmani:
"Wow, wow, wow!!! Terima kasih, Raina! Sungguh terima kasih karena sepertinya aku memang tidak perlu membaca, sudah ada kau yang akan menceritakan semuanya. Terima kasih, ya. Kau menyebalkan."

Raina Genna Eldirah:
"HAHAHAHA maaf, sekali lagi aku terlalu bersemangat."

Rama Hakmani:
"Sudahlah. Sebaiknya aku fokus saja menyelesaikan novel ini, sebelum kau akan menceritakan seluruh isinya sampai habis."

"Anyway, sampai jumpa besok pagi, Raina."

B-besok pagi? Astaga! Kenapa aku sampai sesenang ini menahan gejolak dalam diriku karena pertemuanku dengan Rama terhitung belasan jam lagi?! Aku sesekali melirik ke arah Andre yang masih asyik memainkan ponsel di sampingku, kemudian membiarkan senyumku mengembang tanpa harus khawatir Andre akan melihat dan bertanya aku kenapa.

Daripada pusing mencari cari bagaimana menahan gejolak dalam diriku yang ingin berteriak saat itu juga saking girangnya, aku memilih untuk menghela napas perlahan, bernapas dengan lebih tenang dan buru-buru menghubungi Kirei.

Raina Genna Eldirah:
"Rei."

"Rei."

"Kirei."

Kirei:
"Ada apa, bitch?"

Raina Genna Eldirah:
"Tolong beritahu aku sekarang."

"Bagaimana caranya supaya aku bisa glow up dalam semalam?"

Kirei:
"Oh, astaga. Baiklah, baiklah. Baiklah, Raina yang besok akan berkencan. Iya, deh. Kau putri sejagadnya tahun ini. Apa aku harus bersujud di bawah kakimu sekarang?"

Raina Genna Eldirah:
"HAHAHA TOLONG JAWAB AKU!"

Kirei:
"Hahaha. Kau tenang saja, jangan berlebihan begini. Kau ini sudah seperti gadis belia yang akan menghadapi kencan yang pertama kali dalam hidupnya."

"Kau maskeran saja malam ini, lalu besok pagi sebelum mandi jangan lupa luluran. Gunakan pakaian yang berwarna netral supaya kau terkesan elegan."

Raina Genna Eldirah:
"Kirei, aku takut. Bagaimana kalau besok aku malah merusak kencannya? Oh, astaga. Aku bahkan tidak yakin kalau besok itu adalah sebuah kencan. Aku hanya akan menemaninya ke toko buku, mana bisa itu disebut sebuah kencan?"

Kirei:
"Tidak apa-apa. Wajar jika kau merasa begitu. Tempatkan saja dirimu seolah-olah kau sedang jalan-jalan bersama temanmu. Bayangkan saja kau sedang jalan dengan Andre."

Raina Genna Eldirah:
"Ayolah, Kirei! Rasanya akan jelas berbeda. Ini tidak akan sama rasanya dengan jalan-jalan bersama Andre!"

Kirei:
"Kuncinya hanya satu, Raina. Tenang. Semakin banyak kau mengeluarkan tingkah dan bicara yang berlebihan, semakin kau menjatuhkan nilaimu. Kalau kau memang ingin terlihat menarik di depan Rama besok, bersikaplah dengan lebih tenang. Usahakan jangan gugup, dan kumohon. Belajarlah untuk lebih berani merias wajahmu. Sekarang kau sudah berumur hampir dua puluh tahun, Raina. Ayolah, kau bukan lagi seorang gadis remaja yang hanya memerlukan sunscreen, cushion, dan lip-tint untuk merias wajah. It's time to be brave."

Aku terkesan dengan cara Kirei memberikan kiat-kiat untuk terlihat seperti gadis elegan nan menarik, aku seharusnya berterima kasih, tapi interupsi dari Andre langsung terjadi.

"Na, ayo kita pulang."

"Tiba-tiba sekali?" tanyaku dengan heran.

Andre menghela napas berat, kembali menyalakan mesin mobil. "Kita sudah kehabisan topik bicara. Aku tidak mau kalau kita malah berujung sibuk dengan ponsel masing-masing seperti ini. Lagipula, aku tidak bisa lebih lama lagi membohongi pacarku, dia bisa murka sekali kalau tau bahwa ternyata aku tidak benar-benar berada di rumah seperti yang kubilang ke dia."

• • •

"Baiklah, Raina. Tenang. Ingat apa yang Kirei bilang. Kau hanya perlu tenang. Ini hanya sebuah acara jalan-jalan biasa. Dia hanya ingin ditemani ke toko buku karena kau memang ahlinya. Jangan berlebihan, jangan pakai hati. Jangan sampai terlalu jauh kau terbawa. Ingat. Dia, temanmu. Tidak lebih," titahku kepada diri sendiri saat berdiri di depan cermin.

Aku sudah selesai mandi dan luluran, meskipun sampai sekarang Rama belum memberi sedikit pun kabar perihal jam berapa kita akan bertemu di toko buku. Aku melepas handuk yang menutupi kepalaku, kemudian mengeringkan rambut dengan perasaan gelisah.

Apa aku harus bertanya ke Rama? Bagaimana kalau dia berpikir bahwa aku terlalu bersemangat? Aku pasti akan malu sekali. Jadi ... sebaiknya tidak. Aku tidak akan menghubunginya sebelum dia mengabariku lebih dulu.

Tapi semuanya jadi berubah saat jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan pagi. Aku mulai gusar, apa Rama lupa bahwa hari ini dia sudah ada janji denganku? Apa susahnya, sih, mengabari? Atau membuatku gelisah sudah menjadi pekerjaannya selama ini?

Raina Genna Eldirah:
"Rama?"

"Kita ketemu di Gramedia jam berapa?"

Aku tidak peduli. Sekalipun Rama akan berpikir bahwa aku terlalu bersemangat atau bahkan terlalu menggebu-gebu bertemu dengannya—aku tidak peduli. Aku hanya tidak suka jika harus gelisah seperti ini.

Rama Hakmani:
"Na, sepertinya aku tidak bisa lagi hari ini."

"Kalau Senin bagaimana?"

A-apa? Rama, ayolah! Kenapa kau semenyebalkan ini?! Aku sudah membuka lemari untuk memilih pakaian, kau sungguh tidak sopan jika harus membatalkan janji di saat-saat mepet seperti ini!

Rama Hakmani:
"Panik, ya?"

"Hanya bercanda, Raina."

"Grand Mall baru buka satu jam lagi. Jadi ke toko bukunya jam sebelas ya, Na. Sampai jumpa."

Seketika, aku ingin sekali mencekik lehernya, menarik rambutnya, lantas membenturkan kepalanya ke tiang listrik terdekat. Dasar menyebalkan!

• • •

Sampai jumpa di chapter selanjutnya:)

Continue Reading

You'll Also Like

375K 19.8K 49
Ravena Violet Kaliandra. Mendengar namanya saja membuat satu sekolah bergidik ngeri. Tak hanya terkenal sebagai putri sulung keluarga Kaliandra yang...
1.8M 145K 30
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
396K 15.7K 33
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1.2M 62K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...