The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

270K 22.9K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
30
31

29

7.8K 494 109
By jaeandje

21.42

hi, aku kembali:)
Ada yg kangen ga nih?

untuk part ini hati-hati ya🌚👀🤭

enjoy!

Rasel membersihkan percikan air di sekitaran wastafel setelah selesai membantu para pelayan mencuci piring. Maklum jiwa ibu rumah tangga dan mandirinya sedang keluar jadi dia tidak ingin diam saja seusai makan malam barusan.

"Nyonya, kami akan mengurus sisanya jadi sebaiknya nyonya istirahat" kata salah satu pelayan yang merasa tidak enak dibantu oleh majikan.

"Tanggung, ini sedikit lagi. Lagian saya belum cape kok–" balas Rasel disertai senyumannya.

Para pelayan yang melihatnya tidak bisa untuk tidak tersenyum juga. Mereka mengaguminya bahkan semenjak Rasel pertama kali menginjak kaki di rumah ini. Tidak, mereka mengagumi tiap anggota keluarga Kanagara. Karena bagi mereka keluarga ini tidak seperti majikan yang mereka bayangkan.

Orang-orang dari keluarga kaya raya di pikiran mereka itu sombong, suka seenaknya dan juga angkuh. Namun tidak dengan keluarga ini dan Kanagara lah yang mengubah pola pemikiran mereka terhadap keluarga kaya.

Tadi Tania membantu memasak, dan kini Rasel membantu bersih-bersih. Bagaimana mereka tidak mengagumi dan menghormati keluarga ini?

"Sudah!" seru Rasel sambil melepaskan sarung tangan karet dan celemek di tubuhnya, dibantu oleh salah satu pelayan.

"Terima kasih banyak, Nyonya"

"Sama-sama. Oh ya, ada yang liat Jehan?" Rasel menatap satu per satu pelayan di sekitarnya, berharap diantara mereka ada yang memberikan jawaban pasti.

"Tidak, nyonya. Tapi kami akan mencari Tuan–"

"Eh ngga usah! Saya bisa cari sendiri. " tolak Rasel menepuk pelan bahu pelayan yang tadi menjawabnya. "Ini teh panas buat siapa?"

"Cuaca malam ini lebih dingin dari biasanya jadi kami buatkan teh panas untuk Bapak, Bu Tania, Tuan dan Nyonya."

Rasel menarik kedua ujung bibirnya membentuk senyuman tulus. "Makasih ya, biar saya aja yang ngasih" Dia mengambil alih nampan lalu kembali bersuara, "Kalian juga bikin tehnya buat kalian sendiri."

Dengan nampan yang terdapat enam cangkir berisi teh panas, Rasel melangkahkan kakinya secara berhati-hati menuju taman belakang karena Tania, Kakek, Kanara dan Jendra berada di dekat kolam renang.

"Mau sampe kapan kalian kerja terus? Ngga ada niat membangun keluarga sendiri?"

"Terutama kamu, Kana. Umur kamu berapa sekarang?"

"Kana belum nemu yang cocok, Kek"

"Gimana mau nemu kalau kamu punya standar yang tinggi?"

"Mah, perempuan itu harus punya standar tinggi biar ngga salah pilih cowok."

"Tapi standar kamu itu terlalu sempurna, mau cari cowok sempurna dimana coba?"

"Pasti ada kok. Jehan buktinya tapi sayang dia adik aku,"

"Ngeliat pernikahan bang Jehan berhasil, kenapa mamah atau kakek ngga jodohin aku juga?"

"Cari dulu pake usaha kamu sendiri,"

"Ck! Pilih kasih"

Samar-samar Rasel bisa mendengar percakapan antara kakek, menantu dan cucu-cucunya. Ia berjalan masih sangat berhati-hati agar cangkir di nampan tidak tumpah.

"Excuse me, pesanan teh panas untuk malam ini telah sampai" ujar Rasel meniru gaya bicara seorang pelayan restoran disertai kekehannya.

Tania sontak tersenyum lebar melihat mantunya sedang menyerahkan cangkir kepada Kakek, dirinya, Kanara dan Jendra. "Pengertian banget sih mantu mamah. Makasih ya, sayang."

"Thanks, kakak ipar."

"Thanks, adik ipar."

"Terima kasih, Sel."

Rasel menggeleng, "Bukan aku yang buat, aku cuma nganterin aja" balasnya sedikit menekuk bibirnya.

"Gapapa kok," Tania memegang lengan dan mengelusnya pelan.

"Sel, kamu kenapa ngga istirahat?" tanya Kakek sambil menyeruput teh panasnya.

"Aku lagi nyari Jehan tapi liat kalian ngobrol asik disini jadi pengen gabung–" Rasel nyengir yang mengundang kakek dan Tania tertawa ringan.

"Lo nyari Jehan, Sel?" Kanara bertanya dan saat melihat anggukan Rasel, alisnya menaut heran. "Seinget gue tuh anak langsung ke kamar,"

Rasel menganggut, "Aku belum cek kamar sih. Anyway thanks ya, Mbak"

"Tadi gue denger bang Jehan di telepon beberapa orang. Ya maklum dia Pimpinan sekarang," sahut Jendra.

"Kakek masih ngga paham sama jalan pikiran kamu, Jendra" celetuk Kakek. "Kanara juga–" lanjutnya setelah menjeda sebentar.

Kanara jengah, "About what?"

"Posisi pimpinan yang kalian tolak,"

"We've talked about this dan bang Jehan udah ambil posisi itu, jangan dibahas lagi, Kek" ucap Jendra yang diangguki sang kakek.

"Alright."

Rasel hanya tersenyum canggung sambil memegang erat cangkirnya sehingga rasa hangat tersalurkan ke tangannya. Ia tidak memahami maksud obrolan antara kakek mertuanya dan kakak-adik iparnya. Tetapi akhirnya Rasel tidak ambil pusing.

"Sel, gimana kehidupan pernikahan lo sama adik gue?" tanya Kanara penasaran tiba-tiba.

Jendra menjentikkan jarinya, "Gue juga selalu penasaran dari sudut pandang lo, kakak ipar"

"Hmm–" Rasel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia kaget ketika mendapatkan satu pertanyaan sederhana yang tidak bisa dijawab begitu saja karena dirinya bingung.

"Ya gitu sih, gue bingung mau jawab gimana" kata Rasel disertai cengiran polosnya. "Tapi.."

"Ck! Kalian berdua kok kepo banget? Itu kan privasi mereka," cela Tania sambil berdecak.

Rasel menggeleng. "Gapapa, Mah. Lagian selama ini aku belum pernah cerita apa-apa ke Mbak Kana sama Jendra"

"Kalian nanya gimana kehidupan pernikahan dari sudut pandang gue kan? Jawabannya satu, bahagia."

"Gue ngga tau apa yang bikin gue ngerasain itu tapi yang jelas gue bahagia."

"Jauh sebelum gue kenal Kanagara, gue ngga pernah kepikiran tentang pernikahan karena kata orang-orang kehidupan pernikahan itu rumit. Jadinya gue mikir kayaknya gue ngga akan pernah nikah sama siapapun,"

"Tapi keluarga ini yang berhasil buat gue berubah pikiran bahkan sampe detik ini gue ngga ngerasa nyesel nerima tawaran mamah waktu itu." kekeh Rasel.

"Jehan awalnya orang asing bagi gue. Tapi dia ngebuktiin kalau hubungan yang diawali sama orang asing ngga selalu berakhir buruk dan gue ngerasain banget peran dia sebagai suami,"

Tania, Kanara, Jendra dan Kakek mendengar dengan baik sesi cerita Rasel di bawah sinar bulan purnama dan desiran angin malam. Dan mereka bisa melihat Rasel bercerita dari hati terdalamnya, wanita itu tulus sekali.

"Gue merasa beruntung punya suami kayak dia. Sikapnya, tindakannya, perhatiannya, gue rasain semua itu semenjak jam pertama kita resmi sah jadi suami istri bahkan sampe detik ini."

"And maybe that's it," Rasel tersenyum malu setelah selesai menceritakan apa yang ia rasakan selama ini.

Tania, Kanara, Jendra dan Kakek, mereka kompak mengulas senyum. Turut merasa senang dan lega melihat Rasel bahagia seperti ini.

Ya, mereka berempat pernah khawatir apabila hubungan Rasel dan Jehan tidak berjalan baik seperti yang mereka inginkan. Tetapi rupanya tidak ada yang perlu mereka khawatirkan lagi. Pasangan itu terlihat bahagia di kehidupan barunya dan mereka berharap terus diselimuti oleh rasa bahagia tersebut.

"Gue jadi inget omongan bang Jehan pas dia pertama kali ketemu lo dari kejauhan," Jendra menyahuti dengan sesuatu yang membuat Rasel serta Tania, Kanara dan Kakek penasaran.

"Jehan ngomong apa emang?" tanya Rasel.

Jendra mengulum bibirnya sebelum menjawab. Ia ingat betul setiap kata yang dilontarkan oleh kakak cowoknya waktu itu.

"'Feeling gue bilang dia cewek yang bakal bikin gue menemukan definisi rumah yang sesungguhnya'. Setiap katanya masih berbekas di otak gue, and he meant what he said back then."

Rasel langsung merasakan kedua sisi pipinya memanas lalu menundukkan kepalanya sedikit, malu untuk menatap yang lainnya.

Berbeda dengan Kanara, dia berekspresi jijik setelah Jendra selesai mengatakannya. "Oh my goodness, that is so cringey! Ew!" pekiknya.

"Where did he learn that from?!"

"Wow, mamah ngga pernah nyangka tuh anak bisa ngomong kayak gitu" ujar Tania yang sama terkejutnya.

Jendra tertawa kecil, "Actually, I was surprised too"

Sementara Kakek menggelengkan kepalanya lalu kembali menyeruput teh panasnya pelan-pelan. Begitupula dengan Rasel, wanita itu hanya ikut tertawa karena dia tidak tau merespon apa. Dia terlalu malu.

"Ngomong-ngomong, apa kalian berencana punya anak?"

Rasel sontak tersedak saat hendak menelan teh yang baru ia seruput dari cangkirnya. Sungguh itu pertanyaan yang menakutkan karena Rasel bingung harus menjawab apa.

Pasalnya dirinya dan Jehan tidak pernah membahas soal anak jadi bagaimana Rasel tau tentang rencana memiliki anak?

"Nah iya! Lo berdua ngga ada niatan ngasih gue sama Jendra keponakan gitu?"

"Jujur ya, Sel, gue mau banget gendong ponakan" ucap Kanara terdengar sangat berharap.

Jendra mengangguk setuju, "I kinda want it too"

Rasel tersenyum kikuk dan masih sedikit batuk karena tersedak tadi sehingga Rasel pun tidak memberikan jawaban untuk pertanyaan itu. Ia juga bingung menjawabnya.

Tania menepuk-nepuk pelan punggung Rasel, khawatir kepada menantunya itu meski hanya sekedar tersedak. "Minum lagi pelan-pelan,"

"Kaget ya tiba-tiba ditanya gitu?" kekeh Tania.

Bohong jika mengatakan Tania tidak menginginkan cucu. Ayolah itu impian seorang ibu jika anak-anaknya sudah menikah. Tania sungguh menginginkan seorang cucu, bahkan ia bermimpi ingin menggendong cucu sebelum ia meninggalkan dunia ini. Namun Tania tidak ingin memaksakan kehendak kehidupan Rasel dan Jehan.

Biarkan mereka yang memutuskan dan apapun keputusannya Tania akan selalu menghargai. Sekalipun jika nantinya mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak.

"Mah–"

"Sst, meskipun kita pengen tapi kita ngga maksa kalian." ucap Tania dengan senyum menenangkan.

"Jangan terlalu dipikirin ya, sayang. Jalanin dulu aja"

Rasel menunjukkan senyum paksa sementara  hatinya sedang berperang terhadap dua suara berbeda. Bicarakan hal ini dengan Jehan atau tidak.

Apa yang harus Rasel lakukan?

°°°

Rasel menutup pintu kamarnya lalu berjalan menuju walk in closet namun langkahnya berhenti ketika indra pendengarannya menangkap suara seseorang dari dalam tempat tujuannya.

Dari suaranya saja Rasel sudah tau siapa orang tersebut. Dirinya hendak masuk namun seketika ia teringat dengan pertanyaan kakek mertua tadi pada saat di dekat kolam renang. Pertanyaan itu selalu menghantuinya bahkan semenjak hari pertama menikah.

"Ngomong-ngomong, apa kalian berencana punya anak?"

Rasel berdiri di lawang pintu walk in closet dan menyender kepalanya di pinggiran pintu. Kedua matanya menangkap sosok suaminya yang berbadan kekar berdiri membelakanginya jadi sudah pasti Jehan tidak menyadari kehadirannya disini. Apalagi pria itu sedang menelpon seseorang.

Ia memandangi tubuh yang tertutupi kemeja biru muda dengan bagian lengannya digulung sampai siku sambil berpikir, apakah mereka berencana memiliki anak?

Tentunya Rasel menginginkan seorang anak karena itu salah satu impiannya dulu ketika sudah menikah. Namun apa Jehan mau? Ini yang membuat Rasel sedikit ragu.

Bagaimana Rasel tau jawabannya kalau mereka tidak membicarakan atau mencobanya? Benar bukan?

Meski ragu dengan keinginan Jehan, Rasel masih berpikir untuk tetap melakukannya karena itu salah satu kewajibannya sebagai istri, melayani suami. Toh sudah hampir satu tahun mereka menikah tetapi mereka sama sekali belum melakukan hal 'itu'.

Sementara Jehan masih fokus mendengarkan orang yang sedang berbicara di ponselnya. Ia tidak menyadari bahwa ada seseorang sedang memperhatikannya di belakang.

"Besok atau lusa jadwal gue ada yang kosong ngga?"

"Yaudah gue urus masalah ini lusa siang. Coba lo hubungin Vanessa, koordinasiin aja sama dia buat lusa nanti."

Disaat terlalu serius ini Jehan dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang memeluknya dari belakang. Ia menoleh ke samping lalu tersenyum saat melihat istrinya yang tiba-tiba mendekap ini. Tangan kanan Jehan bergerak memegang kepala Rasel dan mengelusnya pelan.

"Gue harus tanya dia dulu, kalau dia ngga mau gapapa. Gue ngga mau maksa,"

"Iya. Gue aja yang berhadapan sama mereka" Jehan mematikan telepon dan menyimpan ponselnya di atas lemari meja perhiasan dan dasi.

"Siapa?" tanya Rasel penasaran.

"Marven,"

Rasel ber-oh ria seraya melepaskan pelukannya lalu bersandar pada lemari meja di dekatnya. Sementara Jehan menatapnya aneh karena tiap gerak-gerik wanita itu sedikit tidak biasa.

Jehan melipat kedua tangannya didepan dada lalu bertanya, "Kamu kenapa?". Ia menyadari sepertinya Rasel sedang memikirkan sesuatu.

"Lagi mikirin apa, hm?"

"Nothing. What am I supposed to think about anyway?" balas Rasel namun tidak cukup untuk meyakinkan Jehan.

"I know you, Sel" Jehan mengangkat salah satu alisnya dan Rasel sontak membuang muka ke sembarang arah.

Sial, Jehan selalu tau bagaimana suasana hati ataupun pikirannya. Lebih sialnya lagi adalah Rasel tidak bisa berbohong ataupun menghindar.

"Tell me and maybe I can help so you don't have to think about it anymore, ya?"

Rasel mengulum bibirnya dan bernafas gugup, hal ini membuat Jehan semakin penasaran dengan apa yang dipikirkan oleh istrinya ini sampai membuatnya segugup itu.

"Asal kamu tau ya, aku harus ngumpulin keberanian aku buat nanya ini–" gerutu Rasel seraya mengambil tangan kanan Jehan untuk ia genggam dan Jehan pun terkekeh.

"Oke, apa itu?"

"Do you want to have kids?"

Jehan cukup tersentak dengan pertanyaan itu. Ia membalas tatapan Rasel yang menunggunya memberi jawaban namun ia malah menyeringai sambil mengusap wajahnya. Tak pernah dirinya menduga pertanyaan macam itu akan terlontar dari mulut istrinya.

"Seriously? Jadi kamu mikirin itu?" Dengan polosnya Rasel mengangguk.

Helaan nafas keluar dari lubang hidung Jehan, ia mengulas senyum tipis. "Siapa yang bikin kamu kepikiran hal ini?"

"No one. Aku tiba-tiba kepikiran aja dan aku penasaran sama tanggapan kamu gimana," elak Rasel namun tidak berhasil membuat Jehan percaya.

"Mamah? Mbak Kana? Jendra? Atau Kakek?"

"I swear to God, no one. Ngga ada yang nuntut aku kok, I just suddenly thought of it" Rasel tersenyum berusaha untuk meyakinkan pria di hadapannya ini.

Jehan memilih untuk mengalah dan mengiyakan perkataan Rasel tanpa memberikan jawaban terhadap pertanyaan tak terduga tadi.

"Ini udah malem, istirahat gih–" 

Rasel menahan tangan Jehan yang hendak pergi lalu memberikan tatapan seriusnya seolah-olah ia menginginkan jawaban sekarang juga.

"You haven't answered me yet,"

"Sel.."

"Aku serius nanya ini, Jehan. So be honest with me, do you want to have kids?"

Jehan menatap Rasel dengan lekat, dari sorot mata wanitanya ini benar-benar butuh jawaban darinya. Jehan kaget karena ini pertama kalinya mereka membahas hal semacam ini dan Rasel menanyakannya secara mendadak.

"I do," jawabnya jujur. Tentunya semakin usia bertambah, impiannya pun mulai menuju ke arah sana. Memiliki anak adalah salah satunya terlebih dirinya kini sudah menikah.

Tapi apakah mereka siap? Sebenarnya mereka lebih dari siap hanya saja mereka belum menyadarinya.

Rasel tersenyum tipis. Ia bertatapan dengan Jehan sebelum Rasel dengan keberaniannya menarik ikat pinggang Jehan agar lelaki itu lebih dekat dengannya hingga tidak ada lagi jarak yang tersisa di antara keduanya.

Tentunya Jehan terkejut dengan tindakan sang istri. Ia pun menyimpan kedua tangannya di atas lemari meja dari kedua sisi kanan dan kiri Rasel, "What are you doing, hm?" tanya dengan suara berat.

Kini Rasel mengalungkan tangannya di leher Jehan dan menghapus jarak antara wajahnya dengan wajah Jehan. "What do you think I'm doing right now?" balasnya sedikit berbisik sensual.

Jehan memandangi setiap inci wajah Rasel dari jarak yang sedekat ini. Kedua mata istrinya ini menyorot sensual dan sengaja menggoda Jehan yang masih kuat menahan nafsunya. Namun itu tak berlangsung lama karena Jehan tidak bisa  menahan lagi ketika Rasel memancingnya dengan mengecup ujung bibirnya. Sehingga ia pun memutuskan untuk menempelkan bibirnya di bibir ranum Rasel.

Awalnya hanya sekedar kecupan tetapi Rasel mulai melakukan lebih. Sehingga mau tak mau Jehan mengikuti alur dengan membalas lumatan lembut yang Rasel berikan. Mereka saling melumat sambil memejamkan matanya, menikmati kegiatan mereka saat ini.

Tangan kekar Jehan tak tinggal diam. Dia memegang pinggang ramping Rasel bahkan sesekali meremasnya. Rasel melenguh saat Jehan tak sengaja menggigit bibir bawahnya namun itu tidak menghentikan mereka, justru Rasel mulai membuka satu persatu kancing kemeja Jehan.

Kain yang menutup tubuh atletis Jehan pun akhirnya terlepas tanpa melepaskan pangutan bibir mereka dan Rasel membelai lembut dari dada hingga perut sixpack Jehan. Begitu pula dengan Jehan, lelaki itu perlahan membuka kancing baju Rasel.

Jehan tersadar akan tindakannya, ia langsung menghentikan kegiatan kegiatan mereka. Lalu ia menatap Rasel yang sedang mengatur nafasnya dengan kondisi bajunya yang hanya tersisa satu kancing sehingga Jehan dapat melihat dengan jelas dalaman istrinya.

"Sel, are you sure we're doing this?" tanya Jehan ingin memastikan sebelum mereka melanjutkan lebih jauh dari ini.

Rasel tersenyum seraya memegang pinggang Jehan lalu ia mengangguk. "Ini kewajiban aku sebagai istri kamu."

"Kamu yakin?"

"Aku yakin. Sejujurnya, aku udah mikirin ini dari lama tapi aku baru siap sekarang. Maaf ya kamu nunggu lama untuk ini–"

Jehan menggeleng, "Hey, ngga perlu minta maaf untuk hal ini. I just want to make sure you're ready and this is what we both want,"

"And I want you, Sel"

"Do it, don't hesitate anymore. I'm yours, Jehan."



Jehan membaringkan tubuh Rasel ke ranjang, di bawah rengkuhannya tanpa melepas cumbuan mereka. Setelahnya Jehan meletakkan kepalanya di ceruk leher Rasel, menghirup kuat aroma bunga dari tubuh istrinya itu lalu mengecup leher mulus Rasel hingga wanita itu mendongakkan kepalanya. Begitu pula dengan Jehan.

Sebelah tangan Jehan menopang dirinya agar tidak menindih Rasel sementara tangan satunya lagi terulur membelai, mengelus lembut tubuh Rasel yang sudah tidak tertutupi oleh sehelai benang. Sedangkan Rasel sesekali melenguh pelan sambil memejamkan mata, mencoba untuk menikmati setiap tindakan suaminya.

Kecupan tersebut pindah ke dadanya kemudian perlahan turun ke perut ratanya yang setelahnya kembali ke wajahnya.

Jehan berhenti sejenak dan mereka bertatapan. "We could stop here–"

Rasel memegang rahang tajam Jehan sambil tersenyum meyakinkan. "Udah kayak gini yakin ngga mau dilanjut?" tanyanya mengangkat salah satu alisnya, memang sengaja memancing Jehan.

Jehan menyeringai, "Siapa yang ngajarin kamu kayak gini, hm?" Rasel sontak terkekeh sambil mengalungkan kedua tangannya di leher Jehan.

"Ngga ada, dan aku kayak gini di depan kamu aja. You don't need to hesitate, dear. Just do it–"

"Cause I want you too, Je..."

Mereka saling bertukar tatap disertai senyum manis nan tulus di wajah mereka. Dari tatapan ini, keduanya bisa merasakan rasa sayang antar satu sama lain. 

"I'm also yours, Sel."

Rasel menarik pelan tengkuk suaminya, kembali mempertemukan bibir mereka dan melanjutkan kegiatan yang ditunda tadi. Kali ini tidak akan berhenti dan tidak ada yang bisa menghentikan mereka.

Malam inilah yang menjadi 'malam pertama' untuk kedua insan itu setelah menikah hampir satu tahun. Bagi pasangan yang tidak didasari cinta seperti mereka memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai di tahap ini. Namun mereka berhasil melaluinya dan bertahan.

Sehingga kegiatan hangat yang disaksikan oleh sinar rembulan dari celah tirai itu bukanlah sekedar berhubungan intim atau memuaskan nafsu. Jehan dan Rasel, mereka mempunyai keinginan dan tujuan yang sama tanpa ada unsur paksaan.

Malam ini mereka akan menyatu. Dan mereka melakukannya secara sadar, pelan, lembut, saling menyalurkan kasih sayang bahkan menghormati satu sama lain. Benar-benar definisi dari bercinta yang sesungguhnya.

Finally, they're making love.

°°°

Sinar matahari memasuki ruangan melalui celah tirai kamar yang menjadi saksi kegiatan indah dan panas dari pasangan suami istri semalam. Sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi namun pasangan itu terlihat nyenyak sekali.

Kedua insan itu tidur dengan posisi saling mendekap dan selimut tebal menutupi tubuh polos mereka.

Jehan mengerjapkan matanya berkali-kali hingga ia sepenuhnya sadar. Pemandangan pertama ketika dirinya bangun adalah wajah istrinya yang masih terlelap di sampingnya. Seketika dia teringat dengan kegiatan tadi malam, alhasil Jehan tersenyum. Mengetahui bahwa apa yang terjadi bukanlah mimpi, membuatnya senang bukan main.

Tuhan, semalam merupakan malam terindah yang pernah Jehan rasakan. Dan Rasel juga merasakan hal yang sama.

Jehan sedikit mengubah posisinya menghadap ke samping agar ia lebih leluasa memandangi wajah Rasel yang entah mengapa berkali-kali lipat lebih cantik dari biasanya.

Ia menyingkirkan helaian rambut yang menutup wajah Rasel lalu mengelus lembut kepalanya, menyalurkan kenyamanan dan rasa sayangnya yang entah sejak kapan rasa itu semakin besar.

"You're so beautiful–" gumamnya, mengagumi paras sang istri yang tidak terkusik sama sekali dengan tindakan Jehan.

Tak lama kemudian, Jehan sedikit bangun dan lebih mendekatkan diri dengan Rasel. Tangan kirinya pun terulur ke arah perut rata Rasel yang masih polos tanpa sehelai benang dibalik selimut tebal yang menutupi kedua tubuh mereka lalu Jehan mengelus-elusnya pelan.

"Cepet hadir di dalam sini ya, sayang.." Jehan bergumam sambil tersenyum sekaligus berdoa di dalam hatinya. 

"Engh–" Lenguhan tersebut membuat Jehan sontak menoleh dan mendapati Rasel yang mulai membuka matanya.

Rupanya elusan Jehan pada perut Rasel berhasil membuat wanita itu terkusik dari tidurnya. Jehan pun mengecup pipi tembam Rasel lalu tersenyum dan berkata,

"Good morning" sambil masih mengelus pelan perut wanita itu.

Dengan kesadaran penuh, Rasel menatap wajah suaminya yang berjarak tidak sampai lima senti lalu ia juga tersenyum.

"Good morning," 

"Apa?" Rasel mendelik aneh saat Jehan terus menatapnya. "Kok ngeliatinnya gitu banget sih?"

"Kamu cantik," kata Jehan.

"Masih pagi ya ngga usah gombal–" cetus Rasel sambil merotasikan bola matanya dan Jehan terkekeh.

"Geli, Jehan!" Rasel sedikit berdecak kesal karena suaminya itu belum berhenti mengelus bahkan memainkan jari di perutnya.

"Last night was–" ucapan Jehan terhenti karena Rasel tiba-tiba membekap mulut pria itu dengan kedua tangannya.

"Sst! Ngga usah bahas yang semalem, aku malu" ucap Rasel sementara Jehan tersenyum dibalik tangan istrinya yang masih menutup mulutnya.

Jehan menurunkan tangan Rasel dari mulutnya, "Masih sakit ngga?"

Rasel mengernyit bingung, "Apanya?"

Jehan mengarahkan matanya ke bawah sana dengan cepat untuk menjelaskan maksud dari pertanyaannya yang tadi. Dan hal itu membuat Rasel langsung melotot.

"Ih!" Rasel menepak bahu suaminya sementara dia lagi-lagi hanya terkekeh. "Dibilangin jangan bahas yang semalem!"

"Aku nanya baik-baik, sayang. I didn't mean anything else–" kata Jehan dengan tampang tanpa merasa salah.  

"Ya ngga usah nanya itu! Aku malu soalnya," Rasel mengalihkan mukanya, tidak ingin bertatapan dengan pria di dekatnya ini.

Tidak tau saja bahwa jantung Rasel saat ini sedang berdegup kencang. Bukan cuma karena perlakuan Jehan pagi ini tetapi Rasel teringat juga dengan kegiatan mereka semalam. Senang namun malu untuk berhadapan dengan Jehan.

"Ngapain malu, hm?" Jehan merebahkan diri di samping Rasel, "Just so you know last night was the most wonderful night I've ever had and I'm happy about that."

Rasel menoleh ke sampingnya, menatap Jehan yang sedang memandangi langit-langit kamar kemudian ia tersenyum senang. Ia mendekat dan meletakkan kepalanya di dekat bahu Jehan  sehingga lengan kekar suaminya iti menjadi bantalan untuknya.

"I feel the same way, thank you ya–" kata Rasel yang membuat Jehan kembali mengulas senyum. "For doing it gently on my first time" sambungnya.

Pria itu pun sontak melingkarkan tangan kanannya di punggung polos Rasel. "I'm the one who should be thanking you," ujar Jehan yang membuat senyum Rasel melebar dan menganggukkan kepalanya.

"Oh iya, tentang saham yang kemarin aku harus gimana sekarang?"

Jehan mengulum bibirnya, "Kamu mau belajar bisnis?"

"Aku harus mulai kerja di perusahaan kamu ya?"

"Engga." jawab Jehan dengan gelengan kepala. "Ya emang secara umum semua pemegang saham itu pengusaha,"

"Tapi bukan berarti harus kerja di perusahaan." lanjutnya.

"What am I supposed to do then?" Rasel masih tidak paham.

"What would you like to do?" Jehan belum mengalihkan tatapannya dari langit-langit kamar namun ia memainkan jarinya di pundak belakang dan lengan polos Rasel.

"Maksudnya?"

Helaan nafas keluar dari hidung Jehan, "Kalau kamu milih masuk ke dunia bisnis, kamu bisa kerja di perusahaan mulai besok dan aku sendiri yang bakal ngajarin kamu."

Rasel terdiam masih dengan posisi merebah di dada Jehan sehingga suaminya bisa merasakan deru nafas wanita itu. Kini Rasel sedang berpikir karena dari perkataan Jehan sepertinya ia sedang dihadapi dua pilihan.

Dokter atau pengusaha? Sejujurnya lumayan sulit bagi Rasel untuk memilih diantara kedua ini. 

"But I love being a doctor," Rasel bergumam kecil namun masih bisa terdengar oleh Jehan.

"Then keep being a doctor. Ngga usah mikirin sahamnya, aku sama Marven bisa urus itu buat kamu. Tetep jadi dokter ngga bakal bikin kamu kehilangan saham yang diwarisin ayah sama bunda kamu, Sel"

Rasel sontak bangun sedikit dan menatap serius Jehan. "Jadi kalau aku tetep kerja sebagai dokter ngga masalah?"

"That's your right, so ya sama sekali ngga masalah. Dan ngga ada yang boleh nuntut kamu harus mengambil peran di perusahaan,"

"Kamu serius kan?" Tanya Rasel senang.

"Serius, sayang" Jehan tersenyum meyakinkan sambil menatap istrinya. "Tapi status kamu tetep sebagai pemegang saham KNG's Group."

"Jadi? What should I choose?"

"Kamu punya banyak waktu, ngga harus ambil keputusan sekarang. Jadi pikirin baik-baik.."

"Tapi kayaknya untuk sementara, I'll still be a doctor." kata Rasel dengan suara pelan namun Jehan masih bisa mendengarnya karena itu dia menganggut.

"Seandainya aku berubah pikiran, perusahaan kamu masih nerima aku kan?" Jehan tertawa kecil ketika Rasel melontarkan pertanyaan ini.

"Pasti nerima lah, suami kamu pimpinannya kalau kamu lupa," jawab Jehan.

Rasel mencibir. "Belum dilantik resmi aja udah sombong banget, dasar." 

"Bukan sombong, Sel. Itu fakta."

"Baik, Pimpinan." ujar Rasel dengan nada mengejek sehingga tawa Jehan pun lepas.

Rasel mengulas senyumnya melihat pria itu tertawa. "Lagi-lagi makasih udah ngertiin aku ya," 

Ia kembali rebahan di bahu Jehan dan juga meletakkan lengan lentiknya di dada bidang Jehan bahkan Rasel memainkan jarinya disana.

Jehan tidak merasa risih ataupun terganggu oleh tingkah istrinya. Justru ia malah senang dengan kedekatan mereka saat ini. Meskipun wanita itu terkadang masih suka malu, tetapi Rasel sudah tidak lagi merasa sungkan dengannya.

"Jehan, tentang toko kue bunda kayaknya aku ngga bakal ambil hak milik sesuai warisan–"

Kening Jehan sontak mengerut, "Kenapa?"

"Toko kue itu kan diurus sama keluarga ayah dan aku ngga mau berurusan lagi sama mereka karena aku takut.." ucap Rasel sedikit bergetar.

Jehan mengelus lembut samping kepala Rasel. Ia ingat bahwa istrinya ini memiliki hubungan yang kurang baik dengan keluarga besar ayahnya, jadi wajar apabila Rasel merasakan itu.

"Aku ngerti, tapi kamu ngga bisa anggap sepele wasiat orang tua kamu karena surat wasiat yang ditulis langsung sama ayah kamu punya hukum yang kuat dan sifatnya mutlak,"

"Lagian kamu ngga perlu berurusan langsung sama mereka karena aku, Marven sama Vanessa yang bakal urus masalah toko itu."

Rasel mengernyit dan mendelik, "Vanessa siapa?" tanyanya sedikit tidak santai.

"Pengacara keluarga, ngga usah sensi gitu deh, Sel" kekeh Jehan sementara Rasel hanya mendengus saja.

Sebenarnya Rasel menghela nafas lega. Entah mengapa ketika Jehan menyebut nama seorang wanita yang tak familiar di telinganya membuat Rasel menjadi lebih sensitif.

"Aku bakal ke Serene Sweets besok, mau ikut?" tanya Jehan memastikan meskipun dirinya tau jawaban apa yang akan Rasel berikan.

Rasel menggeleng tanpa berpikir lama, "Ngga mau. Aku ngga mau ketemu mereka,"

"Okay, I understand. You don't have to" Jehan mengangguk paham dan jawaban itu sesuai dugaannya.

Tidak ada lagi yang mengeluarkan suaranya. Keheningan melanda dua insan tersebut. Rasel memejamkan matanya, berada di pelukan sang suami sangat membuatnya nyaman. Sementara Jehan mengelus lembut pundak dan punggung polos Rasel, menambah kenyamanan yang dirasakan wanita itu.

"Je, kamu ke kantornya nanti siang aja ya?"

"Kenapa emang?"

"Aku masih nyaman kayak gini," Jehan sontak terkekeh mendengar alasan itu.

"Well, aku ngga ada jadwal penting di kantor–"

Rasel sontak mendongak, "Serius nih? Aku libur hari ini, so we can spend time together today, right?"

Jehan tersenyum gemas sambil menatap wajah istrinya, "Tapi aku ada janji main golf sama beberapa investor nanti siang dan sayangnya ngga bisa aku cancel."

"Yah.." ekspresi wajah Rasel langsung berubah drastis. Ia menekuk bibirnya, tanda bahwa dia tidak senang dengan ucapan Jehan barusan.

Melihat raut wajah istrinya membuat Jehan merasa tidak enak namun janji bermain golf bersama investor sudah dibuat dari beberapa minggu yang lalu. Demi kelancaran proyek, Jehan tidak bisa membatalkan janjinya.

"Maaf ya?"

"It's okay," Rasel menggeleng disertai senyum paksanya. "Emang udah resiko punya suami pengusaha penting" lanjutnya menggerutu kecil agar Jehan tidak mendengar.

Tetapi sayangnya Jehan mendengar itu dengan jelas, dia hanya tersenyum tipis. "Aku bakal pulang cepet, I promise you"

Rasel tidak merespon apa-apa karena ia fokus berpikir kegiatan apa yang harus ia lakukan untuk seharian ini. Ibu mertua, kakak-adik ipar serta suaminya punya kerjaan jadi sudah pasti dirinya sendirian hari ini.

Seketika Rasel menyesal memilih libur hari ini.

"Rentenir-rentenir itu udah ngga gangguin kamu lagi kan?"

"Engga, aku aja aneh kenapa tiba-tiba– Tunggu" Rasel kembali mendongak dan menatap Jehan dengan penuh pertanyaan.

"How did you know about that?!" pekiknya. "Jadi kamu yang bayar lunas sisa bunganya?!"

Jehan mengedikkan bahunya dan hanya tersenyum tipis saja. Ia sengaja mengalihkan pandangannya dari Rasel karena ia yakin wanita itu akan mengomel tidak terima.

Rasel menunjukkan ekspresi tidak suka. "Aku ngga suka."

"Jehan, asal kamu tau selama ini aku selalu keberatan sama semua tindakan kamu, but I accept it all because I understand why you did it."

"Tapi kali ini aku ngga bisa, ini urusan pribadi yang ngga ada kaitannya sama satupun orang yang aku kenal. Ada alasannya kenapa aku ngga bilang masalah ini ke kamu–"

"Apa alasannya?" cela Jehan berhasil membuat Rasel sedikit tersentak. "Karena kamu ngga mau bikin aku khawatir soal kamu berurusan sama rentenir? Ngga mau ngerepotin suami kamu sendiri?"

"Atau ngga mau bikin reputasi aku rusak karena aku punya istri yang kelilit utang? Sel, kamu pikir aku suami macam apa?"

"I'm quite disappointed that you kept this important matter a secret from your own husband. Do you think I'll put other things before my wife who's in trouble?"

Rasel langsung menggeleng, "Je, ngga gitu"

"Kok jadi kamu yang marah sih?! Harusnya aku dong karena kamu ngurus rentenir itu tanpa bilang apa-apa sama aku."

Jehan menghela nafasnya, "Aku ngga marah–"

"Tapi muka kamu kayak yang lagi marah!"

"I'm just pissed off that you kept this a secret from me." jawab Jehan disertai decakannya.

Rasel memilih bangun dan duduk membelakangi Jehan lalu sedikit menundukkan kepalanya. "Maaf, aku–" cicitnya.

Jehan memandangi punggung polos istrinya sambil menunggu wanita itu melanjutkan apa yang akan dia katakan.

"Aku malu sebenarnya, Jehan. Aku bawa banyak hal buruk dari masa lalu buat kamu dan keluarga kamu."

Helaan nafas kembali keluar dari hidung Jehan. Sudah menduga arah bicara Rasel menuju ke sana, pembahasan yang tidak pernah ia sukai. Lelaki itu juga mulai bangun, menyamakan posisinya dengan posisi Rasel.

"Hei, liat aku–"

"Aku juga ngga enak sama kamu yang selalu ngurusin masalah aku, sedangkan aku belum pernah bantu banyak kalau kamu lagi ada masalah" katanya tanpa mengikuti ucapan Jehan.

"Liat aku." Jehan menarik pelan dagu Rasel agar wanita itu menatapnya. 

"Rasel, kamu itu istri aku. Bukan lagi orang asing yang tiba-tiba dateng ke hidup aku,"

"You are my wife. Dan aku ngga mau kamu hitungan sama suami kamu sendiri." lanjutnya secara tegas.

Rasel menekuk bibirnya. Hati terdalamnya dibuat tersentuh dengan perkataan suaminya barusan untuk kesekian kalinya. Sebenarnya banyak yang belum ia utarakan, namun Rasel sangat yakin Jehan tidak akan suka apa isi hatinya.

Saking tersentuhnya Rasel tidak tau harus merespon apa.

"Bukannya mau hitungan tapi sisa bunganya tuh lumayan besar loh, aku ngga mau kamu yang nanggung semuanya. Bagi dua sama aku ya?"

Jehan menoleh dan melihat bagaimana Rasel menatapnya dengan tatapan puppy eyes. Ia ingin tertawa detik ini juga karena perkataan istrinya itu sungguh lucu, tetapi ia tahan sebab ia ingin melihat apa yang akan dikatakan lagi setelah ini.

"Aku tuh sebenarnya lagi ngumpulin tau, kan jadi makin malu deh–" ucap Rasel bersuara kecil.

"Buat apa punya black card kalau ngga dipake, hm?" Rasel terbungkam.

"And what? Kamu bilang bagi dua? Hell no, Sel. Aku ngga suka berbagi, especially splitting the bill with my wife."

Kata-kata yang sudah tidak heran lagi akan keluar dari mulut miliarder sepertinya.

"Ngga usah liat dari berapa banyaknya tapi liat dari niat dan maksud baiknya, I want you to do that. Can you?"

Sorot mata Rasel sudah berubah menjadi berkaca-kaca seraya mengangguk gemas. Sialan, pagi-pagi sudah membuatnya terharu. Bukankah Rasel pernah mengatakan bahwa hatinya itu lemah?

"I hate seeing your tears. Tell me what else are you thinking about right now?"

Rasel menghapus tetesan air mata yang jatuh tanpa diminta lalu menggeleng disertai senyum kecilnya, "Ngga ada lagi, I swear to God"

"Okay then promise me you won't keep anything secret anymore."

"Iya, janji. Jangan galak-galak, kamu serem kalo lagi marah" lirih Rasel merajuk sedikit memanyunkan bibir kecilnya.

"Ngga ada yang marah." desis Jehan.

"Suara kamu sekarang jelas banget kamu lagi marah, Je"

"Engga, perasaan kamu aja" Jehan membalas namun terdengar ketus karena sejujurnya ia memang masih sedikit kesal.

Rasel menarik dagu Jehan tanpa aba-aba lalu di kecuplah bibir pria itu secara singkat, membuat sang empunya mematung kaget. "Udah ya, jangan marah lagi–"

"Aku mau ke kamar mandi dulu, tutup mata kamu!"

Jehan mengernyit bingung, "Tinggal ke kamar mandi, kenapa aku perlu tutup mata?"

Rasel merotasikan bola matanya, kesal dengan tingkah sok tidak mengerti suaminya. "Jangan pura-pura ngga ngerti ya kamu!" cetusnya.

"Pura-pura ngga ngerti apa sih?" Rasel sontak menatap Jehan dengan mengangkat salah satu alisnya.

Jehan menilik sebentar tatapan yang istrinya berikan lalu mengangguk ngalah. "Alright–"

Rasel tersenyum penuh kemenangan melihat ekspresi pasrah sang suami, gemasnya. "Ya tutup mata kamu cepetan!"

"Anyway, why do I need to close my eyes? Aku kan udah liat semuanya tadi malam," protes Jehan masih tidak terima.

"Jehan!" Rasel melotot dan membentak kecil, kedua pipinya pun bersemu merah. Malu dengan ucapan Jehan barusan.

"Iya, sayang, iya. Aku tutup mata nih," Jehan menghela nafas pasrah. Menurut saja perintah sang ibu negara sebelum terjadinya peperangan.

Sementara Rasel setelah memastikan suaminya itu benar menutup matanya, ia terkekeh pelan lalu beranjak dari kasur dan berlari kecil menuju kamar mandi.

°°°

Rasel menutup pintu kamarnya lalu berjalan dan menuruni tangga sambil menjepit rambut panjangnya. Ia cukup panik karena dirinya bangun lebih siang dari biasanya sehingga ia takut melewatkan sarapan pagi bersama yang sudah menjadi rutinitas Keluarga Kanagara di rumah utama.

Ia segera menuju ruang makan atau dapur dengan harapan dirinya tidak terlalu terlambat namun harapannya pupus begitu Rasel melihat ibu mertuanya sedang beres-beres di dapur bersama beberapa pelayan.

"Selamat pagi, Nyonya" sapa salah satu pelayan yang menyadari kehadiran Rasel.

"Pagi.." 

"Loh kamu udah bangun, Sel" ucap Tania agak terkejut.

Rasel menggigit bibir bawahnya, merasa resah dan bersalah karena ia terlambat bangun. "Mah, maaf aku sama Jehan telat bangun and we missed the breakfast–"

Tania terkekeh sambil menuangkan teko kaca yang berisi kopi hitam ke dalam cangkir di tangannya. "Mamah, Kana sama Jendra sarapan lebih pagi karena kita bertiga ada kerjaan,"

Wah iya. Rasel melihat ibu mertuanya yang penampilannya rapih, berpakaian formal satu set berwarna biru tua dengan corak garis-garis.

"Kakek?"

"Kakek belum bangun, sayang. Jadi ngga ada sarapan bersama pagi ini," Perkataan Tania langsung membuat Rasel menghela nafas lega.

Rasel menghampiri ibu mertuanya lalu memeluk lengan Tania membuat sang empunya heran awalnya. "Maaf ya, Mah. Ngga biasanya aku telat bangun kayak gini.."

"Gapapa dong, mamah yakin kemarin kamu pasti capek banget. Nih punya kamu. Kata Jehan, kalau pagi-pagi biasanya kamu minum susu," Tania memberikan segelas susu ke hadapan mantunya.

Iya, kegiatan kemarin malam sangat melelahkan.

Rasel tersenyum lebar sambil menerima gelas berisi susu pemberian Tania.

"Lucu banget sih mantu mamah, udah hampir tiga puluh tahun tapi masih doyan susu" kikik Tania.

"Tumben lo bangun siang, Sel" sahut seseorang yang baru datang entah dari mana langsung membuka kulkas. Dari belakang saja semua orang tau siapa dia.

Rasel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus menjawab apa. "Hehe kemarin rasanya capek banget, Mbak"

Tania mengernyit saat ia melihat sesuatu di leher jenjang Rasel, "Tunggu. Ini leher kamu kenapa, Sel?"

Rasel mengikuti arah tunjuk Tania ke lehernya, awalnya bingung namun tak lama kemudian ia mengingat sesuatu. 

"Oh ini Jehan yang buat," ucapnya tanpa sadar dan ketika sadar Rasel reflek menutup mulutnya.

Tania tertegun, otaknya berproses mencerna apa yang Rasel maksud. Tentunya tak perlu waktu lama untuk memahami, Tania pun tersenyum dan wajahnya berekspresi aneh.

"Jadi itu yang bikin kalian telat bangun–" goda Tania yang membuat Rasel menyesali ucapannya barusan.

Kanara juga melihatnya dari kejauhan sambil menyeruput air putih dingin yang ia ambil tadi. Ia menyeringai senang, "Adik gue ganas juga ya.." celetuknya.

Rasel menyengir malu. Sialan, bagaimana bisa ia keceplosan di depan banyak orang seperti ini terlebih di hadapan ibu mertua dan kakak iparnya? Lebih sialnya lagi dirinya lupa kalau Jehan membuat tanda yang cukup banyak.

Dia langsung melepaskan jepitan agar surainya dapat menutup tanda-tanda kepemilikan yang dibuat Jehan semalam. "A-aku mau ke kamar dulu–"

Kepergian Rasel yang berlari meninggalkan orang-orang di dapur membuat mereka semua terkekeh gemas. Terutama Tania dan Kanara, mereka saling bertukar pandang.

Sepertinya impian mereka memiliki keponakan atau cucu bisa terwujud. Pembicaraan kemarin malam di dekat kolam renang rupanya tidak sia-sia bukan?

-

Rasel menyandar pada pintu kamar setelah ia tutup sambil memegangi dadanya yang terasa berdegup sangat kencang. Ia sontak memukul mulutnya yang tidak bisa dikunci rapat-rapat tentang kegiatan semalam.

"Sel? You okay?" Rasel menoleh dan melihat Jehan sedang berjalan keluar dari walk in closet sambil memasang jam tangan.

"Je, aku malu masa–" rengek Rasel mendekat ke suaminya. 

Jehan mengernyit, "Malu kenapa?"

Rasel menunjuk lehernya. "Mamah sama Mbak Kana liat ini terus aku keceplosan bilang kalau kamu yang buat" ia merengek seperti anak kecil yang sedang mengadu.

Jehan pun terkekeh gemas. Tampang Rasel saat ini lucu sekali. Ia mengangkat sedikit dagu Rasel, ingin melihat tanda buatannya dan ya ia membuat tiga tanda hanya di leher saja. Jehan puas saat melihatnya.

"Lagian kenapa kamu bikin tanda disini sih?!" gerutunya.

"Biar orang-orang tau kamu milik aku." jawab Jehan disertai kecupan singkat di rahang Rasel.

"Jehan, aku lagi serius!" sentak Rasel kesal karena tindakannya, kembali membuat Jehan terkekeh.

"Aku juga serius sama omongan aku–"

"Jehan, please?!"

"Ya terus aku harus gimana, sayang?"

Rasel masih merengek sambil memegang tangan suaminya. "Kayaknya aku ngga bisa berhadapan sama mamah atau Mbak Kana,"

Jehan tersenyum, "Just take it easy. Lagian mereka pasti ngerti, ngga usah mikir yang aneh-aneh."

"T-tapi.." Rasel pun hanya menghela nafas pasrah. "Yaudahlah, aku pasrah aja." 

Melihat raut cemberut di wajah Rasel berhasil mengundang kekehan Jehan. "Why don't you come with me?"

Rasel menggeleng tanpa berpikir lama, "Ngga mau. Aku ngga bisa main golf, nanti malah malu-maluin kamu."

"Raselia," kata Jehan dengan suara beratnya, menandakan ia tidak suka dengan ucapan Rasel barusan.

"Iya maaf.." cicit Rasel ketika dirinya menyadari bahwa ada yang salah dari ucapannya. 

Jehan paling tidak suka dengan kalimat yang merendahkan diri Rasel sekalipun wanita itu sendiri yang mengatakannya. Satu kata saja bisa membuat Jehan kesal dan marah. Rasel sudah memahami itu jadi ia berusaha sangat keras agar tidak merendahkan dirinya sendiri lagi.

"Ngga maksud gitu kok, aku kan emang ngga bisa main golf, Je. Dan kamu tau sendiri kalau aku ngga gampang bergaul sama orang baru jadi kalau aku ikut kamu kesana nanti aku ngga ngapa-ngapain kan sama aja, bosen."

"Terus kamu mau ngapain hari ini?"

"Ngga tau," ujar Rasel sambil memanyunkan bibirnya. "Lagian aku ngga bisa kemana-mana juga selama kondisi leher aku kayak gini,"

"Hei, kamu sendiri yang minta aku bikin tanda disitu. Lupa, hm?" goda Jehan sambil menyeringai.

"Masa sih?!" sentak Rasel tidak percaya.

"Oh mau aku reka ulang gimana? 'Je, can you please'--Mmph"

Rasel sontak melotot dan menutup mulut suaminya, "Heh! Yaudah iya aku inget dengan sangat jelas jadi jangan kayak gitu, aku malu–"

Jehan tertawa gemas seraya menurunkan tangan istrinya yang sempat menutup mulutnya tadi. "Kamu lucu kalau lagi salah tingkah gini."

Wah, Rasel semakin salah tingkah karena ucapan suaminya barusan ditambah pria itu mengacakkan puncak kepalanya.

"Come on, let's have some breakfast"

Rasel reflek menggeleng dengan raut sedikit cemberut sambil menahan tangan Jehan yang hendak menariknya. 

"Aku masih malu karena yang tadi" ia merengek lucu seperti anak kecil. 

"Aku udah bilang mereka pasti ngerti, just forget about it." Namun Rasel tetap menggeleng.

Jehan menatap lekat sang istri di hadapannya ini. "Sel, aku ngga mau ya hanya karena ini kamu ngelewatin sarapan."

"Udah ngga ada mood sarapan juga," gumam Rasel sangat pelan.

"What did you say?"

"Nothing. Yaudah iya, ayo sarapan." lagi-lagi Rasel dibuat pasrah oleh keadaan. Sementara Jehan mengulas senyumnya.

"Tapi tunggu–"

"Kenapa lagi, hm?"

"Mau peluk dulu," Rasel merentangkan kedua tangannya, meminta sebuah pelukan dari sang suami dengan puppy eyesnya.

Emang boleh semenggemaskan ini?

Sial, tidak bisa sedetikpun Jehan melunturkan senyum yang menampakkan lesung pipinya. Rasel benar-benar kelewat gemas pagi ini, Jehan hampir gila rasanya.

"Sini–" Dengan senang hati Jehan menerima permintaan istrinya.

Rasel nyengir lebar, sangat senang karena keinginannya dikabulkan. "Yes! Pelukan pagi!!" katanya ceria sekali.

Jehan terkekeh gemas seraya wanita itu masuk ke dalam pelukannya. "Aku baru tau kamu bisa semanja ini,"

"Aku ngga manja!" elak Rasel di dalam pelukan sambil memejamkan matanya dan menghirup aroma khas dari parfum mahal milik Jehan.

"Iya, percaya kok" Jehan merespon dengan cibiran mengalah saja.

Dari cara Rasel memejamkan mata sambil tersenyum menunjukkan bahwa dia terlalu nyaman berada di pelukan erat tersebut. Begitupula dengan Jehan, dari cara pria itu mengelus kepala Rasel dengan sangat tulus menunjukkan bahwa ia sangat menyayangi wanita di dalam pelukannya ini. 

"Sebelum jadwal golf kamu, can you drive me home first? Aku mau dirumah aja seharian ini" kata Rasel di dalam dekapan.

"Kenapa ngga disini aja, hm?"

"After what happened earlier? Ngga mau ya! Mau ditaruh dimana coba muka aku?" Rasel mendengus kasar.

Jehan terkekeh lalu mengiyakan permintaan sang istri. "Yaudah iya, nanti aku minta Alaya atau Natalie ke rumah biar kamu ngga bosen sendirian"

"Aku boleh minta Jisya ke rumah juga?"

"It's up to you, sayang. Asal jangan Lorenza! Awas aja ya kamu–"

Rasel mendelik, "Kamu pikir aku segila itu apa?"

"Iya." jawab Jehan langsung lalu dilanjutkan, "Inget ngga siapa yang nekat ketemu Lorenza sendirian tanpa sepengetahuan aku?"

"Ck! Ok, fine. You win." decak Rasel yang lagi-lagi membuat Jehan terkekeh.

"Oh iya!" Rasel memekik ketika ia teringat sesuatu. Ia sedikit melepaskan pelukan dan menatap Jehan yang sedang menatapnya juga.

"Apa?"

"Kecupan pipi aku juga belum pagi ini, mana?" pintanya seraya mengarahkan pipi tembamnya tepat di depan wajah Jehan.

Jehan menyeringai, otaknya memikirkan satu ide jahil. "Ngga mau," tolaknya langsung.

Rasel melotot heran, "Ih kenapa, Je?" nada suaranya terdengar sangat kecewa. Wajahnya juga langsung cemberut tidak terima.

"You haven't given me a morning kiss either, this morning." balas Jehan dengan salah satu alis yang terangkat.

"Udah ya tadi sebelum aku mandi! Kamu jangan pura-pura lupa deh," elak Rasel.

Jehan menggeleng tidak setuju. "Itu sogokan biar aku ngga marah, beda."

Rasel mendengus kesal karena sikap Jehan pagi ini cukup menyebalkan. "Yaudah iya! Tapi ini dulu–" ia menunjuk-nunjuk pipinya.

Jehan pun tertawa gemas melihat Rasel saat ini. Kalau begini terus mana bisa ia melanjutkan ide jahilnya yang muncul tadi.

Ya Tuhan, Jehan benar-benar akan gila jika Rasel terus menunjukkan sisi menggemaskan seperti ini.

Cup

"Satu lagi, " Rasel memalingkan kepalanya, meminta kecupan lagi di sisi lain pipinya.

Cup

Setelahnya Rasel tersenyum puas dan senang, karena dia memang sangat menyukai ketika pipinya dikecup oleh sang suami. Sehingga hal tersebut sudah menjadi rutinitas Rasel setiap paginya.

"Giliran aku–"

Rasel sedikit berjinjit lalu mengecup lama bibir suaminya. Hanya kecupan tidak lebih, lalu setelah itu keduanya saling melempar senyum.

"Aku sayang kamu, Sel."

"Aku sayang kamu, Jehan."

Mereka mengucapkannya bersamaan.

°°°

Jehan dan Marven berjalan berdampingan menuju sebuah toko kue yang bernuansa kebarat-baratan dengan perpaduan warna coklat muda, putih dan hitam ditambah tulisan 'Serene Sweets' yang terpampang jelas diatas.

Benar, itu toko kue milik mendiang ibunda istrinya alias ibu mertuanya.

Kedatangan Jehan bersama Marven saat ini bertujuan untuk mengurus persoalan hak milik yang seharusnya jatuh ke tangan Rasel sesuai dengan isi surat wasiat tertulis mendiang.

"Keluarga Abiyaksa ini cukup keras, Je. Vanessa udah bawa bukti kuatnya bahkan gue udah minta Darren dateng buat nunjukkin keaslian surat wasiat tapi mereka tetep ngga percaya,"

Marven membuka pintu toko dan membiarkan bosnya masuk lebih dulu. "Gue bisa ngerti sekarang kenapa Rasel seenggan itu buat ketemu mereka."

Saat ini keadaan toko tidak terlalu ramai, hanya tiga sampai empat pelanggan serta mereka berdua dan Vanessa. Ya mungkin karena cenderung masih pagi maka dari itu situasi toko belum seramai seperti yang biasanya. 

Ini pertama kalinya Jehan datang langsung ke toko ini karena selama ini dirinya hanya mantau melalui Marven saja. Dan kesan pertama yang Jehan rasakan adalah toko kue ini sangat indah dan wangi sekali. Jehan takjub dengan desain interiornya.

"Je, lewat sini–" celetuk Marven membuyarkan lamunan Jehan dan mengikuti langkah Marven.

Rupanya Jehan masuk lagi ke sebuah ruangan yang hanya bisa dilalui oleh pegawai toko saja. Ia mengasumsikan pertemuan dengan keluarga Abiyaksa berlangsung disitu. Marven membuka pintunya dan Jehan langsung melihat Vanessa dan Darren duduk berhadapan dengan empat anggota keluarga Abiyaksa.

Jehan sedikit menundukkan kepalanya disertai senyum yang sangat tipis ke arah para Abiyaksa itu sebelum duduk tepat di samping Vanessa, pengacara kepercayaan Kanagara yang sudah bekerja lebih dari dua puluh tahun.

Meski dengar-dengar mereka menyebalkan terutama kepada istrinya, namun Jehan harus tetap bersikap sopan dan menghargai mereka. Ya bagaimanapun juga mereka adalah keluarga Rasel sehingga dapat dibilang keluarga Jehan juga bukan?

"Kita bertemu lagi, Nak Jehan." ucap wanita yang paling tua di antara mereka berempat. Jika mengingat penjelasan Rasel dan Marven, beliau ini namanya Fanasha Abiyaksa, kakak dari Farez Abiyaksa. 

"Saya tidak pernah mengira akan berurusan lagi dengan Kanagara sampai dua pengacara ini tiba-tiba datang dan berkata omong kosong tentang hak milik toko, apa maksudnya ini, Nak Jehan?"

Jehan tersenyum, menampilkan lesung pipinya, "Sepertinya pengacara saya sudah menjelaskan dengan jelas maksud kami datang kesini,"

"Saya tau selama ini keluarga kalian yang mengelola toko kue ini tapi menurut surat wasiat ayah dan ibu mertua saya mengatakan hak toko ini seharusnya jatuh ke tangan istri saya, Rasel."

"Dan secara hukum toko kue ini masih terdaftar dengan nama Aretha Abiyaksa, Tuan" Vanessa menimpali supaya Jehan tidak melewatkan satu detail pun.

"Kalau begitu mari untuk tidak membuat masalah ini menjadi lebih rumit–"

"Farez tidak pernah mengatakan apa-apa tentang ini apalagi surat wasiatnya" Fanasha sengaja memotong perkataan Jehan.

"Maaf, tapi itu bukan urusan saya." jawaban Jehan ini berhasil memunculkan amarah di benak mereka berempat.

"Saya datang bersama dua pengacara ini hanya untuk memastikan amanah kedua mertua saya yang kebetulan juga mereka adalah pemegang saham KNG's Group kepada Rasel."

Keempat anggota Abiyaksa itu sangat terkejut dengan ucapan Jehan barusan. "Pemegang saham?"

"Betul. Pak Farez dan Bu Aretha memiliki saham di perusahaan KNG's Group," timpal Darren membenarkan.

"Dan kepemilikannya berada di posisi tujuh besar dengan total 7%." lanjutnya.

"Lalu apa yang sudah Farez siapkan untuk kami, keluarganya, dengan kepemilikan itu?"

"Berdasarkan surat wasiat yang ditulis, tidak ada. Kepemilikan saham itu beserta aset-aset lain termasuk toko ini diwariskan seluruhnya kepada Nyonya Rasel." jawab Darren.

"Apa? Tidak mungkin,"

Fanasha berdecak kecil seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh area ruangan. Jehan menebak beliau mencari keberadaan Rasel, ia tersenyum miring dalam diam karena orang yang mereka cari tidak ada disini.

"Rasel meminta saya yang mengurus ini dan juga mewakilinya jadi dia tidak akan datang," sahut Jehan, sontak membuat Fanasha menghela kecewa.

Darren mengeluarkan koper kecil yang berisi kertas berharga yakni surat wasiat milik Farez dan Aretha Abiyaksa. "Ini surat wasiat yang ditulis langsung oleh Pak Farez dan Bu Aretha"

"Dari sini kami tidak melihat para mendiang menyinggung hal lain selain Nyonya Rasel" Vanessa kembali menimpali yang memang berniat menekankan sesuatu.

"Mohon maaf tapi satu-satunya ahli waris yang tertulis hanya Nyonya Rasel." Darren pun menambahi sehingga keempat anggota keluarga Abiyaksa itu menggeleng tidak percaya.

"Tidak masuk akal. Farez tidak akan mungkin menelantarkan kami semua begitu saja," elak Fanasha tidak terima.

Darren tersenyum tipis, "Saya hanya mengikuti perkataan Pak Farez dan Bu Aretha, selebihnya diluar kehendak saya"

"Kami bahkan tidak tau apakah surat wasiat itu asli atau tidak, jadi untuk apa kami menanggapi ini?"

"Secara teknis, kami tidak memerlukan tanggapan atau izin dari Ibu karena akta pendirian toko ini masih dengan nama Bu Aretha" kata Darren memberikan jawaban selembut mungkin.

Darren dan Vanessa tidak perlu membuktikan keaslian dari surat wasiat milik Farez Abiyaksa dan Aretha Abiyaksa. Hal ini dikarenakan akta toko yang terdaftar masih menggunakan nama Aretha sehingga secara teknis dialah pemilik toko kue ini.

Kedua pengacara itu bisa saja menggunakan cara yang lebih agresif agar tidak buang-buang waktu. Namun Jehan ingin membicarakannya secara baik-baik karena bagaimanapun juga mereka berempat adalah keluarganya.

Dengan begitu pembicaraan ini dilakukan sebagai bentuk rasa menghargai sesama keluarga.

Vanessa berdehem lalu memandangi satu per satu anggota keluarga Abiyaksa di depannya yang sudah membuatnya muak semenjak dua jam yang lalu.

"Jika ibu dan yang lainnya terus bersikap seperti ini, saya akan menganggap kalian melanggar pasal 385 KUH Perdata karena sengaja menghalangi pemilik sah toko ini untuk mengambil alih hak miliknya" ucap Vanessa dengan penegasan, membuat siapapun yang mendengarnya merasa terancam.

Jehan dan Marven hanya diam memperhatikan. Biarkan Vanessa dan Darren sebagai ahli dalam bidang ini untuk mengatasinya.

"Saya perlu dokumen-dokumen internal yang terkait untuk prosedur perubahan hak milik dan saya harap Ibu serta yang lainnya dapat bekerja sama." kata Vanessa menambah kesan ancaman yang dirasakan oleh keempat Abiyaksa.

Fanasha menghela nafas panjang. Pasrah dan mengalah dengan situasi. Ia memberi isyarat kepada yang lainnya lalu berkata, "Dokumen yang kalian perlukan ada di brankas rumah"

"Kalau begitu kami akan kembali besok lusa untuk mengambil dokumen itu.  Jadi tolong siapkan dokumennya dalam dua hari dan ini kartu nama saya–" Vanessa menyerahkan satu buah kartu namanya kepada Fanasha.

"Jika ada apa-apa yang berkaitan dengan proses berlangsung, segera hubungi saya."

Jehan pun berdiri bersamaan dengan Vanessa. Ia menundukkan sedikit kepalanya sebelum pergi dari sana sebagai bentuk pamitnya tanpa mengucapkan apa-apa. Ia agak menyayangkan hubungan mereka harus berakhir seperti ini.

"Bu, kalau begini caranya kita akan benar-benar kehilangan sumber mata pencaharian kita selama ini–"

"Diam. Masalah itu biar Ibu pikirkan nanti yang jelas kita tidak boleh lagi mengambil apa yang bukan milik kita."

"Ibu percaya Om Farez melakukan itu kepada kita semua? Bagaimana jika Aretha yang menghasutnya? Ibu tetap diam aja?"

"Ibu bilang diam."

Samar-samar Jehan mendengar pembicaraan singkat antara anggota Abiyaksa itu. Ia sontak membalikkan badannya, "Jangan khawatir"

"Meskipun pemiliknya sudah berubah, kalian harus tetap mengelolanya" kata Jehan.

Fanasha dan ketiga yang lainnya mengernyit bingung. Wajah mereka semua kini dipenuhi pertanyaan yang meminta penjelasan maksud dari perkataan itu.

Vanessa mengangguk menyetujui ucapan Jehan tadi, "Benar. Nyonya Rasel mengizinkan kalian tetap disini untuk mengurus dan mengelola toko seperti yang kalian lakukan selama ini,"

"Hanya saja mungkin akan ada banyak perubahan dan kegiatan operasional toko ini akan dibantu oleh saya dan Tuan Jendra."

Jehan tersenyum tipis saat melihat ekspresi lega terpancar jelas di masing-masing wajah mereka. Ia merogoh saku dalam jasnya, mengeluarkan kartu namanya dari sana lalu menyimpannya di atas meja tepat di hadapan Fanasha.

"Diluar masalah ini kalau Ibu dan yang lain butuh bantuan apapun itu, bisa hubungi saya atau asisten pribadi saya–" ucap Jehan yang disertai senyum tulusnya.

Mendengar Jehan mengatakan hal itu, Marven sontak memberikan kartu namanya juga dan meletakkannya di samping kartu nama Jehan.

"Tidak perlu sungkan. Bagaimanapun juga kalian tetap keluarga istri saya dan keluarga Rasel adalah keluarga saya juga." lanjut Jehan.

Fanasha menundukkan kepalanya. Rasa malu tiba-tiba muncul dibenaknya kala lelaki yang berasal dari keluarga konglomerat itu berucap begitu.

"Nak Jehan, bagaimana dengan kabar Rasel?" tanyanya mengesampingkan rasa malu yang dirasakan.

"Dia baik-baik aja kok dan saya yakin suatu saat nanti Rasel akan datang menemui kalian," jawab Jehan.

"Kalau begitu terima kasih untuk waktunya pagi ini, saya pamit dulu karena masih ada yang harus saya urus." Jehan pun pergi meninggalkan ruangan bersama Marven uang mengikutinya di belakang.

"Terima kasih untuk kerjasamanya, Bu Fanasha Abiyaksa." Tak lama Vanessa dan Darren pun menyusul kepergian Jehan setelah merapikan barang-barang mereka.

Fanasha dan yang lainnya diam termenung, meratapi dua kartu nama di meja dengan perasaan campur aduk. Namun rasa bersalah kepada Rasel yang dirasakan lebih besar.

Rasel memiliki kehidupan yang sangat baik dibandingkan dengan mereka. Bagaimana mereka bisa berhadapan dengan Rasel nanti?

°°°

Jisya membuka tutup susu kaleng kemudian menyerahkannya kepada Rasel yang sedang sibuk melahap makan siang di depannya. Ia berdecak kesal melihat temannya makan tapi tetap mengurus tabnya.

"Ck! Fokus makan dulu, Sel. Urusan kerjaan nanti lagi" cetusnya.

Rasel menggeleng, "Gue punya kesempatan ikut operasi jantung buatan yang dipimpin Mbak Kana dan gue ngga mau nyia-nyiain itu"

"Lo lupa ya siapa ketua dewan rumah sakit ini? Mertua lo, Sel. Dan lo itu adik ipar Mbak Kana jadi gue yakin kesempatan itu bakal selalu dateng buat lo, tenang aja kali–"

"Mbak Kana bilang, dia hati-hati banget buat pilih asisten utamanya. Jadi meskipun gue adik iparnya kalau gue ngga memenuhi penilaiannya ya Mbak Kana ngga akan milih gue jadi asisten utamanya,"

"That's why I have to work hard to prove it, kalau gue layak jadi asisten utamanya."

"Gue tau lo berusaha keras pasti tujuannya baik. But don't be too hard on yourself, okay?" Jisya tersenyum penuh arti sebelum melanjutkan aksi makannya.

Rasel membalas senyumannya dan mengangguk. "Perhatian banget sih lo, gue baper deh–" kekehnya.

Lagi-lagi Jisya berdecak sebal dan merotasikan bola matanya, "Ck!"

Mereka kembali sibuk dengan makannya masing-masing. Tidak ada obrolan hanya suara ricuh kafetaria yang mengelilingi keduanya. Suasana ini berlangsung selama beberapa menit saja karena tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan anak kecil ke meja mereka.

"Aunty,"

"Eh?" Rasel memekik kaget namun ia tersenyum dengan cepat saat menyadari yang menghampirinya ini anak kecil.

"Kenapa, sayang?"

"Aunty doktel ya?" tanyanya cadel, sudah menjadi hal yang lumrah untuk seorang anak perempuan.

Rasel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Iya aunty dokter, kenapa? Kamu sakit?"

Anak kecil itu menggeleng gemas, "Nana ngga sakit apa-apa" Rasel dan Jisya pun terkekeh. Lucu sekali wajahnya.

"Mama atau papa kamu dimana, hm? Jangan keliaran sendirian bahaya--" kali ini Jisya yang berbicara.

"Daddy lagi kelja. Nana kesini sama mommy aja, mommy lagi ada disana" jawabnya sambil menujuk ke arah mini market.

"Nama kamu Nana?" Anak kecil itu mengangguk sebagai responnya.

Kalau begitu namanya Nana. Meski Rasel dan Jisya percaya kalau itu hanya nama panggilan saja. Dari perawakannya anak itu sepertinya berusia 4 atau 5 tahun.

"Bu doktel, Nana mau ke mommy dulu, dah!"

Rasel membalas lambaiannya, "Dadah! Hati-hati ya, Nana."

"Hati-hati, Nana!"

Jisya dan Rasel mengikuti arah kepergian anak kecil yang bernama Nana itu, memastikan dia benar-benar bertemu dengan ibunya.

"Punya anak tuh lucu ya," celetuk Jisya tersenyum melihat Nana memeluk sang ibu tepat di depan mini market.

"Gue pengen deh punya anak. Tapi dampingan aja belum punya, sedih amat"

"Sifat keibuan lo udah muncul, Sel. Lo sama Jehan ngga ada niatan punya anak?"

Rasel kembali dibuat tersedak kali ini ia sedang mencoba meneguk susu kaleng miliknya. Sialan, mengapa rasanya orang-orang hanya mempertanyakan hal itu?

Dua hari yang lalu, keluarga iparnya dan kini sahabatnya.

"Kalo kata gue cepet-cepet deh karena gue udah ngga sabar liat dedek bayi alias ponakan gue," Jisya terkikik sembari membayangkan ketika momen itu benar terjadi.

"Doain aja, gue ngisi" ucap Rasel lanjut menyantap makanannya.

"Ya pasti-- Holy shit!!" Jisya memekik kaget ketika otaknya menangkap sesuatu dari ucapan Rasel barusan. "Lo sama Jehan--"

Rasel menatap sahabatnya sambil mengangkat salah satu alisnya dan tidak berhenti mengunyah. Ia tau persis apa yang akan Jisya tanyakan dan Rasel pun akan menjawabnya sejujur mungkin, toh di meja ini hanya ada mereka berdua.

"Kalian udah ngelakuin 'itu'?"

Tanpa berpikir lama Rasel mengangguk sebagai jawabannya.

Jisya sontak menutup mulutnya yang rasanya ingin teriak namun harus ditahan mengingat mereka masih berada di tempat yang cukup ramai. Kabar ini sangat membuat Jisya kelewat senang.

"Kalo gini ceritanya, gue harus selalu doain lo biar cepet ngisi!" seru Jisya yang terlihat antusias. Lebih antusias jika dibandingkan dengan Rasel sendiri.

"Geez, I'm happy for you, Sel. Really. Lo sama Jehan udah berhasil sampe tahap ini, gue ikut terharu"

Rasel hanya tersenyum menanggapi ucapan sahabatnya. Ia senang jika kabar ini membuat Jisya senang juga dan Rasel merasa sangat beruntung memiliki teman yang suportif seperti Jisya. Hanya satu kurangnya, Lola tidak ada disini.

Bayangkan jika Lola berada disini dan mengetahui kabar ini. Apakah dia akan senang juga?

Meskipun Rasel sering teringat sosok Lola, namun tenang saja karena seiring berjalannya waktu, perlahan Rasel mulai menerima kebenaran dan menjalaninya.

Kini Rasel bertekad ingin menyelesaikan semuanya. Tidak ada dendam, tidak ada misi yang harus mempertaruhkan nyawa intinya semua bahaya yang bisa menyebabkan pertumpahan darah harus selesai.

Rasel ingin hidup normal seperti kehidupan rumah tangga pada umumnya dan memiliki anak menjadi salah satu keinginan utamanya saat ini.

to be continued~~

angzay udah di unboxing ni😎👀

maap ye narasi adegannya ga sedetail itu karena gue masih polos ges🙏🏻 kalian jg masi pada bocah kan, ngakuuu ckckck. lebih tepatnya gue takut sih kalo terlalu detail ntarr kena report terus ilang ni cerita😔 jadii mohon maklum ya fren<3

hayoo siapa yg ngikutin cerita ini dari awal dan sekarang udah sampe tahap Rasel-Jehan nya ekhem²?? Buahahaha

untuk cerita ini sebenernya bisa dibilang hampir selesai (ya maybe sekitaran 10an part lagi) dan gue kira bisa ditamatin selama libur semester ini tapi nyatanya gabisa:(

tp gapapa gue yakin kalian semua ini kesabarannya tidak setipis tisu kena air terus dibagi 10, ya kan? ih love u deh.

terus pantengin sampe cerita ini tamat ya kawan-kawanku💗

ok bye, see u di part selanjutnya💋

Continue Reading

You'll Also Like

86.6K 8.2K 33
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...
206K 4.8K 19
Warn: boypussy frontal words 18+ "Mau kuajari caranya masturbasi?"
302K 26.6K 51
Tidak pandai buat deskripsi. Intinya ini cerita tentang Sunoo yang punya enam abang yang jahil. Tapi care banget, apalagi kalo si adek udah kenapa-ke...
76.7K 8.3K 86
Sang rival yang selama ini ia kejar, untuk ia bawa pulang ke desa, kini benar-benar kembali.. Tapi dengan keadaan yang menyedihkan. Terkena kegagalan...