Between Jersey & Macaron (END...

By jhounebam

205 37 144

Abelle Estania, adalah seseorang yang berjuang demi menggapai mimpinya untuk masuk DBL. Bukan orang lain yang... More

Notes
Visual
Bab 1 Kejutan di Depan Rumah
Bab 2 Kesan Pertama dari Sup
Bab 3 Persaingan Sengit
Bab 4 Macaron Pelangi
Bab 5 Tim Tak Terduga
Bab 6 Wajah Sekolah
Bab 7 Rahasia Manis
Bab 8 Lemparan Bebas
Bab 9 Hampir Redup
Bab 10 Jus Stroberi
Bab 11 Kecewa yang Tersembunyi
Bab 12 Ini Bukan Keberuntungan
Bab 14 Ini Tak Mudah
Bab 15 Pertandingan Dimulai
Bab 16 Kenyataan yang Tak Diinginkan
Bab 17 Ketakutan Menjalar
Bab 18 Saatnya Mengakhiri Semua Ini
Bab 19 Sedikit Lagi
Bab 20 Hari Pembalasan
Bab 21 Terlalu Singkat
Bab 22 Alasan untuk Sebuah Senyum
Bab 23 Menjalankan Mimpi
Bab 24 Taman Malam
Bab 25 Ujung Gua yang Sempit
Bab 26 Biarkan Aku Pergi
Bonus Chapter
Notes <3

Bab 13 Untuk yang Terakhir, Sungguh

4 1 8
By jhounebam

“Puas? Udah kenyang?”

Abelle menjawab dengan cengiran.

Abelle telah menghabiskan makanannya, mereka pun berjalan keluar. Tidak ada kata lain yang terlintas di kepala Abelle selain ‘pulang’. Tetapi ia langsung teringat akan keberadaan chef itu. Abelle masih kesal karena omongannya tadi. Ia menjadi tidak mood jika orang yang pertama kali ia lihat saat pulang ke rumah adalah Ryan.

“Woi! Kenapa bengong?” Steven mengibaskan tangan di depan wajah Abelle.

“Eh, nggak …”

“Habis ini kamu pulang?” 

“Iya.” Abelle menjawab pendek.

“Nggak kemana lagi gitu?”

“Ya, pengen, sih. Tapi dari sini ‘kan jauh kemana-mana— eh? Temen-temenmu pada kok nggak ada?” Abelle menunjuk lapangan yang tadi, mendapati tidak ada seorangpun di sana. Steven tampak tidak terkejut.

“Mungkin balik duluan. Mereka emang biasa begitu.” Abelle merespon dengan ber-ohh.

“Ya udah kalo gitu. Makasih traktirannya by the way, aku pu—”

“Gimana kalo aku ajarin free throw sambil merem?”

“Hah?” Abelle hampir mengorek telinganya, takut salah dengar perkataan Steven barusan.

“Ayo! Mumpung lapangan kosong. Siapa tahu kepake pas sparing nanti, ‘kan?” Steven berlari ke lapangan meninggalkan Abelle yang membisu di tempat.

“Nggak usah ngada-ngada deh, mana mungkin aku lempar bola sambil merem di tengah sparing?” Abelle menyusul berlari sambil mengatur napasnya normal kembali.

“Ku kasih tahu, ya. Trik ini alasanku kenapa aku selalu menang tiap sparing.” Abelle tertawa keras mendengarnya. Ia hampir—bukan— ia sama sekali tak percaya dengan menutup mata bisa menghasilkan poin. Hanya pemain kelas dunia profesional saja yang bisa mengatakan itu sambil membusungkan dada.

“Kok aku ragu, ya?” kata Abelle dengan melipat tangan di depan dada.

“Nggak inget pas di lapangan sewa itu?”

“Lagi beruntung itu.”

“Terserah deh mau bilang apa, nih.” Tanpa aba-aba Steven melempar bola basket yang disimpan di pos dekat lapangan ke arah Abelle.

Dug! Karena kuatnya lemparan Steven, bola itu sampai mengeluarkan bunyi saat mendarat di tangan Abelle.

“Santai, kali!”

“Oke, pertama kita belajar free throw dulu. Kamu berdiri di sini,” Steven menyuruh Abelle berdiri di tempat yang ia tunjuk. Dengan malas-malasan Abelle menurutinya.

“Pegang bolanya yang kuat kayak gini, dan harus seimbang. Kaki agak diturunin dikit, dan sesuaiin arah bola ke ring dari matamu.”

Abelle terkejut saat Steven memegang tangannya saat mengajarinya mengarahkan bola ke ring. Tidak, Abelle tidak boleh menjadi kepiting rebus hanya karena ketidaksengajaan sepele ini.

“Sekarang coba lempar, nggak usah merem dulu.”

Abelle mencoba melemparnya sesuai arahan Steven. Ternyata berhasil!

Abelle sendiri terkejut dengan lemparannya.

“Itu bisa,” celetuk Steven.

Dengan semangat Abelle berusaha untuk mencoba lagi. Ia menggunakan instruksi yang tadi diarahkan Steven. Dua kali lemparan dan dua-duanya masuk. Abelle menjerit girang.

“Kok bisa, sih?” Abelle masih tak percaya.

“Dicoba terus sampe lancar.” Tanpa bicara lagi Abelle langsung melatih lagi lemparannya itu agar bisa lebih cepat. Steven memperhatikannya sambil tersenyum samar.

“Coba sekarang merem,” suruh Steven. Abelle skeptis, pikirnya lemparannya bisa miring jika ia menutup mata.

Benar saja, lemparannya tidak masuk.

“Susah kalo merem. Tapi trik mu kayaknya cocok di aku.”

Setelah dua puluh menit dipenuhi hanya dengan latihan free throw, Abelle mulai lelah. Badannya mulai berkeringat dan tenggorokannya mulai kering, tapi sayang ia tidak membawa botol minum.

“Gimana? Tips dari aku ada gunanya juga ‘kan?” tanya Steven di tengah-tengah Abelle yang masih mengatur napas kembali normal.

“Boleh  juga,” jawab Abelle pendek.

“Oke, lima menit lagi kita three point, ya.”

Anehnya, kini Abelle nurut-nurut saja dengan omongan Steven. Padahal beberapa menit yang lalu hampir semua perkataan Steven tidak ia percaya karena Abelle melihat orang itu hanya sebagai laki-laki yang sok, tukang pamer, dan menyebalkan.

Tapi setelah ia menyentuh bola basket, pandangan Abelle terhadap Steven berubah. Abelle mengakui dalam hatinya bahwa Steven terlihat keren saat ia mulai bermain basket.

Sebenarnya, Abelle sudah terpesona saat pertama kali bertemu Steven, dan semakin terpukau karena trik melempar bola sambil menutup matanya itu.

Abelle belum pernah melihat orang lain melakukan itu sebelumnya.

“Yuk, three point!” Seruan Steven membuyarkan lamunan Abelle.

Setelah sadar, Abelle bergidik geli karena telah memikirkan hal itu di kepalanya.

“Pertama, kamu berdiri di—”

“Nggak usah ngarahin posisi berdiri, udah tau, kali,” ucap Abelle ketus.

Steven tertawa, “iya, iya, deh. Oke, pertama, pegang bola dengan posisi tangan begini.”

Sekali lagi Abelle menahan mode kepiting rebus dalam dirinya agar tak muncul di permukaan pipinya. Steven mengarahkan tangan yang memegang bola di atas kepalanya, mengarahkan posisi kaki, dan mencontohkan bagaimana harus melompat saat melempar bolanya.

“Ngerti?” Abelle menjawab dengan mengangguk.

“Sekarang, coba lempar.”

Abelle menghirup napas lalu menghembuskannya. Lemparan pertama, tidak masuk. Bolanya agak sedikit miring dari ring.

“Coba lagi.”

Lemparan kedua, gagal lagi. Tubuh Abelle agak berbelok saat melompat menyebabkan bola tidak masuk. Abelle menggerutu.

“Ayo, coba lagi.” Steven memberi semangat sambil mengarahkan.

Akhirnya, lemparan ketiga masuk. Abelle melayangkan tinju ke udara dan mengatakan, “Yes!”

Steven refleks ikut bersorak mendengarnya.

Setelah lima belas menit diisi dengan three point, akhirnya Abelle berhenti karena lelah. Ia mengatur napasnya.

“Gimana? Lumayan, ‘kan?”

“Ya, boleh lah. Semoga pas sparing aku bisa three point kayak tadi.”

“Pasti bisa! ‘Kan udah berguru sama pemain basket profesional.”

“Sombong,” balas Abelle sambil memutar bola matanya.

“Ngomong-ngomong, kamu pulang naik apa?” tanya Steven setelah selesai tertawa.

“Bus.”

“Oh. Mau aku anterin?”

Hah?

Tunggu— apa?

“Anterin? Naik apa?”

“Tuh.” Steven menunjuk sesuatu dengan telunjuknya.

Demi apapun Abelle kaget bukan main.

Ia mengucek matanya memastikan ia tak salah lihat.

Sampai matanya berair, Abelle ternyata tak salah lihat. Terparkir sebuah motor gede hitam di samping pos lapangan.

“Naik … itu?”

“He-em.” Steven mengangguk.

“Jujur, aku belom pernah naik moge. Baru kali ini juga bisa liat moge dari deket. Gila, keren banget! Ini beneran punyamu? Sejak kapan kamu nyetir beginian?” Abelle berlari mendekat dan meraba fisik motor itu sambil terpana.

Sementara si pemilik motor tersenyum karena menemukan alasan baru untuk pamer lagi.

“Iya, lah. Itu motor kebanggaanku, tau. Aku udah bisa nyetirnya dari SMP kelas tiga.”

Ck, ck, ck. Apa nggak dimarahin kalo di sekolah?”

“Ya nggak kubawa ke sekolah juga, lah.”

“Tapi—”

“Duh, banyak nanya, deh. Jadi naik apa nggak, nih?”

“Mau, mau!”

Tanpa berkata lagi, Steven langsung menyalakan mesin motornya itu. Suaranya terdengar berkekuatan penuh dan lebih keras daripada mesin motor biasa. Abelle yang kelewat bersemangat lagi-lagi terpukau melihatnya. Abelle naik dengan hati-hati ke atas jok motor berukuran kecil dan menukik ke atas itu. Tangannya berpegangan pada bahu Steven.

“Siap?”

“Oke!”

Setelah memasang helm full face hitamnya, Steven langsung melaju tancap gas. Dorongan kencang yang hampir membuat terjungkal ke belakang membuat Abelle langsung berpegangan pada bahu Steven lebih erat lagi. Terpaan angin langsung mengenai wajah Abelle. Ia tersenyum lebar karena baru pertama kali memiliki pengalaman seru seperti ini.

Ternyata menaiki motor gede tidak seburuk yang dipikirkan orang-orang. Ini seru, sangat. Di saat yang sama sensasi menegangkan yang terasa menambah pacu adrenalin seperti merasakan naik turunnya wahana roller coaster. Gaya berbelok yang sangat miring juga membuat detak jantung berdegup kencang.

“Eh, lupa nanya. Rumahmu dimana?”

“Apa? Nggak denger!”

“Rumah dimana!”

“Hah?”

Abelle tertawa karena ia tak bisa mendengar omongan Steven. Suara yang terdengar di telinganya hanyalah deru angin yang kencang. Mereka berakhir saling berteriak karena sama-sama tidak mendengar.

“Rumah kamu dimana?” Steven akhirnya membuka kaca helm nya.

“Oh, bilang dong!” Abelle tertawa lagi sambil menepuk-nepuk bahu Steven.

Abelle pun menyebutkan alamatnya beberapa kali sampai terdengar jelas di telinga Steven. Lima belas menit kemudian, mereka sampai di depan gerbang rumah Abelle. Waktu perjalanan menjadi setengahnya dengan naik motor dibandingkan dengan bus tadi.

“Gila! Suaraku hampir abis teriak mulu daritadi,” Abelle turun dari motor sambil tertawa. Selain berteriak, Abelle juga tidak berhenti tertawa selama mencoba bicara dengan Steven di tengah suara berisik angin.

“Lagian tadi nggak nanya alamatnya sebelum berangkat.”

“Kok aku? ‘Kan yang nebeng kamu.” Mereka berdua tertawa lagi.

“Ya udah, makasih tebengannya, ya!” Abelle melambaikan tangannya.

Steven hanya membalas dengan mengacungkan jempol karena ia sudah menutup helm nya. Ia putar balik dan langsung tancap gas.

Deg.

Abelle hampir tak percaya penglihatannya sendiri saat ia melihat Ryan dengan vespanya berada di depan gang bersamaan saat motor Steven pergi.

Ryan melajukan vespa hijau nya dan berhenti tepat di depan Abelle yang terdiam membeku. Ia mencopot helmnya dan memberikan tatapan tajam ke arah Abelle.

Senyum Abelle langsung luntur saat ia melihat Ryan yang jelas menunjukkan kemarahan.

<><><>

Helo heloo! Gimana menurut kalian chapter ini? Oh ya, BJAM nambah jadwal update nih! Jadi sekarang BJAM bakal update setiap KAMIS, JUMAT, dan SABTU yeyeyy! Dalam rangka bentar lagi BJAM tamat, makanya jadwal update nya ditambah! Huhu ga kerasa udah mau tamat 🥺 Tapi seneng juga karena habis ini akan ada cerita baru lagi! 😁

Ngomong-ngomong, Ryan bakal bilang apa setelah ketemu Abelle yang habis naik moge, yaa?? Pantengin terus yaa!

Jangan lupa vote ⭐ dan komen 💬 juga yaa, thanks! ><

Continue Reading

You'll Also Like

5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
2.1M 98.1K 70
Herida dalam bahasa Spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

4.3M 251K 54
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...