FWB: Friends With Bittersweet

Od rahmatgenaldi

1.4K 120 14

❝Antara aku yang terlalu naif, dan kamu yang terlalu baik.❞ • • • Toko buku, toko perabot, tumbler dan desser... Více

1. Tentang
2. Hantu Masa Lalu
3. (Masih) Tentang Julian
4. Julian dan Masanya yang Telah Usai
5. Bab Terakhir Untuk Julian
6. Rajendra Rama Hakmani
7. Kali Pertama
8. Simbiosis Mutualisme
9. Usik
10. Sedikit Celah
11. Dua Sisi
12. Menolak Mengabaikan
13. Distraksi
14. Balada Toko Buku
15. Pertanyaan Berbahaya
16. Netra Cokelat & Degup Jantung
18. Mengusahakan Topik (2)
19. Menghadapi Kegelisahan
20. Rama & Toko Buku
21. Kamu?

17. Mengusahakan Topik (1)

18 3 0
Od rahmatgenaldi

Aku tiba di rumah saat jam sudah hampir menunjukkan pukul dua siang karena sebelumnya sempat melipir dulu ke kantor ekspedisi pengiriman barang. Kepada kurir pengantar, aku meminta agar paket milikku tidak usah diantarkan ke rumah, aku sedang ada niatan untuk menjemput paketku sendiri di kantor tanpa perlu mereka yang repot-repot mengantarkan ke rumahku. Jumlahnya ada empat paket novel yang sebelumnya kubeli lewat online, perihal apakah akan dibaca atau tidak biarkanlah nanti suasana hati dan moodku yang akan menentukan.

Sepanjang perjalanan, di kantor ekspedisi, bahkan saat sudah duduk di kursi kerja yang ada di kamarku, aku masih terbayang-bayang kejadian memalukan yang terjadi di kafe tadi. Jangan tanya kenapa Rama bisa sesering itu muncul di kepalaku, sebab aku juga sampai sekarang belum menemukan alasan jelasnya. Mungkin aku hanya sedang senang karena sudah berhasil membuka diri setelah menutup ruang terlalu lama. Mungkin juga karena belum pernah kutemukan manusia semenyenangkan Rama. Atau mungkin sebenarnya Rama itu pribadi yang biasa, hanya saja aku terlalu suka dengan netra cokelatnya yang bagiku selalu memaksa untuk dilihat.

Sambil tetap berusaha menggali pikiran untuk menyimpulkan segala kemungkinan yang ada, aku memilih untuk meraih ponsel—menyalakannya, lantas tanpa sengaja kembali mencari keberadaan Rama di sana.

Aku tersenyum tiba-tiba, karena manusia yang sedari tadi kupikirkan tumben-tumbennya langsung muncul tanpa perlu kutunggu dan kucari lagi.

Rama Hakmani:
"Kau sudah tiba di rumah?"

Raina Genna Eldirah:
"Iya."

Rama Hakmani:
"Mau lihat kejutan kecil?"

Raina Genna Eldirah:
"Apa?"

Rama mengirim sebuah gambar, lantas kubuka tanpa menduga apa isinya. Di luar dugaanku, gambar itu malah membuat tawaku langsung meledak begitu saja. Dia mengirim gambar wajahnya yang sedang menyengir memamerkan gigi.

Raina Genna Eldirah:
"HAHAHA"

"Kau pasang kawat gigi?"

"Lucunya ..."

Rama Hakmani:
"Aku tau kau sedang meledekku."

"Berhenti sebelum kubalas dengan lebih menjengkelkan."

Lucu sekali dia. Kalau tidak ingin aku tertawa, kenapa tetap dirikim?

Raina Genna Eldirah:
"Aku tidak bisa berhenti tertawa, Rama. Maaf😭"

"Lagian kenapa, sih? Untuk apa kau pakai kawat gigi? Gigimu rapi, kok."

Rama Hakmani:
"Ini bukan untuk gaya-gayaan, tau."

"Anjuran dokter."

"Katanya ada salah satu gigi yang harus dicabut karena berpotensi melukai dinding mulutku. Tapi daripada harus kehilangan satu gigi dan jadi lelaki bergigi ompong, aku lebih memilih untuk menjadi lelaki tampan berkawat gigi."

Raina Genna Eldirah:
"Lantas kenapa hanya di gigi atas saja? Yang di bawah juga tidak sekalian?"

Rama Hakmani:
"Kata dokternya biar nanti bulan depan saja."

"Baru kupasang di atas saja aku sudah kesakitan sekali mengunyah. Bagaimana nanti kalau sudah kupasang lagi di gigi bawah."

Raina Genna Eldirah:
"Hahaha. Mungkin seketika kau akan menjadi orang yang pendiam."

"Kau akan kesulitan untuk menggangguku nanti kalau kuliah sudah diadakan secara offline."

Rama Hakmani:
"Percaya atau tidak, sesakit apapun gigiku."

"Akan kuusahakan setidaknya kepadamu aku masih bisa mengucapkan kalimat-kalimat baik."

Aku terdiam, sedikit tersenyum karena mulai menebak ke mana arah pembicaraan ini.

Raina Genna Eldirah:
"Kalimat-kalimat baik?"

"Misalnya?"

Rama Hakmani:
"Kamu jelek."

Raina Genna Eldirah:
"Menyebalkan!"

"Itu bahkan tidak lebih dari dua kata."

"Kudoakan semoga gigimu akan terasa sakit selama mungkin."

Rama Hakmani:
"Kau tidak boleh begitu."

"Kalau aku tidak bisa kuliah karena sakit gigi, lantas siapa yang akan menjadi temanmu di kampus?"

Raina Genna Eldirah:
"Aku masih punya Kenzie. Dia temanku sejak semester satu."

Rama Hakmani:
"Tapi Kenzie tidak punya senyuman manis yang bisa membuatmu salah tingkah seperti di kafe tadi."

Raina Genna Eldirah:
"SIAPA YANG KAU BILANG SALAH TINGKAH?"

Secara refleks aku malah melepas ponsel dari tanganku hingga jatuh tergeletak di atas kasur. Benarkah? Dia menyadari bahwa selama di kafe tadi aku terlalu gugup? Aku terlihat salah tingkah? Di mana harus kusembunyikan wajahku sekarang ini?

Rama Hakmani:
"HAHAHA."

"Kau bahkan sampai lupa menaikkan standar motormu, Raina."

Sudah banyak alasan dan balasan telak untuk Rama yang muncul di kepalaku saat itu tetapi aku lebih memilih untuk mengalihkan topik sesegera mungkin sebelum lelaki menyebalkan ini semakin jauh menggangguku. Kenapa dia bisa sampai sesadar itu dengan senyumannya sendiri? Kenapa dia tau bahwa selain netra cokelatnya, cara dirinya melengkungkan senyum juga termasuk pemandangan manis yang tidak bisa kulewatkan?

Raina Genna Eldirah:
"Siapa saja yang sudah tau?"

Rama Hakmani:
"Tau tentang apa?"

"Tentang kau yang siang tadi salah tingkah di kafe?"

Raina Genna Eldirah:
"Bukan, bodoh!"

"Berhenti menggangguku!"

"Siapa saja yang sudah tau tentang kawat gigimu?"

Rama Hakmani:
"Ibuku, bapakku, adik perempuanku, adik laki-lakiku."

"Dan kau."

"Jadi jangan bilang ke teman-teman To The Moon."

"Biarkan saja mereka melihatnya sendiri nanti."

"Besok mereka akan ke sini pagi-pagi."

"Hampir setiap hari seperti itu."

Raina Genna Eldirah:
"Mereka sering sekali, ya, ke rumahmu."

"Memangnya apa yang kalian lakukan di sana?"

Rama Hakmani:
"Bersama-sama mengikuti kuliah online di rumahku. Relasiku dengan mereka memang seintens itu. Aku tidak lagi melihat mereka sebagai teman kampus saja, lebih dari itu, aku bahkan kadang terpikir untuk memasukkan mereka semua ke dalam kartu keluargaku, saking seringnya mereka ke sini."

"Kau tau, kan, pekerjaan bapakku apa. Aku risih membahas ini sebenarnya, karena akan terkesan bahwa aku sedang menyombongkan diri, padahal sama sekali tidak."

"Tapi tidak apalah, toh kau juga sudah lebih dulu tau."

"Sebagai wakikota di Luminata, tentu bapakku harus menetap di sana, di kampung halamannya. Ibuku sudah pasti harus mengikut, begitu juga dengan kedua adikku. Mereka pindah sekolah ke sana sejak bapakku resmi dilantik."

"Kau pasti bisa bayangkan bagaimana sepinya tinggal sendirian."

"Dulu tidak ada teman-temanku yang selalu punya waktu untuk datang berlama-lama di rumahku ini, sampai akhirnya aku mengenal mereka. Iqbal, Genta, Kenzie, Gilbert, Raka dan Sabian."

"Mereka membuatku punya keluarga di saat aku sedang kesepian di bagian itu. Dan semakin ke sini mereka memang terasa seperti keluargaku. Setiap kali aku punya masalah, mereka tidak segan-segan untuk menelponku, memintaku untuk bercerita. Apalagi Iqbal. Dia yang paling tau keluh-kesahku selama ini."

"Intinya, aku benar-benar bersyukur bisa berteman dengan teman-teman di grup To The Moon yang kubentuk itu. Dengan alasan itu pula lah aku berani menjamin mereka untuk turut menjadi temanmu."

"Kuharap kau juga akan mengalami hal yang sama denganku. Mereka semua baik, Na. Percayalah. Aku tidak pernah mendapatkan relasi pertemanan yang sehangat ini."

Tanpa kusadari bahwa di dalam hati aku merasa iri. Sekarang aku tau bahwa sejak SMA Rama memang sosok pribadi yang senang bergaul. Bahkan sejauh perkuliahan kita berjalan pun, aku sudah melihat betapa dia sangat friendly ke semua orang, bergaul dengan siapa saja, meski perkuliahan hanya diadakan secara online. Aku merasa iri karena perbedaan yang ada di antara kita berdua. Rama terbuka dengan siapa saja, karena itu pula eksistensinya diterima di mana saja dia berada. Sedangkan aku? Aku tidak akan punya teman di kampus jika bukan karena Rama yang 'menarikku' keluar dari sarang persembunyian.

Raina Genna Eldirah:
"Kalau kau memang sudah seyakin dan sepercaya itu dengan mereka, lalu kenapa kau memintaku untuk merahasiakan soal kawat gigimu? Masakan hal seremeh itu saja kau menunda untuk memberitahu mereka?"

Rama Hakmani:
"Bukan begitu, aku hanya penasaran dengan ekspresi mereka nanti akan seperti apa, aku ingin mereka melihat ini secara langsung di depanku, bukan lewat perkataanmu. Jadi kau jangan beritahu mereka dulu. Oke?"

Raina Genna Eldirah:
"Ya, baiklah. Kau bisa mempercayaiku."

"Walaupun sejujurnya aku belum yakin apakah aku bisa percaya padamu sepenuhnya atau tidak."

Tunggu.

Ini gawat. Kenapa kau malah mengetikkan itu, Raina? Kau ini kenapa? Aku jelas langsung panik karena baru menyadari betapa sensitifnya kalimat terakhir yang kukirim. Ingin mengurungkan pesan, tapi Rama sudah terlanjur membacanya.

Rama Hakmani:
"Dalam hal apa?"

"Memangnya kau pernah mempercayakan hal apa padaku, Na?"

Sudah terlanjur basah, aku memilih untuk mandi saja sekalian.

Raina Genna Eldirah:
"Selama ini aku tidak banyak terbuka dengan orang-orang yang ada di luar lingkunganku, tetapi kau adalah pengecualian."

"Itu artinya kau termasuk dalam daftar orang yang kupercaya."

"Khususnya tentang masa laluku, tentang traumaku, Julian, dan hal sensitif lainnya yang sudah sempat kuceritakan kepadamu. Kuharap kau bisa menyimpan itu semua untuk dirimu sendiri saja, aku tidak mau ada orang lain lagi yang tau."

Rama Hakmani:
"Itu masih menjadi hakmu untuk percaya padaku atau tidak, Na. Yang jelas jika kau maunya seperti itu, tentu akan kulakukan. Aku tidak punya kapasitas apapun untuk melanggar privasimu."

"Tapi kalau kau mau mendengarkan saranku, sebaiknya jangan terlalu mengunci dirimu di dalam ruang yang sudah jelas kau tau isinya adalah masa lalumu. Kau harus memilih untuk keluar dari ruang itu, atau justru mengajak orang-orang kepercayaan untuk ikut masuk—lantas membantumu untuk membersihkannya dari debu-debu yang ada di dalam."

"Dan kurasa, untuk membantumu melakukannya, aku saja tidak cukup. Ini hanya saran, tapi kurasa jika memang kau akan sama sepertiku, mempercayai teman-teman yang ada di To The Moon, rasanya tidak adil jika hanya aku saja yang kau percayai, Na. Pertemanan di grup itu tidak hanya tentang aku dan kau saja. Kau juga sudah dianggap bagian dari mereka. Alangkah baiknya jika mereka juga bisa tau tentang trauma dan ketakutanmu, agar mereka tau bagaimana cara menyikapimu ke depannya."

Raina Genna Eldirah:
"Tidak usah. Kau saja sudah cukup, Rama."

Rama Hakmani:
"Kau jangan menutup mata, Na. Kau tidak bisa menyiksa dirimu sendiri dengan menutup diri dari orang-orang. Ketakutanmu harus kau hadapi, kau jangan terus-terusan berpura-pura untuk tidak membutuhkan siapapun. Kau butuh rangkulan. Jangan mengurung dirimu terus-terusan dalam rasa takut."

Raina Genna Eldirah:
"Sudahlah, Rama."

"Tidak usah kau bahas lagi."

"Itu tidak penting."

Kemudian kulihat Rama sempat mengetikkan balasan, meski akhirnya berhenti lagi dan tidak jadi mengirim apapun. Aku tidak tau apa yang membuat dia urung mengetik balasan, tapi aku yakin ini semua karena suasana obrolan kita yang sudah berbeda. Aku yang salah karena sudah membawa obrolan ini dari topik yang awalnya santai saja, menjadi lebih serius dan sensitif. Apalagi setelah membaca kembali pesan terakhir yang kukirim, kurasa aku sudah terlihat seperti orang yang sensitif dan tidak lagi ingin diajak bicara. Rama hanya ingin memberi saran, harusnya aku tidak perlu seperti itu.

Aku tidak mau dia berpikir bahwa aku tidak senang dengan interaksi yang selama ini kita punya, aku juga tidak ingin jika Rama akan berpikir bahwa aku belum bisa terbuka dengan dia. Sekarang aku jadi semakin bingung, kenapa sering sekali kudapati diriku menyesal setiap kali interaksiku dengan Rama jadi terputus? Kenapa aku selalu terpikir untuk mengusahakan topik lain setiap topik-topik sebelumnya sudah buntu? Tapi aku tidak ingin mempertanyakan itu semua lebih jauh terhadap diriku sendiri, karena sejujurnya aku takut dengan jawaban yang akan kutemukan. Aku sudah mendapatkan hipotesis untuk menemukan jawaban dari apa yang selama ini kurasa tentang Rama. Tapi menyangkal jawabannya adalah hal yang lebih aman untukku saat ini. Aku masih terlalu takut, masih belum siap menghadapi dan belum tau harus bagaimana mengatasi perasaanku sendiri.

Maka biarlah semuanya kujadikan tetap abu-abu.

Kuhela napasku dalam-dalam lagi, lantas mencari keberanian untuk kembali mengirim pesan kepada Rama.

Raina Genna Eldirah:
"Tadi kau sempat menyinggung soal adik-adik."

"Kalau boleh kutahu, kau punya adik berapa?"

"Kau anak pertama?"

Rama Hakmani:
"Ya."

Raina Genna Eldirah:
"Apanya yang ya?"

Rama Hakmani:
"Aku anak pertama."

Raina Genna Eldirah:
"Adikmu ada berapa?"

Rama Hakmani:
"Dua."

Raina Genna Eldirah:
"Biar kutebak. Adikmu yang pertama perempuan, lalu yang bungsu adalah laki-laki."

Rama Hakmani:
"Ya."

Aku memilin jariku setelah menerima balasan terakhir itu. Kenapa obrolanku dengan Rama jadi seperti ini sekarang? Tapi tentu, sebagai capricorn sejati aku tidak mungkin menyerah begitu saja.

Raina Genna Eldirah:
"Jarak usiamu dengan kedua adikmu jauh ya?"

Rama Hakmani:
"Ya."

Dari caranya menjawab yang sesingkat itu, aku menemukan satu kenyataan pahit. Mungkin saja Rama sudah tidak lagi berpikir bahwa mengobrol denganku adalah hal yang menyenangkan. Kurasa dia sudah tidak lagi tertarik untuk punya obrolan bersama gadis yang terlalu sensitif sepertiku. Ah, Rama. Seharusnya aku tidak perlu tersinggung dengan apa yang berusaha kau bicarakan tadi. Seharusnya ... aku tidak perlu menyuruhmu berhenti membahas hal-hal yang memang sedang ingin kau bahas denganku.

Aku langsung kehilangan semangat setelah itu, apalagi setelah mendapati kenyataan bahwa Rama tidak mengirim pesan apa-apa lagi. Semakin memperjelas bahwa dia memang tidak lagi tertarik mengobrol. Aku langsung menutup aplikasi WhatsApp, memilih untuk menghibur diri di aplikasi ToktTik.

Aku baru saja membuka aplikasi yang penuh video menghibur itu, namun anehnya hal ini justru memberiku ide baru lagi untuk dijadikan bahan obrolan kepada Rama. Aku ingin mencoba sekali lagi. Aku hanya tidak mau Rama benar-benar menganggapku tidak lagi menyenangkan.

Raina Genna Eldirah:
"Kau punya akun TokTik?"

Rama Hakmani:
"Tidak."

Raina Genna Eldirah:
"Hah? Tidak punya?"

"Apa kau tidak tau akan sehambar apa hidup seseorang yang tidak bermain TokTik?!"

Rama Hakmani:
"Tidak tertarik."

Untuk cara Rama menjawabku yang terakhir itu, aku memilih pasrah saja. Sepertinya aku memang sudah berhasil merusak semuanya. Jika setelah ini Rama memang benar-benar akan menghindar atau mungkin hilang respect terhadapku, aku tidak masalah. Sekarang aku hanya ingin meminta maaf, menjelaskan kepada Rama bahwa sebenarnya aku tidak seperti yang dia lihat dari luar.

Raina Genna Eldirah:
"Rama, maaf. Apakah beberapa waktu lalu aku sudah menyinggungmu?"

"Percayalah, aku tidak sengaja. Aku tidak pernah sengaja untuk terkesan sensitif atau temperamental. Aku hanya tidak siap ketika ada orang lain yang masuk lebih dalam mengulik masa laluku."

"Aku tau niatmu baik tadi, percayalah aku sangat tersanjung. Hanya saja, masalah kepercayaan masih kualami. Aku masih takut dikecewakan lagi jika terlalu banyak menaruh percaya kepada manusia."

Rama Hakmani:
"HEI HEI HEI! Tunggu, Na! Kau kenapa?"

"Kenapa tiba-tiba kau bicara seperti itu?"

Raina Genna Eldirah:
"Ya ... aku hanya cukup peka melihat responmu beberapa menit belakangan. Dan aku tau bahwa itu semua karena aku sudah merusak obrolan kita yang awalnya menyenangkan, menjadi tiba-tiba serius hanya karena aku terlalu sensitif."

"Maaf, ya, Rama?"

Rama Hakmani:
"Astaga, Raina!"

"Hahaha ... kau terlalu jauh berpikir. Ayolah, Na. Kau jangan terlalu sering memikirkan hal-hal yang jauh dari realita positif. Aku tidak seperti yang kau pikirkan."

"Aku membalas singkat karena saat ini aku hanya mengetik dengan satu jari. Tanganku yang lain sibuk memegang vape yang sedang kunikmati sekarang ini."

"Bisa-bisanya kau malah berpikir aku mencampakkanmu."

"Itu adalah salah satu kejadian yang sangat mustahil untuk terjadi."

Memangnya, apa aku bisa lebih malu dari sekarang ini? Sudah terlihat sensitif, sekarang malah lebih sensitif dan cengeng lagi. Sudah meminta maaf dengan dramatis, mengutarakan isi kepala dan kegelisahan, tapi ternyata situasinya tidak serumit yang kukira. Aku saja yang memang terlalu hiperbola. Aku sukses membuat Rama melihatku sebagai gadis berlebihan yang selalu memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan.

Ah, Rama. Terima kasih karena sudah membuatku belajar memahami diriku lebih lagi. Terima kasih karena sudah membuat mataku terbuka untuk melihat bagian dari diriku yang selama ini belum pernah kusadari. Terima kasih karena sudah membuktikan betapa aku sebagai seorang capricorn sejati sangatlah sensitif dan overthinker.

Dan sekali lagi terima kasih, karena pesan teks yang kau kirim lagi sekarang ini akan membuatku sulit untuk tidur.

Rama Hakmani:
"Na? Kenapa malah diam?"

"Ayo, tanya aku lagi. Usahakan lebih banyak topik lagi untuk kita, Na."

"Aku sedang ingin banyak bicara malam ini."

• • •

Sampai jumpa di chapter selanjutnya:)

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

1.1M 16.5K 36
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1.8M 142K 30
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
16.4M 640K 37
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
282K 20.1K 31
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...