FWB: Friends With Bittersweet

By rahmatgenaldi

1.4K 120 14

❝Antara aku yang terlalu naif, dan kamu yang terlalu baik.❞ • • • Toko buku, toko perabot, tumbler dan desser... More

1. Tentang
2. Hantu Masa Lalu
3. (Masih) Tentang Julian
4. Julian dan Masanya yang Telah Usai
5. Bab Terakhir Untuk Julian
6. Rajendra Rama Hakmani
7. Kali Pertama
8. Simbiosis Mutualisme
9. Usik
10. Sedikit Celah
11. Dua Sisi
12. Menolak Mengabaikan
13. Distraksi
14. Balada Toko Buku
15. Pertanyaan Berbahaya
17. Mengusahakan Topik (1)
18. Mengusahakan Topik (2)
19. Menghadapi Kegelisahan
20. Rama & Toko Buku
21. Kamu?

16. Netra Cokelat & Degup Jantung

18 1 0
By rahmatgenaldi

Tiga hari berlalu sejak Rama mengajakku untuk ke toko buku di hari Sabtu nanti. Selama itu pula aku dan Rama semakin intens memiliki obrolan di setiap sosial media yang kita punya. Dia bahkan sudah kupersilakan untuk mengikuti akun Instagram keduaku, dimana isinya adalah hal-hal random yang kubagikan tentang keseharian, keresahan dan curhatan-curhatanku sehari-hari.

Rama semakin hari semakin menyenangkan, membuatku terlambat sadar bahwa aku terlalu cepat merasa nyaman. Entah kenapa hal ini justru membuatku berpikir keras, sebab jika benar aku sudah mulai tertarik kepada Rama, bukankah seharusnya aku merasa takut? Tak bisa kuelakkan bahwa jauh di dalam, sebagian dari diriku masih rapuh. Aku merasa terlalu terburu-buru mencari sembuh untuk traumaku, tanpa perlu memastikan terlebih dulu apakah Rama memang penawar yang tepat atau justru sesuatu yang memang harus kuhindari.

Bagaimana jika nyatanya hanya aku saja yang selama ini terlalu jauh menyimpulkan pertemananku dengan dia? Bagaimana jika rasa sakit itu ... akan terjadi untuk kedua kali? Atau, bagaimana justru jika ke depannya aku malah harus mengorbankan Rama yang tidak tau apa-apa untuk membayar kesembuhanku? Aku bingung sekali, aku masih terlalu rapuh untuk mengusahakan keutuhan hati. Karena dengan membawa kerapuhan ini di depan Rama, bukankah rentan sekali jika akan ada kehancuran yang kedua? Seperti kata Tulus dalam lagunya, sekarang aku memang merasa seperti si hati rapuh yang menantang wahana.

Seakan aku memang selalu keras kepala bahkan terhadap diriku sendiri, tetap saja aku mengabaikan rasa takut yang berbisik dari intuisiku. Aku mengesampingkan segala pemikiran yang membuatku harus berpikir dua kali untuk dekat dengan Rama. Sudah jelas sekali lewat senyum-senyumku tiap kali berinteraksi dengan dia, bahwa aku mulai terbawa tanpa aku sadar. Aku seharusnya pergi dan menghindar, tapi justru kupaksa diriku untuk terus maju dan berani menghadapi apapun risiko yang ada di depan sana.

Hari itu hari Rabu, tiga hari setelah Rama mengajakku ke toko buku untuk di hari Sabtu nanti. Perkuliahanku masih berjalan secara daring, dan sejujurnya aku berharap agar perkuliahan ini berjalan seperti ini saja sampai aku lulus. Hanya dengan begini aku bisa leluasa memandangi wajah Rama. Lucu sekali rasanya melihat ekspresi dia ketika berpikir, wajah seriusnya, juga saat alisnya bertaut karena kurang memahami penjelasan dari dosen. Aku bisa memastikan bahwa keputusanku untuk menyetujui permintaan Ayah berkuliah di Jurusan Manajemen tidak akan lagi kusesali semenjak ada Rama yang membuatku selalu tidak sabar ingin kuliah.

Seperti sekarang ini, aku bangun pagi-pagi sekali untuk menentukan pakaian apa yang sebaiknya kukenakan untuk pergi mengerjakan tugas kelompok. Bukan tanpa alasan aku jadi berlebihan pagi itu, tentu saja aku ingin berpenampilan sebaik yang kubisa karena tugas kelompok kali itu mempertemukanku dengan Rama. Kebetulan pembagian kelompok ini dilakukan berdasarkan urutan nomor absen, sedangkan nomor absenku dengan Rama memang berurutan. Setelah namaku, di dalam absen nama Rajendra Rama Hakmani berada tepat di bawahku.

Ini terasa mendebarkan karena aku akan bertemu dia secara langsung untuk pertama kali. Tidak lagi lewat obrolan pesan teks, tidak lagi lewat perkuliahan daring yang mana aku bisa bebas melepas senyum tiap kali melihat wajahnya dengan leluasa. Aku bisa membayangkan seberapa canggungnya aku nanti. Aku juga tau bahwa saat bekerja kelompok nanti aku akan lebih banyak diamnya karena terlalu gugup. Semoga saja Rama tak sadar bahwa dia akan menjadi alasanku untuk gugup dan tidak banyak bicara di sana.

Kelompok 4 Hukum Bisnis

Rissa Heyamni:
"Kalian sudah di mana?"

"Kemarin janjiannya jam 10 pagi sudah di sini, kan?"

"Sekarang sudah jam 10."

"Aku sudah di sini, di sini baru hanya ada aku dan Puput saja yang sudah tiba."

"Yang lain ke mana?"

Ah, sial. Aku terlau lama memilih pakaian sampai tidak sadar bahwa seharusnya aku sudah ada di sana. Bagaimana bisa aku tidak memerhatikan waktu? Raina! Kau akan terlihat seperti mahasiswa yang tak acuh lagi dengan kewajibanmu. Sejak awal semester aku sudah dikenal oleh teman-teman kelasku sebagai mahasiswa yang selalu menjalani kuliah dengan setengah hati, tak jarang beberapa teman kelompok yang kudapatkan mengeluh karena aku sering kali tidak melakukan kontribusi apapun di dalam tugas kelompok. Dan yang lebih pentingnya lagi, kau akan terlihat memalukan di hadapan Rama, Raina bodoh!

Aku langsung melempar sepasang pakaian yang sudah kupilih ke atas kasur, lantas jalan terburu-buru ke kamar mandi saat grup kelompok di aplikasi Whatssapp sudah semakin berisik.

Butuh waktu dua puluh menit untuk aku membersihkan diri di kamar mandi, artinya aku sudah terlambat selama itu. Merasa mulai takut, aku kembali mengecek grup obrolan.

Rama Hakmani:
"Maaf karena sudah membuat yang lain menunggu."

"Aku ada keperluan mendadak tadi."

"Aku ke sana, ya, sekarang."

Raka Cahyadi:
"Cepat, Ram. Materinya ada di laptopmu."

"Yang lain sudah di mana?"

"@Raina Genna Eldirah , kau di mana?"

Bukannya menjawab pesan Raka, aku malah buru-buru mengeringkan badan dan masih sempat berdiri menghadap cermin. Butuh dua puluh menit lagi untuk mencatok rambut, lima menit memilih parfum, barulah aku siap mengenakan pakaianku.

Aku meraih kunci motorku dan sudah menuruni tangga rumah saat jam sudah menunjukkan pukul 11.00 pagi. Aku sudah terlambat satu jam, sudah keterlaluan jika aku tidak sampai terburu-buru menuju ke sana. Kabar baiknya, penampilanku sudah cukup memuaskan bagiku jika hanya untuk bertemu Rama—eh maksudku untuk mengerjakan tugas kelompok.

Dan kabar buruknya, aku harus menahan malu di depan Rama karena harus terlambat satu jam lebih. Akan nampak sekali baginya betapa aku adalah contoh yang buruk untuk ukuran mahasiswa manajemen.

Eh, sebentar. Kenapa semuanya jadi serba kukait-kaitkan dengan Rama, sih? Memangnya kenapa jika aku terlambat? Di sana bukan hanya ada dia saja, masih ada lima orang teman lagi.

Tapi kenapa sejak awal fokusku hanya tentang 'bagaimana agar bisa terlihat sebaik mungkin di depan Rama nanti' ?

• • •

Motorku kuparkirkan secara asal di parkiran kafe berhubung aku memang tidak pernah tau caranya memarkirkan motor secara paralel dan tegak lurus. Aku melangkah ragu memasuki kafe yang tidak jauh dari kampusku itu, memalukan karena sudah menjadi anggota kelompok yang datang paling akhir. Ini sedikit menyulitkan karena aku belum terlalu akrab dengan mereka. Maksudku, Raka dan Rama mungkin bisa memaklumi kemalasanku karena kita sudah sedikit akrab sejak aku bergabung di grup To The Moon, tapi bagaimana dengan tiga teman perempuan dan satu lagi lelaki yang duduk di samping Raka itu? Mustahil jika mereka bisa memaklumi keterlambatanku. Aku bahkan bisa membayangkan betapa di dalam hati mereka pasti sudah mencaciku habis-habisan.

"Akhirnya datang juga," celetuk Raka dengan masih menatap layar laptop.

Aku tersenyum kikuk, menggaruk belakang kepalaku yang sama sekali tidak gatal sebelum berkata dengan santainya, "Kalian sudah lama, ya, menunggu?"

Mereka semua lalu serentak menatapku. Aku tidak tau harus melakukan apa selain memilih untuk langsung duduk di kursi yang masih kosong di depan Rama.

Tempat kami mengerjakan tugas kelompok ini hanya sebuah kafe yang sebenarnya memang dikhususkan untuk mahasiswa. Maksudku, jangan bayangkan kafe itu akan terlihat seperti coffeshop instagrammable yang sering digandrungi muda-mudi. Ini hanya kafe sederhana yang memang tujuannya untuk menjadi tempat mahasiswa mengerjakan tugas dengan fokus, bukan memenuhi kebutuhan sosial media, apalagi gaya-gayaan.

Alih-alih estetik, kursinya saja hanya kursi plastik yang sering dipakai di warung-warung bakso. Mejanya hanya meja kayu panjang yang ditutupi karpet berbahan plastik,  ditambah menunya pun sederhana saja. Kopi susu, teh, roti bakar, mentok-mentoknya juga hanya ada mie instan rebus.

Berangkat dari sana, harusnya kalian sudah bisa membayangkan semalu apa diriku saat itu. Pakaian dan dandananku jadi terasa berlebihan, aku malu sekali apalagi setelah melihat penampilan tiga teman kelompokku yang juga perempuan—mereka hanya mengenakan kaos dan celana kain panjang sebagai bawahan. Lalu Rama yang menjadi alasanku untuk berdandan seheboh ini lebih parah lagi. Dia bahkan terlihat seperti tidak mandi. Rambutnya acak-acakan, dia hanya mengenakan kaos oblong yang sedikit pudar, dengan celana pendek seadanya sebagai bawahan. Oh, bagus, Raina. Kau sepertinya salah kostum. Orang-orang akan mengiramu hendak menonton konser ketimbang hanya mengerjakan tugas.

"Tugasnya sudah hampir selesai. Kau hanya membuang tenagamu datang ke sini," celetuk Rama setelah menyeruput kopinya.

Mataku memicing saat menatap ke arahnya. Kenapa dia jadi tengil begini? "Setidaknya, kan, aku datang membantu juga."

"Kau mau bantu apa kalau tugasnya sudah hampir selesai?" balasnya lagi.

Aku menyengir, "Bantu berdoa."

"Itupun kalau doamu masih diijabah Tuhan."

Teman kelompok yang lain langsung tertawa. Aku malu sekali. Memangnya sesantai itukah dia sampai candaannya saja bisa membuatku gugup seperti sekarang ini? Aku tidak tau harus merespon apa, makanya sekarang aku terlihat seperti gadis dungu yang memang hanya menjadi pajangan saja di kelompok itu.

"Daripada kau hanya melamun tak tentu arah seperti itu, mending kau buatkan saja PPT- nya."

Aku menoleh ke arah Raka, berterima kasih dalam hati karena dia memberiku kesempatan untuk tidak terlihat seratus persen bodoh hari ini. "Boleh. Kebetulan aku juga bawa laptop, Ka."

Selanjutnya lelaki yang duduk di samping Raka berpindah duduk di sampingku, aku tidak tau namanya. Yang jelasnya dia membuatku tidak nyaman dan ingin cepat-cepat pulang karena bau ketiaknya seperti ingin membuatku terbunuh.

"Kubantu, ya?" tanyanya tepat di sampingku.

Aku hanya mengangguk sambil menahan napas, berdoa di dalam hati semoga saja nyawaku bisa bertahan sampai pengerjaan PPT ini selesai.

Sepanjang aku fokus mengerjakan PPT yang diminta Raka, aku masih bisa melihat salah satu teman kelompokku bernama Dina yang sepertinya paling sibuk di antara kami semua. Jika ada Rama dan Raka yang sibuk mengetikkan rangkuman materi dengan laptop mereka masing-masing, maka Dina—gadis berhijab ini ditugaskan mencari referensi di Google menggunakan iPad yang selanjutnya kuketahui sebagai miliknya Rama.

Dina sedari tadi sibuk memilah-milah referensi yang akan diambil untuk materi, menanyakan persetujuan teman-teman secara bergantian. Rama, lalu Raka. Lalu teman yang lain, kemudian kembali bertanya ke Raka lagi. Begitu seterusnya sampai setiap orang di antara kami semua sibuk dengan tugas masing-masing.

Aku bahkan sampai lupa bahwa sejauh ini aku belum memesan apapun. Tapi aku tidak peduli, mending kupikirkan saja bagaimana caranya mengontrol degup jantungku yang tidak karuan setiap kali mataku bertemu tatap dengan netra cokelat milik lelaki yang duduk di hadapanku ini. Kita memang sibuk dengan laptop masing-masing, tapi sudah lebih tiga kali aku dan netranya tak sengaja bertemu untuk satu-dua detik.

Sesekali aku mencuri pandang, sampai akhirnya aku tersentak kaget karena sialnya dia menoleh saat aku sedang khusyuk memandangi wajah seriusnya. Kita lagi-lagi tidak sengaja saling menatap, tapi kali ini lebih lama. Rama mengangkat alisnya, seakan bertanya kenapa? sedangkan aku hanya menggeleng kuat seperti orang tolol, lantas membuang muka ke sembarang arah dengan pipi yang memerah.

Hal itu terjadi dua kali. Aku mencuri pandang, lalu dia mendapatiku. Saat aku memilih untuk kembali fokus, malah giliran dia yang kudapati lewat ekor mataku sedang menatapku dalam-dalam.

Ah, Rama. Kita sama-sama tidak bisu, tapi kenapa hanya tatapan mata kita saja yang mampu berbicara saat itu?

"Raina?"

Aku menoleh, sedikit kaget karena sebelumnya aku masih sibuk mengatur degup jantung sampai Dina menyebut namaku. "Iya?"

"Bagaimana menurutmu soal artikel ini?" Gadis berhijab itu mengulurkan tangannya, memintaku untuk melihat kumpulan paragraf yang ditampilkan di layar iPad. "Apa sebaiknya kumasukkan juga ke dalam materi kita?"

"Kau ini kenapa, Dina?" Rama yang justru menyahut. "Untuk apa bertanya ke Raina? Dia itu palingan hanya menjawab iya-iya saja. Dia mana peduli tentang tugas kuliah seperti ini."

Aku menatapnya dengan tajam, sedangkan Rama yang menyebalkan itu hanya membalasku dengan satu kedipan mata berikut senyuman yang mengejek. Kurang ajar! Dia sudah membuatku semakin gugup dari sebelumnya, padahal aku ingin sekali menjambak rambutnya yang acak-acakan itu.

"Hanya bercanda, Raina. Kenapa pipimu bisa sampai semerah itu, sih?"

• • •

Pengerjaan tugas kelompok berjalan lancar sebagaimana mestinya, setidaknya sekitar dua jam lebih. Dina, lelaki yang di sampingku dan dua teman perempuan tadi sudah pulang lebih dulu karena bagian mereka sudah selesai. Aku juga sudah mengirimkan hasil PPT yang kukerjakan tadi kepada Rama.

Raka sudah selesai membayar di kasir, disusul Rama yang sementara mengumpulkan barang-barangnya yang ada di atas meja. Aku? Aku hanya berdiri, berjalan keluar kafe sambil memandangi Rama yang sedang menyulut sebatang rokok saat hendak membayar di kasir. Aku sedikit salah fokus melihat berewok di sisi wajahnya yang terlihat berantakan. Memangnya dia tidak punya waktu untuk bercukur? Atau justru dia tau bahwa dengan berewokan seperti itu sensualitasnya sebagai pria akan semakin terpancar, makanya memilih untuk tidak dicukur? Ah, tapi untuk apa kupikirkan itu semua. Bukan urusanku!

Langkahku sudah semakin dekat dengan tempat di mana aku memarkirkan motor, sedangkan pikiranku masih betah duduk di dalam kafe. Masih merekam jelas netra cokelat itu, bagaimana Rama menyugar rambut berantakannya ke belakang, wangi maskulinnya yang merebak setiap kali dia bergerak, pun cara dia membakar sebatang rokok beberapa menit lalu.

Hei, tunggu. Apakah barusan aku terkesan seperti gadis yang tengah terpesona dari caraku menjabarkan hal-hal tadi? Tolong katakan tidak. Sebab orang yang bersangkutan itu baru saja melintas di depanku, berjalan ke arah mobil Honda Jazz berwarna carnival yellow tanpa menyadari keberadaanku.

Aku merasakan ada sesuatu yang aneh dalam diriku, seperti agak tertipu karena melihat Rama yang berbeda dari selama ini kukenal dari obrolan-obrolan kemarin. Rama yang kudapati hari ini terkesan sok cuek dan sok dingin. Ditambah lagi dia itu tengil sekali! Berbeda dengan Rama yang kudapati lewat obrolan-obrolan menyenangkan nan hangat belakangan ini. Tapi, segera kusapu habis semua pemikiran yang lagi-lagi membuatku termenung itu. Aku meraih helm, hendak mengenakannya tapi kemudian tidak jadi.

"Na!"

Aku menoleh, di dalam hati sedikit menjerit. "Apa?"

"Aku lupa memberitahumu, aku empat hari yang lalu sudah ke Gramedia."

"Lantas kenapa? Mau membatalkan ajakanmu yang kemarin?"

Dia terkekeh, "Tidak apa-apa?"

Aku tau bahwa dia hanya sedang menggodaku. Makanya aku memilih untuk tidak terpancing. "Empat hari yang lalu buku Janji belum ada di Gramedia, Rama. Jadi sebaiknya kau jangan membatalkan niatmu untuk mengajakku ke sana di hari Sabtu nanti."

"Iya. Kemarin itu aku membeli buku yang kau maksud. Yang karya Tere Liye juga."

Aku berpikir sejenak, kemudian tersenyum kecil. "Pergi?"

Dia mengangguk, masih betah berdiri di samping pintu mobilnya yang sudah terbuka setengah. "Bukunya bagus, Na. Terima kasih."

"Memangnya sudah sampai di mana kau membacanya?"

"Di bagian ... pengenalan tentang, aduh. Aku lupa namanya. Basyir, kurasa."

Aku mengangguk antusias, "Iya. Berarti kau belum sampai di bagian yang paling seru. Selamat membaca."

Apa aku baru saja salah bicara? Kenapa sekarang kita malah sama-sama terdiam? Satu detik, dua detik, tiga detik—ah! Apa netra cokelat itu sengaja menatapku lagi dari jauh hanya untuk membahayakan jantungku?! Buru-buru aku memutus kontak mata, mengenakan helm, lantas naik ke motor dan memutar kunci dengan buru-buru. Oh, ayolah motor! Rama masih melihatku dari tempatnya berdiri, aku harus segela hilang dari sini kalau tidak ingin serangan jantung. Kenapa di waktu seperti ini kau malah tidak bisa menyala, sih?

Aku terus berusaha menekan tombol starter, tapi tetap tidak ada tanda-tanda motor ini akan menyala. Kan tidak lucu kalau ternyata bensinnya habis. Aku terus berusaha, menekan tombol starter dengan frustrasi. Tapi hasilnya tetap nihil, motornya tidak ada reaksi sama sekali.

"Hei, Na!"

Aku menoleh dengan wajah kusut, mau apa lagi, sih dia? Belum cukup kah melihatku panik setengah mati dan salah tingkah seperti ini?

Aku melihat dia tertawa cukup lama, kemudian menunjukku dengan sisa tawanya yang menjengkelkan sekali.

"Raina, Raina. Bagaimana bisa menyala kalau standar motormu belum kau naikkan?"

Oh, bagus sekali, Raina. Kau seratus persen memalukan hari ini.

"SAMPAI JUMPA HARI SABTU, NA! PELAN-PELAN BAWA MOTORNYA!"

Dia berteriak saat aku sudah berlalu melewatinya dengan wajahku yang berusaha kusembunyikan saking malunya.

• • •

Sampai jumpa di chapter selanjutnya:)

Continue Reading

You'll Also Like

16.4M 654K 38
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
2.4M 19.9K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
388K 33.6K 31
Arvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. Sa...
395K 15.7K 33
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...