FWB: Friends With Bittersweet

Por rahmatgenaldi

1.4K 120 14

❝Antara aku yang terlalu naif, dan kamu yang terlalu baik.❞ • • • Toko buku, toko perabot, tumbler dan desser... Más

1. Tentang
2. Hantu Masa Lalu
3. (Masih) Tentang Julian
4. Julian dan Masanya yang Telah Usai
5. Bab Terakhir Untuk Julian
6. Rajendra Rama Hakmani
7. Kali Pertama
8. Simbiosis Mutualisme
9. Usik
10. Sedikit Celah
11. Dua Sisi
12. Menolak Mengabaikan
13. Distraksi
14. Balada Toko Buku
16. Netra Cokelat & Degup Jantung
17. Mengusahakan Topik (1)
18. Mengusahakan Topik (2)
19. Menghadapi Kegelisahan
20. Rama & Toko Buku
21. Kamu?

15. Pertanyaan Berbahaya

21 2 0
Por rahmatgenaldi

Kirei berlari-lari kecil menghampiri kami di depan pagar saat vespa Andre sudah berhenti di depan rumahnya. Aku turun dengan sedikit terburu-buru, kemudian melepas helm dengan cara yang sama pula.

"Kau langsung pulang, Ndre? Tidak mampir dulu?" Kirei yang bertanya.

Andre menatapku cukup lama, kemudian kembali bicara ke arah Kirei. "Tidak perlu. Aku titip anak ini saja, ya, Rei. Tolong awasi dia. Dia terlihat aneh seharian ini."

Kirei mengernyit dan menatap heran ke arah kami secara bergantian, sedang aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menoyor kepala Andre. Siapa yang dia katakan aneh? Dasar over protektif!

Suara vespa-nya kembali terdengar, kemudian berangsur hilang setelah beranjak dan menghilang di belokan jalan. Aku langsung memutar badan memasuki pekarangan rumah Kirei, melangkah lebih cepat dari empunya rumah, terburu-buru masuk ke kamarnya demi segera mendapatkan charger.

"Kau ini kenapa, sih? Seperti ada yang penting sekali?"

Aku menghela napas lega setelah menaruh ponselku dengan rapi di atas nakas kamar Kirei dengan charger yang sudah terhubung, tentunya. "Aku butuh charger sedari tadi. Ponselku mati. Ada apa memanggilku? Kabar apa yang kau maksud?"

"Semalam aku habis masuk ke klub."

"Dan dengan teganya kau tidak mengajakku?"

"Dengar dulu! Kau tau apa yang kulihat di sana?"

"Apa?" tanyaku dengan ekspresi datar. Bukan aku tidak tertarik, tapi ekor mataku tak bisa mengalihkan fokus dari ponsel yang ada di atas nakas, sesekali aku mencuri pandang, memastikan apakah benda pipih itu sudah menyala atau masih mati.

"Kau dengar aku, kan, Raina?"

"I-Iya! Tadi kutanya apa? Kau melihat apa di sana? Angel? Well, kau tidak bisa menipuku. Semalam sudah jelas anak itu teler di kamarnya sendiri, meneleponku sambil menangis."

"Oh, ya? Tunggu dulu. Apa? Oh, Astaga! Dia ... sekarang aku tau," Kirei terlihat mengingat-ingat sesuatu, sebelum tawanya meledak dengan tiba-tiba. "HAHAHA! Harusnya aku tau! Na, semalam sahabatmu itu bersamaku di klub malam. Tapi dia memilih untuk pulang lebih dulu secara tiba-tiba. Harusnya semalam aku tau, dia pasti pulang sambil menangis karena kita tidak sengaja melihat Dillon menggandeng gadis lain di sana!"

Jika sedari tadi pikiranku masih tentang ponselku yang masih mati, sekarang sebagian pikiranku bertumpu pada rasa kesal karena merasa terkhianati oleh dua gadis ini. "Oh, bagus. Sekarang kalian sudah terbiasa berpesta tanpaku, ya?"

"Kau yang seharusnya belajar cara mengangkat telepon, bitch. Aku juga sempat menelepon adikmu semalam, tapi katanya kau tumben-tumbenan tidur cepat."

Tetap saja hal itu membuatku sedikit tersinggung. Aku memutar bola mata, dengan sesekali menatap ke arah ponselku yang sialnya masih belum menyala.

"Jadi kau memanggilku ke sini hanya untuk itu? Memberitahu aku bahwa semalam kalian melihat Dillon? Apa pentingnya bagiku?!"

"Makanya kau jangan kebiasaan memotong pembicaraan orang!" Kirei memperbaiki posisi duduknya saat aku kembali menoleh ke arah ponselku. Dan ... ya! Akhirnya menyala juga. Buru-buru aku meraih ponselku, membuka kunci layarnya dengan kabel charger yang masih terhubung.

"Semalam aku melihat—"

"Tunggu dulu," potongku langsung. "Ada hal yang lebih penting. Beri aku lima menit."

"Oh, Raina percayalah bahwa apa yang akan kukatakan ini akan jauh lebih penting!" Kirei geregetan.

"Tunggu dulu," balasku sambil menatap layar ponsel. "Sudah jelas ini yang paling penting. Aku harus menghubungi salah satu utusan tim penerbit novelku sekarang juga. Setelah itu bicaralah sesukamu, aku akan mendengarkan."

Kirei akhirnya mengalah. Aku berseru dalam hati. Diam-diam aku kegirangan sambil membuka aplikasi Whatssapp, mencari nama Rama di sana. Kirei berdiri dari tempat duduknya, memilih untuk memainkan ponselnya sendiri sambil menungguku.

Raina Genna Eldirah:
"Rama."

"Kau harus tau apa yang sudah kulihat di Gramedia Grand Mall siang ini!"

Terhitung hingga menit ketiga sejak aku meminta waktu dari Kirei, Rama belum juga membaca pesanku. Pun tak ada tanda-tanda bahwa dia sedang online. Lagi, aku kembali merasa seperti orang dungu yang belakangan ini selalu melakukan segalanya secara tiba-tiba dan impulsif. Sisa logikaku yang masih sehat mengatakan bahwa ini tidak wajar, karena tentu saja Rama sudah terlalu cepat jika harus dikatakan berhasil mencuri kewarasanku.

Aku terus memikirkan ini semua sampai tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh Kirei yang bergerak secara tiba-tiba. Ponselku langsung berpindah ke tangannya.

"Hei, kemarikan ponselku!"

"Tidak. Ini sudah tujuh menit, kulihat kau hanya melamun. Kau melamunkan apa, sih? Ini alasan kenapa Andre bilang bahwa kau menjadi aneh seharian ini?" Kirei menatapku dengan skeptis, sebelum matanya kembali menyorot ke layar ponselku yang sudah ada di tangannya.

Aku merutuki diriku sendiri di dalam hati. Bisa-bisanya aku lengah begitu saja sampai tak sadar saat Kirei sudah merampas ponselku.

Sekarang, dia menatapku. Kemudian aku mulai takut, membuang tatapanku ke sembarang arah.

"Oh, jadi ini yang kau katakan utusan tim penerbit yang harus kau hubungi? Jadi, ini namanya? Rama Hakmani?"

"Ayolah, jangan menyudutkanku!" Aku berusaha meraih kembali ponselku, tapi tentu Kirei tetap lebih cekatan. "Itu tidak akan berarti apa-apa!"

"Ini tentu saja bisa berarti sesuatu yang bermakna sekali, Raina. Kau sudah berani membohongiku cuma karena si Rama ini. Memangnya siapa dia sampai bisa merubahmu jadi seperti ini?"

Aku hanya diam. Kirei mulai lagi. Dia lagi-lagi membesarkan sesuatu yang menurutku tidak perlu dibahas lebih detail.

"Jawab aku, gadis gila. Kau yakin tidak suka dia?"

Aku hanya menggeleng, tak mampu berucap apapun.

"Kau yakin?"

Aku mengangguk. "Bisa kudapatkan kembali ponselku?"

Kirei langsung mengembalikan ponselku, tidak tau bahwa di tempatku duduk aku sudah menghela napas lega. Rasanya seperti baru saja terbebas dari hakim yang hendak menjatuhkan dakwaan hukuman sepuluh tahun penjara kepadaku.

"Si Rama itu belum membalas pesanmu. Kalau begitu dengarkanlah dulu aku bicara," pintanya setelah itu.

Jelas aku langsung menurut. Jika harus jujur, rasanya sedikit sulit jika harus mengendalikan ekspresiku di hadapan Kirei. Bagaimana caranya menutupi kegelisahanku yang tak pernah bisa tenang selama menanti balasan pesan dari Rama? Juga, aku selalu tau bahwa selalu ada senyum tak disengaja terbit di bibirku begitu saja setiap mendapati pesan balasan dari Rama. Jika sebentar lagi itu akan terjadi, bagaimana caranya menyembunyikan ekspresi dari Kirei? Bagaimana caranya menahan senyum di depan Kirei saat aku harus senang menerima pesan dari Rama? Tuhan, ini sungguh sulit. Aku di ujung tanduk.

"Kalau begitu ayo cerita. Kau melihat apa di klub malam semalam?"

Kirei kembali menegakkan posisi duduknya. Dari caranya merubah ekspresi, aku bisa menebak bahwa ini bukanlah kabar sembarangan.

"Aku melihat Julian."

Aku bergeming untuk sesaat, apa? Setelah hampir seminggu nama itu absen dari kepalaku, sahabatku sendiri justru membuatku harus mengingatnya lagi?

"Kau serius, Rei? Bagimu ini penting untuk kutahu? Ayolah!"

"Raina! Kau kenapa? Bagimu kabar tentang Julian sudah tidak penting? Oh, astaga. Seharusnya aku tau. Kau ... benar-benar sudah suka sama si Rama-Rama itu, kan?! Sudah sejauh mana dia mencuci otakmu?"

Aku tersentak kaget. "Apa? Kau sudah gila, ya? Kenapa kau malah mengarah ke sana? Aku hanya sudah muak saja dengan Julian. Wajar jika bagiku itu memang sudah tidak penting."

Kirei menyipitkan matanya, memberiku tatapan skeptis. "Tetap saja, bagiku ini bukan Raina yang biasanya."

"Oh, ayolah Kirei. Kau sungguh memanggilku ke sini hanya untuk menginterogasiku perkara ini? Kau sungguh ingin menuduhku hal-hal yang hanya berdasar pada asumsi gilamu itu? Aku bahkan belum seminggu dekat dengan Rama, tapi kau sudah berlebihan menyimpulkan ini dan itu."

"Baiklah." Dia melunak. Syukurlah. "Terserah kau saja, dasar penyangkal. Kita lihat saja seberapa jauh kau bisa membohongi aku dan perasaanmu sendiri."

"Kirei!" gerutuku mulai kesal. Dia ini kenapa, sih? Ingin sekali memaksaku untuk mengaku bahwa Rama memang sudah mulai berubah menjadi sesuatu yang penting belakangan ini? Kalau benar, maka dia harus berusaha lebih keras lagi. "Sebaiknya kau lanjutkan saja ceritamu yang katanya penting itu, karena jika sekali lagi kau malah menginterogasiku soal Rama, aku hanya khawatir jika di tempat lain Rama sudah menggigit lidahnya sendiri. Kau sepertinya terobsesi sekali padanya."

Gadis berkulit sawo matang itu sekarang malah terkekeh. Dasar menyebalkan! "Baiklah, baiklah. Terserah kau saja, dasar penyangkal. Kita lihat saja sampai sejauh mana kau akan sanggup berbohong soal perasaanmu di hadapanku. Aku akan setia menunggumu mengakuinya, sahabatku sayang."

"Shit! Kau menyebalkan!" pekikku mulai merajuk. "Aku pulang saja kalau begitu."

Rupanya dengan begitu Kirei baru bisa berhenti membuatku kesal dengan pertanyaan-pertanyaannya. Dia menarikku untuk duduk kembali sambil menertawakanku. "Ayolah, Raina. Marahmu ini malah semakin mempertegas validasi yang kucari. Tapi aku tidak akan mendesakmu lagi, tenang saja." Lihat? Sekarang dia malah terkikik geli karena berhasil menggangguku. Ingin sekali aku menjambak rambutnya, tapi tentu hal itu tidak sampai terjadi sebab dia sudah mulai memperbaiki posisi duduknya—lantas melanjutkan ceritanya yang sempat terpotong.

"Aku melihat Julian di klub malam. Aku datang bersama Angel, berusaha meneleponmu tapi kau tidak menjawab teleponku. Lalu kami memutuskan untuk tidak jadi mengajakmu saja karena melihat Julian juga ada di sana. Kau tau apa yang terjadi selanjutnya? Aku melihat Lintang yang tiba-tiba saja datang di sana hanya untuk menghadiahi Julian satu tinjuan telak."

"Lintang?" tanyaku mulai tertarik. Ini memang sedikit penting untuk kudengar. "Lintang yang waktu itu pernah menjadi pacar Livvy? Dia ada masalah apa dengan Julian?"

"Sayang, Lintang bukan mantannya Livvy. Dia masih pacarnya. Saat menyerang Julian, aku mendengar Lintang berteriak 'sudah berapa kali kuperingati kau untuk menjauh dari pacarku, bajingan?!' Livvy masih pacarnya Lintang! Ini terdengar aneh, bukan?"

Mendengar itu, beberapa pertanyaan mulai terlahir di kepalaku. Kalau memang Lintang datang untuk memukuli Julian karena sudah mendekati kekasihnya, bukankah itu berarti bahwa Julian dan Livvy berselingkuh? Tapi semua itu tidak sampai kupertanyakan secara terbuka. Akan kubiarkan Kirei untuk melengkapi ceritanya.

"Lalu?" tanyaku dengan singkat.

"Begini, Na. Dari cara Lintang mengamuk semalam, dari yang aku lihat dengan Angel, sepertinya Julian memang sudah lama membuat Lintang menahan amarahnya. Ada yang aneh antara Livvy dan Julian. Atau mungkin ... mereka hanya berpura-pura menjalin hubungan hanya  untuk memanas-manasimu di malam pesta ulang tahun Julian waktu itu? Karena ... ayolah. Kau lihat, kan, seberapa paniknya Livvy saat ditantang untuk mencium Julian? Dia pasti takut kalau saja hal itu akan terdengar sampai ke telinga Lintang."

Aku terdiam dengan pikiran menerawang, menatap kosong ke depan. "Itu memang masuk akal. Sejak Julian menghampiriku bersama Livvy di pesta itu, aku memang sudah merasa bahwa di antara mereka ada sebuah skenario yang dirancang Julian untuk menyakitiku. Aku hanya heran kenapa Livvy sampai mau turut andil."

Kirei hanya mengangkat bahu. "Entahlah, yang jelas Angel menjadi penonton yang paling bahagia saat melihat Julian dibuat terkapar oleh Lintang. Dia bahkan sampai bilang padaku bahwa dia akan mengajakmu nanti untuk merayakan kejadian ini."

"HAHAHA!" tawaku meledak. "Jadi itu alasannya mengajakku jalan berdua di hari Sabtu nanti? Ah, dasar dia. Benar-benar sok manis dengan alasan ingin menghabiskan quality time bersamaku. Padahal karena ingin merayakan itu, kan? Eh, tapi dia sama sekali tidak membahas soal kejadian itu semalam. Mungkin dia lupa, berhubung saat meneleponku dia sudah terlalu mabuk di kamarnya."

"Hahaha. Dasar Angel gila. Tapi, Na. Kau tau? Tadi siang aku juga sempat melihat Livvy mengunggah foto berdua dengan Lintang di snapgramnya. Aku semakin yakin bahwa selama ini dia memang berpura-pura punya hubungan dengan Julian."

Aku berdecak heran, sebesar itukah usaha Julian untuk menghancurkanku? Kasihan sekali, dia tidak pernah tau bahwa lima hari belakangan ini sudah ada nama lain yang mulai bersarang di kepalaku. Sepertinya aku tidak punya cukup waktu untuk tetap peduli tentang dia.

Aku baru saja ingin menimpali perkataan Kirei, namun tiba-tiba saja tubuhku langsung melakukan gerakan refleks saat ponselku berdenting. Kirei sampai terkejut melihatku langsung melompat mengambil ponsel.

Rama sudah membalas pesanku.

Rama Hakmani:
"Maaf, aku baru sempat membalas sekarang."

"Kau lihat apa di toko buku?"

Raina Genna Eldirah:
"NOVEL JANJI!"

"Kau ingat?"

"Sekarang sudah ada di Gramedia! Hahaha. Cepat sekali."

Rama Hakmani:
"Oh ya?"

"Untung saja kau cepat memberitahuku. Semalam aku sudah hampir membelinya di Shopee."

Raina Genna Eldirah:
"Jadi, bagaimana? Apa kau akan membelinya?"

"Kau akan ke toko buku?"

Rama Hakmani:
"Kau mau menemaniku ke sana?"

Astaga, Rama! Kenapa kau terlihat begitu santai saat aku di sini hampir jatuh bangun karena terkejut?! Ajakanmu terlalu tiba-tiba, teman.

Raina Genna Eldirah:
"Boleh."

"Kapan?"

Terakhir yang kulihat adalah balasan terakhirku yang belum dibaca oleh Rama. Lalu setelah aku hendak memastikannya lagi, Kirei sudah lebih dulu merebut ponselku. Tak lama setelahnya dia kembali berubah seperti sosok ibu-ibu galak yang protektif terhadap putrinya.

"Kau tertangkap basah, Raina! Kau yakin tidak punya pikiran lain tentang Rama selain hanya berteman? Kau terlalu antusias membalas pesannya! Ini gila! Aku menemukan semakin banyak alasan untuk memperkuat asumsiku bahwa kau memang sudah mulai tertarik dengan lelaki itu. Pertama, kau tidak pernah mau menyembunyikan obrolanmu bersama lelaki mana pun, kecuali lelaki itu memang penting. Tapi sekarang apa? Kau bahkan terlihat panik sekali saat tadi ketahuan menghubungi Rama. Kedua, aku baru kali ini melihat seorang Raina sampai senyum-senyum seperti orang gila hanya karena berbalas pesan. Ketiga, kau bahkan sudah merusak waktu jalan-jalanmu bersama Andre hanya karena kau terburu-buru ingin menyalakan ponselmu di sini, kan? Tingkahmu sudah kuperhatikan sejak tadi! Dan keempat, sebaiknya sekarang kau jujur saja padaku, dasar pembohong."

"Tidak. Kau lah yang sebaiknya mengembalikan ponselku, dasar sinting!" Aku langsung melompat ke arahnya, berusaha merampas kembali barang milikku saat dia sudah lebih dulu lari dan menghindar. Bisa kalian bayangkan sebesar apa kekacauan yang terjadi saat dua gadis gila saling kejar-kejaran di dalam sebuah kamar yang tidak terlalu luas.

Kejadian itu berakhir pada Kirei yang sekarang harus merelakan rambutnya berantakan karena kujambak habis-habisan. Aku berhasil mendapatkan kembali ponselku, kemudian yang kudapati di sana adalah balasan Rama yang berubah menjadi alasan untuk aku terdiam seribu bahasa.

Dia benar-benar berniat mengajakku ke toko buku. Dulu aku sering membayangkan akan ada lelaki baik nan rupawan yang akan mengajakku ke duniaku, toko buku, untuk bersama-sama menghabiskan waktu yang kita punya di sana.

Sekarang, balasan yang kubaca dari Rama menunjukkan bahwa kencan ideal yang selama ini kumanifestasikan di alam bawah sadarku secara tiba-tiba sudah berpindah menjadi nyata.

Aku terdiam dengan seulas senyum yang tak bisa kutahan lagi, wajahku pun pucat pasi, terlalu sulit menjelaskannya dengan aksara, untuk itulah sekarang aku berteriak kegirangan hingga membuat Kirei tersentak kaget.

Kutarik napasku dalam-dalam, mengaturnya kembali setelah puas berteriak.

"Rei ....," panggilku dengan wajah yang masih menatap kosong ke depan.

"Apa?"

"Kirei .... "

"Kau kenapa, anak gila?!"

"Sepertinya aku harus meminta maaf kepada Angel. Aku tidak bisa menemuinya hari Sabtu."

Kirei mengernyit, lantas menatapku dengan awas. "Apa maksudmu?"

Aku mengulurkam tangan, membiarkan Kirei membaca setiap kata yang tertera di layar ponselku.

"Kau lihat saja sendiri," lirihku sebelum membuang diri ke kasur dan menenggelamkan wajahku di bawah bantal. Aku harus berusaha sekeras mungkin untuk menyembunyikan senyumku yang tidak bisa hilang.

Rama Hakmani:
"Bagaimana kalau hari Sabtu?"

"RAINA, KAU AKAN MENGIYAKAN AJAKAN ITU?!" tanya Kirei setengah teriak. Aku tau setelah ini dia akan mencercaku habis-habisan.

"Kau pikir bagaimana, hah? Tidak mungkin aku menolak!"

Apa kalian bisa menebak apa yang terjadi setelah Kirei melihat jawabanku? Dia kembali menggila. Mengguncang badanku, meracau tak jelas sembari menyerangku dengan pertanyaan berbahaya. Seperti apakah aku suka pada Rama, apakah benar Rama bisa secepat itu membuatku lupa terhadap Julian—dan yang lainnya. Dia terus-terusan meracau seperti seorang ibu rumah tangga yang tidak dinafkahi, mendesakku untuk memberinya pengakuan akan perasaanku terhadap Rama.

Tapi untuk saat itu, aku tidak ingin mempedulikan Kirei yang menggila. Satu-satunya hal yang kupikirkan adalah tentang bagaimana caranya aku harus beralasan dan meminta maaf kepada Angel karena tidak jadi menemuinya di hari Sabtu.

Aku benar-benar ingin mengosongkan hari sabtuku. Sebab di hari itu hanya akan kuisi dengan aku, Rama, toko buku dan kesenangan lainnya.

Aku akan dengan sabar menunggu hari itu tiba.

• • •

Sampai jumpa di chapter selanjutnya:)

Seguir leyendo

También te gustarán

1.2M 16.8K 36
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
4.9M 36.9K 30
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
658K 1.2K 15
WARNING!!! Cerita ini akan berisi penuh dengan adegan panas berupa oneshoot, twoshoot atau bahkan lebih. Untuk yang merasa belum cukup umur, dimohon...
383K 33.2K 31
Arvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. Sa...