Between Jersey & Macaron (END...

By jhounebam

205 37 144

Abelle Estania, adalah seseorang yang berjuang demi menggapai mimpinya untuk masuk DBL. Bukan orang lain yang... More

Notes
Visual
Bab 1 Kejutan di Depan Rumah
Bab 2 Kesan Pertama dari Sup
Bab 3 Persaingan Sengit
Bab 4 Macaron Pelangi
Bab 5 Tim Tak Terduga
Bab 6 Wajah Sekolah
Bab 7 Rahasia Manis
Bab 8 Lemparan Bebas
Bab 9 Hampir Redup
Bab 11 Kecewa yang Tersembunyi
Bab 12 Ini Bukan Keberuntungan
Bab 13 Untuk yang Terakhir, Sungguh
Bab 14 Ini Tak Mudah
Bab 15 Pertandingan Dimulai
Bab 16 Kenyataan yang Tak Diinginkan
Bab 17 Ketakutan Menjalar
Bab 18 Saatnya Mengakhiri Semua Ini
Bab 19 Sedikit Lagi
Bab 20 Hari Pembalasan
Bab 21 Terlalu Singkat
Bab 22 Alasan untuk Sebuah Senyum
Bab 23 Menjalankan Mimpi
Bab 24 Taman Malam
Bab 25 Ujung Gua yang Sempit
Bab 26 Biarkan Aku Pergi
Bonus Chapter
Notes <3

Bab 10 Jus Stroberi

5 1 6
By jhounebam

Mendengar suara pintu gerbang dibuka, Ryan sudah tahu bahwa itu adalah Abelle. Jam dinding putih di tembok menunjukkan pukul lima sore. Ryan menduga Abelle pasti habis latihan berat jika pulang sesore ini.

Pintu pun terbuka.

“Sore juga pu— eh? Kakimu kenapa, Belle?” Bagaimana tidak salah fokus dengan perban yang melilit kaki Abelle, sontak Ryan langsung menghampirinya.

“Jatoh,” jawab Abelle pendek.

“Kok bisa jatoh? Kapan? Dimana?” Ryan berlutut untuk mengamati sambil meraba pelan perban itu.

“Tadi pas main lah— duh.” Abelle mengaduh. Ia berjalan dengan sedikit tertatih, kemudian duduk di sofa. Abelle mengambil minum dari tas nya.

Ryan kembali ke dapur untuk mematikan kompor dan membawa sesuatu.

“Kamu udah laper? Makanannya bentar lagi siap, ini minum jus dulu.” Ryan membawa satu gelas penuh jus stroberi dengan potongan stroberi di atasnya, tak lupa dengan sedotannya pula.

Abelle terdiam beberapa saat melihatnya. Ia memang tidak suka sayuran, tapi untuk buah ia masih bisa menelannya karena terdapat “rasa” di dalamnya. Hanya saja, Abelle akan makan buah jika sudah dikupas oleh orang lain karena ia butuh sesuatu yang mendorongnya. Setidaknya Abelle punya beberapa buah favorit, seperti pisang, anggur tanpa biji, dan semangka. Untuk jenis beri-berian, Abelle jarang memakannya karena ia tahu semua buah itu mempunyai rasa asam yang kuat.

“Ayo, dicoba dulu.” Akhirnya Abelle menerima gelas itu. Ia mengaduknya terlebih dahulu dengan sedotan. Kemudian Abelle mengerjapkan mata bersiap untuk rasa masam yang akan menyebar di mulutnya. Tapi ternyata …

Menyegarkan.

Manis.

Tidak, Abelle merasakan ada sedikit asam, tapi lebih banyak manisnya.

“Kamu suka?” Ryan bertanya seperti biasa. Ia harus selalu mendengar pendapat dari orang yang mencoba masakan buatannya.

“Enak, tapi agak asem gitu, ya.” Abelle menyeruput lagi, lalu mengecap mulutnya.

Ryan berusaha untuk tetap tersenyum, “itu saya bikin dari stroberi Korea loh, mahal tapi nggak sepenuhnya asem.” Abelle mengedikkan bahu.

“Nih, coba liat.” Ryan membawa satu buah stroberi dari dapur.

“Wah, baru liat stroberi gede begini,” Abelle terkagum melihat buah merah itu.

“Stroberi Korea emang gede dan banyak air di dalemnya. Cobain, deh.”

Abelle ragu melihat ke arah stroberi itu. Jus nya memang terasa manis karena bisa saja ditambahkan gula, tapi buah aslinya? Siapa tahu buahnya lebih asam dari perkiraan.

“Nih, dimakan, ya. Saya mau lanjut masak dulu.” Ryan menarik pergelangan tangan Abelle untuk memberikan stroberi yang sudah tidak ada daunnya itu di tangannya. Abelle terpaku kikuk dengan cara Ryan memberikannya buah itu.

Baiklah, Abelle akan mencobanya.

Ternyata rasanya tidak terlalu buruk. Cukup manis, tapi juga terasa sedikit asam.

Ini lezat, apalagi dimakan saat baru keluar dari kulkas.

Kemudian Abelle melanjutkan menghabiskan jus stroberi itu. Setelah habis, ia tak sadar ia melamun sambil memperhatikan gelas jus itu.

Gelas yang tinggi dan mengerucut di bawah. Ia baru sadar ia memiliki gelas ini di rumahnya. Selama ini ibunya selalu mengingatkan untuk memakai gelas yang ada di rak piring saja. Jika Abelle minum dari gelas yang disimpan di lemari, Mita akan memarahinya karena nanti rak piringnya terlalu penuh.

Selama ini pula ia belum pernah dibuatkan jus buah oleh ibunya. Mita selalu sibuk bekerja demi menopang hidup. Mita ingat betapa susah kehidupannya dulu, dan sekarang semua itu telah berubah. Jadi, Mita pun harus berubah, ia terus bekerja agar keluarganya tidak kesusahan lagi. Tetapi di saat yang sama, Abelle kehilangan sosok ibunya yang dulu.

Pada saat mereka belum tinggal di rumah sebesar ini, Abelle selalu berkumpul di ruang tengah bersama Mita dan juga ayahnya, Bagas. Mereka selalu bercakap-cakap sambil menyantap makan malam. Abelle sangat merindukan sosok ayahnya yang kini jauh darinya. Sebenarnya Abelle masih bisa bertemu dengan ayahnya, tapi itu adalah hal yang paling tidak disukai Mita. Saat itu Abelle masih belum bisa berpikir luas, sehingga ia hanya bisa menurut saat Mita memaksa untuk ikut dengannya.

Abelle masih terlalu kecil untuk memahami bahwa itulah momen terakhir ia bisa bertemu ayahnya.

Abelle menggelengkan kepalanya kuat untuk menghentikan lamunan sedih itu. Ia berjalan ke dapur untuk mengembalikan gelas.

“Pinter, deh, kalo diabisin gini. Jangan malu-malu kalo mau minta dibuatin lagi, ya,” ucap Ryan dengan tawa kecil.

“Oke, aku minta Kak Ryan buatin churros, gimana?” Abelle balas meledek Ryan.

“Bukan begitu juga konsepnya.” Abelle segera lari saat Ryan ancang-ancang ingin melemparnya dengan kain lap. Beberapa detik kemudian, Ryan gantian tertawa saat mendengar Abelle mengaduh karena sepertinya kakinya terantuk sesuatu.

Sampai di kamar, Abelle mengambil baju dan bersiap untuk mandi. Sepuluh menit kemudian, Abelle turun ke bawah dengan keadaan badan yang sudah segar dan wangi.

Sesampainya di samping dapur, Abelle duduk dan memperhatikan Ryan yang masih fokus memasak. Punggungnya terlihat bidang dari belakang. Keringatnya menembus baju dan terlihat dari luar. Ternyata Ryan mampu melakukan multitasking dalam memasak. Ia terlihat bolak-balik untuk mengaduk sesuatu di panci di atas kompor dan memotong sesuatu di meja yang terletak agak berjarak dari kompor.

Abelle teringat ibunya beberapa kali pernah membawa Abelle ke sebuah hotel mewah saat ia ada jadwal meeting. Saat berkeliling, Abelle melihat area restoran dengan pemandangan open kitchen. Abelle takjub menyaksikan api-api berkobar di atas penggorengan. Suara klontang peralatan dapur, suara air yang bertemu wajan panas, suara seseorang yang memerintah semua chef yang ada di situ, dan suara-suara lainnya perlahan muncul kembali di ingatan Abelle.

“Nah, makan malem udah siap,” seru Ryan ceria. Ia membawa hidangan dengan nampan ke meja makan.

Grilled salmon steak, tamagoyaki, dan capcay. Silakan.” Ryan menunjuk satu persatu makanan yang ia buat dengan senyum bangga.

Abelle menganga melihatnya. Baru pertama kali Abelle hampir meneteskan liurnya melihat masakan Ryan. Tapi penyebabnya hanya dua, yakni karena salmon dan tamagoyaki. Sementara itu, Abelle bergidik saat melihat capcay yang penuh dengan sayuran itu.

Pertama kali Abelle menyantap salmon adalah waktu ia pergi ke sebuah hotel, dan dari momen itulah ia jatuh cinta dengan salmon. Hidangan yang ada di depan mata Abelle sekarang ini juga hampir mirip dengan yang ia makan di hotel.

“Yuk, dicoba dulu.” Ryan memberikan pisau, garpu, dan sendok.

Sudah jelas pertama Abelle akan menyantap salmonnya dulu. Rasa gurih langsung melebur di mulutnya. Dengan cepat ia menghabiskan hidangan itu. Gerak-gerik tubuhnya saat menyantap makanan yang lezat tak bisa ditutupi. Selanjutnya, tamagoyaki. Hidangan telur khas jepang yang berbentuk kotak. Terasa lembut seperti tahu. Abelle menambahkan saus untuk menambah rasa. Setelah dua hidangan habis, Abelle meraba perutnya yang sudah penuh

“Udah kenyang?” Abelle tersadar bahwa selama ia makan Ryan tidak pergi kemana-mana. Ia duduk di depannya dengan tangan terlipat di meja.

“Lumayan, sih.”

“Tapi capcay nya belom dimakan.”

“Ehm …” Abelle tak mampu mengeluarkan kata-kata. Tiba-tiba Ryan berjalan ke arah kulkas kemudian kembali duduk dengan memegang sesuatu.

“Kalo capcay nya abis, kamu boleh makan ini.” Ryan meletakkan puding coklat kecil di hadapan Abelle.

“Ih, mau—”

“Eits, abisin dulu itu.” Ryan segera menghalangi tangan Abelle yang hendak menyambar puding itu. Abelle mendengus kesal.

“Ya udah, iya.” Abelle mencoba memakan capcaynya perlahan-lahan.

Suapan pertama, Abelle berusaha mengunyah wortel dan bunga kol. Abelle terkejut saat rasa hambar sayurnya kalah dengan gurihnya kuah. Begitu seterusnya sampai capcay di piring itu habis dalam tiga puluh menit.

“Keren! Nah, akhirnya bisa juga makan sayur.” Ryan bertepuk tangan bangga. Sejak tadi ia tak beranjak dari kursi, setia menemani Abelle menghabiskan makan malamnya. Abelle langsung menetralkan mulutnya dengan segelas air putih.

“Kalo ada kuah gurih gini rasanya enak juga,” komentar Abelle sambil tersenyum tipis.

“Iya, dong. Sia-sia kalo seumur idup belom pernah makan capcay sekelas hotel bintang lima ini.” Ryan tertawa karena leluconnya sendiri. Abelle tersenyum tipis.

“Ngomong-ngomong, kenapa Kak Ryan suka masak? Sejak kapan?” Abelle memulai topik obrolan baru sambil menyantap puding. Abelle tak menyangka Ryan betulan membuatkannya desserts setelah berhasil menghabiskan sayur. Apalagi ia mengingat apa yang waktu itu Abelle minta. Ia menikmati puding itu dengan perasaan haru.

“Dari kecil saya selalu bantuin ibu saya masak. Pas saya bilang mau jadi chef, mereka ngedukung saya. Ayah juga nggak malu punya anak laki-laki yang suka masak. Yah, walaupun perjalanannya nggak mudah, akhirnya saya berhasil jadi chef,” jelas Ryan singkat sambil menangkup dagu di tangan.

Perkataan Ryan membuat kepala Abelle lagi-lagi mengingat ayahnya. Abelle dan ayahnya memang pernah membuat kenangan indah, tapi itu hanya bertahan sementara saja.

“Pasti seneng ya, punya orang tua yang dukung kita apa adanya.” Abelle sebenarnya juga ikut senang mendengar cerita Ryan. Tapi kenangan indah yang berubah menjadi abu-abu itu tak bisa disingkirkan dari kepalanya.

***

“Papa, papa! Liat sini!” Abelle men-dribble bola dengan tangan kecilnya. Ia berusaha berlari dengan kaki pendeknya itu.

Bagas lantas memperingatkan anaknya untuk berhati-hati saat berlari. Bagas menjaga Abelle dari belakang sampai Abelle berada di dekat ring. Abelle memeluk bola, kemudian Bagas mengangkat tubuh kecil Abelle, lalu Abelle memasukan bola ke dalam ring.

“Yeay! Aku masukin bolanya, Pa!” Abelle melompat-lompat girang setelah Bagas menurunkan Abelle dari gendongannya.

“Abelle jago, ya. Abelle mau jadi pemain basket?” tanya Bagas dengan senyum paling bangga pada anaknya.

"Mau, mau, Pa!" Abelle tertawa riang sambil memeluk ayahnya.

"Papa pengen nanti bisa nonton pertandingan pertama Abelle, boleh?"

Abelle langsung mengangguk mantap, "boleh, Pa!"

"Tapi …" Bagas terdiam sejenak, membuat tawa Abelle terhenti, "maafin Papa, ya, Abelle," kedua mata Bagas mulai buram karena air mata yang menggenang.

"Papa kenapa, Pa?

"Papa? Pa!"

***

"PAPA!"

Abelle terbangun dengan jantung berdebar dan mata sembab. Ia langsung terduduk di atas kasur begitu matanya terbuka.

Papa muncul di mimpinya karena sepertinya ia mengorek terlalu dalam kenangan yang sudah terkubur lama itu.

<><><>

Helo helo!! BJAM update lagi! Gimana menurut kalian chapter ini? Yuk siapa yang mau puk puk in Abelle di sini 🥺

By the way, jangan lupa vote ⭐ dan komen 💬 yaa, thanks! ><

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 35.4K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
1.3M 94.7K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
4M 312K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...