Cinta Satu Kompleks

By TheSkyscraper

1.6M 29.8K 2K

Ini tentang Moza dan ketiga cowok yang tinggal satu kompleks dengannya. Ada Eghi, cowok yang Moza sukai. Lalu... More

Prolog
01| Minggu pagi Moza
02| Dua cowok menyebalkan
03| Aryan Suteja
04| Pertengkaran antara Ferrish dan Tejo
05| Mantan kekasih Ferrish
06| Dikejar Ferrish
07| Pulang bersama Ferrish
08| Kepulangan Kak Dylan
09| Pertengkaran dengan Masha
10| Moza mau kencan
11| Pertemuan Moza dengan Tejo
12| Moza patah hati
13| Rasa sesak di dada
14| Jadian, yuk?
15| Lari
16| Tamu tetangga sebelah
17| Rasa penasaran Moza
18| Jawaban dari pertanyaan Moza
19| Lagi-lagi bertemu Masha
20| Semua orang sibuk, kecuali Moza
21| Gosip hangat hari ini
22| Malam di rumah Moza

23| Kembali mencari gara-gara

798 104 15
By TheSkyscraper

Aku berjalan di koridor kelas sambil menatap ponsel yang berada di tangaku. Sebuah pesan baru saja masuk yang langsung kubuka.

Nomor 3 hasilnya 9 kan?

-Zilva-

"Ngikut lah," gumamku seraya memasukkan ponselku ke dalam saku seragamku.

Buru-buru aku membuka tasku lalu mengeluarkan buku tugas serta tempat pensil. Ketika aku sedang membuka tempat pensil untuk mengeluarkan pulpen, tiba-tiba saja tubuhku ditabrak seseorang yang membuat tempat pensil serta buku tugasku jatuh ke lantai. Benda-benda yang berada di dalam tempat pensil berserakan di sekitarku.

"Heh!" seruku kesal menoleh ke arah cowok yang tadi menabrakku.

"Sori nggak sengaja," balas cowok itu enteng tanpa berniat membantuku memunguti barang-barangku yang berserakan karena ulahnya.

Aku mendengus kesal seraya berjongkok untuk mengambil buku tugasku. Lalu aku meraih tempat pensil yang berada di depanku.

"Sumpah nyebelin," geurutku kesal sambil memungut dua buah pensil yang berada di sampingku. "Udah nabrak, nggak mau bantuin mungutin! Mana cuma bilang sori doang. Gue yakin permintaan maafnya juga nggak tulus! Awas aja kalau ketemu lagi, beneran gue jorokin ke got lo, ya."

"Lo ngomong sama siapa, sih?" tanya seseorang yang saat ini sudah berjongkok di depanku. Aku menaikkan pandangan dan melihat sosok Tejo tengah mengulurkan penghapus serata pulpen berwarna merah ke arahku. "Nih," katanya.

"Thanks," balasku mengambil dua benda itu. "Itu karet gelang gue tolong ambilin." Aku menunjuk karet gelang berwarna merah muda yang berada di belakang Tejo.

Tejo meraih karet gelang milikku lalu menyerahkannya kepadaku.

"Thank you," kataku lagi.

"Kok bisa jatuh semua?"

"Ditabrak sama cowok nggak tahu diri."

"Siapa?"

"Nggak kenal gue," jawabku mencoba mengingat-ingat wajah penabrakku tadi. "Sumpah, siapa pun cowok tadi, beneran gue doain yang jelek-jelek. Nyebelin banget."

Tejo terkekeh. "Mau ikut mengamini doa lo tapi gue takut dosa, Moz," ucapnya.

"Ya udah nggak usah," kataku sewot.

"Oke," balas Tejo tersenyum geli seraya bangkit dari posisi jongkoknya. "Gue duluan kalau gitu." Tejo melambai singkat ke arahku sebelum akhirnya berjalan meninggalkanku menuju kelasnya.

Setelah memungut pulpen berwarna hitam milikku, aku langsung bangkit berdiri. Kuamati isi tempat pensilku, memastikan tidak ada yang hilang. Lalu, tiba-tiba saja aku ingat jawaban yang dikirim oleh Zilva tadi.

"Sembilan," gumamku seraya membuka buku tugasku lalu menuliskan angka sembilan pada soal nomor tiga.

"Yakin sembilan?" tanya suara di belakangku.

Aku menoleh dan mendapati Ferrish tengah berdiri di belakangku sambil mengamati buku tugasku.

"Mungkin," jawabku.

"Bukan sembilan," kata Ferrish menyerahkan spidol berwarna merah kepadaku.

"Punya gue," balasku menerima spidol itu. "Kalau bukan sembilan terus berapa?" tanyaku kembali menatap ke arah Ferrish.

"Lo tadi ngobrol apa sama Tejo?" tanya Ferrish balik mengabaikan pertanyaanku tadi.

"Nggak ngobrol apa-apa," jawabku. "Jadi berapa hasilnya?" Aku mengetuk buku tugasku dengan dengan pulpen yang ada di tanganku.

"Gue lihat kalian tadi ngobrol," kata Ferrish kembali mengabaikan pertanyaanku.

Aku berdecak seraya menutup buku tugasku. "Kalau emang nggak niat mau ngasih tahu jawabannya, nggak usah mancing-mancing bilang jawaban yang gue tulis tadi salah!"

"Jawaban lo emang salah kok," katanya santai. "Jadi, lo berdua tadi ngobrol apa? Lo berdua ngomongin gue, ya?"

Aku menatap Ferrish dengan tidak percaya. "Dih, pede banget. Kayak nggak ada kerjaan aja gue ngobrolin diri lo."

"Terus?"

"Ada deh, rahasia. Lo nggak perlu tahu," kataku cuek seraya berjalan meninggalkan Ferrish.

Pagi-pagi Ferrish udah bikin ribut aja. Dia pikir aku tidak butuh hidup tentram dan damai apa?

"Lo tahu kan, gue dan dia pernah ada sejarah nggak ngenakin?" kata Ferrish yang saat ini sudah berada di sampingku.

"Ya terus?"

"Setia kawan kek," kata Ferrish lagi.

Aku menoleh ke arah Ferrish sambil melotot kesal kepadanya. "Gue sama Masha juga pernah ada sejarah nggak ngenakin. Tapi lo masih aja deket sama dia. Setia kawan kek!" balasku menyindirnya.

Ferrish menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak gatal. Saat ini dia tampak salah tingkah seolah ucapanku memang ada benarnya.

"Itu kan...."

"Apa?" tanyaku galak.

Ferrish menghela napas dalam. "Dua belas," ucapnya.

"Dua belas?" tanyaku bingung. "Apanya yang dua belas?"

"Jawabannya dua belas," katanya. "Buku tugas lo."

"Ah," ucapku buru-buru membuka buku tugasku. "Beneran dua belas kan?" Aku menoleh ke arah di mana tadi Ferrish berada. Namun, saat ini cowok itu sudah tidak ada di sampingku. Diam-diam Ferrish sudah berjalan meninggalkanku menuju ke arah kelasnya. "Rish!" panggilku yang membuatnya menoleh ke arahku.

"Nomor tiga jawabannya dua belas. Nomor empat dan tujuh jawaban lo juga salah," katanya sedikit berteriak. "Nomor sepuluh juga cek lagi, tuh."

"Yang bener berapa?" tanyaku lagi.

Ferrish berbalik seraya melambaikan tangan tanpa repot-repot menatapku.

"Ferrish! Jawabannya berapa?" teriakku. "Gue kasih tahu deh, obrolan kami tadi. Bantuin gue ngerjain tugas ini!"

Ferrish terus saja berjalan, mengabaikan panggilanku.

"Dasar nyebelin emang!" gerutuku.

***

Aku tersenyum senang menatap buku tugasku yang mendapat nilai hampir sempurna. Dari sepuluh soal, aku hanya salah di satu soal.

"Untung dibantuin Ferrish," kata Zilva yang duduk di sampingku.

"Nggak benar-benar bantuin sih, sebenernya. Lebih ke yang ngejek gue kalau jawaban gue salah," balasku.

"Tetap aja, kalau bukan karena Ferrish bilang jawaban lo salah, kita nggak ngecek ulang jawaban kita kan."

"Iya, sih," kataku mengangguk setuju.

Memang, setelah tadi pagi Ferrish bilang kalau jawaban milikku salah, aku langsung membagikan informasi itu kepada Zilva. Setelahnya, kami berdua buru-buru mengecek ulang jawaban kami lalu merevisinya karena ucapan Ferrish memang benar. Beberapa jawaban yang kutulis salah.
"Emang ya, tetangga lo itu otaknya encer banget. Kenapa sih, lo nggak minta bantuan Ferrish buat ngerjain PR dan tugas kita?"

"Ya menurut lo dia mau bantuin?"

Zilva diam sejenak. Setelahnya ia langsung menggelengkan kepala. "Enggak," jawabnya.

"Moza," panggil suara dari arah pintu. "Ada yang nyariin."

"Siapa?" tanyaku kepada Nira, salah satu teman satu kelasku.

"Nggak tahu," jawabnya. "Lo disuruh keluar katanya."

"Siapa, sih, yang nyariin gue?" gumamku.

"Samperin aja dulu," kata Zilva.

Aku menganggukkan kepala seraya bangkit dari posisi dudukku. Kemudian aku berjalan keluar kelas, menghampiri siapa pun yang sedang mencariku.

"Moza?" tanya seorang cewek ketika melihatku.

Aku menganggukkan kepala. "Iya. Nyariin gue?" tanyaku mengamati cewek itu. Aku mencoba mengingat siapa cewek yang berada di hadapanku ini. Namun, tampaknya aku memang tidak mengenalnya.

Tanpa repot-repot menjawab pertanyaanku, cewek itu langsung menarik tanganku dan menyeretku pergi dari depan kelasku.

"Hei, lo mau bawa gue ke mana?" tanyaku kebingungan. "Lepasin tangan gue."

"Ada yang nyariin lo," kata cewek itu masih terus menyeretku melewati lorong-lorong kelas.

"Siapa yang nyariin gue?" tanyaku lagi mencoba menarik tanganku dari genggamannya. Namun, gagal.

"Berisik! Diem bisa nggak?" serunya terdengar jengkel.

Mendadak saja perasaanku tidak enak. Tampaknya siapa pun yang mencariku ini memiliki tujuan yang buruk. Karena, jika dia memiliki tujuan baik, tidak mungkin aku ditarik paksa seperti ini.

"Lepasin tangan gue," kataku mencoba melepaskan cekalan tangannya pada tanganku. "Gue mau balik ke kelas." Kukerahkan seluruh tenagaku untuk menarik diri dari genggamannya. Ketika tanganku sudah lepas dan aku hendak pergi, tiba-tiba saja tubuhku ditahan oleh tiga orang yang sangat kukenal.

"Gue ada perlu sama lo," kata Masha seraya mendorongku memasuki sebuah ruangan yang berada di samping kami.

"Apa lo setakut itu buat ketemu gue sendirian sampai nyuruh orang buat bawa gue ke sini?" sindirku menatap Masha dan cewek yang tadi menarikku ke sini secara bergantian. Saat ini bukan hanya ada Masha dan cewek masih tidak kutahu namanya saja, kedua teman Masha yang dulu ikut mengkroyokku juga ada di sini.

Masha tertawa mengejek. "Gue takut sama lo? Nggak usah ngayal!" katanya kesal seraya mendorong bahuku dengan jari telunjuknya. "Lo tuh, bener-bener nggak tahu malu ya," lanjutnya menatapku dengan marah. "Setelah gencar deketin Ferrish, sekarang lo juga deketin Tejo? Apa lo seiri itu sama gue sampai cowok-cowok yang deket sama gue mau lo embat semua?"

Aku mendenguskan tawa geli. "Apa gue nggak salah dengar? Gue deketin Ferrish dan Tejo?" tanyaku. "Dan lo bilang kalau gue iri sama lo?" tambahku diiringi tawa yang tidak bisa kucegah. Sungguh pertanyaan Masha terdengar sangat konyol bagiku.

"Gue lihat tadi pagi lo ngobrol sama Tejo!" bentak Masha semakin kesal.

"Benar. Gue tadi pagi ngobrol sama Tejo. Selain Tejo, gue pun tadi pagi sempat ngobrol sama satpam sekolah. Oh, gue juga ngobrol sama Mas-mas penjaga kantin. Dan menurut lo, itu berarti gue sedang deketin mereka semua? Gila emang otak lo." Aku geleng-geleng kepala seraya menatap Masha prihatin. "Sebaiknya lo periksa kejiwaan lo deh. Kayaknya lo sakit."

"Nggak usah sembarangan ngomong lo! Lo emang terobsesi dengan Ferrish dan Tejo kan?" kata Masha kembali mendorong tubuhku. "Lo tuh, yang sakit! Udah tahu mereka suka sama gue, tapi dengan nggak tahu malunya, malah lo pepet!"

"Lo beneran buang-buang waktu gue dengan bahas hal konyol kayak gitu. Gue balik kelas," ucapku mengabaikan amukannya.

"Gue belum selesai ngomong!" teriaknya kesal.

Kedua temannya dan cewek yang tadi membawaku ke sini tiba-tiba saja memegangi tubuhku agar aku tidak beranjak dari tempatku.

"Lo mau main kroyokan lagi?" balasku ikut kesal menatap mereka semua dengan tatapan membunuh.

"Gue kan bilang kalau gue belum selesai ngomong," ucap Masha menoyor kepalaku dengan jari telunjuknya. "Lo tuli atau emang bego, sih?"

"Gue nggak peduli dengan apa pun yang lo omongin! Lepasin gue!" seruku menatap ketiga orang yang tengah memegangi tubuhku. "Atau paling nggak, kalau emang lo ngajakin berantem, nggak usah main cemen kayak gini dengan megangin tubuh gue! Maju lo semua bareng. Gue beneran nggak takut sama lo semua!"

Masha diam menatapku dengan tatapan benci. Detik berikutnya dia melayangkan tamparan ke pipi kiriku. Rasa panas dan sakit menjalari pipiku. Untuk beberapa saat, aku hanya bisa terdiam karena kaget.

"Lo beneran banyak omong!" kata Masha lagi.

Aku berusaha menerjang Masha untuk membalas tamparannya, tapi karena teman-temannya masih memegangiku, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Mungkin jika satua atau dua orang, aku masih bisa melepaskan diri. Namun, tiga orang terlalu banyak untuk kuhadapi sendirian.

"Buruan kelarin urusan lo sama nih bocah. Bentar bel," kata cewek yang tadi membawaku ke sini.

"Lepasin gue!" teriakku marah. "Dasar cemen lo semua! Beraninya kroyokan! Nggak tahu malu lo semua. Lemah!"

"Yang lemah itu lo. Lepas dari kami aja nggak bisa," balas salah satu teman Masha yang aku bahkan tidak ingat namanya.

"Sini lo maju sendirian kalau berani! Kalau nggak ada mereka semua juga paling lo lari kalau lihat gue. Cemen lo!" kataku lagi,

Tiba-tiba saja bel masuk berbunyi. Ketiga orang yang saat ini sedang memegangiku tampak saling menatap satu sama lain. Seolah mereka ingin buru-buru pergi dari sini.

Masha mencengkram daguku. Tatapannya terpancang pada wajahku. "Gue peringatin lo untuk yang terakhir kalinya. Jangan berani deketin Ferrish atau Tejo. Atau lo akan tahu akibatnya," katanya mengancamku. "Ayo pergi," lanjutnya seraya berjalan meninggalkan ruangan ini. Ketiga teman Masha langsung mendorongku hingga aku terjatuh dengan posisi lutut membentur lantai. Setelah itu mereka bertiga berjalan meninggalkanku untuk mengikuti Masha.

Aku mengusap lututku yang terasa nyeri karena terbentur. Setelah itu aku bangkit berdiri. Aku benar-benar merasa tidak terima diperlakukan seperti ini. Masha memang gila!

Dengan kesal dan agak terpincang-pincang aku berjalan keluar dari ruangan ini. Kemudian aku menyisir sekitarku untuk mencari Masha dan teman-temannya. Tak jauh dari tempatku berada, kulihat Masha berjalan bersama teman-temannya menuju arah kelasnya berada.

"Masha! Berhenti lo!" teriakku marah seraya berlari ke arahnya. Kuabaikan rasa nyeri pada lututku. Aku ingin segera menghampirinya lalu balik menamparnya. Dikira ditampar seperti tadi tidak sakit apa!

Masha yang mendengar teriakkanku sontak berhenti. Ketiga temannya pun ikut berhenti lalu berbalik untuk melihatku.

"Jangan kabur lo!" kataku lagi ketika sudah berada di dekatnya.

"Apa, sih?" balasnya terdengar tidak peduli.

"Lo nggak bisa seenaknya gitu aja sama gue," ucapku marah mengacungkan jari telunjukku ke arahnya.

"Lo ngomong apa, sih? Gue nggak ngerti." Masha menatapku dengan ekspresi pura-pura bodoh.

Belum sempat aku melayangkan pukulan ataupun tamparan, tiba-tiba saja tubuhku ditarik dari belakang. Di depanku pun kini sudah ada sosok Kak Eghi yang tampak seolah sudah siap meleraiku.

"Moza, dilihatin banyak orang," kata Zilva yang berada di sampingku. Tangannya masih setia memegangi kedua lenganku.

"Bye," ucap Masha seraya melambaikan tangan ke arahku dengan ekspresi wajah tengilnya yang memuakkan.

"Gue belum selesai, berengsek!" makiku makin kesal ketika melihat Masha melenggang pergi begitu saja.

"Lo kenapa, sih?" tanya Kak Eghi berbalik untuk menatapku.

"Dia yang kenapa! Kesel gue," kataku dengan embusan napas kasar. Kini kuamati sekitarku, dan benar kata Zilva. Saat ini aku sudah menjadi tontonan anak-anak. Dan sialnya, kali ini aku yang terlihat seperti tengah mencari gara-gara dengan Masha. Padahal kan Masha duluan!

Aku menghela napas panjang seraya berbalik untuk berjalan ke kelasku. Kak Eghi dan Zilva mengikutiku di belakang sambil memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang enggan kujawab. Sebelum sampai di kelasku, aku melihat sosok Ferrish dan Dennis berlari ke arahku. Mereka berdua berhenti di sampingku dengan napas tersengal-sengal.

"Gue dengar lo—"

"Benci banget gue sama mantan lo," kataku memotong ucapan Dennis seraya menatap kesal ke arah Ferrish. Setelahnya aku berjalan melewatinya menuju kelasku. 

---------------------  

Halo! 

Kupikir kemarin aku bisa fokus nulis cerita ini karena cerita di PF sebelah sudah tamat, tahunya dunia nyataku sibuk banget. Jadinya, aku nunggu capeknya selesai baru kembali nulis ini huhuhuu

Terima kasih ya buat kalian yang udah baca cerita ini. Jangan lupa mampir ke ceritaku yang lain. Yang punya akun dreame/innovel mampir ke akunku yaa. Ceritaku di sana lumayan banyak. Silakan dibaca semuaaa hehehe. 



Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 122K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
275K 25.4K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.3M 224K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Ada satu rumor yang tersebar, kalau siapapu...
2.7M 275K 64
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?