FWB: Friends With Bittersweet

By rahmatgenaldi

1.4K 120 14

❝Antara aku yang terlalu naif, dan kamu yang terlalu baik.❞ • • • Toko buku, toko perabot, tumbler dan desser... More

1. Tentang
2. Hantu Masa Lalu
3. (Masih) Tentang Julian
4. Julian dan Masanya yang Telah Usai
5. Bab Terakhir Untuk Julian
6. Rajendra Rama Hakmani
7. Kali Pertama
8. Simbiosis Mutualisme
9. Usik
10. Sedikit Celah
11. Dua Sisi
12. Menolak Mengabaikan
13. Distraksi
15. Pertanyaan Berbahaya
16. Netra Cokelat & Degup Jantung
17. Mengusahakan Topik (1)
18. Mengusahakan Topik (2)
19. Menghadapi Kegelisahan
20. Rama & Toko Buku
21. Kamu?

14. Balada Toko Buku

9 1 0
By rahmatgenaldi

Rasa syukur tidak selalu tentang bagaimana kita bisa mendapatkan banyak penghargaan dari semesta berupa kekayaan materi, rasa bahagia yang tak terbatas, atau mungkin orang-orang dekat yang berharga. Ada banyak alasan untuk kita bisa mengucap syukur kepada Tuhan dan semesta-Nya selain hal-hal manusiawi yang penuh ekspektasi itu. Rasa syukur bisa kita miliki dalam bentuk lain yang lebih sederhana. Contohnya dengan apa yang kutemui pagi itu.

Aku bersyukur karena mendapati Angel masih hidup setelah semalaman menggila bersama botol-botol alkohol.  Aku baru saja mematikan panggilannya, katanya dia tidak ingat secara keseluruhan tentang apa yang kita bicarakan semalam, tapi satu hal yang pasti adalah tentang dia yang memang serius ingin mengajakku jalan berdua di hari Sabtu.

Tak lupa aku memarahi dia karena sudah membuang waktuku semalam dengan ocehannya yang tidak jelas hanya karena dia mabuk. Dan tentu, aku tidak segan-segan meledek dia yang sudah menangisi Dillon semalam—sama seperti dia yang dulu sering menertawaiku karena menangisi Julian.

Pagi itu aku tidak melakukan banyak hal. Seperti Minggu pagi yang biasanya, aku hanya bangun untuk merapikan tempat tidur dan meja kerjaku, meneguk segelas air putih, lantas kembali bersantai bersama buku-buku yang sudah lama aku tunda untuk dibaca.

Tepat saat pukul sembilan pagi, aku ditelepon oleh tim promosi redaksi di mana novel pertamaku diterbitkan. Kami tidak terlalu lama bicara, hanya ada beberapa pembahasan tentang konten promosi untuk masa Pre-Order yang masih berlangsung, juga beberapa wara-wiri tentang hal apa saja yang perlu kubantu dalam rangka mempromosikan debut pertama karyaku ini.

Sepanjang berbicara dengan tim promosi itu, sesekali aku malah teringat Rama tanpa alasan yang pasti. Aku seringkali membuka ruang obrolanku bersama Rama di ponsel sambil mendengarkan tim promosi berbicara panjang lebar. Aku menahan napas sejenak, menghitung dalam hati sebelum kemudian bertanya pada diri sendiri kenapa aku malah terkesan menunggu Rama seperti ini? Aku terus menatap ruang obrolan, dan tetap saja tidak ada pesan yang bertambah di sana. Tidak ada pesan baru dari Rama. Parahnya lagi, hal ini bukan kali pertama sejak dua hari terakhir. Semakin sering aku berinteraksi, semakin aku mau lagi, lagi dan lagi.

"Baiklah, Na. Yang terpenting kau jangan sampai lupa, ya, materi promosi yang kujelaskan tadi harus kau masukkan ke dalam cerita Instagram-mu secepatnya, ya."

"Siap, Kak Flara. Selepas ini akan langsung ku-post di Instastory," jawabku kepada utusan tim redaksi itu. Selanjutnya aku kembali menopang dagu, seperti orang dungu yang sedang menunggu entah apa. Kembali kunyalakan layar ponselku, kemudian cepat-cepat mengusir Rama keluar dari kepalaku. Aku langsung fokus melakukan permintaan Kak Flara, sesuai dengan apa yang dia minta untuk menunjang promosi Pre-Order novelku. Sebelum akhirnya, yang kurasakan kembali tetap saja sama. Bolak-balik ruang obrolan sambil memikirkan kiranya topik seperti apa yang bisa kubawa untuk membuka obrolan dengan Rama.

Belum lama aku berkutat dengan pikiranku, tiba-tiba saja netraku mendapati nama pengguna @ramahakmani berada dalam daftar penyimak ceritaku. Aku meletakkan ponselku ke atas meja, membiarkan layarnya tetap menampilkan daftar pengguna yang sudah menampilkan ceritaku—yang mana salah satunya adalah Rama. Anehnya, aku tidak tau harus apa ketika seulas senyum tercipta begitu saja di wajahku hanya karena satu kenyataan tentang Rama yang sudah menonton Instastory-ku.

Aku ingin sekali menemukan jawab perihal apa yang terjadi atas diriku, namun sepertinya hal itu tidak akan terjawab saat itu juga karena seakan apa yang kudapati pagi itu belum cukup—Rama kembali berulah. Untuk membuatku semakin berani menaruh namanya di ruang yang lebih luas di kepalaku.

To The Moon🚀

Rama Hakmani:
"Sepertinya nama To The Moon sudah tidak cocok untuk grup ini."

"Kita harus menggantinya sesegera mungkin."

"Aku punya ide yang baik untuk itu. Sepertinya akan lebih cocok jika nama grup ini kita masukkan sedikit unsur kepenulisan di dalamnya."

"Karena ternyata, kita punya seorang penulis hebat di grup ini."

Seakan hal itu belum cukup untuk membuatku lupa diri dan terus tersenyum, Rama membuat pipku lebih merona dari yang tadi.

Rama Hakmani:
*Sent a picture*

"Hebat sekali nona yang satu ini."

Raina Genna Eldirah:
"Rama, jangan berlebihan."

"Aku malu."

Rama Hakmani:
"Curang. "

"Aku disini bangga setengah mati, tapi kau malah malu. Aku tidak tau cara mengurungkan pujian."

"Apalagi kalau harus mengurungkan pujian yang memang pantas untukmu."

Gilbert Philemon:
"Wah, itu Raina?"

"Tunggu, aku harus meminta tandatanganmu di mana?"

Iqbal Syahdian:
"Ternyata kita punya penulis, ya, di kelas."

Kenzie Rex Addler:
"Eits. Jangan lupa, guys. Dia temanku. Aku yang lebih dulu mengenal Raina sebelum kalian semua."

Gilbert Philemon:
"Diam, Ken. Aku sedang mencari barang-barangku yang kiranya bisa untuk menjadi wadah bagi Raina membubuhkan tandatangannya."

Kemudian beberapa teman dari grup To The Moon ikut menimpali. Tadi itu Rama hanya mengirimkan sebuah gambar hasil tangkapan layar yang dia ambil dari cerita Instagram-ku, isinya hanyalah sedikit cuitan plot yang diambil dari isi naskah novelku yang pada konteks ini dipakai sebagai bahan promosi. Rama hanya mengirim itu di grup, tapi mereka benar-benar menerbangkanku dengan pujian-pujian seperti tadi. Bahkan selanjutnya ada Genta, Raka dan Sabian yang sama berlebihannya dengan mereka semua, meski tak bisa kupingkiri bahwa pada akhirnya hal itu mampu membuatku terenyuh. Sebuah Minggu pagi yang manis sekali.

Aku mendapatkan ide topik dari apa yang baru saja terjadi. Jangan katakan aku menyukai Rama, aku hanya senang karena sudah mendapat cara untuk aku bisa punya obrolan baru bersama ... teman baruku.

Raina Genna:
"Kenapa kau lakukan itu?"

"Ayolah, kau kan tau aku sudah lama sekali menutup diri dari orang lain."

"Aku tidak keberatan, sih. Tapi aku hanya tidak tau harus bereaksi seperti apa."

"Lagipula ... semua pujian itu terlalu hiperbola. Aku tidak sehebat itu. Aku bukan Rintik Sedu."

Rama Hakmani:
"Tidak apa, kau santai saja."

"Apa yang mereka semua katakan seluruhnya benar, tidak ada yang salah."

"Kau memang sehebat itu."

Aku hendak memberi balasan untuk Rama dengan antusias, sebelum pintu kamarku terdengar seperti ada yang mengetuk dari luar.

"Siapa?" tanyaku, "langsung masuk saja."

Rupanya Bi Ida, salah satu ART yang ada di rumahku.

"Kenapa, Bi?"

"Ini, Non. Tadi saya sedang menyapu di balkon depan, lalu Bang Thoriq meminta saya untuk membawakan paket ini kepada Non Raina. Katanya paket dari kurir pengantaran. Tidak tau isinya apa."

"Terima kasih, Bi." Bi Ida langsung pergi setelah meletakkan paket yang dia maksud itu ke atas nakas yang tak jauh dari pintu kamarku. Jujur saja aku tidak terlalu peduli tentang apa isi dari paket itu, namun karena harus—aku langsung mengambil untuk mengetahui isinya. Rupanya hanya paket parfum yang memang sempat kupesan beberapa waktu lalu. Aku memang kerap kali membeli beberapa varian parfum dari berbagai macam brand untuk memenuhi rasa penasaranku.

Tapi kali itu aku tidak terlalu mempedulikan parfum baruku yang baru tiba. Aku malah sedikit kesal dan sangat ingin menyalahkan Bi Ida karena interaksiku bersama Rama terputus begitu saja. Ini sudah berlangsung tujuh menit setelah aku membaca pesannya, aku yakin bahwa Rama akan mengira bahwa aku tidak lagi mau mengobrol.

Aku menghela napas, menggaruk kepalaku dengan bingung. Dengan cara apa lagi aku harus mencari topik? Langsung kuambil kembali paket parfum yang sudah tergeletak di lantai. Ada logo Shopee di segel paketnya, membuatku terdiam sebelum akhirnya tersenyum lebar karena sebuah ide.

"Aku tahu!" seruku menjentikkan jari. Buru-buru aku membuka paket itu, mengeluarkan parfumnya lalu meletakkannya secara asal di meja riasku. Kuambil ponselku, lantas kembali mengetikkan pesan untuk Rama.

Raina Genna Eldirah:
"Hei."

"Kau sedang apa?"

Rama Hakmani:
"Sedang menunggu."

Raina Genna Eldirah:
"Menunggu sesuatu?"

"Apa?"

"Oh, aku tau. Kau menunggu seseorang?"

Rama Hakmani:
"Iya."

Raina Genna Eldirah:
"Siapa?"

Rama Hakmani:
"Kau."

Raina Genna Eldirah:
"Hah?"

Rama Hakmani:
"Idiot."

"Semalam kau menjanjiku untuk mengirim buku itu hari ini, kan?"

Raina Genna Eldirah:
"Astaga."

"Aku lupa."

Sebenarnya aku tidak benar-benar lupa. Bahkan jika harus jujur, satu hal yang langsung teringat di kepalaku saat bangun pagi adalah tentang buku itu. Novel karya Tere Liye berjudul Tentang Kamu yang semalam kujanjikan pada Rama untuk dia pinjam. Tapi entah kenapa aku malah tidak tertarik menghubungi Rama lebih dulu hanya untuk menanyakan apakah dia jadi meminjam buku itu atau tidak. Aku hanya ingin agar dia yang menagihnya lebih dulu dariku. Seperti yang baru saja terjadi.

Raina Genna Eldirah
"Itu tidak gratis."

"Apalagi setelah kau menyebutku idiot."

"Mood pagiku jadi rusak."

"Kau harus menghiburku sekarang."

Rama Hakmani:
"Ajari caranya."

Aku tersenyum, kemudian terkekeh hanya karena respon singkatnya itu. Untuk saat itu aku sama sekali tidak akan peduli lagi tentang pendapat orang lain tentangku jika melihatku seperti ini. Aku tidak peduli jika kalian akan berspekulasi apakah aku menyukai Rama atau tidak—karena waktu itu satu-satunya hal yang terpenting adalah tentang kenyataan bahwa aku selalu mendapati diriku merasa senang, tenang dan aman ketika berinteraksi dengan Rama. Aku selalu mendapati diriku berhasil menghilangkan diri dari dunia yang tidak pernah menyenangkan bagiku. Atau mungkin, ini kah yang dikatakan orang-orang tentang rasa nyaman? Entahlah.

Raina Genna Eldirah:
"Aku baru saja menerima paket parfum yang beberapa waktu lalu kupesan lewat Shopee."

"Aku terlalu banyak membuang uang untuk barang-barang yang sebenarnya tidak kubutuhkan, kurasa ini salah satu efek dari pandemi juga."

"Dari sana aku jadi berpikir. Aku yakin kau yang notabene anak dari seorang walikota pasti sudah membuang lebih banyak uang daripada aku selama pandemi ini. Apa saja yang sudah kau beli lewat Shopee? Bagaimana kalau kita saling share isi keranjang? Sepertinya lucu."

Rama Hakmani:
"Sejujurnya aku tidak terlalu senang jika selalu dijuluki 'anak walikota'. Karena yang walikota adalah bapakku, bukan aku. Tapi, tunggu sebentar. Aku tidak ingat pernah bercerita padamu soal itu. Kau tau dari mana?

Raina Genna Eldirah:
"Oh, maaf. Tapi, memangnya kau pikir siapa yang tidak tau soal itu? Aku pernah melihat kalian membahasnya di grup."

Lagi, aku berbohong. Kalian tau betapa sebelumnya aku tidak pernah sepenuhnya membaca isi dari grup To The Moon itu.

Raina Genna Eldirah:
"Jadi, kau mau atau tidak?"

"Beritahu aku apa saja isi keranjangmu."

Rama Hakmani:
"Kau serandom itu ya?"

"Kenapa tiba-tiba malah kepikiran hal seaneh itu, sih?"

Raina Genna Eldirah:
"Hahaha aku tidak tau."

"Tiba-tiba saja terpikirkan."

"Jadi, bagaimana?"

Rama Hakmani:
"Aku tidak sehedon yang kau pikir."

"Aku tidak tertarik membeli apapun di Shopee sebulan belakangan ini."

"Isi keranjangku kosong."

Raina Genna:
"Bohong."

"Aku tidak percaya."

Rama Hakmani:
"Oh, baiklah jika kau memaksa."

"Aku tidak tertarik membeli apapun."

"Kecuali ini."

"Isi keranjangku hanya satu."

"Lihat saja sendiri."

*Sent a picture*.

Aku membuka gambar yang dikirim Rama dengan sedikit keterkejutan. Ini di luar prediksiku, sebuah gambar yang membuatku salah tingkah itu benar-benar berada di luar dari dugaanku. Di gambar itu sudah jelas sekali bahwa Rama baru saja mengikuti Pre-Order untuk sebuah novel berjudul I Wish I Never Met You.

Raina Genna Eldirah:
"KAU ... "

"DIAM-DIAM IKUT PRE-ORDER NOVELKU?!"

Jantungku belum kembali berdetak dengan lebih normal, tapi sepertinya Rama memang sedang sengaja membuat perasaanku bergelora. Aku menutup wajahku, benar-benar tak ingin satu pun orang yang tau bahwa kala itu wajahku memerah bak kepiting rebus dengan sebuah senyuman tak tertahankan tercetak jelas di bibirku.

Rama Hakmani:
"Memangnya siapa aku sampai harus ketinggalan Pre-Order novel pertamamu?"

• • •

Aku harus merutuki diriku berkali-kali lagi karena tidak tau harus mengirim pesan seperti apa kepada Rama selain ucapan terima kasih. Interaksiku dengan dia selalu berakhir dengan seperti itu, meninggalkan aku dengan rasa sesal yang menghakimi diriku sendiri karena gagal memperpanjang obrolan. Pikiranku akan hal itu menenggelamkanku dengan cukup lama, bahkan sampai ketika ada Andre yang berbicara di ujung telepon sana, aku masih juga menyesali obrolanku dengan Rama yang lagi-lagi terputus.

"Kau tentu tidak lupa, kan?"

"Um, iya. Tentu saja. Mana mungkin aku bisa lupa? Aku kan sudah janji, Ndre."

"Baiklah, butuh berapa lama bagimu untuk mempersiapkan diri? Mandi, berpakaian, merias diri? Dua jam cukup?"

Aku memutar bola mataku, "Kau berlebihan. Aku tidak perlu seperti itu cuma untuk jalan berdua denganmu. Memangnya kau siapa? Kim Tae Hyung?"

Andre tertawa di ujung telepon sana. Tawanya terdengar renyah di telingaku, tapi sayangnya Andre tidak tau bahwa satu-satunya tawa yang belakangan ini terngiang di kepalaku adalah milik Rama. Meskipun aku belum pernah secara langsung mendengarnya.

"Tapi tunggu dulu, Na. Menurutmu sebaiknya kita nonton film apa? Horror atau roman? Kau lebih suka horror, bukan? Tapi horror yang sedang tayang bukan film lokal, Na. Kau kan sukanya lokal. Jadi .... "

"Andre," potongku.

"Ya?"

"Maaf, tapi sepertinya hari ini aku tidak bisa nonton."

"Oh, ya? Kenapa, Na?"

"Tidak kenapa-kenapa. Hanya sedang tidak ingin saja."

"Kita tidak jadi jalan?"

Pertanyaan Andre itu membuatku terintimidasi. Aku merasa tidak enak karena sudah membuatnya mengeluarkan pertanyaan yang seperti itu. Kenapa pula tiba-tiba aku merasa harus menjaga jarak dengan Andre?

"Kita tetap jalan, Ndre. Tapi ... tidak usah nonton. Boleh, ya?"

"Baiklah kalau itu maumu. Asalkan kau senang saja, Na. Itu saja sudah cukup."

"Terima kasih, Ndre. Lima belas menit lagi aku sudah siap. Sampai jumpa," ucapku final. Aku langsung memutus telepon sebelum mengembuskan napas kasar. Aku baru saja berpikir, bagaimana jika Rama yang mengajakku nonton film bioskop? Apakah aku akan menghindar seperti tadi? Oh, tidak. Apa aku baru saja membandingkan Andre dan Rama? Yang benar saja!

• • •

Tidak seperti biasanya, hari itu aku tidak mengeluarkan banyak usaha demi mendapatkan penampilan sempurna untuk jalan berdua bersama Andre. Aku hanya mengenakan oversized sweatshirt berwarna ungu dengan short pant berbahan jins sebagai bawahan. Setelah banyak negosiasi dan sedikit perdebatan kecil, aku dan Andre sekarang sudah duduk manis di dalam sebuah restoran yang ada di dalam mall.

"Na, coba bayangkan kalau makanan di bumi ini hanya ada nasi goreng."

Aku sedang menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutku saat dia mengucapkan itu. Andre memang selalu punya pemikiran random yang selanjutnya akan dia bawa sebagai pembuka percakapan yang hampir tak berujung.

"Bisa kau bayangkan? Kalau hal itu benar terjadi, perempuan bisa kerepotan."

"Kenapa?" tanyaku setengah tertarik.

Andre hanya mengedikkan bahunya, sedikit tertawa sebelum menjelaskan, "Bagaimana jika nasi goreng adalah satu-satunya makanan yang ada di bumi? Saat ditanya mau makan apa, perempuan akan kesulitan. Mereka tidak bisa menjawab dengan kata terserah lagi, karena nasi goreng adalah satu-satunya opsi yang ada."

"Persepsimu itu keliru." Aku membantah. "Justru para pria lah yang akan kesulitan. Mereka jadi tidak punya alasan untuk bertanya mau makan apa ke perempuan, karena jawabannya sudah jelas. Sudah pasti nasi goreng."

"Nah!" Andre tiba-tiba saja menjentikkan jari, membuatku sedikit tersentak. "Bagaimana kalau aku ini nasi gorengnya, Na? Kalau kau ditanya mau menghabiskan waktu dengan siapa, kau tidak punya jawaban lain selain Andre, Andre dan Andre. Bukankah itu justru akan lebih memudahkan?"

Aku mengernyit, menatap lelaki di hadapanku ini dengan tatapan tak percaya. Bagaimana bisa dia menyambungkan semua ini ke arah sana? Aku tertawa, kemudian langsung melemparinya dengan kacang polong yang ada di nasi gorengku.

Selanjutnya, hanya ada percakapan ringan yang biasa untuk ukuran sepasang pemuda yang berteman. Andre banyak bercerita tentang mantan pacarnya yang katanya sering meminta untuk bertemu belakangan ini. Aku juga tidak merasa perlu memikirkan lebih jauh kenapa Andre bisa seterbuka itu menceritakan asmaranya, mungkin saja karena dia merasa bahwa aku memang sahabatnya. Sama seperti aku yang dulu sering merepotinya perihal Julian, sisa waktu yang kami miliki untuk makan siang hari itu dihabiskan untuk Andre meminta banyak saran dariku.

"Na, kau yakin tidak ingin nonton di bioskop?" tanya Andre sekali lagi saat kita sudah berjalan turun lewat eskalator.

Aku menggeleng, "Bagaimana kalau kau temaniku ke toko buku? Aku ingin melihat-lihat saja."

"Kenapa tidak memilih nonton saja, Na?"

Aku menghela napas pelan. "Ya ... kenapa tidak ke toko buku saja?"

Selanjutnya Andre tidak punya pilihan selain menarik tanganku menuju toko buku. Sesampainya di sana aku merasa seperti ada ransel yang super berat dilepaskan dari punggungku, rasanya setiap penat dan beban bisa terlepas begitu saja hanya dengan aroma buku-buku baru yang langsung terhirup oleh indera penciumanku.

Aku berjalan melewati rak khusus novel, meneliti tiap sudutnya dengan ekspresi yang penuh antusias dan tenang. Andre hanya mengekori dari belakang, sembari menggaruk belakang kepalanya dengan kebingungan. Mendatangi toko buku ini membuatku teringat akan Rama. Entah bagaimana bisa, tapi tiba-tiba saja aku teringat oleh lelaki yang sebelumnya pernah menanyakan tentang buku terhadapku.

Tanganku sudah memegang satu buah buku fiksi setelah hampir setengah jam memutari toko buku ini. Aku kembali ke rak bagian depan, memastikan apakah tidak ada buku baru yang bisa kubawa pulang hari itu.

Tepat saat kakiku sudah berhenti di depan rak khusus buku-buku baru, aku terperanjat. Bibirku tanpa suara mengeja tiap huruf yang ada pada sebuah buku berwarna abu-oranye yang disusun rapi membentuk sebuah menara kecil.

"I- itu ... novel Janji nya Tere Liye?" tanyaku pada diri sendiri.

"Kenapa, Na?" tanya Andre yang langsung menoleh.

Aku menggeleng kuat, kalau kuberitahu pun Andre tidak akan mengerti. Lagipula ini memang bukan kapasitasnya untuk tau. Astaga, itu memang novel Janji! Novel yang beberapa waktu lalu sempat kubahas bersama Rama. Dalam hati aku berseru senang, Yeah! Topik baru lagi!

Buru-buru aku merogoh saku untuk mengeluarkan ponsel. Andre hanya semakin bingung menatap diriku yang langsung lemas karena ternyata ponselku mati. Aku lupa membawa charger, sedangkan milik Andre tidak cocok dengan ponselku.

"Ndre, ayo pulang!" Aku tidak bisa menutupi kegelisahanku sekarang ini. Meski sebenarnya tidak ada waktu yang mengejar, rasanya aku mau secepat mungkin memberitahu Rama tentang apa yang sudah kulihat di toko buku ini.

"Hah? Pulang?" Andre semakin heran, dari nada bicaranya dia terdengar seperti kurang terima. "Kita ke sini cuma untuk makan siang?"

"Aku sudah menemukan buku yang kucari. Aku ... aku ada keperluan mendadak."

"Keperluan mendadak? Tadi kulihat ponselmu mati, Na. Kau mau kupinjamkan charger saja?"

Aku menggeleng kuat dengan masih memikul rasa terburu-buru yang sama. "Antarkan aku pulang."

"Tapi, Na—"

"Ayo cepat!" seruku sebelum akhirnya melangkah buru-buru meninggalkan Andre. Aku masih mendengar dia memekikkan ketidakterimaannya, dia berseru memanggilku saat tiba-tiba segala pergerakannya terhenti.

Aku menoleh, melihat ke arah ponselnya yang kini dia genggam.

"Kirei menelepon," ucap Andre menjawabku yang bertanya lewat tatapan. "Tumben sekali dia meneleponku."

Aku tidak jadi pergi dari sana. Andre langsung menjawab panggilannya dengan masih menatapku.

"Kenapa, Rei?"

"..."

"Iya, dia masih bersamaku. Kenapa memangnya?"

Sepersekian detik selanjutnya ponsel itu beralih tangan kepadaku. Aku mengernyit, ini ada apa? Kenapa tiba-tiba sekali?

"Kau harus ke rumahku sekarang juga. Ada kabar hangat yang harus kau tau."

"Aku segera ke sana."

Selanjutnya aku tidak punya pilihan selain menutup panggilan itu. Diam-diam aku berterima kasih kepada Kirei, sebab jika bukan karena panggilannya itu, aku pasti akan dihantui rasa bersalah karena sudah meninggalkan Andre tanpa alasan.

Well, sekarang aku punya alasan. Bukan hanya karena Rama, tapi Kirei memang mendesakku untuk segera datang, kan?

"Andre, kau mau mengantarku ke rumah Kirei?"

Andre mengangkat bahu, "Aku tidak punya pilihan lain, kan?"

Sayangnya, aku memilih untuk pura-pura tidak melihat wajah lesu Andre kala itu. Aku tau dia mungkin kecewa, tapi aku juga tau bahwa saat itu aku benar-benar tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk pergi ke rumah Kirei.

Meminjam charger-nya, menyalakan ponselku, kemudian membawakan topik baru kepada Rama yang menyenangkan itu.

• • •

Sampai jumpa di chapter selanjutnya:)

Continue Reading

You'll Also Like

284K 20.1K 31
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
692K 108K 41
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
5.3M 286K 55
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
330K 2K 18
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...