Home. [End]

By rsptkasih

232K 31.3K 3.4K

[Angst] She fell first, he fell harder. Arsad terjebak sendiri dalam rencana balas dendamnya pada seorang per... More

Prekuel: You had me at hello
Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12-1
Chapter 12-2
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Extended Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
CAST
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Extended Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Epilogue
Extra di Karyakarsa [Sudah Lengkap]
Spin Off Abel: Tidak denganmu, dengan yang lainnya

Chapter 3

5K 602 10
By rsptkasih

Ini kali pertama dia merasa punya keluarga. Seperti diterima utuh.

Alasan lain dia ingin menikah dengan Arsad, dia jatuh hati dengan keluarga Tante Elma. Arsad menjadi yatim piatu sejak umur sepuluh tahun. Tapi keberadaan Tante Elma dan Om Tama membuat Indira yakin kalau Arsad tidak kekurangan kasih sayang.

Dan dia ingin menjadi bagian dari keluarga itu.

Indira menyiapkan buket bunga yang super cantik untuk kunjungan malam ini. Dia merangkainya sendiri di antara kesibukan pesanan buket lain meski hanya makan malam biasa. Arsad sudah memperingatkan agar tidak perlu membeli hadiah. Dia yang akan diomeli tantenya nanti karena menghamburkan uang. Indira menurut, hanya bunga, bukan hal mewah apalagi mahal.

Keramahan dan kecantikan Tante Elma membuat usia gagal bekerja padanya. Sepasang matanya menyorot keteduhan dan kelembutan. Kesempurnaan lainnya, Tante Elma memiliki suami yang baik dan tampak begitu mencintainya. Setiap datang ke rumah ini Indira selalu merasakan kehangatan yang tidak pernah dia dapat di mana pun. Sesekali dia akan membayangkan mereka adalah cerminan dirinya dan Arsad ketika tua nanti. Terus mencintai walau setiap rumah tak sesempurna yang terlihat.

Makan malam terasa akrab dengan obrolan ringan tapi bermakna. Sesekali tawa terselip di antaranya. Arsad lebih banyak menyimak dan nimbrung sekali-dua kali. Dia tetaplah menjadi seperti biasanya dan tidak ada yang mempermasalahkan itu di rumah ini.

Selepas dari meja makan, mereka duduk di ruang TV. Obrolan lainnya berlanjut.

"Arsad nggak ngerepotin kamu kan, Ndi?"

Subjek yang dibicarakan melepas pandangan dari layar besar. Dia menoleh ke dua perempuan yang punya hobi sama; suka cerewet, mengomel, serta menginvasi hidupnya untuk hal-hal remeh. Meski dia tetap punya kendali penuh atas hidupnya, dua perempuan ini tetap saja menjadi ancaman.

Pertemuan mereka memang cocok sekali untuk membuat hidup Arsad yang ingin tenang, menjadi riuh.

"Enggak, Tante. Aku justru yang ngerepotin dia."

"Kamu ini, suka banget merendah. Sama Tante nggak usah sungkan, Ndi. Arsad nggak keberatan kok kita gibahin dia. Salah atau nggak salah, kalau kita ngomel, dia cuma dengerin."

Indira tersenyum maklum. Teringat jika Tante Elma mempunyai anak lelaki sepantaran dengan Arsad tapi harus menyerah setelah berjuang melawan kanker. Dia bisa melihatnya, bahwa sesekali wanita paruh baya itu akan menatap Arsad dengan tatapan rindu sekaligus kosong. Tapi tak jarang sorot itu terlihat hidup hanya dengan keberadaan Arsad di sekitarnya.

Arsad mendecak lirih. Ketika ponselnya bergetar, dia pamit ke teras samping. Indira mengikuti punggung yang menjauh dengan matanya. Dari pintu kaca dia melihat Arsad menerima telepon. Mungkin urusan pekerjaan.

"Arsad bukan anak yang manis, Ndi. Beruntung dia dapat kamu yang pengertian dan sayang sekali ke dia. Kamu juga sabar ngadepin tingkah dia yang kayak kulkas itu." Kemudian dengan nada jenaka. "Tante kalau nggak inget dia keponakan Tante satu-satunya, mungkin Tante sudah sering jewerin."

Indira tertawa pelan. "Nggak ada yang lebih besar dari rasa terima kasihku karena diterima di keluarga ini, Tan."

Wanita paruh baya itu terdiam, ikut menatap ke pintu kaca. Keponakannya sibuk bicara di telepon dengan seseorang. "Semoga dia nggak pernah nyakitin kamu, Ndi. Kamu orang baik."

"Tante—"

Ada ketulusan yang terpancar dari sepasang mata itu ketika menoleh dan menemukan Indira. "Kalau sampai dia bikin kamu nangis atau kecewa, Tante sulit maafin dia nanti. Biarpun besar bukan di rumah ini tapi dia sudah seperti anak Tante sendiri."

Indira mengangguk, sepenuhnya mengerti.

Mereka pamit sebelum malam terlalu larut. Berhasil lolos dari bujukan Tante Elma untuk menginap saja.

"Tuhan kasih aku kesempatan kedua lewat kamu."

Seperti kalimat ajaib Indira lainnya, Arsad sudah mendengar ini yang kelima atau ... enam? Entah dia tidak yakin jumlah pastinya.

Setiap hari selalu ada satu kalimat manis dari Indira. Kadang ketika mereka baru membuka mata, ketika di meja makan, atau seperti sekarang di tengah kemacetan. Awalnya dia pikir hanya karena perempuan itu sedang jatuh cinta, ternyata sudah menjadi kebiasaannya.

Arsad tidak percaya orang bisa jatuh cinta setiap hari. Terlalu naif. Yang ada hanya terbiasa atau ... terpaksa.

Seperti yang sedang dia jalani saat ini dan beberapa waktu kedepan. Dia belum merencanakan apa pun. Masih terlalu dini, bukan? Biarkan perempuan di sebelahnya ini merasa bahagia.

"Aku manusia biasa, bukan malaikat. Bisa berhenti ngomongin sesuatu yang kedengaran aneh?"

"Makasih pujiannya."

"Itu bukan pujian." Arsad memejamkan mata. "Kamu ... oke, terserah. Lakuin apa pun yang kamu mau." Dia hanya ingin menghadapi macet dengan tenang, bukan membuka sesi argumentasi dengan Indira. Walau tanpa tarik urat tapi tetap saja melelahkan. Perempuan ini selalu punya cara agar komunikasi terus berjalan dua arah.

"Nggak cuma aku, Tante Elma juga, 'kan?"

"Kalian sama saja."

Selain mobil-mobil yang terjebak di sekitarnya, Indira menikmati pemandangan Arsad yang mulai sebal. "Mungkin karena kami sama-sama kehilangan 'rumah'?"

"Aku nggak menyediakan tempat yang kalian sebut rumah."

"Kamu nggak sadar aja."

Arsad memilih diam, bukannya kehilangan kata-kata. Berharap kemacetan ini lekas terurai. Tapi tidak berharap Indira akan diam.

"Tapi, Ar."

"Hm?"

"Apa kamu pernah kehilangan 'rumah' juga?"

Arsad benar-benar diam. Indira tidak mendesak dan hanya menebak-nebak di antara kehilangan yang sudah dilewati suaminya ini, mana yang paling menyakitkan. Mana yang membuatnya menjadi sedingin ini.

Ketika mendengar cerita Tante Elma suatu hari, dia begitu iri, dia ingin datang lebih awal dalam hidup Arsad. Dia ingin menemui Arsad yang katanya punya senyum sehangat matahari.

***

Indira merintis Indi's Florist dua setengah tahun lalu. Tempat yang dulu dia sewa tidak sebesar sekarang. Dia bahkan harus mencicil biaya sewa selama tiga bulan dan belum memiliki lima karyawan seperti sekarang. Berkat dua sahabat baiknya, toko bunganya tumbuh perlahan tapi pasti. Koneksi luas mereka yang bantu mempromosikan toko Indira.

Salah satu dari sahabatnya punya kebiasaan datang tanpa memberi kabar.

"Nggak dianterin?"

"Maunya sih tiap hari." Indira memeluk Anya yang rapi dengan setelan kerja sebelum mengeluarkan kunci dari dalam tas.

"Arca, maksud gue Arsad, nggak seperti yang gue takutkan, 'kan?"

Indira mendorong pintu besi. Selain Ibu, Anya adalah orang kedua yang tidak suka dirinya menikah dengan Arsad.

"Kebanyakan nonton film," komentarnya santai di antara bunyi derit besi dan pintu lapis kedua yang dibuka.

"Terserah kalau nggak ada yang percaya sama gue. Tapi gue yakin dia itu psikopat."

"Judul filmnya apa?"

"Indi!" Kesal karena penilaiannya tidak pernah digubris siapa pun, termasuk Naga. Dia sudah lelah membujuk Indira untuk berpikir ribuan kali sebelum menikah dengan Arsad, tapi tidak didengar. Setelah mereka resmi menikah, Anya masih sulit menghilangkan kebiasaannya untuk mencela Arsad.

Sayangnya dia tidak pegang bukti apa-apa. Tapi firasatnya kuat. Kebencian tanpa alasan ini bagi orang lain memang terkesan mengada-ada. Anya kadang frustrasi sendiri.

"Masuk? Aku bikinin kopi."

Indira menaruh tasnya di meja, menarik tali roller blind di jendela, lalu menuju mesin pembuat kopi. Dia juga mengeluarkan kukis buatannya dari kulkas. Anya duduk di meja bundar yang biasa digunakan untuk menerima tamu pelanggan.

Aroma kopi menguar di antara wangi bebungaan sisa kemarin. Setelah ini Indira akan menyortirnya, masih ada waktu sebelum buka jam delapan nanti. Dia bisa duduk mendengarkan Anya serta hipotesisnya tentang Arsad yang selalu sama: psikopat.

Indira hanya membiarkan. Karena percuma menjelaskan, sia-sia menyebutkan sisi baik Arsad. Sampai kapan pun Anya tetap dengan asumsinya. Dia sempat mengira akan dimusuhi Anya tapi ternyata tidak seburuk itu. Anya tetap datang padanya.

"Naga bisa temenan baik sama Arsad lho, Nya."

"Ya itu dia, bukan gue. Maaf-maaf aja gue nggak mau temenan."

"Tapi makasih kamu mau dateng ke nikahanku. Aku sempet stres takut kamu musuhin aku."

Anya mengambil satu keping kukis dan menggigitnya. "Gimana pun kita sahabatan. Orang jatuh cinta emang susah dibilangin."

Indira meraih kalender duduk dan spidol merah, menandai beberapa tanggal sebagai reminder. Membiarkan Anya sejenak menikmati kopi dan kukisnya.

"Kalau sesuatu terjadi dan nggak tahu mesti ke mana, lo boleh lari ke gue, Ndi. Meskipun gue nanti bakal bilang 'i told you!' ratusan kali, dengerin dan terima aja. Lo emang salah udah milih lelaki kayak dia."

Tidak, Indira tidak marah meski Anya seperti sedang menyumpahinya. Dia kenal baik Anya sejak di bangku kuliah dan orangnya memang begitu. Selalu mengatakan apa yang terlintas di kepalanya tanpa repot-repot mau memfilternya.

Mungkin ini juga yang membuat Indira tidak ambil pusing dengan Arsad yang sedikit mirip dengan Anya. Mereka punya persamaan.

"Maaf, Nya, kayaknya aku bakal lari ke Naga sih."

"Istrinya galak."

Indira tertawa.

***

Mulai love hate sama Arsad? Atau hate aja? Heuheu.

Aku drop mini prekuel Home di Karyakarsa, utk detailnya bisa cek di chapter paling atas ya. Tengsskyu😉🙌

Selasa/11.07.2023

Continue Reading

You'll Also Like

13K 923 37
Giza Safira Prautami, anak perempuan satu-satunya dari salah satu keluarga konglomerat, bermimpi memiliki suami seperti papanya yang merupakan suami...
3.1K 385 7
"Na, nikah, yuk?" tanyaku di sore hari yang absurd. Setelah kami berdua bermain bulu tangkis dan sedang beristirahat. Aku pikir ia akan menyemburkan...
RANKLE By R

Teen Fiction

171 70 16
Aku kehilangan diriku sendiri. Aku menyadarinya saat kamu hadir dalam hidupku, kamu membuatku sadar kalau ini bukanlah aku yang sebenarnya. Tapi, and...
90.5K 13K 41
"Mas Abrian... aku suka kamu." Ujar gadis itu tiba-tiba, tepat di pinggir lapangan sekolah saat tak ada siapapun di sana. Tepat sebelum Brian melanju...