DOT OF LIFE - FREENBECKY

By Author_lagibosan

129K 13.1K 968

Rebecca Swift menjalin cinta yang tulus, tetapi lelaki itu meninggalkannya tepat di hari pernikahannya. Kesed... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 3.1
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 10.1
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 22.1
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Epilog
Author Note

Chapter 17

3.5K 375 21
By Author_lagibosan

Dia sungguh tak tau arah, dia tidak buta seperti wanitanya. Ketika hati itu diminta untuk menunggu kata yang sangat dia inginkan, ruang sabar pun terbuka, merelakan sebuah harapan yang telah terjalin dari saat pertama menatap pesona itu. Seharusnya tak ada batas waktu, kata menunggu tak ada jaminan, dia tetap berjalan dalam hubungan itu, yang baginya masih belum pasti dan masih goyah. 

Namun dia belajar satu hal, perasaan tidak harus dibatasi dengan satu kata, ada banyak cara untuk mencerminkan rasa itu, hening pun kadang ikut berbicara, jadi mengapa harus begitu sedih saat kata yang diinginkan belum terucap? Dia tersenyum, dia menunggu, tapi tidak terlalu mengharapkan. Dunia sudah memberi jalan untuk bertemu dengannya, itu sudah cukup. Kehadirannya, itu lebih dari cukup. 

Tidak ada yang memberontak, semua dalam dirinya memeluk hatinya untuk melewati itu semua. Freen yakin, dirinya bisa memberi kehangatan hati yang terluka itu. Dia juga menatanya dalam setiap detik waktu, lagi-lagi dengan harapan wanita yang berharap cinta baru ini bisa memberinya rasa aman dengan kepastian. Freen tersenyum, walaupun dia sudah berbisik untuk sabar, hatinya tak pernah berhenti menuntut. Meskipun begitu Freen tetap diam, dia tak akan meminta. 

Sekarang Freen masih berusaha untuk meredam keinginannya. Dia tak kentara, semua itu tertutup dalam riang tawanya. Sampai waktu yang tak terbatas, dia harap ruang sabar itu selalu terbuka. Freen sadar, dirinya selalu seperti ini, jika dia suka maka harus dia dapat, jika tidak dia akan menghindar. Namun kali ini, wanita yang dia inginkan berhasil membuatnya untuk menunggu, tidak terburu-buru.

Becky, sembuhkanlah hatimu, aku tak akan lelah menunggu.

Freen tak sadar dia termenung begitu lama, wanita di sampingnya berkata banyak hal namun tak dia dengar. Matanya hanya menatap lembut wajah itu, Freen selalu mengagumi semua tentang Becca. Freen bisa merasakannya, sebuah perasaan takut yang selalu mengikutinya tiba-tiba lenyap saat berada dekat wanita ini. Sama seperti dirinya menatap bangunan kota bersejarah, artefak penuh cerita, peninggalan yang berharga, pikiran Freen teralihkan sepenuhnya saat bersama Becca. Freen sungguh tergila-gila karena semua ini, ketenangan, pengalihan dan rasa nyaman, semua ada dalam diri Becca. Dia bahkan sempat bertanya, mengapa bisa seperti ini? Freen tidak mencari tau jawabannya. Dia hanya menikmatinya. 

"....jika semua itu sudah kamu singgahi, apakah kamu bisa kembali lagi ke tempat yang sama?" Becca berbicara tentang pekerjaan Freen sebagai pemandu wisata, dia penasaran bagaimana sistem kerja Freen, karena sekarang tampaknya Freen tak melakukan apapun, dia selalu berada di apartemen dan menghabiskan waktu tanpa mencari uang. Becca bertanya banyak hal, dia bahkan tidak menjedanya. Tapi Becca tidak melihat, wanita di depannya tak mendengarkan sedikit pun. 

Freen masih tersenyum, raut mukanya sungguh menatap Becca dengan seluruh hatinya. Siapapun yang melihat Freen sekarang, mereka pikir Freen tuli, tak mendengar. Sebab, itulah yang terjadi, Freen sungguh diam, perkataan Becca tak ada satu pun yang dia tangkap. 

Lagi, hidung Freen ditarik pelan Becca. Dia pun lepas dari lamunannya, alisnya terangkat, wajahnya terkejut. Dia berkata, "Apa salahku, Babe?" Dia bahkan menggunakan kata sayang itu, baginya kata itu sangat manis dan enak di dengar. 

"Kamu tidak mendengarkanku lagi." Becca merasa kesal dengan tak ada respon tersebut. 

Freen dan Becca sedang kencan di cafe, satu meja kecil dan dua kursi saling berhadapan. Beberapa cookies disiapkan, dengan susu cokelat panas untuk mereka berdua. Semua manis, menu ini tak masalah bagi Freen dan Becca, mereka menyukainya. Waktu yang dilalui pun cukup lama di sini, karena tempatnya seakan dibuat khusus untuk bercerita dan sangat indah. Freen menyukai cafe ini, tentu karena Becca ada di depannya. Di mana pun itu, sebenarnya Freen tak masalah, asal wanitanya berada di dekatnya. 

Freen berkata, "Salah sendiri, kamu mengalihkanku." Suara Freen seakan menyalahkan Becca. Dia tersenyum dan meminum minuman hangat itu, sedikit, lalu meletaknya lagi. Mata itu kembali melihat Becca yang tampak merajuk karena merasa diabaikan. 

Freen tertawa kecil, dia berkata lagi, "Setelah ini, kamu mau ke museum lagi?" Freen ingin mengubah sesuatu.

"Hm? Tiba-tiba?" Becca tak pernah berniat untuk kembali ke sana lagi, dia berusaha untuk tidak mengingat tentang masa lalunya. 

Freen tersenyum, lalu dia berkata, "Aku hanya ingin saja. Tapi jika kamu tidak mau, tak masalah." Freen selalu ingat, tatapan Becca saat itu seperti mengenang. Freen ingin Becca mengganti memori itu dengan hal lain. Apapun itu, asalkan Becca tidak tenggelam dalam lautan masa lalu. Dia ingin mengubah ingatan tersebut, walaupun sedikit.

Becca tampak ragu, tapi akhirnya dia mengangguk, "Baiklah."

Freen tersenyum senang, "Jadi, tadi tentang apa?" Freen ingin bertanya pertanyaan Becca sebelumnya. 

Becca tampak menghela napas, namun dia masih mengulang pertanyaan itu, "Tentang pekerjaanmu, apakah selalu berbeda tempat, tak bisa kembali ke tempat yang sama?" Becca menyingkat pertanyaan itu.

"Oh," Freen mengangguk, dia berkata, "Ke mana pun kamu mau pergi, kita akan ke sana." Suaranya sangat ceria.

Becca terkejut mendengarnya, "Sungguh?"

"Mm."

Lalu tiba-tiba Becca berkata, "Freen, aku ingin melihat lagi."

Mendengar ini Freen sedikit terdiam, dia berpikir Becca selama ini buta dari lahir. "Hm? Caranya?" Freen sedikit bingung, apakah ini tentang operasi? Freen menduga-duga.

Becca diam sebentar, dia merasa harus mengatakannya pada Freen, tentang kondisinya, "Jisoo, katanya aku bisa melihat lagi jika menjalani sesi konsultasi dengannya." Becca menjelaskan dengan singkat. Lalu dia berkata, "Dokter Kim berkata, mataku sehat, jadi seharusnya bisa melihat dengan jelas. Namun, karena tekanan itu, aku menjadi buta." 

"Tekanan?"

Becca mengangguk, dia berkata lagi, "Aku," sedikit ragu sekarang, tapi dia tetap menyambungnya, "Satu tahun yang lalu, saat kejadian itu, aku berakhir buta karena stres yang kumiliki." Becca menunggu Freen untuk merespon perkataannya. Tapi, Freen hanya diam.

Freen masih berpikir. Freen ingat pertemuan Jisoo dan Becca, tapi dia tidak menduga jika ini tentang kebutaan Becca. Freen juga ingin bertanya tentang kejadian apa itu, tapi dia menghentikan rasa ingin taunya, dia merasa tak boleh menyentuh topik itu. 

Freen menghela napas, lalu berkata lagi, "Lakukan apa yang kamu mau Becky. Aku selalu berharap yang terbaik." Dia menjeda lagi, dan sedikit bercanda mencairkan suasana, "Tapi, jika kamu bisa melihat nanti, dan ternyata aku bukanlah tipe yang kamu inginkan, kamu akan meninggalkanku?" Freen masih berkata tentang wajahnya.

Becca sedikit berteriak, "Freen! Aku tidak seperti itu!" Becca merasa kesal dengan perkataan Freen.

Freen tertawa lagi, dia bertanya lagi, "Sekarang, apa yang kamu pikirkan tentang wajahku. Serius, aku penasaran." Freen ingin bertanya tentang bagaimana Becca menggambarkan dirinya dalam kepala itu.

Becca berpikir sejenak, lalu dia berkata, "Kamu cantik." Lalu wajahnya memerah, dia tak pernah memuji seperti ini sebelumnya. 

Freen pun tertawa sekarang, lalu dia berkata, "Jika kamu salah?"

Becca menggeleng kepalanya, dia berkata lagi, "Aku benar kali ini. Aku sungguh merasa kamu sangat cantik, Freen." suaranya lembut saat mengatakan semua ini.

Freen hanya tersenyum sekarang, dia akhirnya berkata, "Kalau begitu, aku akan menunggumu bisa melihat lagi, dan  kamu harus mengatakan itu tepat di depanku. Hm?" 

Becca tersenyum, lalu dia mengangguk pelan. Dia sudah membulatkan tekad, dia akan menjalani sesi konsultasi ini. Walaupun sebenarnya sekarang, Becca sudah hampir bisa menangkap beberapa warna yang terbentuk wujudnya, tidak terlalu kabur seperti biasanya. Namun, Becca ingin mempercepat kesembuhan ini, dia sungguh ingin melihat Freen, dia sangat penasaran dengan wanita yang sekarang menjadi pacarnya. 

Freen masih menatap Becca, tatapan penuh arti.




_________

"Kenapa tidak jadi?" Freen menggagalkan rencana pergi ke museum, dia ingin menemui Jisoo. 

"Lain kali, aku ingin bertemu seseorang." Kata Freen.

"Siapa?" Becca tiba-tiba merasa cemburu.

Freen tertawa lagi, dia berkata, "Teman." Freen tak bisa mengatakan dia ingin menemui Jisoo, nanti Becca penuh pertanyaan lainnya, atau Becca ingin mengikutinya. Sekarang, dia ingin berbicara empat mata dengan Jisoo. Ada hal yang ingin dia tanya.


______________

"Freen, aku orang sibuk." Jisoo melihatnya dengan kesal, saat dia meminta Freen untuk menemuinya, dia menolak ajakan itu.

"Sedangkan aku tidak, Jisoo." Freen tidak menggubris tatapan Jisoo. Dia duduk dengan nyaman di sofa panjang ruangan dokter psikolog itu. "Kenapa ruanganmu sangat putih, Jisoo." Freen melihat sekitar.

Jisoo menghela napas, dia tidak menjawab perkataan Freen. Perlu diketahui, Jisoo dan Freen selalu seperti kucing dan tikus, mereka tak pernah berbicara dengan damai, Rose yang mengenalkan mereka berdua. Dan, jika ada Rose di antara mereka, percakapan itu bisa mulus, sedikit. 

"Kamu tampak sukses dengan semua pemandangan kota Seoul ini," Freen melihat tampilan landscape di sampingnya, Seoul tampak sangat hidup dan lagi, sesak. Freen berkata lagi, "Aku salut padamu." Freen tak benar-benar memuji, dia bahkan seakan menyindir Jisoo.

Jisoo tiba-tiba merasa kesal, dia berkata lagi, "Kamu tak pernah menyukai kami." Psikolog, "Sudahlah, apa yang kamu inginkan sekarang. Aku ada janji temu pasien sebentar lagi." Jisoo mengatakan yang sebenarnya.

Tapi Freen keras kepala, "Batalkan saja, bukankah aku mantan pasien Ibumu?" Freen tidak melihat Jisoo, dia masih menatap kota Seoul.

Jisoo menghebus napas berat lagi sekarang, dia memejamkan mata itu dengan kesal. Lalu dia melihat Freen sejenak, dan mengangguk saja. Dia mengambil telepon kantor itu, dan berkata, "Tolong undur janji temu pasien siang ini." Setelah itu dia tutup panggilan itu dengan pelan.

Jisoo berdiri dari tempatnya, lalu dia berjalan ke arah jendela kaca gedung rumah sakit itu, Jisoo juga menatap kota Seoul dengan tatapan yang sama. Jisoo juga membencinya, tapi dengan alasan yang berbeda. Bagi Jisoo, walaupun hubungan mereka seperti ini, Jisoo masih mementingkan temannya, Freen mempunyai tempat di hati Jisoo, dia tak pernah sepenuhnya benci. 

Freen akhirnya berjalan mendekati Jisoo, dia berdiri juga di sana. Sedikit jauh dari Jisoo, melihat kota yang sama, Seoul.

Jisoo berkata, tatapannya tak ada ramah, "Waktu berlalu begitu cepat, bukan?"

Freen tidak mengangguk ataupun lainnya, dia diam saja. Ingatan semua peristiwa itu tak pernah bisa dia hilangkan dari pikiran dan hatinya, dia masih memeluk semua itu dengan pilu. Freen tertawa kecil, dia ingin mengibur dua hati yang sedang berdiri, "Kita hanya melewatinya, tanpa melakukan apapun." 

Jisoo tau betapa berat hanya untuk melewati itu, dia bersyukur dirinya bisa melewati hari tanpa mengingat apa yang terjadi. Sedangkan Freen, tidak. Dia bisa mengulang tanpa sengaja semua memori itu seperti terjadi beberapa menit yang lalu. "Aku selalu menunggumu, Freen. Aku ingin membantumu." Masih, Jisoo hanya melihat kota Seoul, dia tak sanggup melihat Freen.

Freen tersenyum sedih sekarang, dia berkata, "Maafkan aku, aku hanya tak percaya siapapun," menjeda lagi, "Termasuk ibumu." Freen tampaknya harus melewati pertanyaan tentang Becca, Jisoo mempunyai pembicaraan lain. Freen berkata lagi, "Semua sudah berlalu, biarlah belalu."

Sekarang Jisoo melihat wajah itu lagi, mata dokter muda ini sedikit berair, wajahnya juga tampak marah dan sedih, "Jika orang lain tidak percaya padamu, jangan hilangkan kepercayaanmu pada orang yang ingin membantumu, Freen!" Jisoo menahan teriaknya, air mata itu mengalir dari matanya. Jisoo sungguh merasa sedih, dia tak ingin Freen mengalami itu setiap hari.

Freen masih menatap kota Seoul, dadanya juga sesak perlahan, dia tak sanggup jika Jisoo seperti ini, dia tak ingin membuat temannya sedih karena masa lalu itu. Akhirnya dia berkata, "Kamu juga melihatnya Jisoo, orang-orang itu tidak mempercayaiku saat aku mengatakan sebenarnya." Freen merasa marah, sedih dan kecewa. 

Jisoo menarik napasnya, lalu berkata, "Maafkan aku." Jisoo mengingatnya, Seoul mengabaikan Freen, saat itu dia mengatakan sejujurnya peristiwa yang terjadi, namun media, polisi dan bahkan petinggi di Seoul mengatakan, dia hanya anak kecil, jangan terlalu didengar. Jisoo sangat mengenal temannya, wanita dengan ingatan tinggi ini tak pernah berbohong mengenai apa yang dia lihat. Tapi, tak ada satupun orang diluar sana membelanya. Membantu Freen mendapatkan keadilan atas kecelakaan yang terjadi pada dirinya dan kedua orang tuanya. Semua orang mengira, Freen keliru, semua orang berkata Freen salah, termasuk nyonya Kim. Bahkan media hanya memanfaatkan Freen untuk konten cerita menyedihkan.

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 81.8K 31
Penasaran? Baca aja. No angst angst. Author nya gasuka nangis jadi gak bakal ada angst nya. BXB homo m-preg non baku Yaoi 🔞🔞 Homophobic? Nagajusey...
75.4K 7.9K 32
[ FREENBECKY - Futanari ] Kadang rahasia yang tidak penting memang ada di dunia ini. Cerita ini di adaptasi dari drama korea berjudul My Demon.
55.7K 6.6K 78
OneDream_id : Sagittarius A story by @dkfmxk [17+] Setelah sadar pasca kecelakaan, Sagi Tarrios Sinistra harus dihadapkan pada beberapa hal menyulitk...