The Covenant

Av VanadiumZoe

38.1K 8.7K 3K

Perjanjian tidak terduga yang ditawarkan Jimin pada Sera pada hari kencan buta, pada akhirnya membawa Jimin p... Mer

CATATAN PENULIS
INTRO_EGO
1
2
3
WILDFLOWER
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
AUTUMN NIGHT
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
FOR YOU
1
2
3
4
5
6
LOVE POEM
2
3
4
5
6
7
8
TEARS
1
2
3
4
5
DARKSIDE
1
2
3
4
5
6

1

617 146 39
Av VanadiumZoe

👑 🐥 👑

🌷🌷🌷

Jimin menyetir ke kediaman Kirana di kawasan apartemen Aveeneur, setelah dia meminta asistennya itu menemani menemui Seokjin. Kirana sudah menjelaskan kondisi Seokjin yang terbaru, Seokjin bukan keracunan melainkan alergi salah satu bahan makanan. Dia juga telah dihubungi oleh pihak kepolisian.

Jimin memberhentikan mobilnya di depan lobi ketika Kirana tengah menelepon, tujuh detik yang Kirana butuhkan untuk selesai dengan panggilan teleponnya. Jimin baru membuka pintu penumpang saat Kirana menarik napas berat, duduk di mobil dengan tampang lelah.

"Bisa-bisanya dia menyembunyikan alerginya," kata Kirana.

"Kau percaya padanya?" tanya Jimin. "Bagaimana bisa dia baru alergi sekarang padahal aku yakin rumah tahanan sudah memakai bawang putih di masakan para tahanan, sejak Seokjin ditahan di hari pertama. Lebih masuk akal dugaanmu sebelumnya, ada yang meracuninya."

"Kau membuatku was-was, siapa orang yang sebenarnya tengah kita hadapi, Jimin?"

"Orang-orang yang merasa dihianati oleh Seokjin," gumam Jimin, sebelum melajukan mobil pada kecepatan maksimal.

"Apa mungkin Yoongi mengirim seseorang untuk melakukannya?"

"Aku tidak tahu," jawab Jimin terus terang, dia belum berani berasumsi kalau sepupunya itu terlibat. "Sepertinya ada orang lain di belakang Yoongi, pihak-pihak yang lebih berkuasa."

"Ayahmu?"

Jimin bergeming, pendapat Kirana terlalu mendadak meski dia pun sempat memikirkannya.

"Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman."

"Aku juga sempat berpikir begitu, tetapi kolerasinya kurang kuat. Ayah tidak terbukti ikut dalam kasus korupsi atau pencucian uang, kesalahan satu-satunya adalah berusaha membantu Yoongi melarikan Seokjin ke Abu Dhabi.

"Pengadilan tidak akan menjatuhkan hukuman berat, dugaanku, Ayah akan dapat sangsi dan membayar denda. Jika tim kuasa hukum ayahku tidak salah langkah mengambil keputusan, kemungkinan Ayah akan segera bebas. Direkaman itu, Ayah terdengar menyebutkan tempat pelarian tapi tidak terbukti ikut merencanakan."

"Kau sudah memberitahu Ayahmu tentang keadaan Seokjin?"

"Tidak, masalah ini bukan termasuk perihal yang perlu dipikirkan oleh ayahku," tukas Jimin, sementara mobil mereka melewati lampu merah terakhir sebelum sampai ke tempat tujuan.

"Yoongi juga ingin bertemu denganmu, apa pihak kepolisian sudah memberitahu?"

"Ya, aku baru membacanya setelah kau menelepon. Aku sengaja tidak mengecek ponsel dan email sejak kemarin."

"Harusnya hari ini kau masih cuti. Sera tidak keberatan kau tinggal, padahal kalian seharusnya bulan madu?"

"Sejak awal dia tahu suaminya sibuk, seharusnya dia sudah paham resikonya."

Kirana hanya mengangguk samar, mengingat dia bahkan ditinggal Jungkook berminggu-minggu bila suaminya itu tengah berada dalam proses penyelidikan kasus.

Jimin memarkirkan mobil depan kantor polisi yang ramai, para awak media berkerumun di halaman. Jimin melihat Kirana cepat-cepat, di detik kedua mereka sama-sama berpikir kalau telah kehilangan Seokjin.

"Sial!" batin Jimin, buru-buru membelah kerumunan dan masuk ke dalam.

"Dia mati?" tanya Jimin pada detektif yang menyambutnya, melompati basa basi.

"Sedang berjuang hidup," jawab Seungwon.

Ketiganya menelusuri halaman belakang, menuju ruang kesehatan yang berjarak 100 meter. Jimin meminta Kirana dan Seungwon menunggu di luar. Awalnya Seungwon tidak setuju, tapi Jimin berhasil meyakinkan kalau mereka tengah dikejar waktu, sebelum Seokjin benar-benar tidak bisa lagi memberi kesaksian.

"Hai, Jin. Bagaimana keadaanmu?" sapa Jimin, begitu masuk ke ruang perawatan yang terlihat mewah untuk ukuran lingkup penjara.

"Buruk," jawab Seokjin.

"Kenapa tidak memberitahu pihak kepolisian, kalau kau alergi bawang putih?"

Seokjin duduk bersandar sambil memegang oksigen mini di tangan kanan. Dia alergi bawang putih, tubuhnya tidak sanggup menampung dan dia kolaps dalam kurung waktu sepuluh menit.

Badannya membengkak dan sesak napas, Seokjin ditemukan oleh sipir yang tengah berjaga. Seokjin ditahan di ruang khusus, hanya diisi satu orang. Pelayanan istimewa yang sudah jadi rahasia umum, Jimin perkirakaan Seokjin membayar polisi puluhan juta untuk sel tahanan termasuk ruang perawatan.

Kejadian itu terjadi tadi pagi, Jimin mulai menyesal tidak mengecek ponsel lebih cepat. Jimin lupa, kalau tadi pagi dia juga kolaps. Sampai sekarang bahkan kepalanya masih pening, bau karbol dan pewangi rumah sakit membuatnya mual lagi.

Jimin berdehem, mencoba lebih berkonsentrasi, lalu duduk di sofa depan ranjang Seokjin.

"Aku harap keadaanmu cepat membaik, meskipun aku lebih yakin ada yang meracunimu dari pada kau sekarat karena bawang putih."

Seokjin bergeming, pandangannya bergerak pelan, memberi arahan pada Jimin agar duduk membelakangi CCTV. Dia mulai bicara setelah Jimin bergeser ke sisi kiri, berharap tidak ada alat perekam di ruangan itu.

"Ada seseorang yang mencampurkan bubuk jamur ke dalam makananku."

"Kau mencurigai seseorang?" Jimin menanggapi dengan tenang.

"Entahlah, hanya Yoongi yang muncul di kepalaku, tapi bisa jadi bukan dia."

"Siapa saja yang tahu kau alergi jamur?"

"Tidak ada yang tahu," kata Seokjin. "Aku juga bingung, dokter menyebutkan daftar bahan yang ada dimakananku. Dari semua yang disebutkan, hanya jamur yang bisa membuatku sekarat."

"Kau mengatakannya pada polisi?"

"Punya pikiran yang sama denganku?" tanya Seokjin, begitu mereka bersitatap. "Aku bilang, aku alergi bawang putih dalam jumlah banyak."

Jimin bergeming sebentar, menyadari Seokjin sulit ditebak dan masih sangat mencurigakan. Dia seolah-olah menghadapi musuh, padahal mereka berada di tim yang sama.

"Aku merasa ada yang mengawasiku tiap kali aku ketiduran. Aku yakin ada yang menelusup ke rumah tahanan ini, kapan kasusku naik sidang?"

"Kejaksaan menundanya, sebab bukti-bukti masih terus diselidiki."

"Mereka sengaja mengulur waktu, sampai aku sekarat dengan sendirinya di sini. Aku butuh pengawasan ekstra," tambah Seokjin, menegakkan punggung.

"Aku tidak ingin mati konyol di tempat busuk ini, aku bisa mengandalkanmu mengurusnya? Bila perlu aku minta dipindahkan ke rumah sakit yang lebih layak, karena istriku ingin berkunjung. Dia bisa sakit kalau harus menghirup udara di tempat kotor ini," tukas Seokjin.

"Kuusahakan," jawab Jimin, menatap muak pada Seokjin yang kini kembali bersandar.

Anjing-maki Jimin dalam diamnya, pengusaha tengik ini membuatnya jengkel. Seokjin jelas sedang menguji kesabaran, sayangnya Jimin punya stok sabar lebih banyak bila dia tengah berhadapan dengan orang-orang tengik seperti Seokjin.

"Aku butuh obat sakit kepala yang biasa kuminum, juga-"

"Aku bukan pelayanmu, Tuan Kim." Jimin menyela. Nada suaranya rendah dan gelap, seolah-olah muncul dari dasar Samudera yang sangat dalam.

Seokjin bungkam di detik itu juga, memandangi pengacara itu dengan jari-jari yang perlahan mengerat.

"Jadi, siapa saja yang tahu kau alergi jamur?" tanya Jimin, tenang dan terukur.

"Aku sudah menjawabnya."

"Kau tidak percayaku?"

"Istriku dan pelayan rumah, tapi mereka tidak mungkin mengatakannya pada-" Seokjin diam sejenak, mencari-cari siapa lagi yang tahu tentang alerginya selain istri, pelayan, orangtuanya.

"Kecuali mereka pernah tidak sengaja menjelaskan pada orang lain, tapi aku tidak tahu siapa," tukas Seokjin.

"Oke, beritahu aku kalau kau mengingat sesuatu. Aku pergi," katanya lalu keluar ruangan.

Jimin menarik napas panjang berulang. Dia menghadap detektif itu lagi, pasang wajah prihatin selagi mereka bergerak ke ruang CCTV.

"Aku juga baru tahu Tuan Kim alergi bawang putih, apa semua koki sudah diberitahu tentang ini?" tanya Jimin, sementara Kirana berjalan di sampingnya sambil mencatat hal-hal penting dari percakapan itu

"Ya, tentu," jawab Seungwon. "Kau yakin Tuan Kim diawasi orang asing? Maksudku, tempat ini dijaga ketat dan berlapis."

"Bila terbukti Tuan Kim diawasi orang asing dari luar ruang tahanannya, itu berarti penjagaan tempat ini belum seketat perkiraanmu, Detektif Seungwon."

Seungwon terdiam, melirik Jimin tidak suka meski perkataan pengacara itu benar adanya. Dia tahu sepak terjang Jimin dari semenjak Jimin masih mengurusi kasus Bisnis Internasional dan Kriminal, sebelum banting setir mengurus kasus perceraian artis papan atas. Kini, pengacara itu telah kembali mengurus kasus berat seperti di awal karirnya.

Ketiganya terus berjalan menyusuri selasar sampai ke ruang CCTV, Jimin mengambil tempat di sisi kanan, sementara Kirana di sisi kiri. Butuh lima jam bagi mereka mengecek malam-malam depan area ruangan Seokjin, termasuk kegiataan pengusaha itu yang hanya diisi baca buku di selnya atau di beranda samping.

Jimin mulai jengkel karena tidak menemukan sesuatu yang janggal, sementara dia juga harus menemui Yoongi. Jimin melirik Hublot hitam yang melingkari tangan kirinya, sekarang sudah jam 10 malam, mustahil masih bicara dengan Yoongi.

"Aku bisa meminta salinan rekaman CCTV?" tanya Jimin, meski tahu dia tidak boleh melakukan itu.

"Maaf?" ucap Seungwon.

"Aku tidak bisa melanjutkan ini karena harus menemui seseorang."

"Aku bisa," sela Kirana. "Biarkan aku yang melanjutkan ini sampai selesai," tukasnya.

Jimin tersenyum puas. "Aku mengandalkanmu," katanya, lalu beranjak keluar.

Di luar Jimin menelepon petugas yang memberinya kabar pertemuan dengan Yoongi, betapa terkejutnya dia bahwasannya Yoongi masih duduk tenang di ruang jenguk, menunggunya.

"Kau benar-benar tidak ada kerjaan?" tanya Jimin, begitu dia masuk ke ruangan sempit itu lalu duduk di seberang meja.

Lampu ruangan yang terang benderang sampai membuat matanya sakit, menjuntai dari langit-langit, tepat di tengah meja kayu yang memberi jeda jarak di antara kedua saudara tiri itu.

"Kau yang melakukannya?" tanya Jimin, tanpa perlu basa-basi lebih panjang.

"Dia alergi bawang putih."

"Oh, ayolah, Yoongi. Kau pasti tahu faktanya," ucap Jimin. "Atau kau bisa menyebutkan nama pihak yang mengirim orang untuk mencelakainya?"

"Jim, kau pikir musuh Seokjin cuma aku?"

"Tapi kau yang paling berkepentingan dengan Seokjin."

"Kau benar-benar ingin tetap melanjutkan mengurus kasus ini?"

Jimin bergeming.

"Berhentilah, sebelum mereka yang menghentikanmu."

Jimin menyeringai. "Aku tidak butuh perhatianmu, aku butuh sisa nama-nama yang terlibat dalam kasus BruteMax dan Daechwita."

"Kau tidak akan sanggup menghadapi mereka."

"Baiklah." Jimin beranjak berdiri, gesekan kursi besi yang dia duduki saat terdorong kebelakang, meninggalkan bunyi berderik di atas lantai keramik, memecah kebekuan di antara keduanya.

"Sudah kuduga pertemuan ini sia-sia, akan kucari sendiri nama-nama itu. Semoga tidurmu nyenyak, Yoongi Hyeong!" tukasnya, lalu bergegas menggapai gagang pintu.

"Jimin!"

Tangan Jimin menggantung di atas knop pintu, tanpa membalikkan badan dia harus mendengar Yoongi mengatakan hal yang sangat tidak ingin dia dengar.

"Pikirkan orang-orang yang ada di sekitarmu, mereka tidak sepatutnya ikut kena imbas hanya karena kau mengurus kasus ini."

Jimin tidak berkomentar apa-apa, membuka pintu dan keluar dari ruangan. Dia kembali ke ruang CCTV dan bertemu Kirana diambang pintu, asistennya itu buru-buru menariknya pulang setelah mereka berpamitan dengan sopan pada seluruh staf yang bertugas dan detektif Choi Seungwon.

"Dapat hal yang menarik?" tanya Jimin, begitu keduanya menyeberangi parkiran yang redup. Sekarang hampir jam sebelas malam, lampu halaman yang luas itu tidak cukup menerangi semua bagian.

"Nihil, apa Seokjin sedang mengerjai kita?"

"Ada yang berusaha meracuni Seokjin dengan jamur," gumam Jimin, sebelum masuk ke dalam mobil. "Seokjin alergi jamur akut bukan bawang putih."

"A-apa?" Kirana jelas terguncang, sambil menarik safety belt dia berkata. "Kenapa Seokjin tidak jujur pada polisi? Oh-kenapa kau juga tidak mengatakan apa-apa pada polisi tadi?"

"Aku tidak percaya dengan polisi di detention center, semuanya kayak tahi kucing!" Jimin nyaris memaki, sebelum menarik presneling dan mobilnya melaju kencang.

"Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa hanya menunggu, apa sebaiknya kita minta bantuan Jungkook untuk salinan CCTV jadi kita bisa mengecek ulang?"

Jimin menyeringai. "Ide bagus, tapi Jungkook belum tentu mau melakukannya."

"Sudah punya nama yang kau curigai selain Yoongi?"

"Sedang kupikirkan, satu-satunya orang paling berkuasa di belakang Yoongi adalah-" Jimin mengambil jeda, melirik Kirana yang tengah memandangnya.

"Mr. Presiden?" tanya Kirana tidak yakin, sebelum terkesiap saat Jimin mengangguk samar.

🍁🍁🍁

Jimin sampai ke unitnya pukul sebelas lewat tiga puluh delapan menit, menarik napas panjang mendapati rumah masih terang benderang.

"Kenapa belum tidur?" tanya Jimin, begitu dia melihat Sera duduk di ruang depan.

"Aku menunggumu, pekerjaannya sudah selesai?" Sera menghampiri Jimin. "Kau pasti lelah, ayo kita tidur, sudah malam juga."

"Hhmm... masih ada yang harus kukerjakan, tidur duluan saja."

Biasanya Sera langsung menuruti, tapi kali ini dia menahan lengan Jimin, memeluknya erat-erat.

"Oppa, seharian ini kau sedang tidak sehat, lebih baik istirahat dulu. Besok baru kerja lagi." Sera menarik Jimin ke kamar mereka, tapi Jimin melepas pegangannya.

"Sera, tidak bisa."

"Harus bisa, sekarang sudah jam 11-"

"Sera, bukan waktunya main-main. Tolong hargai pekerjaanku!"

Jimin tertegun sebentar, dia tidak bermaksud membuat nada suaranya sedingin dan sekaku itu. Namun dia yang sedang penat dengan semua tuntutan pekerjaan, teguh dengan sikap bekunya meski lamat-lamat dia bisa melihat kepanikan di manik mata Sera yang berembun.

"Dengar. Klienku sedang sekarat karena ada orang yang ingin membunuhnya, aku bahkan belum menemukan clue sama sekali tentang siapa pelakunya. Bisa-bisanya kau justru bersikap seperti ini, tolong jangan menambahi bebanku. Kau mengerti?"

Sera mundur setengah langkah, meski Jimin tidak membentak, tetapi suara rendahnya itu justru berhasil membekukan sisa jarak di antara mereka.

"A-aku, aku hanya khawatir karena kau sedang sakit."

"Berhenti bersikap kekanakan," potong Jimin, cara bicaranya semakin keras tanpa celah bisa dibantah. "Aku sedang tidak ingin berdebat hal tidak penting, tidurlah." Titah Jimin, singkat.

Jimin memutar bahu tanpa kata tambahan, menghilang ke ruang kerjanya, meninggalkan Sera memaku di belakang. Sera tetap berdiri tanpa bergerak selama dua menit, sebelum masuk ke kamarnya bersama perasaan sesak yang memenuhi dadanya.

Sementara Jimin berdiri tidak seimbang di belakang pintu, memejam, menyesali sikapnya pada Sera. Dia ingin keluar dan mengecek istrinya, tetapi ponselnya lebih dulu berdering.

"Tuan Muda, kau ingin membunuhku atau bagaimana?" suara Jungkook terdengar di seberang. "Kau benar-benar yakin rekaman CCTV itu berguna-Jimin, kau masih di sana?"

"Oh, ya tentu." Jimin menghela diri ke kursi kerjanya, menyingkirkan urusan pribadi dan mulai mengumpulkan lagi konsentrasi di antara pening yang memukul-mukul kepalanya.

"Seokjin yakin ada orang yang mengawasinya di sana, aku pun berpikir begitu setelah hari ini ada yang dengan sengaja memberinya jamur berbahaya dan Seokjin nyaris sekarat kalau tidak segera ditemukan tadi pagi."

"Ya, Kirana sudah mengatakannya padaku." Jungkook bergeming sejenak. "Akan kucoba, tapi aku belum bisa memastikannya."

"Oke, kabari aku kalau menemukan hal yang menarik."

Sambungan itu selesai. Jimin membuka laptopnya dan mulai menyalin semua informasi yang didapatnya hari ini, menarik benang merah yang masih tampak terlalu samar. Dia mencoba berpikir lebih keras, tapi otaknya malah mengingat lagi kalimat penghakimannya pada Sera.

Diliputi sesal, Jimin akhirnya keluar dari ruang kerja dan bergegas ke kamarnya. Setidaknya dia harus mematikan Sera sudah tidur, sebelum dia melanjutkan pekerjaan.

🍁🍁🍁

Sera duduk termenung di sofa dekat jendela kamarnya yang besar, dia tidak menangis, hanya merasa sedikit sesak dengan sikap Jimin, padahal seharusnya dia tidak perlu merasa terganggu. Sejak awal dia sudah tahu Jimin punya banyak pekerjaan, butuh konsentrasi dan ketelitian, dia juga tahu Jimin tipe pria yang sulit dibantah.

Jimin sedang memikirkan pekerjaan, ya, itu alasannya-batin Sera, meyakinkan diri sendiri.

Pekerjaan Jimin sangat menguras energi, Sera berusaha berpikir positif. Tetapi tetap saja dia tidak siap, Jimin tidak pernah bersikap seperti itu sebelumnya. Dia berusaha meyakini sekali lagi; kelelahan faktor utama manusia bersikap emosional, begitu juga dengan Jimin.

Sekarang sudah jam satu malam, Jimin belum kembali ke kamar. Sera tetap duduk di sofa, dia tidak kepingin tidur sebelum Jimin selesai bekerja. Sera mengusap kaca jendela, memandangi langit malam tanpa bintang dari lantai 17, sunyi, sesunyi perasaannya saat ini.

"Sera-"

Serta merta Sera mengalihkan pandang, Jimin berdiri di muka pintu dengan tampang kusut. Dia ingin beringsut dari sofa menyambut Jimin, tapi tertahan karena takut salah bersikap lagi. Sera diam saja sampai Jimin menghampirinya, duduk di sebelahnya.

"Kenapa belum tidur?"

"Belum kepingin tidur," jawab Sera. "Tidur duluan saja, aku masih ingin di sini."

Kalimat Sera membuat mereka saling tatap dalam diam, lalu Sera berpaling dari Jimin dan menatap jendela lagi.

"Marah padaku?" tanya Jimin. "Maaf, aku tidak bermaksud berbicara sekeras itu padamu."

"Tidak apa-apa, aku yang-sudahlah. Kau istirahat saja," tukas Sera.

Jimin yang tidak terbiasa membujuk sampai tidak tahu caranya membujuk pasangan yang sedang kesal memilih beranjak, merebahkan tubuhnya yang sangat lelah di ranjang tidur.

Sera melirik Jimin yang sudah tidur, menghela napas kelewat berat sembari memutar-mutar cincin pernikahannya. Kelewat mendadak muncul pikiran; dia dan Jimin tidak cocok dalam banyak hal, mereka terlalu berbeda satu sama lain. Dari kebiasaan, kesukaan, apa lagi cara pandang dan berpikir. Sera terlalu kekanakan untuk pria dominan seperti Jimin.

Sera melipat kedua lengannya di pinggiran jendela, menyembunyikan wajah di antara lengan. Matanya berkaca-kaca, entah kenapa malam ini dia merasa sangat sedih tanpa tahu alasan pastinya.

Di menit berikutnya dia terhenyak, mendongak, saat lengan seseorang menyentuhnya. Sera belum sempat mencerna keadaan, tahu-tahu tubuhnya terangkat. Jimin menggendongnya ke tempat tidur, tanpa kata, tanpa melihatnya.

"Tidurlah," kata Jimin, nadanya sudah kembali seperti yang biasa Sera dengar, halus dan lembut.

Sera bergeming, memandangi Jimin yang balas menatap. Tumpukan cairan bening di pelupuk semakin mengaburkan pandangan, lalu dia terisak begitu saja saat lengan Jimin menariknya ke dalam pelukan.

"Maaf," bisik Jimin, tapi Sera justru semakin menangis. "Aku benar-benar tidak sengaja."

"A-aku yang seharusnya minta maaf," ucap Sera, disela-sela usahanya meredam tangis. "Aku cuma khawatir, tidak bermaksud mengganggu pekerjaanmu."

"Iya, aku tahu." Jimin mengeratkan pelukannya. "Apa yang harus kulakukan, supaya kau tidak sedih lagi?"

"Peluk lama-lama."

"Hhmm?"

Sera tertawa dan menularkannya pada Jimin. Mereka saling menertawakan untuk empat detik, lalu Jimin membawa Sera rebahan sambil tetap dipeluk.

"Mau dipeluk berapa lama?" tanya Jimin, menelusuri helaian rambut Sera yang halus dengan jari-jarinya.

"Sebentar lagi." Sera kian bergulung ke dalam pelukan, sampai hilang di balik lengan Jimin yang besar. Pelukan Jimin yang hangat dan menenangkan, membuat Sera ketiduran tanpa sadar.

Jimin menunduk, memastikan Sera benar-benar sudah tidur. Dia mencium pelipis Sera dua kali, sebelum melerai pelukan, memperbaiki posisi bantal Sera dan menarik selimut. Lampu kamar dimatikan, menyisakan lampu nakas yang redup dan Jimin pun bersiap tidur.

Dia tidur miring menghadap istrinya, mengusap pipi Sera yang masih agak lembab, lamat-lamat rasa sesal mendatanginya lagi sebab telah membuat Sera menangis. Dia sudah berbicara terlalu keras, padahal istrinya hanya mengkhawatirkannya. Terlalu banyak pekerjaan ditambah kasus Seokjin yang kian melebar, membuat kewarasan Jimin terkuras, membiarkan emosi menguasai hati dan pikirannya.

"Maaf," gumamnya sekali lagi, seiring matanya mulai berat tetapi otaknya terus berputar.

Selang dua menit, Jimin yang nyaris terlelap kembali terjaga, muncul secara mendadak asumsi yang tidak mau dia yakini, bahwa; Min Yoongi adalah dalang yang membuat Seokjin keracunan.

Dia juga mulai memikirkan tujuan Yoongi memintanya berhenti. Yoongi bukan tipe saudara yang dekat dengan keluarga, Yoongi bahkan seperti hidup sendirian, menjauh dari keluarga kandungnya semenjak dia tahu ayahnya berselingkuh dengan istri pamannya sendiri.

Semenjak Min Yoongi tahu, kalau Park Jimin adalah adik tirinya.

Hubungan mereka beku selama bertahun-tahun, sebelum mencair karena kasus Niara. Namun bagi Jimin alasan itu belum cukup kuat, mempercayai perhatian Yoongi padanya tulus karena mereka bersaudara.

Jimin terhenyak saat merasakan tangan Sera menggenggam tangannya, menatap Sera yang mengerjap pelan sambil berusaha untuk sadar sepenuhnya dari alam tidur.

"Oppa, kau harus istirahat. Kalau dipaksa sampai terlalu lelah, kau justru tidak bisa berpikir jernih."

Jimin tertegun sebentar, masalahnya mata dan otaknya tidak mau diajak tidur. Dia melihat Sera beranjak duduk, lamat-lamat menariknya untuk tiduran di atas pangkuan. Jimin yang sejatinya sangat ngantuk, pening, begitu lelah sampai tulang-tulangnya sakit, hanya pasrah berbaring sesuai arahan Sera.

"Kepalamu pasti pusing karena kurang tidur." Sera memijat kepala Jimin lalu turun pelan-pelan ke leher dan sekitaran bahu, membiarkan Jimin memeluk sekeliling pinggangnya.

"Tapi jangan lama-lama, kau juga harus tidur," gumam Jimin, matanya kian berat setelah jari-jari Sera memijatnya. Wangi tubuh Sera yang semanis vanila, bagai obat tidur yang seketika membuatnya terlelap.

Sera tetap memijat dan membiarkan Jimin diposisi itu selama setengah jam, sebelum bergeser sepelan mungkin. Dia bersiap tidur juga, menyelimuti Jimin dan membungkuk menciumnya.

"Saranghae-" bisiknya. Meski Jimin tidak pernah membalas ungkapan itu, di sepanjang dia mengatakannya.

[]

👑 🐥🐻 👑

Pasutri ⬆️ yang baru saja menikah

👑 🦊 👑

Direktur BruteMax ⬆️ yang baru saja diracuni

👑 🐱 👑

CEO VKook Bank ⬆️ yang baru saja ketangkep

Fortsett å les

You'll Also Like

THE REASON Av Xas

Fanfiction

91.3K 12.3K 45
Dari sekian banyak hal yang telah Jungkook temukan di sepanjang hidupnya, ada satu titik di mana ia ingin menyesali apa yang telah terjadi padanya ke...
1.7K 243 5
"Kau pikir apa? Akan bahagia menjadi istriku? Jangankan tubuhmu, bayanganmu saja sama sekali tak menarik bagiku!" ────•^🧸^•──── Gadis itu, yang teng...
6.1K 1.2K 19
Cho Sohyun koma selama tiga tahun setelah mengalami sebuah kecelakaan bus. Begitu bangun, orang yang dia cintai justru bertunangan dengan saudara ang...
4.1K 509 4
Kim Seokjin divonis mandul, sementara dia membutuhkan penerus untuk dapat naik ke posisi Ketua Grup. Dia memerintahkan istrinya untuk menikah dengan...