The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

257K 22.5K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
29
30
31

28

6K 464 122
By jaeandje

yaAllah akhirnya bisa up setelah drama 'unable to publish?😭

tell me from 1-10, seberapa kangen kalian untuk cerita ini???

gasadar part ini sampe 14ribu kata😃

btw ini gue belom meriksa ulang jd kalo ada typo mohon maklum dan kalo ada keanehan tolong ditandain lewat komen yaa, makazee  love<3

enjoy!!

Sesaat Rasel menutup pintu rumahnya lalu berjalan menuju ruang keluarga yang super besar itu bersama Natalie di belakangnya. Ia langsung disuguhkan oleh banyak orang yang sedang berkumpul disana.

Kanara, Jendra, Alaya, Yaslan, Ezzra, Billy dan Marven menatapnya dengan sebuah pesan tersirat. Salah satu dari mereka memberikan petunjuk melalui matanya dan Rasel mengikuti petunjuk tersebut.

Pada akhirnya ia memahami petunjuk itu saat matanya menangkap sosok suaminya sedang duduk di sofa. Ia lihat dari tampak sampingnya, lelaki itu terlihat marah yang artinya Jehan sudah tau pertemuannya dengan Lorenza.

Rasel menghela nafasnya. Ia memang salah karena tidak memberitahu suaminya jadi ia akan menerima apapun yang akan lelaki itu katakan.

"Je.."

Jehan menoleh dengan ekspresi yang sangat dingin untuk menatap Rasel. "You owe me an explanation, Raselia Emmera Kanagara."

"Rasel pergi bareng gue dan–"

"Gue butuh penjelasan istri gue bukan lo, Nat" sahut Jehan memotong ucapan Natalie yang berupaya membantu Rasel.

Suara beratnya Jehan berhasil membuat Rasel merinding ditambah dia memanggilnya dengan nama panjang dan lengkap yang artinya kali ini sang suami benar-benar marah.

Jangankan Rasel, yang lainnya pun merasakan hal yang sama. Mereka juga merinding nan takut ketika melihat dan mendengar Jehan saat ini.

"Ikut aku sekarang." kata Jehan beranjak dari duduknya lalu berjalan lebih dulu menaiki tangga menuju lantai dua.

Dirinya yang seharusnya pergi bekerja ke kantor siang tadi, lagi-lagi dia terpaksa harus mengatur ulang jadwalnya.

Rasel menghela nafasnya pasrah dan mengikuti langkah sang suami. Orang-orang disekitarnya memandangnya dengan tatapan bersalah terutama Alaya.

"Sel, maaf gue keceplosan–" cicit Alaya sementara Rasel tersenyum dan menepuk bahu Alaya seolah mengatakan 'tidak apa-apa'.

Dengan langkah pelan dan hati-hati, Rasel menaiki tangga menuju kamarnya karena tadi ia melihat Jehan masuk kesana sehingga dirinya berspekulasi mereka berdua akan berbicara disana secara pribadi.

Astaga baru beberapa jam yang lalu mereka bertingkah manis satu sama lain kini Rasel sudah harus menyiapkan diri terkena omelan sang suami.

"Rasel ngga bakal kenapa-kenapa, kan?" tanya Natalie khawatir.

"Jehan kalau marah emang nyeremin tapi dia bisa ngontrol diri kalau sama perempuan apalagi ini istrinya." jawab Ezzra yang diangguki oleh Kanara, Jendra dan Marven.

Setelah sampai di kamar, Rasel pun menutup pintu dengan pelan kemudian mendekati Jehan yang berdiri gagah menghadap jendela. Rasel menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya, mencoba menenangkan dirinya dulu sebelum mulai berbicara.

"Jehan, sebenarnya aku ngga mau bohongin kamu tapi kalo aku bilang aku yakin kamu ngga akan ngizinin aku buat pergi" Rasel berkata lebih dulu dengan suara kecil, menjelaskan dari sudut pandangnya.

"Kamu sadar ngga tindakan kamu hari ini tuh gegabah?"

Rasel mengangguk lemah, "Aku sadar kok–"

Jehan membalikkan badannya sambil memegang kedua pinggang. "You realized but you still left without me knowing and you even lied to me, Raselia."

"Aku ngga ngerti kenapa kamu bisa kepikiran ketemu Lorenza sendirian. Kalau kamu kenapa-kenapa gimana?!"

"Kata siapa aku sendirian? Natalie nemenin aku, dia ngejagain aku kok. Tadi kamu liat sendiri kan dia pulang bareng aku?"

"Itu juga karena Mbak Kana yang maksa, kalau engga kamu nekat pergi sendirian. Bener kan?" Rasel diam karena ucapan Jehan ini fakta.

"Gue ngerti perasaan lo jadi kalau gue di posisi lo, gue bakal ngelakuin hal yang sama. Lo mau ketemu Lorenza? Silakan, ngga ada satupun dari kita yang bisa larang–" ucap Kanara yang menyandar pada meja pantry.

"Mbak, lo gila?!" sahut Jendra yang memotong perkataan kakaknya disana. "Pokoknya gue nentang ide ini."

Kanara berdecak kesal, "Ck! Gue belum selesai ngomong!"

"Tapi dengan satu syarat, Sel. Lo ngga boleh pergi sendirian."

"Gue setuju." timpal yang lain saling menyahut.

Rasel mengulum bibirnya, "Gue bisa sendiri kok, gue ngga mau ngerepotin salah satu dari kalian. Lagian gue rasa Lola ngga bakal ngelukain gue–"

"Lo salah, justru lo target utamanya. Gue ngga setuju rencana janji temu lo karena itu. Lorenza bukan orang baik dan janji temu yang lo buat bakal jadi waktu yang sempurna untuk ngelukain lo." ucap Ezzra menjelaskan keadaan dugaannya.

"Gue udah kenal Lola belasan tahun dan gue yakin dia ngga sepenuhnya jahat. Jadi gue bisa pergi sendiri." Rasel tetap pada pendirian awalnya.

Marven menggigit bibirnya ragu. Ia tidak menduga bahwa Rasel memintanya memanggil tim ini tanpa sepengetahuan Jehan adalah untuk membahas rencananya yang mengejutkan dan tidak masuk akal.

Bertemu Lorenza sendirian? Wanita itu sudah gila. Bagaimana mungkin mereka semua memberi izin untuk itu? Apalagi tanpa sepengetahuan Jehan, mereka tidak ingin mencari masalah dengan pria itu.

"Sorry, kali ini gue ngga bisa nurutin permintaan lo." ucap Marven disertai gelengan kepala.

Billy melipat kedua tangannya di depan dada, "Gue emang ngga kenal Lola tapi gue kenal Jeksa. Gue di sampingnya selama puluhan tahun."

"Semua sifat ada di dalam diri dia. Tapi baik bukan salah satunya. Jeksa itu manipulatif, picik, pendendam dan gue yakin Lorenza pun sama kayak gitu."

"Gini, gini.. Lorenza hidup di balik nama Lola selama belasan tahun buat ngedeketin lo, Sel." Alaya menyahut karena temannya itu sungguh keras kepala.

Rasel memang lebih mengenal Lola lebih lama dari pada mereka tetapi bukan berarti dia bisa bertemu dengan orang berbahaya itu sendirian apalagi dengan pemikiran 'tidak sepenuhnya jahat', benar bukan?

Mereka tidak mau mengambil risiko yang bisa merugikan situasi mereka sendiri.

"Lo ngga ngerti, hah? Ck! Lola yang selama ini lo kenal itu ngga nyata, Lorenza sengaja ciptain karakter baiknya untuk mencapai tujuan dia dan tujuan wanita brengsek itu lo, Sel!"

Natalie tersenyum kecil, "Gue ngerti perasaan lo tapi sebaiknya lo ngga pergi sendirian, terlalu berbahaya. Apalagi kita ngerahasiain ini dari Jehan dan kita ngga bisa ambil resiko lagi. Gue yang bakal nemenin lo ya?"

"Pokoknya gue ngga ngizinin lo pergi kecuali ada salah satu dari kita yang nemenin lo." ucap Kanara yang terdengar tidak dapat dibantah.

"Mereka pernah bikin satu tim aku kewalahan gimana kamu yang sendirian? Aku ngga nyangka kamu senekat ini, Sel"

"Do you even think how would I feel if something bad happened to you?"

"Hm? Did you think about it?!"

Suara Jehan sedikit meninggi saat mengatakan itu. Meski kesal namun ia tetap mengendalikan emosinya agar tidak kelepasan dan menyakiti Rasel. Jehan merasa dengan tatapan dingin dan sedikit mengomel sudah cukup untuk mengutarakan amarahnya.

"But you can see that I'm fine now," balas Rasel sedikit memelas.

Wanita ini memberanikan diri mengangkat kepalanya untuk menatap wajah suaminya. Wah, sorot matanya begitu dingin dan sangat berbeda dengan yang tadi pagi. Dia benar-benar marah, Rasel takut.

Rasel memanyunkan bibirnya, ia mengaku salah. "Yaudah aku salah. Tapi kalau aku bilang jujur kamu ngga akan ngizinin aku pergi, Je.."

"Pembelaan aja terus," cetus Jehan masih marah meski rajukan Rasel hampir meluluhkannya.

"Ih! Bukan pembelaan," Rasel merengek bak anak kecil sambil memegang lengan kekar Jehan.

"Kamu tau salah tapi ngga minta maaf?"

"Maaf.." cicit Rasel sambil memainkan kemeja Jehan yang ia pegang lengannya.

Kali ini Jehan benar-benar tidak akan luluh dengan tingkah kekanakkan istrinya seperti biasa. Bahkan rengekkannya sekali pun, ia tidak peduli. Alasan kemarahan dan kekhawatirannya sekarang sangat serius.

"I can't get over you. Ngapain buat janji temu sama orang itu, hah? Aku tau Lola sahabat kamu tapi dia bahaya buat kamu, Sel."

Rasel langsung mengubah raut wajahnya menjadi lebih murung, mengingat pertemuan dengan Lorenza tadi sungguh menyakitkan meskipun berjalan lancar.

"Dia bukan sahabat aku," Rasel mengatakannya dengan suara berat dan intonasi yang terdengar penuh kecewa. Hal ini membuat Jehan cukup terkejut dengan jawabannya.

Jehan semakin memperdalam tatapannya ke arah wanita di sampingnya itu. "Sel–"

"Aku ngga pernah punya sahabat penuh amarah dan dendam kayak orang itu." lanjutnya.

"Are you okay?"

Rasel mengangkat kepalanya dengan mata yang berkaca-kaca. "I'm not okay, Je.."

"Sini–" Jehan membawa tubuh Rasel ke dalam dekapan dan mempersilahkan istrinya itu menangis puas di dalam sana karena ia bisa mengerti perasaan wanita itu.

Seketika Jehan melupakan rasa marahnya tadi.

"I lost–" Air mata yang mulanya tertahan langsung berjatuhan. Rasel terisak di dalam pelukan suaminya, menumpahkan sakit dan kecewa yang dirasakannya.

"Lola, aku kehilangan dia." isaknya.

Jehan menaruh dagunya di puncak kepala Rasel dan mengeratkan dekapannya. Dia tidak akan bertanya atau membahas tentang Lorenza lagi dan membiarkan istrinya menangis sampai puas lalu merasa tenang.

Kehilangan sahabat dengan cara seperti ini terkadang lebih jauh menyakitkan.

°°°

Lorenza mengepalkan tangannya sambil berkaca. Wajahnya penuh amarah dan dendam sementara pikirannya memikirkan setiap kata demi kata yang Rasel ucapkan saat mereka bertemu tadi.

Tak lama matanya menangkap sebuah foto yang menempel di pojok atas kanan cermin. Lorenza mengambil foto tersebut lalu memandangnya dengan senyuman kecut. Ah, ia mengingat dari mana foto ini berasal.

Mungkin sekitar dua tahun yang lalu, ketika dirinya, Rasel dan Jisya berhasil lolos ujian magang. Mereka bertiga menghabiskan waktu bersama, berfoto bersama dan foto tersebut sengaja dicetak agar menjadi kenangan.

Namun bagi Lorenza kenangan itu hanyalah kenangan semata. Tidak berarti apa-apa untuk dirinya. Lola Agaisha yang orang-orang kenal merupakan sosok tidak nyata karena Lorenza sendirilah yang menciptakan karakter baik dari sosok Lola menggunakan raganya.

Karya cerita yang ia buat belasan tahun bisa dibilang berhasil karena target utamanya selama ini tertipu dengan permainannya dan itu sangat membuat Lorenza puas.

Setelah beberapa menit memandang, Lorenza mengambil sebuah pemantik dari atas nakas di samping ranjang dan tanpa berpikir panjang, dia membakar foto tersebut. Lorenza menatap dalam-dalam bagaimana foto itu berubah menjadi abu.

Tidak ada penyesalan ataupun kesedihan dari sorot matanya. Justru Lorenza senang karena mulai detik ini dirinya bisa menunjukkan pada dunia jati diri dia yang sebenarnya.

"I can't wait to see you suffer like I did, Raselia." gumam Lorenza tersenyum miring.

"What are you doing, babe?"

Lorenza menoleh dan melihat laki-laki yang memandang status sebagai tunangannya berdiri menyandar di pinggiran pintu. "Nothing–"

"Urusan lo sama Richard udah beres?" Jeksa mengangguk sebagai jawabannya.

"Tebak berapa banyak saham yang gue punya di KNG's Group?"

"5%? 7%? Gue yakin ngga sebanyak itu," ucap Lorenza meremehkan.

"19%" timpal Jeksa tersenyum bangga. "Posisi kepemilikan saham gue di empat besar tepat di bawah Jehan, selisih kita cuma 1%"

Wajah Lorenza langsung merekah kesenangan, "No way you did what?!"

"A good start isn't it? We have to celebrate this, babe" Jeksa merangkul Lorenza yang masih sedikit terkejut dengan kabar ini.

"Gue ngga nyangka akan berjalan semudah ini, gimana bisa lo punya saham sebesar itu? Setau gue saham Richard ngga sampe 3%"

Jeksa tersenyum kecil, "Kondisi internal perusahaan mereka ngga sebaik yang kita kira selama ini,"

"Mayoritas pemegang saham KNG's Group nentang pergantian posisi pimpinan dan itu mempermudah rencana kita."

Tawaan kecil pun keluar dari mulut Lorenza, "Well, being Jehan is not easy apparently. So what next?"

Jeksa berjalan dan berdiri di dekat jendela kamar, memandangi pemandangan luar melalui kacanya. Sementara otaknya berputar untuk mengulang sekaligus memastikan langkah selanjutnya untuk rencana mereka.

"Pimpinan mereka tiba-tiba pensiun dan udah pasti Jehan jadi penerusnya tapi gue ngga bisa ngebiarin itu terjadi," ucap Jeksa dengan suara beratnya.

Sedangkan Lorenza masih diam di posisinya sambil mendengar dan mencerna setiap kata yang Jeksa ucapkan mengenai rencana baru mereka.

"Richard harus bersaing. Dengan saham yang dia punya sekarang, dia memenuhi syarat dan kriteria perusahaan mereka untuk jadi kandidat pimpinan."

Lorenza mendesis ragu, "Tapi Richard masih harus menang biar kita aman dan lo tau Jehan itu kandidat kuat."

"Karena itu kita harus buat Richard menang, apapun caranya. Kita punya suara pemegang saham mereka jadi ngga usah terlalu khawatir. Bahkan untuk skenario terburuk pun, voting pemilihan hasilnya bakal seri"

"If that's the case, inevitably we have to entrust everything to Richard. But I'm 100% sure, he'll win."

"So, you're using him as if he were your pawn right?" Jeksa memetikkan jarinya, menandakan ucapan wanita itu tepat dengan pesan tersiratnya. “I see–”

"Untuk Rasel, lo bakal mulai dari mana?"

Lorenza menopang dagunya sambil melihat ke luar jendela. "Gue bakal mulai dari karirnya–"

"Siapa sangka dokter yang dikenal baik dan kompeten selama ini ternyata mengidap alter ego?"

°°°

Rasel menuruni tangga sambil menggerutu tak jelas. Ia merapihkan tampilannya dari atas sampai bawah sekaligus memastikan tidak ada yang kurang untuk kegiatan hari ini.

"Nyonya terlihat cantik hari ini," sahut Mbu Lami yang datang dari arah belakang.

"Ya Tuhan, Mbu ngagetin aja–" Rasel menghela nafas sembari memegangi dadanya yang terasa berdegup kencang karena rasa kaget tersebut.

Mbu Lami terkekeh dan berdiri di dekat Rasel. "Maaf nyonya mbu ngga maksud,"

Rasel tersenyum manis, "Gimana penampilan aku hari ini? Apa warnanya terlalu mencolok?"

"Cantik seperti biasa dan warnanya tidak mencolok, nyonya pintar memilih warna." Mbu Lami menjawab sambil mengagumi nyonya majikannya yang terlihat sangat berbeda pagi ini.

Penampilan Rasel tidak seperti biasanya namun dengan pakaian rapih begini wanita itu sungguh cantik dan menawan. Mbu Lami melihatnya sudah seperti Ibu Direktur.

Namun pada dasarnya Rasel adalah istri dari seorang direktur bukankah sebutan ibu direktur menjadi lazim untuknya? Hanya saja Mbu Lami merasa Rasel terlihat menawan jutaan kali lipat dari biasanya.

"Bisa aja–" ujar Rasel malu-malu.

Mbu Lami tertawa kecil lalu memberikan sesuatu kepada Rasel, "Ini sandwich buah yang nyonya minta tadi"

Kedua mata hazel Rasel pun langsung berbinar dan tangannya menerima pemberian tersebut. "Ih Mbu beneran dibuatin? Makasih loh.."

"Sama-sama, nyonya."

"Rasel, kita harus pergi sekarang!" sahut seseorang di pintu masuk utama.

"Aku makan ini di jalan aja deh udah hampir jam sembilan kalau telat nanti Jehan marah. Aku pergi ya, Mbu. Dadah!"

Rasel melambaikan tangannya sambil berlari kecil untuk menghampiri seseorang yang sudah menunggunya di teras rumah.

"Selamat pagi, Marven!" sapanya saat ia melihat sesosok berdiri membelakanginya dan Rasel pun berdiri di sampingnya.

Marven menoleh namun tertegun dengan tampilan Rasel sehingga ia berhenti sebentar untuk membalas sapaan wanita itu. Wajahnya terlihat ceria karena senyum merekahnya.

Sial, Marven terhipnotis dengan kecantikan istri dari sahabat sekaligus bosnya itu. Dirinya harus segera sadar sebelum melewati batas. Ayolah bantu Marven sadar sekarang juga.

"Ven??"

"Ah, selamat pagi juga, Bu Rasel." balas Marven agak terbata dan menahan diri yang sedikit salah tingkah agar tidak terlihat jelas.

Balasannya ini membuat Marven mendapatkan pukulan kecil di bahunya. Hal ini dikarenakan Rasel tidak menyukai panggilan Marven kepadanya barusan. Bu Rasel? Kaku sekali.

"Panggilan macam apa itu?! Jangan terlalu formal sama gue harus berapa kali gue bilang?" Rasel mendesis kesal.

"Ya maaf. Lagian gue belum terbiasa apalagi penampilan lo hari ini sangat menunjukkan status lo sebagai istri direktur utama KNG's Group." balas Marven.

Rasel tersenyum malu mendengar perkataannya yang bisa dibilang sebagai pujian untuknya. "Well, gue juga mau mengakui kalau gue cukup cantik hari ini."

Bukan hanya cukup tapi sangat. Sangat cantik.

"Udah dua orang yang muji gue, bagus deh. Setidaknya dua jam gue ngga sia-sia. Ayo, gue ngga mau kena marah Jehan karena telat" ucap Rasel berjalan mendahului Marven menuju mobil.

Kalau penasaran mengapa Rasel pergi dengan Marven hari ini, alasannya adalah karena Jehan sudah lebih dulu berangkat sekitar pukul setengah delapan pagi tadi. Katanya sih ada yang harus Jehan urus dan bicarakan dengan tim kuasa hukumnya.

Entahlah urusan apa itu, Rasel tidak sempat bertanya tadi.

Marven tertawa kecil lalu mengikuti langkah wanita itu di belakang. Ia menahan Rasel yang hendak membuka pintu kursi penumpang depan, "Lo duduk di belakang."

"Ven, lo bukan supir pribadi gue–"

"Gue asisten pribadi suami lo kalau lo lupa," tukas Marven langsung.

"Bukan berarti lo jadi asisten pribadi gue juga, lo temen gue jadi gue duduk di depan." balas Rasel dengan senyuman tulusnya.

Marven ikut tersenyum. "Gue hargai itu, Sel. Tapi bukan itu yang jadi alasan gue minta lo duduk di belakang"

"Terus?"

"Pas kita sampai di kantor, lo bakal disambut sama beberapa karyawan. Kalau ingat status lo menurut gue sebaiknya lo duduk di belakang," kata Marven menjelaskan selagi membukakan pintu kursi penumpang belakang.

"Gue tau mungkin itu ngga nyaman buat lo tapi status lo sebagai istri Jehan itu reputasi yang penting bagi karyawan KNG's Group. Just let me do my job."

"Oke-oke, gue ngerti sekarang" ujar Rasel menyerah dan masuk ke dalam mobil. Ugh, menjadi istri orang penting nyatanya rumit sekali rasanya.

Sebelum berangkat, Marven memberikan tab  yang tersimpan di kursi sampingnya yang kosong kepada Rasel namun wanita itu bingung apa maksudnya.

"Jehan minta gue ngumpulin data-data ini buat lo karena lo harus kenal para pemegang saham sama anggota dewan perusahaan." kata Marven lalu menyalakan mesin mobil.

"Gue harus hafalin semua ini sebelum sampe di kantor perusahaan?!" pekik Rasel sambil melihat-lihat layar tab. "Gila ya lo?!"

"Sel, lo itu dokter. Gue yakin lo bisa cepet menghafal," Marven terkekeh melihat raut wajah Rasel dari kaca spion dalam.

"Tapi–" Rasel menatapi layar tab dengan pasrah meskipun hatinya mengutuk kesal suaminya yang memberikan ini secara mendadak. "Ck! Nyebelin"

"Ngomong-ngomong, kenapa gue harus hadir di rapat pemegang saham ini deh?" tanya Rasel penasaran dan berharap Marven memberikan jawaban.

Pasalnya kemarin sore Jehan hanya mengatakan bahwa dirinya harus hadir tanpa memberitahu alasannya. Katanya ada sesuatu yang sangat penting tapi sialnya dia tidak mengatakan apa itu.

Yang membuat Rasel semakin penasaran ialah Tania dan Kanara meliburkan hari kerjanya begitu saja seolah mereka dan Jehan sedang merencanakan sesuatu. Bahkan ketika Rasel mencoba bertanya kepada Jendra pun lelaki itu malah berkata bahwa ia tidak berani menjawab jujur.

Keluarga Kanagara memang suka bermain rahasia ya?

"Jehan ngga ngomong apa-apa tentang rapat ini?" Marven malah bertanya balik dan itu membuat Rasel menghela nafasnya.

"Lo ngga akan ngasih tau gue juga ya kan?"

"Sorry, I have no right to do that. Tapi gue bisa bilang ini hal yang baik buat lo, tunggu dan liat aja." kata Marven.

Rasel mengangguk saja tanpa mengucapkan apa-apa dan melanjutkan menghafal karena waktu terus berjalan. Ia mulai terbiasa dengan hidupnya yang terus dipenuhi rahasia sejak berurusan dengan Keluarga Kanagara. Toh lagi pula ia berencana menanyakan hal ini kepada suaminya secara pribadi nanti.

Setelahnya dia kembali membaca dan menghafal informasi mengenai setiap anggota dewan, pemegang saham internal dan eksternal yang jika dihitung totalnya sebanyak 25 orang penting yang terdiri dari 8 anggota dewan direksi, 3 anggota dewan komisaris, lalu 4 pemegang saham internal dan 4 pemegang saham eksternal.

Sial, Rasel tidak memahami perbedaan antara dewan direksi dan pemegang saham. Keduanya sama-sama memiliki saham namun mengapa julukannya berbeda?

Pimpinan alias Kakek mertuanya memegang saham paling tinggi. Kedua mendiang ayah mertuanya. Ketiga suaminya. Nama Tania, Kanara dan Jendra pun tertera di sana beserta persentase nilai sahamnya. Secara istilah, mereka merupakan anggota dewan direksi dengan dua orang lagi namun profilnya aneh.

Di tab tertera dua nama yakni 'Arma' dan 'Fasa’. Untuk seukuran nama keduanya cukup aneh ditambah tidak ada foto profil yang mendukung data pribadi keduanya dan mereka berdua informasinya minim sekali, hanya nama serta persentase kepemilikan saham, berbeda dengan informasi pemegang saham lain yang lebih detail.

Namun Rasel tidak menghiraukannya lebih lanjut karena mungkin memang seperti itu adanya, benar bukan? Maklumlah, Rasel tidak begitu mengerti sektor bisnis apalagi jika berurusan dengan saham.

Rasel tidak familiar dengan sisa yang lainnya. Seperti Abraham, Jessica, Namira, dan Alden sebagai pemegang saham internal. Satu hal yang baru Rasel ketahui ialah keempat dari mereka merupakan seorang direktur juga di industri yang berbeda seperti teknologi serta infrastruktur, penerbangan, farmasi dan perhotelan di bawah naungan KNG's Group.

Ah ya, Rasel jadi teringat bisnis KNG's Group memang luas sekali yang dimulai dari industri  kesehatan, pusat perbelanjaan, farmasi, hukum, teknologi dan infrastruktur, penerbangan hingga perhotelan. Tak heran lagi dengan kekayaan melimpah yang dimiliki keluarga suaminya ini.

Lalu Lydia, Michael, Anne dan Richard sebagai pemegang saham eksternal yang artinya mereka diluar dari perusahaan KNG's Group atau bisa dibilang sebagai investor.

Kemudian Hannah, Daniel dan Sophia sebagai anggota dewan komisaris yakni pengawas tertinggi dalam sebuah perusahaan yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan strategis, pengawasan, dan pertanggungjawaban kepada pemegang saham. Namun anehnya ketiga orang ini tidak memiliki saham.

Pertanyaan demi pertanyaan terus muncul di pikiran Rasel. Wah, kepala dia mau meledak rasanya.

Data disini ternyata hanya sebatas informasi umum sehingga tidak sulit untuk menghafalnya. Namun Rasel perlu menilik berulang kali wajah orang-orang penting yang asing baginya itu agar tidak tertukar dan mempermalukan suaminya.

"Sel, ada yang harus gue jelasin" ucap Marven yang memecah keheningan diantara mereka berdua.

Rasel merespon dengan dehaman tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar tab.

"Sebenarnya kondisi internal perusahaan lagi ngga baik-baik aja, and  I kind of worried about your husband–"

Gerakan jari Rasel terhenti seketika dan ia mengangkat kepalanya. "Ngga baik-baik aja gimana?"

"Pimpinan bakal pensiun."

"Kakek pensiun? Kok gue ngga denger apa-apa tentang ini?" Rasel mematikan tab di tangannya lalu menatap fokus Marven yang sedang menyetir.

"Keputusan pastinya baru dua hari yang lalu,"

Rasel agak tertegun mendengar kabar kakek mertuanya yang memutuskan untuk pensiun. Mengapa tiba-tiba sekali dan apa alasannya? Rasel menjadi tidak mengerti arah pembicaraan Marven sekarang.

"Terus maksud lo dari kondisi internal perusahaan lagi ngga baik-baik aja itu gimana? Lo khawatir Jehan kenapa?" tanya Rasel terdengar panik.

"Pimpinan mau Jehan yang ganti posisinya dan diliat dari persentase saham emang Jehan yang harusnya jadi Pimpinan selanjutnya tapi–"

Rasel masih setia mendengarkan karena ia merasa pembahasan Marven terdengar semakin serius. "Tapi???"

"Perusahaan punya aturan untuk pergantian pimpinan harus ada persetujuan dari anggota dewan sama pemegang saham. Unfortunately, the majority of them were against Jehan becoming the successor." jelas Marven.

"Dengan alasan?"

Marven tersenyum miring, "Jehan ngga cocok buat nempatin posisi penting itu, klise kan?"

"Mereka ngerasa Jehan bisa ngerusak reputasi perusahaan. Ada beberapa faktor yang bikin mereka ragu contohnya acara perusahaan yang diserang sama rumor tentang lo kemarin dan faktor lainnya,"

Mendengar hal itu, memori saat gosip tidak berdasar kepadanya tersebar hingga detik ini belum terselesaikan kembali muncul di kepala Rasel.

"Rumor tentang gue yang katanya anak dari pembunuh Direktur KNG's Group sebelumnya?" tanya Rasel memastikan dan Marven pun menganggukkan kepalanya.

"Maaf, karena gue nyusahin lo semua–" Rasel menghembuskan nafas kecil sesaat perasaan bersalah menyelimuti seluruh benaknya.

Marven menggeleng, "It wasn't your fault. Dari awal lo ngga salah untuk rumor itu,"

"I mean there are so many people who are trying to bring down keluarga Kanagara, khususnya Jehan. Jadi semua yang menyangkut Jehan atau Kanagara dan dianggap bisa jadi kelemahan, bakal mereka manfaatin."

Rasel menutup mulutnya sambil menatap luar kaca jendela mobil. Ia tidak pernah mengetahui bahwa kehidupan perusahaan suaminya sesulit ini. Apa? Ada yang mencoba menjatuhkannya dan itu rekan kerja Jehan sendiri?

Bagaimana bisa laki-laki itu tidak menceritakan hal ini kepadanya? Selama ini Jehan selalu saja mementingkan Rasel, apapun situasinya. Tetapi  hal itu justru membuat Rasel tidak pernah menyadari perasaan dan kondisi suaminya sendiri. Sebagai seorang istri, menyedihkan sekali bukan?

"Jehan ngga pernah cerita apa-apa sama gue, keadaan dia gimana sekarang?" ujar Rasel dengan suara kecil.

"Dia sempat frustasi tapi dia baik-baik aja. Jehan itu pintar, sesulit apapun situasinya dia pasti punya solusi. Itu yang gue kagumin dari dia."

Marven menatap Rasel dari kaca spion dalam mobil, "Lo punya suami yang tangguh, Sel. Jadi ngga usah khawatir."

"Jehan ngga cerita apa-apa sama lo mungkin karena dia ngga mau nambah beban pikiran lo."

"Orang pemegang saham yang lo baca disitu bersaing buat dapetin posisi Pimpinan tapi Jehan bukan salah satunya karena dia ngga pernah tertarik sama posisi itu. But he said he had something to do so he changed his mind."

Rasel mengulum bibirnya sambil mencoba mencerna kata demi kata dari penjelasan yang Marven berikan barusan. "He had something to do?"

"Lo bakal ngerti setelah rapat ini selesai."

Marven memasang rem tangan ketika mobil berhenti tepat di depan pintu masuk lobby kantor. Ia menoleh ke belakang dan menatap Rasel yang terlihat masih belum memahami semuanya.

"Sel, lo inget nama-nama pemegang saham eksternal kan?" tanyanya sementara Rasel mengangguk kecil.

"Watch out every single one of them especially Richard. Lo harus percaya sama suami lo, harus. Ya?" Lagi-lagi Rasel mengangguk tanpa bertanya apapun.

Marven tersenyum tipis, "Ayo gue antar lo ke ruangan Jehan. Dia udah nunggu disana,"

Rasel menggigit bibir bawahnya setelah Marven keluar dari mobil. Ia melihat pintu lobby ramai dengan orang-orang berpakaian hitam rapih berdiri seolah menunggunya.

Saat Marven membukakan pintu, Rasel keluar dari mobil secara perlahan dan begitu keluar, ia langsung disambut oleh orang-orang tersebut dengan sedikit membungkukkan tubuhnya. Ia berjalan melewati semuanya didampingi oleh Marven dan beberapa petugas keamanan yang ada disitu.

Oh, Rasel masih mencoba membiasakan diri untuk diperlakukan begini dengan tersenyum ramah kepada orang-orang yang ia lalui.

°°°

"Tidak. Perusahaan punya aturan sendiri jadi transaksi yang dilakukan Richard terbilang ilegal dan saya akan membeberkan tentang ini di rapat pemegang saham nanti."

Suara berat Jehan memenuhi ruangan kerjanya yang super besar. Ia sedang berbicara dengan pengacara kepercayaannya melalui telepon sambil membaca dokumen penting yang harus diperiksa sebelum rapat dimulai.

Jehan berdiri gagah di hadapan kaca jendela tanpa mengalihkan pandangannya dari sebuah kertas biasa namun sangat penting di tangan kirinya. Sementara tangan satunya menahan ponsel di telinga karena telepon masih terhubung.

"Marven sudah bilang kamu harus datang hari ini?"

'Sudah, Tuan. Saya lagi di perjalanan menuju sana.'

"Kamu tidak lupa membawa surat wasiat aslinya, kan?"

'Tentu saja tidak. Saya membawanya dan mengamankannya dengan baik sesuai perintah Tuan.'

Tok Tok Tok

Ketukan pintu yang cukup kencang berhasil mengalihkan pandangan Jehan lalu menoleh ke belakang dan melihat sesosok sedang menutup pintu. Dari lekuk tubuhnya sih, sosok tersebut adalah istrinya.

'Ah ya, Tuan. Saya sudah meminta bawahan saya untuk mengurus masalah rumor Nyonya Rasel dan warisan mendiang Pak Farez–'

Jehan tersenyum melihat istrinya berjalan menghampirinya namun pendengaran dan perhatiannya tetap pada telepon yang masih terhubung.

"Untuk masalah warisan, saya ingin kamu yang mengurusnya. Jangan orang lain." ucap Jehan yang membuat Rasel memelankan langkahnya.

'Baik, Tuan'

"Kalau begitu kabari saya kalau kamu sudah sampai." Jehan mematikan teleponnya dan memasukkan kembali kertas penting itu ke dalam map lalu berjalan menuju mejanya.

"Good morning," kata Jehan dengan senyum manis yang menampakkan lesung pipinya.

Rasel mengulas senyumnya juga. Ia duduk di tepian meja Jehan sambil menatapi setiap pergerakan suaminya sekaligus mengagumi penampilannya yang kelewat tampan pagi ini.

"Morning" balasnya lembut. "Tadi kamu lagi telponan sama siapa? Kedengarannya serius banget,"

"Darren, pengacara dari tim kuasa perusahaan" jawab Jehan dan Rasel memanggut mengerti.

Jehan berjalan mendekat ke arah Rasel hingga ia berdiri di hadapan Rasel dengan jarak yang tidak sampai tiga langkah. Ia memandangi tiap inci penampilan istrinya dari atas hingga bawah

Sebelumnya Rasel berhasil membuat Marven terhipnotis dengan penampilan tidak biasanya. Kali ini Jehan yang terhipnotis bahkan pria itu sangat tertegun melihat Rasel yang luar biasa cantik dan juga menawan.

Apalagi tata rambutnya hari ini menjadi nilai tambah kecantikannya. Jarang sekali Jehan melihat Rasel dicepol rapih seperti itu. Leher jenjang dan dadanya menjadi terekspos jelas. Sial, Jehan tidak menyukai hal itu.

"You look so stunning–" gumamnya kecil.

Rasel menyadari Jehan yang tidak berhenti memandangnya, ia pun melebarkan senyumnya lalu berdeham.

"Gimana penampilan aku? Cantik kan?!" seru Rasel yang membuat Jehan langsung tersadar.

"Keliatannya kamu niat dandan kayak gini ya?"

"Iya, dua jam aku ngerjainnya"

Jehan terkekeh kecil lalu menatap lekat kedua mata coklat Rasel, "Cantik."

Rasel tersenyum malu mendengar kata tersebut keluar dari mulut suaminya. Saking malunya ia membuang muka agar tidak bertatapan dan juga menutup rasa salah tingkahnya.

Sialan wanita itu terlalu lucu jika sedang salah tingkah begini.

"Udah sarapan, hm?" tanya Jehan sengaja mengganti topik karena ia tau Rasel sedang malu karenanya.

Rasel mengangguk, "Udah" jawabnya yang membuat Jehan tersenyum tenang.

"Oh ya, Je. Ininya belum–" Rasel menunjuk pipi kirinya namun Jehan belum menangkap maksud wanita itu.

Beberapa detik kemudian Jehan pun mengerti dan ia menyeringai, "Tinggal bilang kalau mau cium dari aku apa susahnya?"

"Tadi kamu berangkatnya pagi banget sih," cetus Rasel memanyunkan bibirnya. Gemas sekali di mata Jehan.

Akhir-akhir ini Rasel suka sekali meminta kecupan pagi secara terang-terangan. Jehan terkejut dan tidak biasa namun dia menyukainya. Sehingga kini kecupan pagi antar satu sama lain sudah menjadi rutinitas mereka sebelum menjalani hari.

Jehan sedikit membungkukkan tubuhnya untuk memberi kecupan di pipi Rasel sesuai kemauan dia. Tetapi Jehan harus memanfaatkan waktu ini dengan mengecup singkat bibir ranum Rasel ketika wanita itu sedang lengah.

"Ih! Inget ini kantor, Jehan" desis Rasel kesal namun salah tingkah.

"It was just a quick kiss. We've already done more here, in case you forgot" goda Jehan yang membuat kedua pipi Rasel semakin bersemu merah.

Tak tahan berada di hadapan suaminya, Rasel pun menjauh dan memilih menyusuri setiap area ruangan ini. Sementara Jehan terkekeh gemas melihat tingkah istrinya saat ini.

"Aku udah hafalin satu persatu pemegang saham sesuai yang kamu mau. Terus apa?" celetuk Rasel.

"Ngga ada apa-apa–"

"Jangan bohong, Marven udah ngejelasin situasi perusahaan ke aku. Kamu lupa sama janji kamu? No more secret, Jehan. Kakek pensiun dan sekarang kamu lagi berusaha dapetin posisi Pimpinan kan?" cela Rasel.

Jehan menghembuskan nafasnya, "Marven ngejelasin sampe mana?"

"Lastly Marven asked me to be careful with Richard, salah satu pemegang saham eksternal, what's wrong with him?"

Kali ini Jehan yang mendudukkan bokongnya di tepian meja sambil menyilangkan tangannya di depan dada dan bersiap untuk menceritakan apa yang sedang terjadi. Tidak boleh ada lagi rahasia. Itu janji mereka satu sama lain yang harus selalu mereka ingat.

"Keluarga Richard itu salah satu kepercayaan Kanagara tapi semuanya berubah sejak dua hari yang lalu."

"Dua hari yang lalu? Acara perayaan perusahaan?" Rasel bertanya dan Jehan mengangguk sebagai jawabannya.

"Alaya-Jendra dapet bukti transaksi ilegal antara Richard sama Jeksa waktu itu."

Rasel mengerutkan dahinya, "Richard sama Jeksa? Mereka saling kenal?!" pekiknya.

Lagi-lagi Jehan menganggukkan kepalanya disertai senyuman kecutnya. "Mereka pernah satu sekolah."

"Dewan direksi, dewan komisaris sama pemegang saham lainnya belum tau tentang transaksi ilegal Richard dan aku mau ngungkapin itu di rapat nanti."

Jehan menghembuskan nafas kasarnya, "They're trying to knock me down and I can't let that happen cause I have something to do"

"Aku tau–" Rasel mengulas senyum dan menatap suaminya penuh arti sambil berjalan mendekat ke hadapan Jehan.

"Aku tau kamu punya tujuan dan aku yakin itu hal yang baik. Aku juga tau kamu bukan tipe orang yang gila jabatan,"

"Karena itu aku dukung kamu. Aku bakal selalu dukung kamu, Je." Begitu berdiri tepat di depan suaminya, tangan kanan Rasel memegang dan mengusap lembut pipi kiri Jehan.

Jehan mengangkat kepalanya lalu bertatapan dengan Rasel. Saling memancarkan kepedulian, kepercayaan dan juga ketulusan satu sama lain. Jehan pun tersenyum.

"I asked you to come cause I want you by my side, Sel" ujar Jehan agak sendu.

Rasel memanggut masih dengan senyumnya, "I will, okay?" Jehan mengangguk paham sambil tersenyum.

"Oh ya, untuk masalah rumor kamu kemarin aku ada solusinya tapi aku butuh persetujuan kamu–"

Kedua alis Rasel bertaut bingung, "Persetujuan aku? Tentang apa?"

"I have to talk about your parents a bit in the meeting. Is that okay with you?"

"Well, I appreciate you asking my permission first for that but I'm fine with it." balas Rasel seraya menyimpan kedua tangannya di pundak Jehan.

"Really?"

"If you have to then go ahead, it's not a big deal for me anymore." Jawaban Rasel berhasil menenangkan hati Jehan yang sempat gelisah sebelumnya.

Alright..”

Jehan menyandarkan kepalanya di dada Rasel dan memejamkan matanya. Hal seperti ini bisa membuatnya tenang sejenak, mengingat dia akan menghadapi berbagai macam argumen di rapat pemegang saham nanti.

"Kamu bisa ngatasin ini, aku percaya kamu, Jehan." ucap Rasel menepuk-nepuk pelan punggung suaminya.

"Thank you for believing me," katanya terdengar tulus sekali di dalam dekapan kecil itu.

"Tapi, Je.."

"Hm?"

"Aku ngga ngerti apa-apa tentang bisnis apalagi masalah saham. Kayaknya aku ngga bisa bantu banyak deh,"

Jehan mengernyit lalu terkekeh kemudian ia mendongak. "Kata siapa?"

"Kata aku barusan dan aku serius." cecar Rasel, tidak suka dengan ekspresi Jehan saat ini.

"We'll see,"

Rasel merubah raut wajahnya, "Aku beneran serius, Jehan–"

"Je, semua udah siap. Rap– Ups sorry, gue ngga maksud ganggu kalian" Jehan dan Rasel menoleh ke arah pintu secara bersamaan.

Tebaklah siapa yang berani masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk lebih dulu? Ya sesuai yang ada di pikiran kalian yakni Marven.

Mengganggu waktu privasi pasangan suami istri? Ugh, sangat tidak sopan.

"Gue salah karena ngga ketuk dulu, yeah I know. Gue cuma mau ngingetin rapat dimulai 5 menit lagi dan Darren udah nunggu lo diluar, Je." kata Marven yang setelahnya menutup pintu dan pergi.

°°°

Suasana ruang rapat yang telah berisi puluhan orang penting cukup hening. Beberapa diantara mereka terus memandang Rasel dan Jehan dari semenjak keduanya masuk ke dalam ruangan. Setiap sorot matanya begitu dingin.

Rasel melihat Tania dan Kanara duduk gagah berseberangan dengannya. Sementara Jehan duduk tepat di samping kirinya dan Jendra duduk di samping kanannya.

Sisanya yang lain adalah para anggota dewan direksi serta pemegang saham yang sudah tidak lagi asing di matanya berkat data yang Marven beri tadi.

Abraham, Jessica, Namira, Alden, Lydia, Michael, Anne dan Richard mereka semua ada di ruangan, Rasel ingat wajahnya.

Lalu para asisten pribadi dari masing-masing orang penting itu duduk berjejeran di belakang sibuk dengan berbagai berkas yang sepertinya berkaitan dengan rapat ini.

Jadi begini suasana tempat yang dipenuhi oleh orang-orang penting dan berkuasa. Sungguh menegangkan bagi Rasel.

Kini semuanya sedang menunggu Pimpinan. Satu-satunya yang belum datang padahal beliau merupakan salah satu bintang utamanya. Entah mengapa Pimpinan datang terlambat, tidak seperti biasanya. Orang-orang pun heran kecuali Jehan, Marven, Tania, Jendra dan juga Kanara.

Tunggu. Ada yang kurang. Rasel ingat betul jumlah dewan direksi dan pemegang saham itu sebanyak 22 orang. Tetapi mengapa yang hadir hanya 20 orang? Kemana dua orang itu?

Tetapi Rasel menghapus pertanyaan itu dari otaknya dengan segera. Mungkin saja kedua orang itu sedang berhalangan hadir, benar bukan?

Tak lama kemudian, sosok paruh baya dengan gagahnya masuk ke dalam ruangan bersama asisten serta beberapa pengawal pribadinya lalu beliau duduk di kursi utama yang letaknya paling depan.

"Maaf untuk keterlambatannya–" ujar Pimpinan seraya melirik ke arah Rasel dan Jehan namun Rasel tidak menyadarinya.

"Tidak masalah. Selamat pagi, Pak" sapa Tania yang mencoba mencairkan suasana tegang di ruangan ini.

Pimpinan memanggut, "Sebelumnya saya mau memberi klarifikasi sekaligus pengumuman resmi lebih dulu. Mungkin kalian semua sudah mendengar kabarnya,"

"Benar, saya memilih pensiun." lanjutnya.

Ruangan yang mulanya sangat hening langsung dipenuhi berbagai bisikan tatkala Pimpinan mengucapkan keputusannya secara tegas. Tetapi Jehan, Tania, Kanara dan Jendra malah saling menatap satu sama lain.

"Tanpa mengurangi rasa hormat, perusahaan sedang dalam kondisi tidak stabil, Pak. Kenapa bapak memilih pensiun di situasi seperti ini?" tanya salah satu pemegang saham, Abraham, yang pertama mengeluarkan suaranya.

Pimpinan tersenyum tipis mendengar tutur katanya, "Hal ini memang mengejutkan tapi keputusan saya sudah bulat."

"Perusahaan memang sedang dalam kondisi tidak stabil lebih tepatnya kondisi internal struktur organisasi kita yang tidak stabil. Lagipula kalian sendiri yang membuat kondisi perusahaan tidak stabil, benar bukan?"

Kalimat ini sangat berhasil membuat beberapa anggota dewan bingung. Ada pula yang merasa tersindir karena ucapannya, terutama Richard.

"Saya bukannya mau lepas tanggung jawab tapi saya rasa ada seseorang yang lebih cocok, ahli, kompeten, berani dalam hal keadilan dan juga kebenaran dari pada saya. Kalian tau siapa yang saya maksud." kata Pimpinan sambil menatap Jehan.

"Direktur utama kita, Jehan"

Para dewan direksi sontak melihat ke arah Jehan yang sedang diam seolah-olah belum mau mengeluarkan suaranya. "Setuju." ucap mereka.

Rasel menoleh dan melihat raut serius di wajah suaminya. Ia tau kalau suaminya ini sedang gugup karena itu Rasel menggenggam tangan kanan Jehan yang berada di paha lelaki itu dan dia membalas genggamannya tanpa mengalihkan tatapannya.

"Berdasarkan aturan, memang seharusnya Jehan yang menjadi Pimpinan selanjutnya" celetuk Kanara selaku anggota dewan.

"Atas dasar apa, Mbak Kana? Keturunan?" timpal Jessica, salah satu pemegang saham yang terdengar angkuh sekali.

Kanara menatap wanita itu dengan tatapan datar. "Data kepemilikan saham ada di depan mata. Tolong dilihat dan dibaca baik-baik, Bu Jessica"

Jendra mengangkat tab miliknya, "Benda ini punya segalanya termasuk aturan perusahaan jika kalian lupa. Kepemilikan saham terbesar yang punya kesempatan untuk menjadi pimpinan dan dilihat dari data terbaru, Jehan yang dapat kesempatan itu."

Semua orang yang ada disitu menatap layar dan membaca informasi yang ditunjukkan sembari mendengar perkataan Jendra dan ucapannya terbukti benar. Jika Pimpinan yang sekarang memilih pensiun maka secara teori, Jehan lah penerusnya.

"Tapi dari rincian kepemilikan ini, saham milik Pak Richard berada di bawah Pak Jehan dan perbedaannya tidak sampai 1%. Menurut saya, Pak Richard bisa menjadi kandidat Pimpinan yang kedua." ujar Lydia yang disetujui oleh semua pemegang saham.

Tania tersenyum kecut, "Untuk itu kita perlu penilaian Dewan Komisaris lebih dulu. Kalian mau mereka turun tangan secara langsung? Kalau saya tidak karena pergantian Pimpinan bukan masalah besar–"

"Ini masalah besar dan serius, Bu Tania." cela Alden dengan suara berat yang menandakan ia keberatan dengan perkataan Tania sebelumnya.

"Siapa yang bilang tidak serius? Pergantian pimpinan kita ikuti aturan dan kebijakan yang ada lalu masalah selesai. Dewan Komisaris pun sudah tau masalah pergantian Pimpinan ini jadi kalau kalian memperumit keadaan itu artinya kalian sendiri yang memperbesar masalah, paham?" balas Tania membuat suasana mulai memanas.

"Kalian semua tau berurusan dengan Dewan Komisaris tidak pernah mudah tapi jika kalian memang ingin seperti itu, saya akan mengatur ulang jadwal rapat ini bersama Dewan Komisaris dan mereka yang akan memberi keputusan terakhir." lanjutnya.

Richard yang mendengar perseteruan antara rekan-rekannya kini menyeringai. "Tidak perlu, kita bisa mengatasi ini baik-baik."

Tania, Kanara dan Jendra tersenyum remeh begitu mendengar respon Richard. Pria itu terdengar waswas bukan? Dewan komisaris adalah orang kepercayaan Pimpinan dan keluarga Kanagara.

Dewan komisaris yang terdiri dari tiga anggota itu dikenal sangat tegas serta hebat berargumen. Benar, Richard merasa melawan dewan komisaris bukan tindakan yang tepat. Justru ia akan merugikan diri sendiri nantinya.

"Bagaimanapun juga saya ingin ada kandidat lain untuk mengganti posisi Pimpinan selain Pak Jehan. Dilihat akhir-akhir ini kinerja Pak Jehan menurun, tentunya berdampak ke semua sektor." ucap Namira yang langsung disetujui oleh semua pemegang saham.

Namira menatap Jehan dengan sorot mata yang tidak bisa dijelaskan. "Dengan kondisi seperti ini, Pak Jehan kurang pantas menjadi Pimpinan"

“Tapi jangan lupakan kontribusi apa saja yang Jehan berikan untuk perusahaan ini.” sindir Jendra.

"Lalu siapa yang menurut kamu pantas menjadi kandidat selain Jehan?" Tania bertanya dengan tatapan jengah ke arah Namira.

"Pak Richard," jawabnya.

Kanara tertawa remeh, "Hanya karena saham yang berbeda 0,3% dengan Jehan jadinya dia layak dan pantas menjadi kandidat?"

Jessica menampakkan senyum miringnya. Ia dan pemegang saham yang lain mengerti apa yang sedang Kanara, Tania dan Jendra lakukan disini. Mereka berusaha keras menyuarakan pendapat mereka untuk menjadikan lagi-lagi keluarga mereka yang menjadi Pimpinan baru.

"Butuh kriteria lain, Bu Kana? Oke, mari lihat dari rekam jejak atau pengalaman, keahlian manajerial, visi, keterampilan dan integritas, Pak Richard setara dengan Pak Jehan. Kalau kalian butuh pembuktiannya, saya rasa kalian bisa melihatnya sendiri." kata Jessica.

Begitu pula dengan para pemegang saham yang berusaha keras sekali menyuarakan pendapat mereka untuk membuat Richard sebagai kandidat kedua dalam pergantian Pimpinan.

Selama percakapan yang cukup intens tersebut, Rasel bisa menyimpulkan bahwa orang-orang penting itu memang menentang keras Jehan menjadi Pimpinan yang baru. Para pemegang saham tetap pada pendiriannya yang berkata Richard pantas menjadi kandidat kedua selain Jehan.

Rupanya situasi ini jauh lebih serius dari yang Rasel duga.

"Memberi kesempatan ini kepada Pak Richard mungkin bisa menjadi langkah yang baru dan sudah saatnya untuk mengganti tradisi bahwa penerus tidak harus selalu berasal dari keluarga Kanagara, benar bukan?"

Decakan Jendra mengalihkan perhatian yang lainnya sehingga kini mata semua orang yang berada di dalam ruangan itu tertuju kepadanya.

"Ck! Dari awal tidak pernah ada kebijakan bahwa penerus Pimpinan harus berasal dari keluarga kami. Jadi selama ini kalian semua menganggapnya seperti itu?"

Jendra mendesis remeh, "Artinya kalian tidak cukup berkualitas untuk mendapatkan posisi Pimpinan ini selain keluarga kami."

Rasel melirik ke arah adik iparnya dengan perasaan kagum yang langsung muncul di benaknya ketika Jendra berkata seperti itu. Wah, adik iparnya ini sungguh berani.

Richard serta pemegang saham lainnya tidak terlalu tersinggung dengan ucapan Jendra barusan. Justru ada sedikit rasa setuju disetiap benak mereka karena pada dasarnya keluarga Kanagara memang memiliki kualitas yang tinggi. Mereka tidak bisa menyangkal itu.

Namun mereka muak dengan tradisinya dan kebetulan kinerja Jehan akhir-akhir ini cukup berkurang di mata mereka apalagi kondisi perusahaan saat ini sedang tidak stabil jadi mereka bisa memanfaatkan kebetulan ini untuk menghapus tradisi keturunan menjadi penerus.

Perusahaan perlu mencoba hal yang baru, itu yang mereka pikir.

"Kalau begitu..."

"Jika kalian memang bersikeras memilih Richard sebagai kandidat kedua, silakan. Saya tidak akan menghalangi namun hasil akhirnya kita lihat setelah voting nanti." ucap Jendra memberi tanda kepada asistennya yang langsung keluar dari ruangan.

Tak sampai satu menit, asisten pribadi Jendra kembali masuk namun kali ini bersamaan dengan seorang wanita yang tampaknya dikenal oleh semua orang yang ada di dalam ruangan kecuali Rasel.

"Proses voting dilakukan dibawah pengawasan Bu Emily sebagai perwakilan dari divisi SDM" kata Jendra masih bersuara.

"Semua berhak memberi suara bukan?" tanya Jessica memastikan.

"Of course.."

"Voting akan dilakukan hari ini juga?" Alden agak tercengang dengan situasi saat ini.

Proses voting merupakan hal yang sangat serius terutama dalam konteks pemilihan Pimpinan baru sehingga perlu waktu dan persiapan yang matang. Namun pelaksanaan voting sepenting itu akan dilakukan hari ini juga?

"Why not? Jumlah pemilih yang harus hadir sudah sesuai dengan aturan quorum," ujar Kanara menjawab pertanyaan Alden.

"Bagaimana dengan Reygan, Aretha dan Farez? Meski sudah tiada, mereka masih menjadi bagian dari pemegang saham. Tapi kita tidak tau suara mereka untuk pemilihan ini jadi mereka dikecualikan?" ucap Anne tanpa sadar mengingatkan semua orang.

Rasel sontak mengangkat kepalanya, terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Entahlah mendengar tiga nama itu membuat telinganya menjadi lebih sensitif. Reygan, Farez, Aretha yang dimaksud ini orang yang sama bukan?

Pikiran dan perasaannya terbawa untuk mengiyakan pertanyaan tersebut. Tunggu, berarti mungkin saja nama aneh yang ia baca di mobil tadi merupakan orang tuanya?

Arma berasal dari Aretha Mahesti sedangkan Fasa berasal dari Farez Abiyaksa. Masuk akal bukan?

Tetapi jika ya, kepemilikan saham dengan singkatan nama yang terdaftar itu sangat tidak masuk akal. Sungguh mengejutkan bahwa orang tuanya merupakan bagian dari pemegang saham KNG's Group.

"Aku bakal jawab semua pertanyaan kamu nanti," bisik Jehan tepat di telinga Rasel. Pria itu tau bahwa istrinya ini sedang dikejutkan oleh informasi baru tentang orang tuanya.

"Tidak perlu khawatir. Reygan, Aretha dan Farez sudah memberikan jawaban mereka melalui surat wasiatnya," ucap Tania dengan senyum penuh kemenangan.

Kali ini Jehan yang memberi tanda kepada asisten pribadinya yakni Marven yang langsung ke luar ruangan dan kembali bersama seorang pria dengan tampang gagah dan menawannya.

Oh! Rasel kenal siapa orang itu. Darren, pengacara kepercayaan Jehan sebagai perwakilan dari tim kuasa hukum perusahaan. Jehan sempat memperkenalkannya sebelum rapat dimulai meskipun sekilas.

"But before we vote, mari dengarkan apa isi surat itu lebih dulu."

Darren, pengacara kepercayaan Kanagara yang mengurus masalah perwasiatan, meletakkan dua buah koper diatas meja lalu membuka salah satunya dan mengeluarkan selembar kertas dari sana.

"Selamat pagi, saya akan membacakan surat wasiat dari mendiang Pak Reygan, Pak Farez dan Bu Aretha yang telah disusun dengan cermat sesuai dengan kehendak dan instruksi dari mendiang sebelum meninggalkan dunia ini." Darren membuka suaranya dan semuanya pun diam.

Richard, Jessica, Alden, Lydia, Abraham, Anne, Michael dan Namira mendengarkan baik-baik setiap kalimat yang keluar dari mulut Darren. Mereka penasaran sekaligus ingin memastikan apa yang diwariskan oleh tiga orang penting itu. Mereka sudah menunggu lama untuk ini karena keluarga Kanagara selalu menundanya.

Begitu pula dengan Rasel. Dia menjadi sangat penasaran isi dari surat wasiat ayah dan ibunya yang sungguh mengejutkan karena dirinya tidak pernah tau apa-apa tentang ini. Apalagi fakta bahwa kedua orang tuanya merupakan pemegang saham di perusahaan suaminya.

Pertanyaannya adalah sejak kapan dan bagaimana bisa dirinya tidak pernah tau?

"Sebelum itu saya ingin mengingatkan bahwa surat wasiat ini adalah sebuah dokumen yang sangat penting dan memiliki kekuatan hukum yang signifikan. Sebagai pengacara, saya bertanggung jawab untuk menjelaskan isi surat wasiat kepada hadirin dengan baik dan menjawab pertanyaan atau kekhawatiran yang mungkin Anda miliki."

"Namun, penting untuk diingat bahwa isi surat wasiat ini adalah kehendak pribadi dari mendiang Pak Reygan, Pak Farez dan Bu Aretha yang telah disusun dengan keputusan matang. Oleh karena itu, perlu adanya penghormatan dan pengertian dari kita semua terhadap isi surat wasiat ini."

Darren menunjukkan surat wasiat pertama yang akan ia bacakan. "Surat wasiat pertama ini milik mendiang Pak Reygan Kanagara."

Jehan, Tania, Kanara, Jendra bahkan Pimpinan bersiap untuk mendengarkan karena ini pertama kali juga bagi mereka. Selama belasan tahun mereka tidak pernah membaca wasiat Reygan karena mereka masih terlalu berlarut pada kesedihan akan luka yang mendalam.

Namun ini adalah waktunya dan mereka tidak bisa menundanya lagi.

"Saya, Reygan Kanagara, telah menetapkan bahwa seluruh aset pribadi dan kepemilikan saham yang saya miliki dalam perusahaan KNG's Group akan diwariskan kepada istri saya, Tania dan ketiga anak saya, Kanara, Jehan dan Rajendra. Hal ini mencakup semua saham yang tercatat atas nama saya dalam perusahaan tersebut, baik saham biasa maupun saham preferen."

"Dalam konteks ini, saya memberikan hak kepemilikan saham yang diwariskan kepada istri dan ketiga anak saya secara bersama-sama. Saya berharap mereka dapat menjaga dan mengelola saham tersebut dengan baik, serta bekerja sama dalam pengambilan keputusan strategis terkait perusahaan KNG's Group."

"Selain itu, saya menunjuk Jehan sebagai penerus Pimpinan perusahaan KNG's Group. Saya yakin bahwa Jehan memiliki kualifikasi, bakat, dan semangat kepemimpinan yang diperlukan untuk menjalankan peran ini dengan baik. Saya berharap semuanya dapat bekerja sama dengan Jehan untuk menjaga keberlanjutan dan kesuksesan perusahaan."

"Melalui surat wasiat ini, saya berharap semua pihak terkait akan menghormati dan mengakui hak dan wewenang kepemilikan saham serta penunjukan Jehan sebagai Pimpinan perusahaan KNG's Group sesuai dengan ketentuan yang telah saya sampaikan dalam surat ini."

"Saya menyusun surat wasiat ini dengan cinta dan keyakinan bahwa semua ketentuan yang saya sampaikan akan dihormati dan dilaksanakan sesuai dengan niat saya yang tulus. Hormat saya, Reygan Kanagara."

Tania meneteskan air matanya begitu nama mendiang suaminya disebut sambil tersenyum kecil. Kalau dipikir-pikir, sudah lama sekali dirinya melihat sosok Reygan. Waktu berlalu sangat cepat. Selain kalung dan foto, surat wasiat itu termasuk peninggalan Reygan untuknya dan keluarganya. Tania tidak bisa menahan kesedihannya saat menghadapi fakta itu.

Begitu pula dengan Kanara dan Jendra. Mereka berdua langsung teringat dan merindukan sang ayah begitu mendengar dari kata pertama yang Darren lontarkan saat membacakan surat wasiat mendiang ayahnya barusan.

Namun berbeda dengan Jehan. Laki-laki itu terlihat tenang sekali. Tidak ada ekspresi sedih ataupun senyum senang di wajahnya. Tidak ada yang bisa melihat apakah dia memang biasa saja atau dia sedang menyembunyikan perasaannya, kecuali Rasel.

Rasel mengeratkan genggamannya di tangan Jehan. Ia melirik dan melihat suaminya itu sangat berbeda dengan Tania, Kanara dan juga Jendra. Tapi justru Rasel lebih mengetahui jika suaminya begini itu artinya dia sedang berada di titik terapuhnya, apalagi jika menyinggung mendiang ayahnya.

Karena itu Rasel ingin sekali membawa tubuh Jehan masuk ke dalam rengkuhannya dan memberinya dekapan erat namun sayang waktunya tidak tepat.

"Untuk rincian pembagiannya, Pak Reygan sudah menjelaskan secara langsung kepada saya. Dengan total kepemilikan sebesar 24%, Pak Reygan membagi rata sebesar 5% untuk Bu Tania, Tuan Jehan, Nyonya Kanara dan Tuan Jendra."

"Lalu 4% sisanya, Pak Reygan mewariskannya untuk Nyonya Raselia." ucapan Darren yang menjadi kalimat terakhir untuk persoalan warisan Reygan.

Para pemegang saham dan juga Rasel sontak sama-sama terbelalak. Mereka dikejutkan oleh pemberitahuan ini karena tidak menduga sama sekali bahwa Reygan menjadikan Rasel sebagai salah satu ahli warisnya.

Memang Rasel adalah menantunya, itu masuk akal. Tetapi dengan warisan saham 4% untuk sekedar seorang menantu itu terlalu besar. Apa Rasel sespesial itu?

Sementara Rasel diam karena rasa kagetnya. Dia tidak dapat mengatakan apa-apa karena ia belum bisa mencerna situasi saat ini. Bahkan dia tidak meminta penjelasan dari Jehan atau Jendra karena dirinya terlalu terkejut.

Atas dasar apa ayah mertuanya itu mewariskan saham kepadanya? Apa ini?

"Tunggu, Pak Reygan menjadikan Bu Rasel sebagai ahli warisnya? Bagaimana bisa?" tanya Namira tidak terima.

Darren sedikit mengulas senyumnya, "Mohon maaf tetapi Pak Reygan tidak memberikan penjelasan apapun untuk itu."

"Tidak masuk akal. Bu Rasel tidak memiliki apa-apa di perusahaan ini selain status dia sebagai istri Jehan–" timpal Lydia merasa tidak terima juga.

Marven merotasikan bola matanya mendengar setiap unjukan tersebut. Para pemegang saham itu sungguh menyebalkan dan Marven tidak pernah menyukai mereka meskipun kinerja mereka selama ini sangat bagus. Sudah jelas mereka iri bukan?

Tidak hanya Namira dan Lydia tetapi yang lain pun memberikan tatapan tidak terima ke arah Darren. Seolah mereka mempertanyakan apa yang dikatakannya itu benar atau salah.

Terutama Richard. Pria itu mengepalkan kedua tangannya begitu mendengar keputusan Reygan yang mewariskan 5% sahamnya kepada Jehan. Dia mengumpat kasar di dalam hati karena kini selisih kepemilikannya dengan Jehan tidak lagi tipis.

"Cukup, kalian keterlaluan!" sahut Pimpinan yang sedari tadi sengaja diam saja dan menahan untuk tidak merespon namun kali ini ia kelewat kesal dengan perkataan bawahannya yang telah melewati batas.

"Kalian pikir kalian siapa bisa meragukan keputusan mendiang?" Mereka pun diam tak bergeming.

"Apapun wasiatnya itu hak mendiang karena dia yang mengambil keputusannya. Tidak ada yang bisa mengatur sekalipun itu istrinya atau anaknya. Sikap kalian saat ini menunjukkan bahwa kalian tidak menghormati mendiang." lanjutnya.

Rasel merasa atmosfer disini bertambah lebih menegangkan. Terlebih mendengar intonasi suara kakek mertuanya alias pimpinan barusan berhasil membuat jantungnya berdegup tidak karuan. Padahal tegurannya tidak ditujukan untuknya namun tetap saja membuat kulitnya berdesir.

Tadi sempat ada, Lydia, yang merendahkannya karena tidak terima dengan pemberian warisan saham Reygan untuknya. Rasel tidak terlalu tersinggung dan memikirkan hal itu. Justru ia meronta ingin pergi dari sini sekarang juga, di dalam hatinya.

"Lanjutkan–" ujar Pimpinan yang tertuju kepada Darren, si pengacara.

Darren memanggut singkat lalu mengembalikan surat wasiat milik Reygan ke dalam koper awal. Kemudian ia beralih ke koper kedua. Secara perlahan Darren mengeluarkan benda yang sama yakni selembar kertas berkonteks surat wasiat namun kali ini pemiliknya berbeda.

"Kami, Farez Abiyaksa dan Aretha Mahesti,  telah menetapkan bahwa seluruh kepemilikan saham yang kami miliki dalam perusahaan KNG's Group, toko kue, dan aset lain yang kami miliki akan diwariskan sepenuhnya kepada anak tunggal kami, Raselia Emmera Abiyaksa."

Pandangan para pemegang saham sontak tertuju kepada Rasel. Lagi-lagi mereka dikejutkan oleh hal yang menyangkut istri dari direktur mereka itu. Mereka memandang satu sama lain, saling bertanya apakah mereka salah mendengar atau tidak.

Jadi istri dari direktur utama mereka, Jehan, yakni Raselia merupakan anak tunggal dari pasangan Abiyaksa? Mengapa mereka baru mengetahui fakta itu sekarang?

Sementara keluarga Kanagara, Tania, Kanara, Jendra, Jehan bahkan Pimpinan malah tersenyum tenang sambil menatap Rasel yang sedang diam tak bergeming di samping Jehan. Beberapa diantara mereka terkekeh kecil saat melihat ekspresi wanita itu.

Rasel memandangi Darren dengan tatapan kosong, saking kagetnya. Jadi ini alasan Jehan meminta izin sebelumnya. Pertanyaan yang ada di kepalanya semakin menumpuk tatkala hal baru terus mengejutkannya secara bertubi-tubi.

Sudah berapa kali dirinya dikejutkan hari ini, hm?

"Selain saham, kami juga mewariskan toko kue Serene Sweets beserta seluruh aset yang terkait termasuk perlengkapan, peralatan, inventaris, dan hak atas nama usaha kepada Raselia. Sehingga dia memiliki tanggung jawab untuk menjalankan dan mengelola toko kue dengan baik, serta menjaga keberlanjutan usaha ini."

"Selain itu, kami memberikan hak suara kami kepada Raselia untuk memilih Pimpinan perusahaan KNG's Group dalam pemilihan yang diadakan oleh pemegang saham. Kami juga memberikan wewenang penuh kepada Raselia untuk mengambil keputusan terkait saham-saham tersebut, termasuk keputusan penjualan, perubahan kepemilikan, dan partisipasi dalam pertemuan pemegang saham."

"Melalui surat wasiat ini, kami berharap semua pihak terkait, termasuk perusahaan KNG's Group  akan menghormati dan mengakui hak dan wewenang kepemilikan saham serta hak suara yang diberikan kepada Raselia sesuai dengan ketentuan yang telah kami sampaikan dalam surat ini."

"Terakhir, kami berharap bahwa warisan ini memberikan Raselia kekuatan dan kesempatan untuk melanjutkan perjalanan hidup dengan sukses, menjaga dan mengembangkan toko kue Serene Sweets, serta membangun masa depan yang cerah."

"Kami menyusun surat wasiat ini dengan penuh cinta dan keyakinan bahwa semua ketentuan yang kami sampaikan akan dihormati dan dilaksanakan sesuai dengan niat kami yang tulus. Hormat kami, Farez Abiyaksa dan Aretha Mahesti."

Setelah membacakannya, Darren menatap Rasel lalu tersenyum ramah kepadanya. Ia bisa menebak bagaimana perasaan wanita itu saat ini. Semenjak 12 tahun lalu dirinya ingin memberikan surat wasiat ini tetapi baru sekarang ia bisa menyampaikan amanah terakhir Farez dan Aretha, klien terhormatnya. Penantian yang sangat lama.

"Maka dari itu, total kepemilikan saham 5% ini menjadikan Nyonya Rasel sebagai salah satu pemegang saham dan memiliki hak penuh untuk menerima manfaat keuangan, dividen, dan hak suara yang melekat pada saham-saham tersebut."

"Sehingga Nyonya Rasel memiliki hak untuk terlibat dan memberikan suara dalam proses pemilihan Pimpinan hari ini sesuai dengan peraturan dan kebijakan perusahaan." lanjutnya.

"Sekian, terima kasih. "

Darren sedikit membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat ke semua petinggi yang ada di dalam ruangan.

"Kalian tadi bertanya apa suara Farez dan Aretha untuk pemilihan ini bukan?" tanya Tania dengan jeda sejenak. "Well, saya rasa kalian sudah tau jawabannya–"

"Apa benar Bu Rasel anak tunggalnya Pak Farez dan Bu Aretha?" tanya Alden untuk memastikan.

Benar. Orang-orang kantor tidak ada yang tau bahwa Rasel merupakan anak tunggal Farez dan Aretha. Bukan keluarga Kanagara sengaja menyembunyikan fakta itu namun keadaannya yang begitu. Semua orang kantor merasakan kesedihan mendalam terhadap kepergian tiga orang terhormat pada masanya di perusahaan ini.

Jadi hampir rata-rata mereka semua tidak ingin mengungkit hal yang menyangkut ketiga orang tersebut. Padahal sebelumnya banyak sekali yang dibuat penasaran dengan sosok anak tunggal dari pasangan Abiyaksa. Tapi semenjak kepergiannya, mereka menjadi tidak tertarik.

Mereka-mereka juga sempat penasaran dengan keluarga Rasel ketika wanita itu sudah menjadi istri Jehan. Ya sebagai bawahan dengan rasa kepo yang tinggi, tidak sekali atau dua kali mereka menebak-nebak siapa orang tua Rasel.

"Apa perlu dibaca ulang surat wasiatnya, Pak Alden?" sarkas Kanara disertai tatapannya yang sinis.

Rasel menundukkan kepalanya untuk menutup kedua matanya yang sudah berkaca-kaca dan bibirnya yang bergetar menahan tangis. Ia tidak peduli dengan berbagai jenis tatapan ke arahnya saat ini.

Jehan sadar kondisi istrinya. Ia menunjukkan kekhawatirannya dengan mendekatkan diri dan memegang pundaknya lalu berbisik, "Hey.."

"Je, c-can I go to the restroom for a moment, please?" tanyanya pelan namun kedengaran jelas sekali menahan tangis.

Istrinya itu menoleh sedikit dan Jehan langsung disuguhi oleh wajah sang istri yang memerah dan kedua matanya pun dipenuhi buliran bening yang hanya beberapa detik lagi jatuh menetes dari sana.

Damn it. Jehan tau Rasel akan seperti ini dan ia merasa sakit melihatnya. Tangannya bergerak mengelus kepalanya sambil mengangguk, "I'll accompany you, okay?"

Rasel mengiyakan saja tanpa mengatakan apa-apa. Saat ini ia hanya membutuhkan ruang dan waktu untuk mengeluarkan tangisannya. Ternyata Rasel tidak baik-baik saja jika ada yang membahas orang tuanya dan mungkin tidak akan pernah baik-baik saja.

Anne memandangi bagaimana Rasel menahan tangis di hadapannya, kebetulan tempat duduknya ini berseberangan dengan wanita itu. Ia tiba-tiba ikut merasakan kesedihan saat melihat Rasel seperti itu.

"Bagaimana jika kita break dulu selama 30 menit lalu lanjutkan ini?"

Pimpinan juga melihat Rasel bahkan sejak detik pertama pembahasan Farez dan Aretha, dirinya tidak pernah mengalihkan pandangannya dari cucu menantunya itu. Khawatir dengan kondisi Rasel selama kedua orang tuanya di bahas dalam forum ini.

"Benar, break dulu dan kembali kesini dalam 30 menit." Pimpinan menyahut setuju usulan Anne sekaligus memberi intruksi untuk menunda sejenak rapat ini.

Tania, Kanara, Jendra dan pemegang saham lainnya kecuali Anne sempat bingung dengan keputusan break itu. Namun jika Pimpinan sudah berkata demikian maka mereka tidak bisa apa-apa.

Lagipula break setengah jam akan membantu memulihkan dan mendinginkan pikiran mereka.

Jehan segera beranjak begitu Rasel berjalan cepat menuju toilet. Mengabaikan orang yang memperhatikannya. Tidak sopan memang tetapi Rasel tidak bisa menahan ingin menumpahkan tangisannya.

Tania, Kanara dan Jendra menatap kepergian Rasel dengan tatapan khawatir. Tadi mereka belum menyadari kondisi Rasel sampai wanita itu pergi dan Jehan mengikutinya di belakang.

Tak lama kemudian mereka bertiga berdiri dan hendak menyusul Rasel, memeriksa kondisinya. Namun sebelum itu Tania mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja sambil memandang satu per satu pemegang saham yang terlihat betah duduk di dalam ruangan.

"Masih mengira rumor tentang Rasel itu benar, hm?" Tania bertanya biasa tetapi kedengarannya menyindir mereka.

Para pemegang saham inilah yang meragukan Jehan dengan mempermasalahkan rumor Rasel beberapa waktu lalu. Dan kini mereka semua ditampar fakta bahwa orang yang dipermasalah oleh mereka merupakan anak tunggal dari satu pasangan yang sangat mereka hormati.

Pimpinan, Tania, Kanara, Jendra bahkan Marven merasa sangat puas melihat reaksi orang-orang itu.

-

Rasel berdiri di depan cermin setelah sampai di toilet dan dia langsung menangis. Tidak peduli jika ada orang di dalam bilik-bilik toilet, yang ia pedulikan hanyalah ia harus menenangkan diri sebelum kembali ke ruangan rapat.

Dia terisak cukup kencang hingga satu toilet dipenuhi oleh suara tangisannya. Rasel tidak mengira untuk mendengar pesan peninggalan orang tuanya akan sesakit ini. Padahal Rasel selalu yakin tidak akan seperti ini lagi.

"Sel, can I come in?"

Rasel menutup matanya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menahan pada wastafel. Ia mendengar jelas suara suaminya tetapi dia tidak bisa menjawab karena dadanya begitu sesak.

Meski tidak ada jawaban, Jehan masuk begitu saja mengabaikan fakta bahwa kini ia berada di toilet wanita. Lelaki itu memastikan setiap bilik kosong lebih dulu sebelum menghampiri Rasel.

Isak tangis yang memenuhi toilet terdengar sakit sekali di telinga Jehan. Ditambah istrinya itu bergumam menyebut ayah dan bundanya.

"Hey.." Jehan memegang bahu Rasel yang bergetar. "I'm so sorry–"

Rasel menggeleng singkat kemudian Jehan pun membawanya masuk ke dalam dekapan eratnya dan Rasel semakin terisak di dalam sana.

"A-aku ngga tau kenapa aku kayak gini, Je.."

Jehan mengelus lembut punggung istrinya itu bahkan sesekali mengecup tulus pelipisnya. Ia mengeluarkan segalanya untuk memberikan Rasel kenyamanan di situasi seperti ini.

"It's okay, sayang. I know this is hard and you don't have to go back there. I'll ask Marven to take you home, alright?"

Rasel menggeleng sambil menyeka air matanya yang membasahi hampir seluruh wajah. "No, don't. I can handle it, I promise to stay by your side remember?"

"Aku cuma mau nangis sebentar karena aku syok sekaligus sedih denger surat buatan bunda sama ayah. Meskipun itu surat wasiat tapi aku ngerasanya itu pesan terakhir dari mereka dan memang iya–"

"Kalo nangisnya selesai, aku bakal baik-baik aja kayak semula kok"

Jehan menatap lekat mata coklat Rasel, "You sure?" tanyanya memastikan yang dibalas anggukan.

"Okay then," Jehan tersenyum tenang sembari mengusap halus pipi basah istrinya. "Take your time here, you can come back after you're feeling better, ya?"

Masih dengan nafas sesegukan Rasel menganggut saja. "Aku kangen ayah sama bunda, Je.." lirihnya.

"I know. Aku juga kangen papa aku. Denger isi surat wasiatnya bikin aku langsung keinget dan dari surat itu, I'm even more convinced that he wants me to move on instead of dwelling on sadness." Jehan menangkup wajah Rasel sebelum melanjutkan.

"Likewise with your parents, they want you to stay strong and live your life well. Aku yakin itu pesan tersirat dari surat wasiat mereka,"

Seraya mencerna perkataan Jehan, tangisan Rasel pun perlahan berhenti namun dia masih sesegukan. Hidungnya memerah dan sedikit mengeluarkan ingus. "Aku pasti jelek banget sekarang, ya kan?"

Jehan tertawa kecil sambil merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna biru tua. Ia menyeka air mata serta ingusnya secara pelan tanpa rasa jijik. "It's better now–"

"I need my pouch make up," gumam Rasel kecil tetapi masih terdengar jelas. Senyuman tipis pun muncul di wajah Jehan.

"Pouch make up kamu dimana, hm?"

"Di mobil,"

"Okay, I'll tell Marven to go get it. Wait here,"

-

Setengah jam pun berlalu. Kini semua sudah kembali ke dalam ruang rapat persis dengan formasi sebelumnya. Semenjak fakta bahwa Rasel merupakan anak tunggal dari Farez dan Aretha Abiyaksa dibeberkan, membuat semua menjadi lebih menarik.

Para pemegang saham, Anne, Jessica, Alden, Namira, Lydia, Abraham dan Michael sempat berdiskusi apakah fakta tentang istri direktur itu benar atau tidak. Berusaha tidak percaya tetapi tidak ada aspek yang mendukung hingga pada akhirnya mereka menyadari marga di nama Rasel.

Fakta bahwa Rasel bermarga Abiyaksa sudah lebih dari cukup untuk mempercayai dan mereka bertujuh seketika merasa menyesal terhadap apa yang sudah mereka lakukan dan katakan kepada Rasel.

Sementara Richard, dia kebingungan dan mulai kehilangan rasa percaya diri setelah mendengar surat wasiat mendiang Reygan, Farez dan Aretha Abiyaksa. Namun Richard tidak mengabari Jeksa ataupun Lola karena ia yakin ia dapat mengatasi hal ini tanpa bantuan mereka.

Jendra berdiri untuk memulai pertama supaya bisa mendominasi alur rapat lebih dulu. Percaya atau tidak namun hanya Jehan yang sama sekali belum mengeluarkan pendapatnya di rapat ini.

"Karena persoalan warisan tadi, perubahan data kepemilikan saham cukup signifikan." Jendra bersuara paling pertama dan memberikan tanda kepada semua orang yang ada di dalam ruangan untuk melihat tab yang telah disediakan.

"Sebelumnya saya ingin menyambut Bu Rasel sebagai pemegang saham baru di KNG's Group. Welcome, Mam."

Rasel memberikan senyuman terbaiknya ketika mendapat sambutan tersebut. "Terima kasih,"

"Saya dan tim saya sudah mengakumulasikan kasar total kepemilikan untuk setiap pemegang saham–"

"Jendra, tunggu" sahut Pimpinan yang membuat Jendra menoleh ke arahnya dengan tatapan bertanya.

"Membahas saham, saya akan mewariskan saham saya seluruhnya." sahut Pimpinan tiba-tiba yang mengejutkan seisi ruangan termasuk Tania, Jehan, Kanara dan Jendra.

Hanya Darren yang terlihat tidak terkejut sama sekali. Well, meskipun dia adalah anggota tim kuasa hukum perusahaan namun dia merupakan ahli hukum alias pengacara terpilih sekaligus kepercayaan keluarga Kanagara.

"Pak, tidak perlu terburu-buru" sahut Abraham mencoba untuk sedikit meredakan situasi. Tentu dia menjadi salah satu yang dikejutkan dengan ucapan Pimpinan beberapa detik lalu.

Mengapa semuanya sangat terkejut seperti ini? Karena Pimpinan baru saja mewariskan seluruh sahamnya yang artinya beliau benar-benar akan meninggalkan perusahaan. Tidak mempunyai kepemilikan saham berarti beliau tidak akan lagi terlibat dalam kegiatan operasional perusahaan.

Pimpinan sudah pasti tau kebijakan itu dan beliau tetap mengambil keputusan pensiun. Namun secara teknis, Pimpinan tidak akan benar-benar pergi karena bagaimanapun juga beliau merupakan salah satu pendiri perusahaan.

Pimpinan menggeleng, "Saya tau ini memang mengejutkan tapi saya sudah memikirkan ini dari lama dan baru sempat sekarang mengatakannya"

"Jadi bapak serius dengan keputusan bapak untuk pensiun?" tanya Michael memastikan.

"Kamu pikir saya main-main di situasi seperti ini?" Tidak ada yang membalas ucapannya ini.

"Darren.." panggil Pimpinan sementara pengacara itu menganggut lalu mengambil sesuatu dari saku dalam jasnya.

"Total saham perusahaan yang Pimpinan miliki  dibagi sesuai dengan proporsi setiap ahli waris" ucap Darren sambil memberi map kecil kepada Tania, Kanara, Jehan dan Jendra.

"Rasel, 3% of my shares are for you." ucap Pimpinan disertai senyumnya.

Rasel juga menerima map kecil yang sama dengan Tania, Kanara, Jehan dan Jendra. Ia menjadi penasaran apa isinya. Kakek mertua baru saja mengatakan bahwa beliau memberi 3% saham milik beliau untuknya. Tangannya pun bergerak mengeluarkan isi yang ada di dalamnya.

"Warisan saham ini tidak akan mengubah posisi Richard sebagai pemegang terbesar kedua dan keputusan kami tetap untuk menjadikan Richard sebagai kandidat pimpinan." celetuk Jessica sedikit menggeram.

Tak hanya Jessica, pemegang saham yang lain juga sedikit kesal. Mereka semua bisa membaca apa yang sedang keluarga besar itu lakukan disini.

Jehan sontak menatap ke arah sang kakek dan kakeknya memberi anggukan tipis seolah-olah mempersilahkannya untuk melakukan sesuatu.

"Saya rasa orang yang melanggar peraturan perusahaan tidak pantas menjadi kandidat pimpinan," Jehan menceletuk dengan suara beratnya.

Tentu perkataannya ini berhasil membuat para pemegang saham mengernyit bingung. Richard menatap Jehan disertai senyum miring ketika ucapan lelaki itu dirasa ditujukan kepadanya.

"You think I'm breaking company rules?" tanya Richard merasa tidak bersalah.

Jehan mengangkat sebelah alisnya lalu mengedikkan bahunya. "Want to admit your own mistakes or have me expose them here?"

"I think there is a misunderstanding here. Saya tidak merasa melanggar peraturan perusahaan, Pak Jehan"

"If that's your decision, fine." Jehan berdiri sambil mengangkat tab di meja. "Tidak ada satupun dari kalian yang merasa aneh dengan nilai saham Richard sekarang?" lanjutnya.

Richard memperhatikan sekaligus mendengar baik-baik apa yang akan Jehan katakan untuk kepemilikannya. Di hati yang terdalamnya ia menjadi khawatir Jehan menyadari sesuatu.

"Mungkin saja Richard membeli–"

"Beli saham dan meningkat 12% dalam satu malam apa itu mungkin, Bu Lydia?" Jehan memotong Lydia yang hendak memberi Richard pembelaan. Lydia pun terdiam.

Perasaan Richard mulai tidak enak. Dia duduk gelisah karena sepertinya Jehan mengetahui sesuatu tentang saham miliknya dan tindakan dirinya.

"So, what exactly are you trying to tell us, Pak Jehan?" tanya Anne terdengar menuntut.

"Richard melakukan transaksi ilegal dengan Jeksa Navarez tanpa persetujuan bahkan tanpa sepengetahuan kita semua."

Anne, Jessica, Abraham, Namira, Lydia, Alden dan Michael sontak mengalihkan pandangannya ke arah Richard, bertanya dan memintanya untuk menjawab jujur.

Marven menyerahkan sebuah alat pengendali jarak jauh kepada Jehan lalu lelaki itu langsung memencet salah satu tombolnya dan layar besar yang ada di depan mereka menampakkan sesuatu.

"Ini bukti yang saya dapat tiga hari lalu dan pria yang di samping kanan itu Jeksa Navarez dengan tunangannya, Lorenza." Jehan menopang tubuhnya diatas meja dan tidak lepas pandangan dari layar di depannya.

Semua orang yang ada di ruangan itu juga menyaksikan dengan seksama video yang diputar pada layar tersebut.

Rasel sangat serius melinat videonya, tentu ia mengenali Lorenza alias mantan sahabatnya menjadi salah satu objek yang ada di dalam video. Perasaannya benar-benar campur aduk melihat dia.

Sementara Richard diam membeku. Kali ini dia tidak bisa mengelak karena ia mengingat betul malam itu. Malam dimana dirinya bertransaksi dengan Jeksa. Richard tidak bisa memberikan pembelaan karena dia telah melewatkan kesempatan yang sudah Jehan berikan tadi.

Richard, tamat sudah riwayatnya.

"Di video ini, Jeksa membeli saham Richard tanpa dokumen resmi sesuai kebijakan yang ada" Jehan melirik Richard yang sedang menatap kosong meja lalu melanjutkan, "Lebih parahnya lagi, Richard memanipulasi nama hak milik dan nilai sahamnya."

Para pemegang saham menatap Richard dengan tatapan tidak percaya. Tidak ada satupun yang menduga bahwa orang kompeten sepertinya telah melanggar peraturan perusahaan yang sangat serius begitu.

Transaksi ilegal serta manipulasi data?

"Seperti yang kalian tau, perusahaan Navarez sudah terkena banyak kasus. Tim saya sudah menyelidiki lebih dalam dan menemukan aktivitas penipuan, penyelundupan dan masih banyak lagi aktivitas yang bertentangan dengan perusahaan kita."

Jehan mengedarkan pandangannya ke setiap orang yang duduk di meja besar ini terutama para pemegang saham yang meragukannya.

"I want to ensuring our company is not involved with such that companies, itu salah satu tindakan saya ketika menjadi pimpinan perusahaan ini." kata Jehan dengan penuh penegasan.

"Richard, kamu tidak akan memberikan penjelasan?" tanya Abraham terdengar kecewa. Semua pemegang saham dikecewakan olehnya.

Richard menyeringai ke arah Jehan, tatapannya memancarkan sorot penuh amarah dan dendam serta kedua tangannya mengepal kuat. Tidak ada alasan khusus mengapa Richard memilih jalan ini. Hanya saja tawaran yang Jeksa beri sangat menggoda saat itu.

Memang bodoh, Richard mengakuinya. Namun ia tidak sepenuhnya menyesal karena kegagalan dirinya hari ini berarti kegagalan untuk Jeksa juga. Bukankah itu menguntungkan Jehan dan keluarganya?

Namira menoleh, "Did you really do that?"

"What were you thinking, huh?!" Michael memegang dahinya yang terasa pening. Ia menggeleng-geleng karena belum percaya dengan apa yang baru ia ketahui.

Lydia juga menatap Richard dengan tatapan tidak percaya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Begitu pula dengan Anne, Jessica, Abraham dan Alden. Mereka semua merasa sangat kecewa dan juga marah karena kepercayaan yang dibangun selama puluhan tahun sebagai kolega dihancurkan hari ini.

Rasa kecewa yang mereka rasakan terlalu besar sehingga mereka tidak dapat berkata-kata.

"Kamu salah satu orang yang kompeten di perusahaan ini, Richard. Saya tidak menduga kamu melakukan itu," Tania menyahut untuk mengekspresikan perasaannya.

Tania tidak berbohong. Richard memang salah satu orang yang kompeten dan pekerja keras di perusahaan. Bahkan bisa dibilang hampir setara dengan kedua putranya. Namun sayang sekali image tersebut hilang karena kesalahannya ini.

Bahkan Pimpinan pun kecewa dengan Richard karena masalah ini. Jehan, Kanara dan Jendra juga merasakan hal yang sama.

"Kita ambil tindakan sesuai kebijakan perusahaan," celetuk Jessica tidak memberi ampun. Anne beserta yang lain mengangguk setuju.

Rasel mengernyit bingung, "Sesuai kebijakan?" gumamnya. Karena penasaran ia mendekat ke adik iparnya lalu bertanya, "Jen, maksudnya apa deh?"

"He can no longer be a part of all of us." jawab Jendra dengan bisikan juga.

"Why?!"

"Itu udah aturannya, kakak ipar"

"Tunggu," Rasel langsung menyahut yang menginterupsi anggota rapat.

Hal ini membuat Jendra membelalak kaget. Semua orang pun mengalihkan pandangan ke arah Rasel, termasuk Jehan, Tania, Kanara dan juga Pimpinan.

"Saya memang belum memahami rasionalisasi dari setiap kebijakan yang sudah ada. Dan saya yakin kebijakan itu bersifat mutlak, tapi bukan berarti kita harus langsung memutuskan tanpa adanya pertimbangan lebih dulu,"

Rasel mengulum bibirnya. Entah ia mendapat keberanian untuk berbicara begini darimana, namun ia ingin mengutarakan pendapatnya. Toh ia memiliki hak berbicara bukan?

"Saya sempat membaca biodata dari setiap pemegang saham disini, salah satunya Pak Richard. Dari situ saya lihat kontribusi apa saja yang diberikan Pak Richard untuk perusahaan ini. Setidaknya itu bisa menjadi bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan bukan?"

Jehan sontak mengembangkan senyumnya. Begitupula dengan Pimpinan, Tania, Kanara, Jendra dan Marven. Mereka sangat terkesan dengan pendapat yang Rasel utarakan. Belum genap 24 jam, tetapi wanita itu sudah terlihat berpotensi.

Sebenarnya Jehan memiliki pemikiran yang sama dengan istrinya.

"Tindakannya sangat merugikan kita semua bahkan seluruh perusahaan. Saya tau sebesar apa kontribusi Pak Richard selama ini tapi pelanggarannya sangat serius, Bu Rasel" balas Anne.

"Kita tidak bisa menutup mata." lanjutnya.

"Darren, kami semua setuju untuk menindaklanjuti Pak Richard sesuai kebijakan yang ada." ucap Alden mewakili suara para pemegang saham yang lain. Dan itu keputusan bulat.

Marven tersenyum tipis. Orang-orang itu memang menyebalkan namun mereka patut dihormati karena mereka merupakan sekumpulan orang yang mengutamakan ketaatan terhadap peraturan yang ada.

Jadi apapun dan sekecil kesalahannya tetap harus ditindak lanjut sesuai kebijakan, tidak ada pengampunan kecuali mayoritas setuju untuk memberi keringanan.

Rasel menghela nafasnya. Sangat disayangkan pendapatnya tidak bisa mengubah keputusan mereka. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi meski di dalam hatinya ia merasa apapun ini semua tidaklah benar.

Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, bukan?

Darren pun menghembuskan nafasnya, "Pak Richard telah melanggar peraturan perusahaan dengan tindakan yang merugikan perusahaan, apa ada penjelasan lebih dulu, Pak?"

Hingga detik ini Richard tidak mengeluarkan suaranya atau berniat memberikan pembelaan karena baginya hal itu hanya akan memperburuk suasana. Lagipula dari awal ia sudah siap dengan konsekuensi yang diterima jika tindakannya ketahuan.

Richard menggeleng.

"Karena pelanggaran tersebut, berdasarkan kebijakan yang ada perusahaan memutuskan untuk mengeluarkan Pak Richard dari bagian pemegang saham KNG's Group. Dan sebagai tambahannya, Pak Jehan akan membeli kepemilikan saham yang dimiliki oleh Pak Richard."

-

Satu jam pun berlalu. Rapat pemegang saham diakhir dengan keputusan akhirnya adalah Jehan sebagai penerus Pimpinan KNG's Group.

Sungguh proses yang memusingkan sekaligus melelahkan bagi Rasel. Namun ia ikut senang dengan situasi Jehan. Ia menatap suaminya di sampingnya dengan tatapan bangga.

"Selamat, Pak Jehan. Let's see what you can do," ujar Anne dengan senyumnya.

"And I'm waiting for your hard work." balas Jehan yang membuat keduanya terkekeh.

Pemegang saham yang lainnya juga tidak melewatkan untuk memberikan ucapan selamat kepada Jehan yang nantinya akan menjadi Pimpinan mereka.

"Bu Rasel.." Anne tersenyum ke arah Rasel. "I apologize for my impoliteness and assuming you like the rumors have been circulating lately."

"We all are apologize," timpal Jessica dari belakang Anne bersama yang lainnya.

Mereka semua memberikan senyuman tulus yang membuat Rasel ikut tersenyum. "No need to, it's not a big deal."

Anne memegang bahu Rasel, "Just want you to know that, kita semua sangat menghormati orang tua kamu."

"Thank you," Rasel menunjukkan senyum tulusnya.

Anne mengangguk, "I'll see you later" lalu pergi meninggalkan Rasel dan Jehan bersama yang lainnya.

Setelah kepergian mereka, Rasel mendekatkan diri dengan suaminya. "Congratulations, suami" bisiknya sambil cekikikan gemas.

Jehan menoleh lalu tersenyum miring, "Aku tunggu hadiahnya,"

"Hadiah? Kamu mau hadiah apa?"

"I think you know the answer--" balasnya sambil menaikturunkan alisnya dan Rasel melotot ketika menangkap apa yang dimaksud suaminya itu.

Tak lama kemudian, Rasel kembali berekspresi lesu. Ia masih kurang terima dengan keputusan terhadap Richard tadi. Dan Jehan menyadari itu.

"Kenapa, hm?" Rasel menggeleng tipis. "Tentang Richard ya?"

"I'm proud that you have the courage to speak your own opinion." katanya sambil tersenyum bangga.

Rasel mendengus, "Tapi percuma juga opini aku ngga guna--"cetusnya kesal.

"You've done enough, sayang." Jehan menarik pelan dagu Rasel agar wanita itu menatapnya. "Hey.."

"Trust me, I have the same thoughts as you."

"Terus kenapa ngga kamu coba yakinin mereka? Jehan, semua orang berhak dapet kesempatan kedua.."

Jehan tersenyum, beruntung memiliki istri yang berpikiran positif dan murah hati. "Aku tau."

"Tapi kebijakan tetep kebijakan. Bahkan Dewan Komisaris pun setuju dan aku ngga bisa apa-apa lagi kalau mereka udah sepakat."

"I'm sorry.."

Rasel menggelengkan kepalanya lalu tersenyum. "Ngga usah minta maaf, aku ngerti kok--"

Tidak hanya Rasel yang merasa seperti itu. Jehan juga menyayangkan jika harus kehilangan orang hebat seperti Richard. Kesalahan ini memang serius tetapi bagaimanapun juga pria itu dan keluarganya memberi kontribusi yang cukup besar untuk perusahaan.

°°°

Jehan berjalan menuju kakeknya yang telah menunggunya. Tepat selesainya rapat tadi, sang kakek meminta waktunya sebentar untuk membicarakan sesuatu.

"Sebenarnya Kakek ngga harus pensiun untuk masalah ini," ucapnya tepat setelah berdiri di samping sang Kakek.

"Memang. Tapi kakek sudah tua, Jehan. Ini waktunya kakek menikmati hasil kerja keras kakek selama puluhan tahun."

"Sekarang giliran kamu yang harus bekerja keras. Tunjukin kualitas dan kemampuan kamu, Je. Apa yang udah terjadi jangan sampai terulang, kakek percaya sama kamu. Semua orang percaya sama kamu."

"Well, aku belum resmi jadi pimpinan tapi aku simpan pesan kakek hari ini."

Kakek menggenggam kedua tangan di belakang tubuhnya. Sementara Jehan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Mereka berdua sama-sama sedang memandangi suasana di luar jendela.

"Jeksa bakal marah besar kalau dia tau Richard gagal disini dan kakek yakin orang itu ngga bakal diam aja, kamu harus siap.."

Jehan tersenyum miring, "Mulai sekarang aku bakal selalu siap dan aku yakin Rasel pun udah siap."

"Kakek muak dan kakek ingin semuanya cepat selesai tapi kamu sama yang lain ngga boleh terburu-buru. Kalian harus hati-hati–”

“Pasti.”

“Kakek serius, Jehan. Liat ayah kamu atau orang tua Rasel. Berurusan sama Navarez selalu nyawa yang jadi taruhannya dan kakek ngga mau kehilangan siapa-siapa,” Kakek memalingkan tubuhnya dan menghadap cucunya.

“Rasel baru kehilangan salah satu sahabatnya, dia ngga bisa kehilangan siapa-siapa lagi.”

Jehan diam termenung dengan matanya yang mengarah ke luar. 'Berurusan sama Navarez selalu nyawa yang jadi taruhannya' kalimat ini benar sekali. Tetapi itu tidak membuat Jehan takut atau bahkan mundur toh selama ini mereka baik-baik saja dan akan selalu begitu. Hope so.

"Ngga bakal ada yang kehilangan siapa-siapa entah itu kakek atau Rasel. We can take care of ourselves and we'll be fine." ucap Jehan yang terdengar sangat yakin sampai Kakek pun mengangguk percaya.

"Harus kakek akui, Aretha dan Farez sangat hebat. Mereka punya persiapan matang untuk anak tunggalnya dan kakek tenang sekarang karena sudah memenuhi amanah mereka saat mereka masih hidup,"

"Sayangnya mereka ngga bisa melihat anaknya tumbuh menjadi dokter hebat. Kamu juga ngga punya kesempatan lagi untuk bertemu mertua kamu padahal kalian bisa menjadi tim yang hebat."

Lagi-lagi Jehan diam karena tidak tau harus merespon apa terutama jika membahas orang tua Rasel alias mertuanya. Sebenarnya Jehan pernah bertemu namun itu saat dirinya masih berusia 5 atau 6 tahun. Hanya saja memori itu perlahan memudar sehingga Jehan tidak bisa mengingat bagaimana perawakan mereka.

"Tentang toko kue Serene Sweets yang harusnya jatuh ke tangan Rasel bakal diurus sama pengacara keluarga kita. Kamu harus bicarakan hal ini sama Rasel," Jehan hanya mengangguk sebagai responnya.

"Rasel pasti bingung sama situasinya sekarang apalagi tiba-tiba jadi pemegang saham terbesar kedua di perusahaan. Dia harus bisa ngatasin hal itu. "

Jehan mengulum bibirnya, "Aku ngga akan minta dia ngubah profesinya jadi pengusaha. Dokter itu impiannya, itu jati dirinya."

"Kakek ngga minta kamu suruh dia ubah profesi dan ngelepasin impiannya, kamu pikir kakek sejahat itu? Lagian kakek bangga kok sama profesi dokternya," Kakeknya mendesis dan memberikan tatapan kesal.

"Dan menjadi dokter itu tidak mudah."

"Exactly, I know you're a caring person." Jehan bergumam dengan anggukan kecil. "So what are you trying to say, Kek?" sambungnya.

"Bantu dan bimbing dia, Je.. Gimanapun juga dia salah satu pemegang saham di perusahaan ini sekarang."

Jehan menatap kakeknya dengan tatapan yang serius, "I will. But I want you to know, kalau aku ngga bakal maksa dia untuk menjabat atau berperan aktif dalam kegiatan operasional perusahaan,"

"Sebelum itu kamu harus jelasin dulu semuanya dan biar Rasel sendiri yang ambil keputusan. We have no right to make decisions for her, meskipun kamu suaminya." balas kakeknya.

"Right. I'll talk to her," ucap Jehan mengalah karena perkataan sang kakek ada benarnya.

"Ajak Rasel ke rumah utama malam ini, let's have dinner together."

Jehan mengiyakan permintaan kakeknya lalu membalikkan badannya dan hendak pergi dari situ namun Kakeknya kembali menyahut yang membuat langkahnya berhenti.

"Where is your wife?"

"Mungkin lagi bareng Mamah atau Mbak Kana atau Jendra. Kenapa?"

"Tadi dia baik-baik aja kan? Kakek khawatir,"

Jehan kembali bertatapan dengan kakeknya. Ia bisa melihat kekhawatiran dari sorot mata sang kakek dan itu membuat Jehan tersenyum.

"Kalau tentang orang tuanya Rasel ngga pernah baik-baik aja, she missed her parents as much as I miss dad. But she'll be fine" jawab Jehan.

"She's a strong woman," timpal Kakek dengan perasaan kagum.

"She is.." Jehan menyahut disertai senyum dan perasaan yang sama dengan kakeknya, kagum.

Kakeknya memperhatikan bagaimana cucunya itu memandang, berbicara, bersikap bahkan tersenyum kepada wanita yang memandang status sebagai istrinya yakni Raselia Emmera.

Selama ini, kakek tidak pernah melihat ekspresi macam ini di wajah cucunya. Hal ini karena Jehan memang belum pernah terikat hubungan dengan wanita manapun. Rasel merupakan yang pertama dan Jehan terlihat jatuh cinta dengan wanita pertamanya.

Definately he's in love with her.

"If you've found her, suruh Rasel temuin kakek disini. Kakek mau ngomong sesuatu,"

Jehan mengangkat salah satu alisnya, "Kakek tau kan Rasel masih takut berhadapan sama kakek?" katanya disertai kekehan kecil.

"Dia takut sama kakek karena apa coba?" seru Kakek tidak mengerti aspek mana dari dirinya yang membuat cucu menantunya itu takut.

Jehan malah menggidikkan bahu masih dengan kekehannya. "Muka kakek agak nyeremin emang," katanya yang langsung melegang pergi meninggalkan Kakeknya.

-

Rasel menggandeng Tania saat keluar dari ruang rapat bersama Kanara dan Jendra yang berjalan di sampingnya. Rapat sudah selesai dengan kemenangan yang bisa dibilang ada di pihak mereka.

Setelah pengungkapan tindakan ilegal Richard dan identitas Rasel sebagai anak dari Farez dan Aretha Abiyaksa, para pemegang saham dibuat bungkam dan tidak berkutik yang akhirnya pun Jehan beserta yang lain mendominasi rapat yang berujung debat itu.

"Mereka berusaha untuk ngejatuhin keluarga kita tapi tidak semudah itu, sayang" Kanara mencibir sekaligus menyindir ketika dirinya berpapasan dengan beberapa pemegang saham yang sempat berdebat dengannya tadi.

"Don't be like that, Kana. Mereka dukung Richard mati-matian karena Richard yang memanipulasi mereka." ucap Tania yang mengingatkan bahwa pemegang saham selain Richard tidak sepenuhnya salah.

"Mereka dimanipulasi karena mereka bodoh," timpal Jendra terdengar kesal. Tania hanya menggelengkan kepalanya mendengar gerutu dan cibiran kedua anaknya ini.

"Jadi Jehan sekarang Pimpinan?" tanya Rasel polos namun ingin memastikan.

Tania tersenyum, "Secara teori iya tapi secara teknis belum karena harus ada pelantikan resmi dulu."

"Gimana perasaan kamu sekarang, hm? Tadi kita khawatir loh" Tania bertanya dengan halus membuat Rasel tenang mendengarnya.

"Aku baik-baik aja meskipun tadi sempet tegang di dalam sana," kekeh Rasel yang mengundang lainnya untuk terkekeh juga.

"Kamu ngga usah khawatir lagi sama rumor kemarin karena sekarang satu perusahaan ini bakal ngelakuin apa aja demi menjaga nama baik kamu."

Rasel mengerutkan dahinya, "Kok bisa gitu?"

"Lo punya saham terbesar kedua setelah Jehan sekarang yang artinya lo orang yang sangat penting di perusahaan ini, Kakak ipar. Apalagi semua orang disini akhirnya tau lo anak dari pasangan Abiyaksa,"

"Dan kalau lo masuk ke dunia bisnis, lo bisa jadi pimpinan dengan saham yang lo punya sekarang dan bersaing sama suami lo sendiri." ujar Jendra dengan salah satu alisnya yang terangkat.

Kanara tersenyum ke arah Rasel, "Singkatnya lo punya kuasa kuat disini dan ngga ada yang bisa main-main sama lo atau ngelawan lo selain Jehan."

Tania menganggukkan kepalanya. "Bahkan kamu punya kuasa atas kita bertiga, Sel" ucapnya yang disetujui oleh Kanara dan Jendra.

Rasel melongo dan tertegun mendengarnya. Ia menatap ibu mertuanya, kakak dan adik iparnya secara bergantian. "Wait–"

"Jadi karena rumor itu kalian ngasih sebagian kecil saham kalian untuk aku?"

"Well, it's not a big deal. You deserved it," ujar Kanara namun Rasel justru tidak terima.

Rasel menghela nafas sambil memejamkan matanya. "Kalau ini solusi yang Jehan maksud untuk ngatasin rumor aku, aku ngga terima."

"Sel.."

"Mah, rumor tentang aku kemarin emang ngga bisa dibiarin tapi ngga gini caranya. Aku yakin pasti ada cara lain–"

Tania menggeleng sambil memegang kedua tangan menantunya, "Ngga usah mikir yang engga-engga. Kamu udah jadi bagian dari Kanagara dan kamu lebih dari layak untuk dapat semua ini, oke?"

"Lagian kita berdua cuma ngasih 1% doang ngga ada apa-apanya," sahut Jendra menunjuk ke arah dirinya dan Kakaknya.

"Tapi–"

"Udah ah, sst!" Kanara sontak menutup mulut Rasel yang hendak bicara. Ia muak mendengar ucapan adik iparnya yang selalu merendahkan dirinya sendiri.

"Sel, kakek mau ngobrol berdua sama kamu." sahut seseorang yang baru datang dari arah depan.

Rasel pun melotot saat menoleh. Ia menatap kaget dan tidak percaya ke arah suaminya yang memang tadi terlihat langsung berbicara empat mata seusai rapat.

"Hah?! Ngobrol? Berdua aja??" pekiknya dan Jehan mengangguk.

Rasel terlihat panik dan takut saat ini. Ia mengintip dari tubuh Jehan dan melihat sosok Kakek mertuanya sedang menunggu di depan kaca jendela diantara sepanjang meja para karyawan.

"Temenin aku ya? Please?" pinta Rasel dengan wajah memelas tetapi sialnya Jehan menolak.

"Kakek mau waktu berdua sama kamu. Pasti ada yang mau diomongin tanpa sepengetahuan aku atau yang lain."

"Tapi Je, kamu tau sendiri aku masih takut sama Kakek–" Rasel memegang lengan Jehan dan merengek.

Jehan tertawa kecil mendengar perkataan istrinya. Ia membelai sisi wajah kiri Rasel secara lembut dan sedikit mengangkatnya supaya Jehan bisa menatapnya lebih dalam.

"Kakek ngga bakal gigit kamu, sayang"

Rasel masih merengek dengan ekspresi sedih namun menggemaskan di mata Jehan. Rasel memanyunkan bibirnya merasa sebal karena sang suami tidak membantunya kali ini.

"Jehan..."

"Gapapa, udah sana. Aku tunggu disini, nanti kalau udah selesai kita makan bareng ya–" ucap Jehan sambil memberi semangat dengan mengusap puncak kepala.

Rasel pun pasrah lalu berjalan menuju Kakek mertuanya yang sudah menunggu disana.

Melihat ekspresi cemberut yang terpancar jelas di wajah istrinya, Jehan hanya bisa terkekeh gemas. Sampai detik ini dirinya tidak tau apa yang membuat Rasel takut untuk berhadapan dengan kakeknya. Padahal kakeknya sudah menganggap Rasel sebagai cucunya sendiri loh atau bahkan kakeknya lebih menyayangi Rasel dibanding Jehan, Kanara, Jendra dan cucu yang lainnya.

"Kenapa dia cemberut gitu?" tanya Kanara penasaran.

"Dia masih takut sama Kakek," jawab Jehan disertai tawaan kecil.

°°°

Rasel menggigit bibir bawahnya saat tersisa beberapa langkah lagi ia berhadapan dengan kakek mertua. Perasaan gugup yang muncul memicu jantungnya berdegup cukup kencang sekarang. Ia menghelakan nafasnya mencoba untuk mengurangi rasa gugup dan takut yang dirasakan.

Entahlah Rasel juga tidak tau mengapa dirinya begitu takut jika bertemu dengan sang kakek mertua. Jemari Rasel tidak bisa diam bahkan setelah berdiri tepat di sampingnya.

Kakek mertua sedikit menoleh saat merasakan kehadiran seseorang dan ia terkekeh melihat Rasel. "Kamu masih takut sama kakek, Sel?"

"Eh? E-engga kok cuma gugup dikit–" Rasel nyengir sehingga mengundang tawaan kakek.

"Wajah kakek semenyeramkan itu?" tanyanya.

Rasel sontak menggeleng keras, "Engga! Pasti Jehan yang bilang kayak gitu" dengusnya.

Lagi-lagi Kakek dibuat terkekeh kecil dengan respon cucu menantunya itu. Tapi setelahnya untuk beberapa detik mereka saling diam, tidak ada yang mengeluarkan suaranya. Menikmati pemandangan kota di depan mata mereka.

"Jehan bersikap baik sama kamu kan?" tanya Kakek memecah keheningan. "Kalau engga bakal kakek marahin orangnya nih–"

Rasel tertawa kecil, "Dia baik kok, baik banget malah. Di awal pernikahan kita emang sempet saling ragu tapi sekarang.." Ia menggantungkan ucapannya karena malu dengan apa yang ingin dia katakan.

"Udah saling jatuh cinta?" Kakek menyahuti yang seolah seperti membaca pikiran Rasel sehingga wanita itu terbelalak kaget.

"Eh??"

Kakeknya itu terkekeh melihat ekspresi Rasel saat ini, nampak seperti terciduk melakukan sesuatu olehnya. Lucu sekali. "Kamu ngga bilang juga kakek tau kok, Sel"

"Kalian memang jelas sekali sudah saling jatuh cinta. Dan asal kamu tau, itu udah cukup bagi kakek."

"Cukup untuk?"

"To believe that you two will live happily ever after. Fate really brought you together."

Rasel tersenyum manis ketika kakek mertuanya memberi tatapan tulus hingga perasaannya pun terasa adem sekali. Entah mengapa Rasel bisa merasakan rasa sayang yang disalurkan hanya dari sorot mata saja. Dan bisa-bisanya selama ini ia merasa takut terhadap sosok paruh baya yang menyayanginya ini?

"Sebenarnya kamu sama Jehan pernah ketemu," ujar Kakek yang sepertinya ingin menceritakan sesuatu.

"Oh ya? Kok aku ngga inget apa-apa.." Rasel mengernyit aneh. Ia tidak merasa pernah bertemu dengan Jehan selain pertemuan pertama di rumah sakit hampir setahun yang lalu.

Kalau diingat pertemuan pertama dengan lelaki yang telah memandang status sebagai suaminya ini cukup ikonik.

"Wajar, karena kalian masih berumur 5 tahun dan kalian ketemu cuma sekali di pesta ulang tahun Kana" Kakek menjeda sebentar sebelum melanjutkan,

"Kakek inget banget gimana kalian kenalan, sama-sama malu yang akhirnya akrab karena Aretha."

"Bunda?" Kakek mengangguk masih dengan senyumnya.

"Mungkin Jehan inget ngga inget tapi diantara Kana, Jehan sama Jendra, Jehan yang paling akrab sama bunda kamu. Dan mungkin kamu juga ngga inget seakrab apa kamu sama ayah mertua kamu, Sel."

Rasel termenung, mencoba untuk mengingat momen akrabnya dengan Reygan seperti yang kakek ucapkan. Namun sekeras apapun dia mencoba, memori tentang momen tersebut tak terlintas di kepalanya.

"Aku sama sekali ngga inget–" lirihnya sedih. Padahal Rasel ingin sekali mengingat kembali setiap momen bahagia di masa lalu.

Kakek mengulas senyum tulusnya kemudian memegang bahu Rasel dan menepuk serta mengelusnya pelan. "Jangan terlalu sedih, hanya karena kamu ngga inget bukan berarti memori itu hilang sepenuhnya,"

"Terkadang sebuah ingatan penting ngga akan muncul kalau kamu maksain diri untuk inget." Kakek menyelipkan anak rambut Rasel yang terurai ke belakang telinga, masih dengan senyum tulusnya.

"Your heart knows better than you do. It knows that if you try to remember the past, kamu ngga akan baik-baik aja. Meskipun kakek tau kamu cuma mau inget masa bahagianya aja, but your heart tells you will only remember the bad because you have a very traumatic past." sambungnya.

Rasel menunggu kelanjutan dari ucapan kakek mertuanya dengan mata yang tak disadari telah berkaca-kaca.

"That's why, semua memori bahagia kamu di masa lalu sulit muncul di pikiran kamu karena kamu sendiri yang mencegah itu. But that's okay, memori itu bakal muncul setelah kamu siap."

Ingin rasanya Rasel membantah perkataan sang kakek karena ia tidak pernah mencegah dirinya sendiri untuk mengingat memori bahagia tetapi entah mengapa mulutnya malah tertutup rapat. Lebih anehnya lagi adalah sebagian dari dirinya membenarkan perkataan beliau.

Rasel menggenggam tangannya sendiri yang mulai bergetar. Buliran bening yang dari tadi terkumpul di pelupuk matanya sudah menetes ke pipi tembamnya.

"I'm sorry, kamu harus ngalamin hal itu di usia kamu yang masih kecil. Tapi kamu ngga sendiri lagi sekarang, Kakek, Jehan, Tania, Jendra, Kana, Natalie dan yang lainnya akan selalu ada di samping kamu" sang kakek menarik pelan kedua bahu Rasel agar dia menghadapnya.

"And we won't let anything bad happen to you." lanjutnya.

Rasel tersenyum, mendengarnya membuat hati terdalamnya menjadi lebih tenang. Jehan, Tania dan yang lainnya sudah pernah mengatakan hal yang sama, Rasel tidak bosan. Justru ia malah merasa semakin terlindungi.

Perasaan itu membuat Rasel memeluk kakek mertuanya tanpa menyadari tempat. Dan sang kakek pun membalas pelukannya.

"Thank God, Tania berhasil nemuin kamu." desis kakek benar-benar merasa bersyukur karena keluarganya menemukan Rasel lebih dulu.

Apabila sampai detik ini mereka belum bertemu wanita malang itu, Kakek dan Tania melanggar janji mereka dan membuat Reygan, Farez serta Aretha kecewa. Dan nanti mereka akan berlarut dalam penyesalan yang tiada batasnya.

"Terima kasih karena kamu udah bertahan sampai detik ini, Sel."

to be continued~~~

tbh, gue agak kurang bgt sm part ini tp ya gimana ya alurnya emg gitu:(

so tell mee wdyt abt this part? let me know in the comment section.

iya tau momen rasel jehannya masih sedikit tapi next part banyak kok malah mulai mulai ehem🌚👀 #spoilerjiakh

see u di part selanjutnya fren!💋

Continue Reading

You'll Also Like

316K 23.9K 108
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
62.2K 12.5K 14
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...
1M 86.2K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
249K 36.9K 68
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...