Playlist ⏯️ Dawai (Fadhilah Intan)
"Hati yang dulu terluka, dirundung dilema."
_________
"Nggak nyangka banget sebenarnya aku bisa hamil," Celetuk Kana sembari mengusap perutnya. Tangan kanannya sibuk menjilati es potong yang ia beli. "Anaknya Om Gatra pula."
"Jangankan kamu, Na. Kita aja ngiranya Om Gatra kamu guna-guna," Sahut Kia menimpali sahabatnya.
"Halah, sok sok nggak nyangka padahal tiap hari rutinitasnya bikin bayi," Celetuk Rayan sembari melirik Kana. Mereka berteman bukan setahun dua tahun saja, sehingga sudah hafal sekali karakter masing-masing. "Jadi minta cerai nggak?"
Kana berpikir sejenak sebelum menjawab, "Masih, aku masih mau pisah karna dia yang bikin aku kehilangan kedua orangtuaku," Ucap Kana mengingat rasa bencinya pada Gatra. "Tapi janinku ini..."
Kepalanya menunduk menatap perut ratanya, "Dia juga yang buat janin ini ada," Tambahnya. "Soal mencintai Abang aku jelas jagonya. Tapi kalo begini? Posisiku di tengah-tengah cinta sama benci."
Sesha menutup bukunya dan memasukkan ke dalam tas. "Jangan ngambil keputusan kalo kamu lagi marah, Na," Ucapnya singkat, padat, dan jelas. "Jelas, kamu masih sayang suamimu itu, apalagi ada anak di antara kalian, kamu bisa pikirin lagi keputusanmu."
"Cerai itu mungkin mudah buat orangtua, ketuk palu, harta gono-gini, selesai. Tapi buat anak?" Sesha mengucapkan perasaannya sebagai anak dari keluarga yang kandas akibat perceraian. "Buat anak, selamanya jadi luka, Na. Selamanya jadi beban, belum kalo orangtuanya nikah lagi dan tiba-tiba dia punya orang asing yang harus dia patuhi."
Sesha menghela napasnya, "Kamu udah nikah, Na. Ikatan yang sah di mata apapun. Nggak kaya orang pacaran yang ada masalah dikit bisa putus," Ujarnya. "Janji kamu seumur hidup sama dia. Kaya yang kamu bilang, seumur hidup bukan waktu yang sebentar."
"Aku harap waktu kamu putusin nerima pinangan Om Gatra, kamu bener-bener siap jadi istrinya, siap ngemban tanggung jawab, dan siap bertahan sekalipun rumah tanggamu dikoyak badai dari luar," Jelas Sesha.
"Aku harap juga, kamu bukan cuma siap jadi pengantin, tapi juga siap jadi istri," Tangannya menepuk pundak Kana. Ia jarang buka suara, tetapi sekalinya membuka suara, ia benar-benar menyerukan isi hatinya.
Rayan berdiri dan siap memegang kunci mobilnya, "Yaudah yuk balik."
Namun, langkah keempatnya terhenti kala suara motor terdengar dari belakang. Diiringi dengan suara Gatra memanggil sang istri.
"Abang?" Kernyit Kana kebingungan. Kesibukan pria itu membuatnya hampir tidak pernah bisa menjemput ke kampus. "Abang ngapain?"
Gatra mengangkat tangannya pendek untuk menyapa ketiga sahabat Kana yang tersenyum ke arahnya.
"Kebetulan Abang lewat sini. Pulang bareng, mau?" Tanya Gatra seakan menawarkan tumpangan, padahal kenyataannya memang inisiatif dia sendiri untuk menjemput sang istri. "Kana pulang sama saya, boleh?"
Dengan cepat Kana menggeleng, "Enggak, Abang pulang sendiri aja," Jawabnya. "Kana sama mereka aj—"
"Loh, monggo, Om. Tadi Kana bilang mau naik ojek, nggak mau ikut kita main billiar 'kan, takut calon ponakan kita kecapekan juga," Potong Rayan. "Kita duluan, Om, Na!" Dalam hitungan detik mereka sudah luput dari pandangan Kana.
"Kana nggak capek," Ucap Kana setelah dirinya menaikki motor sang suami. "Mereka sengaja bikin Kana deket-deket Abang."
Gatra terkekeh sembari menyetir, "Kalo nggak capek, ikut Abang mau?" Tanya Gatra sembari tangan kirinya menggenggam tangan sang istri agar memeluknya dari belakang. "Adek pegangan."
Katakan pada Kana bagaimana cara membenci Gatra yang semanis ini?
"Kana masih marah sama Abang," Ucapnya berterus terang. "Tapi karena Abang mau berangkat... Kana..."
Mengingat hari perpisahan dengan sang suami tiba-tiba membuat hatinya mendung. Calon bayi di kandungannya benar-benar membuat suasana hatinya berubah secepat ini.
Kana sangat membenci dan kecewa pada liciknya hati iblis berwajah manis ini. Tapi lubuk hatinya yang paling dalam ingin sekali memanfaatkan malam yang bisa saja menjadi malam terakhirnya bersama Gatra.
Astaga, tidak!
Gatra harus pulang. Bagaimanapun caranya pria itu harus kembali dan menyelesaikan masalah pernikahannya ini. Gatra tak boleh pergi dari hidup Kana.
"Abang tau," Jawab Gatra. "Marahnya dilanjut nanti waktu Abang udah berangkat, boleh?" Tanyanyanya. "Hari ini Abang mau senang-senang habisin waktu bareng Adek."
Sesak, rasanya sesak sekali menyadari harinya berpisah dengan Gatra semakin dekat. Ditambah hari itu juga adalah kali pertama Kana ditinggal sang suami. Mungkin beginilah yang dirasakan mendiang Hapsari dulu.
Kepalanya mengangguk meskipun Gatra tak dapat melihatnya, "Abang?" Tanyanya ketika mereka melewati dealer mobil ternama di kota itu. "Mau ngapain?"
"Beliin sesuatu buat Adek," Jawab Gatra sembari memarkirkan motor dinasnya. "Yuk turun."
Benar saja, ia dibuat terpana dengan maksud Gatra sore ini. Mengunjungi dealer mobil dengan tujuan tak lain tak bukan pasti untuk membeli salah satu produknya bukan?
"Adek suka yang mana?" Tanya Gatra sembari membiarkan Kana memilih kendaraan yang pas untuknya. "Empat pilihan ini masuk budget Abang, Adek tinggal pilih yang suka yang mana."
Napas Kana tercekat seiring hatinya yang menghangat. Ya Tuhan, katakan pada Kana, apakah ini imbalan yang pantas ia terima dari segala kesukaran hidupnya yang telah ia alami?
Kalau memang benar, ini terlalu luar biasa hebatnya.
"Mau cari mobil keluarga atau gimana, Pak?" Tanya sales tersebut sesaat setelah mereka memasuki bangunan tersebut. "Kebetulan ini ada unit baru masuk."
Gatra menggeleng, "Cari buat istri saya, Mas," Ucapnya pada sales tersebut.
"Oh iya, yang ini biasanya cocok buat Ibu, banyak yang pake cewek-cewek, udah facelift juga," Sales mobil tersebut menawarkan produk andalannya. "Boleh test drive dulu kok, Pak, Bu. Monggo dilihat-lihat dulu."
"Nah itu, direkomendasiin juga," Tuturnya pelan pada Kana. "Adek pikir-pikir dulu maunya pilih yang mana, nggak papa."
Suasana hati yang berubah-ubah kala hamil muda begini membuat Kana menyentuh tangan suaminya dan berbisik di sana. "Abang... Nggak usah..." Bisiknya menahan tangis haru. "Kana udah cukup naik motor itu."
Gatra menggeleng, "Mobil Ayah semua udah disita. Kebetulan Abang ada rezeki, ini buat Adek, lagian Adek lagi hamil juga, lebih aman naik mobil," Tutur Gatra. "Nanti Abang ajari nyetir dulu, biar bisa kemana-mana sendiri kaya yang Adek mau dulu 'kan?"
Meskipun tidak semewah dan semahal mobil ayahnya, tapi Gatra masih berusaha mencukupi apa yang dulu pernah difasilitasi orangtua sang istri.
Pria itu masih mengingat keinginan Kana belajar mengendarai kendaraan. Dulu ia menolaknya sebab Kana masih harus fokus ujian dan tak mungkin diperbolehkan oleh Sadiman apabila putrinya tidak didampingi siapapun. Tapi kini, justru ia menawarkan dengan penuh kesadaran.
"Abang..." Genangan air mata itu tanpa sadar berkumpul di pelupuk matanya. Ia tak pernah menyangka, dicintai seorang Gatra rasanya seindah ini.
Kekehan Gatra tampak, istrinya ini memang tipe wanita yang hatinya muda tersentuh, terlebih saat mengandung begini. "Malah nangis lagi," Ucapnya sembari mengusap lembut air mata sang istri dengan ibu jari. "Adek pilihlah itu, pengen yang mana. Dulu kayaknya Adek suka yang ini ya?"
Kana melirik mobil model baru yang ditunjuk suaminya. Modelnya sangat manis dan gagah sekaligus, cocok dikendarai laki-laki maupun perempuan. "Abang naik apa terus?"
"Gampang itu, Dek," Sambung Gatra. "Naik motor dinas udah nyaman banget."
Demi Tuhan, katakan pada Kana bagaimana caranya agar ia tak menangis haru mendengar kebaikan suaminya ini. Ia tahu sendiri bagaimana diam-diam Gatra menabung untuk memenuhi kebutuhan istrinya.
Ia pun tahu, berapa kali motor dinas tua suaminya bermasalah. Namun, lihatlah, yang ada di pikiran Gatra sebagai prioritas utamanya hanyalah seorang Kana.
Pria itu benar-benar bagai ular bersisik cantik yang memiliki bisa mematikan. Ia tahu bagaimana cara membahagiakan Kana sekaligus menancapkan pedang paling tajam di dadanya.
"Kalo Adek fix, Abang lunasi," Ucap Gatra.
Tapi di balik itu semua, kebaikan dan pengorbanan Gatra selama ini begitu besar dan berarti. Entahlah, perasaan Kana dibuat terombang-ambing kini.
"Cash?" Kana mengingat pernyataan suaminya saat itu, ingin membelikannya mobil secara tunai meskipun harus menunggu uangnya terkumpul.
"Cash," Jawabnya. "Adek sebelum sama Abang semua kebutuhan tercukupi," Jelas Gatra. "Kalo bisa setelah sama Abang, kebahagiaan Adek upgrade jangan downgrade."
Persetan dengan semua pemikirannya tentang Gatra. Kini Kana tak bisa lagi menahan keinginan hatinya untuk memeluk sang suami. Berterima kasih padanya karena dari sekian banyak kecurigaannya pada Gatra, yang dipikirkan pria itu justru kebahagiaannya.
"Abang, makasih..." Tutur Kana sembari mengusap air matanya.
Tangan Gatra mengusap punggung istrinya pelan sebelum terkekeh. "Abang yang makasih sama Adek," Tuturnya. "Makasih udah mau bertahan sama Abang, udah banyak nurunin egonya Adek, udah berusaha jadi istri yang baik buat Abang, dan di samping kecewanya Adek, Adek masih mau ngasih segala hak Abang dari Adek. Ini nggak ada apa-apanya sama kesabaran Adek selama ini."
Bagai berada di pesisir pantai, gelombang perasaan Kana seakan menghantam dinding pertahannya. Gatra mengetahui betapa luka istrinya terbuka lebar, Gatra mengetahui betapa kecewa dan dendam amarah berkumpul menjadi satu di benak wanita muda itu.
Dan satu hal yang tak pernah luput dari pengetahuan Gatra adalah betapa kuatnya cinta seorang Kana padanya, tak akan semudah itu karam karena digerus oleh ombak yang datang sepesekian detik lalu.
[ D A R A A J U D A N ]
"Hati itu telah dijadikan sedemikian rupa, sehingga seseorang itu bisa mencintai orang yang memberi banyak kebaikan dan membenci orang yang memberi mudharat kepada dirinya.” (Syekh Abdul Qodir Jaelani)
Mau update lagi? Komen yang banyak, kmrn komen sedikit bgt aku jd males double up wkwk
Baca duluan aja yukk
💕 Karyakarsa = fridayukht
💕 WhatsApp = 0896032104731
💕 Instagram = fridaywattpad
FRESH BARU UPDATE