Cinta Satu Kompleks

By TheSkyscraper

1.6M 29.8K 2K

Ini tentang Moza dan ketiga cowok yang tinggal satu kompleks dengannya. Ada Eghi, cowok yang Moza sukai. Lalu... More

Prolog
01| Minggu pagi Moza
02| Dua cowok menyebalkan
03| Aryan Suteja
04| Pertengkaran antara Ferrish dan Tejo
05| Mantan kekasih Ferrish
06| Dikejar Ferrish
07| Pulang bersama Ferrish
08| Kepulangan Kak Dylan
09| Pertengkaran dengan Masha
10| Moza mau kencan
11| Pertemuan Moza dengan Tejo
12| Moza patah hati
13| Rasa sesak di dada
14| Jadian, yuk?
15| Lari
16| Tamu tetangga sebelah
17| Rasa penasaran Moza
18| Jawaban dari pertanyaan Moza
19| Lagi-lagi bertemu Masha
21| Gosip hangat hari ini
22| Malam di rumah Moza
23| Kembali mencari gara-gara

20| Semua orang sibuk, kecuali Moza

518 101 6
By TheSkyscraper


Aku menghela napas dalam sambil menatap jalanan di depanku. Kenapa hidupku sepi banget, sih?

Saat ini di rumah hanya ada aku dan bibi. Kedua orang tuaku sedang pergi berbelanja. Kak Dylan tadi pergi main ke rumah temannya. Kak Shila sendiri pergi entah ke mana dengan Kak Eghi.

Aku menoleh ke arah balkon kamar Ferrish. Aku masih belum melihat sosok Ferrish sejak dia pergi meninggalkan rumah pagi tadi bersama dengan Masha untuk berolahraga. Entah deh, saat ini dia ada di rumah atau malah belum pulang, masih bersama dengan Masha. Padahal kan, ini sudah siang.

Aku menghela napas dalam seraya mengamati layar ponselku. "Dan hape gue juga sepi. Gila, gue berasa jadi orang yang nggak diharapkan siapa pun," kataku mengasihani diri sendiri.

Kemudian aku berinisiatif untuk menghubungi Dennis, berharap cowok itu di rumah. Jadi, dengan begitu aku bisa main dengan Dennis dan tidak kesepian lagi.

"Dennis!" sapaku ketika panggilan teleponku sudah diangkat.

"Hai, Moza. Ada apa?"

"Lo di mana? Di rumah? Sibuk nggak? Main, yuk, Denn? Ke mana gitu. Atau nonton apa gitu di rumah gue apa di rumah lo juga nggak apa-apa. Gue sendirian nih, di rumah. Bosen."

"Yah, gue lagi di luar, Moz. Gue lagi main sama Bara."

Aku berdecak mendengar ucapan Dennis itu.

"Lo ajak Kak Shila main aja," ucap Dennis lagi.

"Dia lagi pergi kencan sama Kak Eghi!"

"Kak Dylan?"

"Ngelayap."

"Ferrish?"

"Nggak tahu dia ke mana. Masih pergi kali sama Masha. Kalaupun dia di rumah, ya kali gue ngajakin dia main. Bukannya bikin happy, bisa-bisa gue kena darah tinggi kalau main sama dia. Dia kan nyebelinnya amit-amit," kataku entah kenapa merasa kesal dengan Ferrish. Padahal kalau dipikir-pikir Ferrish tidak sedang melakukan apa pun yang dapat membuatku kesal.

Terdengar kekehan dari ujung telepon. "Kenapa sih, lo berdua nggak bisa banget akur? Padahal kan rumah juga sebelahan."

"Kita berdua kan sama-sama tahu semenyebalkan apa si Ferrish itu."

"Nggak semenyebalkan itu kali, Moz."

"Lo dari tadi belain dia terus. Apa jangan-jangan saat ini lo sedang ditodong pisau sama Ferrish?"

Dennis kembali tertawa mendengar ucapanku. "Nggak lah. Eh udah dulu, ya. Gue mau nyari makan siang sama Bara. Dadah sayang Moza! Sampai ketemu nanti. Muah."

"Huek!" kataku pura-pura muntah yang malah membuat tawa Dennis semakin menjadi.

Setelah sambungan telepon kami putus, aku langsung menghubungi nomor Zilva. Jika Dennis sedang tidak bisa diajak main, siapa tahu Zilva bisa dijadikan pengganti. Tak butuh waktu lama bagi Zilva mengangkat panggilan teleponku.

"Zilva!" seruku dengan putus asa.

"Apa, Moza? Lo berantem lagi sama Ferrish?" tanyanya.

"Nggak," kataku segera.

Zilva tertawa. "Kalau enggak kenapa lo terdengar sedih banget?"

"Lo sibuk nggak?"

"Kenapa emangnya?"

"Jalan-jalan yuk? Kita ngemal. Cuci mata di mal cari cogan. Seru kan?" Aku tersenyum lebar membayangkan aktifitas yang sepertinya menyenangkan.

"Cuaca lagi panas banget, Moz. Nggak sanggup keluar rumah gue," balas Zilva terdengar malas berpanas-panasan. "Kecuali kalau Kak Dylan mau nganterin kita ke mal. Baru deh, seru tuh."

Aku berdecak. "Mana mau manusia purba itu nganterin ke mal. Lagian Kak Dylan lagi main ke rumah temennya, Zil. Jadi, dia beneran nggak bisa diharapkan. Kita naik grab aja, ya?"

Terdengar helaan napas dari seberang panggilan. "Dadah Moza! Gue mau tidur siang. Sampai bertemu besok di sekolah!"

Setelah mengucapkan itu Zilva langsung memutus sambungan telepon kami. Aku hanya bisa menatap ponselku dengan tidak percaya.

"Bisa-bisanya!" gerutuku heran dengan kelakuan Zilva itu.

"Hahaaha!"

Aku yang kaget karena suara tawa itu langsung menoleh ke sumber suara. Kini di balkon kamar Ferrish sudah ada sosok penghuninya. Cowok itu tengah menatapku sambil tertawa puas.

"Apa sih, lo! Ngagetin tahu nggak," gerutuku menatapnya sebal.

"Sumpah ya, lo kasihan banget," katanya masih tertawa. "Nggak ada temennya."

Aku berdecak. Bisa-bisanya ngetawain!

"Diem nggak." Aku meotot kesal ke arahnya.

Ferrish menggelengkan kepala. "Nggak," katanya seraya menjulurkan lidahnya ke arahnya.

"Siang-siang udah panas, nggak usah nambahin bikin emosi, ya!"

"Jadi, gimana? Udah dapat temen buat diajak main belum?" tanya Ferrish dengan sisa tawanya.

Aku mendengus seraya membuang muka. Aku tidak suka diledek dan ditertawakan oleh Ferrish. Rasanya harga diriku jatuh sampai ke dasar bumi.

"Mau gue ajak main nggak? Ini gue mau cabut pergi."

"Nggak," kataku tanpa banyak berpikir. "Nggak butuh."

"Beneran?" tanya Ferrish lagi. "Lo yakin sendirian di hari Minggu yang panas ini?"

Aku kembali menatap ke arah Ferrish dan memicingkan mata ke arahnya. Aku tidak akan tergoda oleh bujuk rayu setan.

"Dennis pergi main sama Bara. Kak Eghi kencan sama Kak Shila. Kak Dylan juga kayaknya nggak di rumah. Sejauh yang gue denger tadi, kayaknya Zilva juga menolak ajakan main lo." Ferrish menatapku dengan prihatin. "Tapi, kalau emang lo maunya jaga rumah ya, gue bisa apa." Ferrish kini tersenyum lebar ke arahku sambil melambaikan tangan. "Dadah!"

"Emang lo mau pergi ke mana?" tanyaku cepat-cepat ketika Ferrish sudah berbalik untuk masuk ke dalam kamarnya. "Ferrish!" panggilku lagi.

"Kalau mau ikut buruan. Gue tunggu di depan rumah lo sepuluh menit lagi," kata Ferrish dari dalam kamarnya.

Aku memandang balkon Ferrish yang kosong. Memang apa gunanya harga diri, sih? Jadi, sebaiknya memang aku harus segera bergegas ganti baju agar tidak ditinggal oleh Ferrish.

***

Aku mengekor di belakang Ferrish yang saat ini berjalan memasuki toko buku.

"Lo mau cari buku?" tanyaku kepadanya. "Emang lo bisa baca?"

Ferrish menoleh ke arahku dengan tatapan sebal. "Memang sebaiknya tadi gue tinggal," katanya. "Kenapa juga nyesel datangnya belakangan," sindirnya dengan helaan napas dalam.

"Siapa suruh ngajak gue," kataku tak acuh. "Komik!" seruku menunjuk rak yang berisi komik. Setelahnya aku berlari kecil menuju rak tersebut.

Mataku menyisir deretan komik sambil membaca judul-judul komik tersebut. Rasanya sudah sangat lama aku tidak membaca dan membeli komik. Habis, mama selalu mengomel kalau tahu aku lebih sering pegang komik daripada buku pelajaran.

"Ini kayaknya bagus," kataku seraya mengambil sebuah komik yang bergambar sepasang tokoh dengan balutan baju pengantin.

"Lo mau bali komik?" tanya Ferrish yang sudah berada di sampingku.

Aku menganggukkan kepala. "Mau," jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

"Lo nggak takut ketahuan beli komik sama nyokap lo?"

Aku diam sejenak sebelum akhirnya menatap ke arah Ferrish. "Gue kan bisa titip komiknya di lo," kataku tersenyum lebar.

"Lo berani bayar berapa?"

"Hah?"

"Penitipan sepeda motor aja bayar. Kalau mau titip komik di gue, lo juga harus bayar." Ferrish memamerkan cengiran lebarnya ke arahku.

Aku menatapnya datar. "Gue sampai nggak tahu harus ngatain lo apa," balasku.

"Katain aja gue cowok ganteng, baik hati dan tidak sombong," timpalnya tersenyum sok imut.

Kontan saja aku pura-pura muntah. "Huek!"

Ferrish tertawa puas melihat reaksiku itu. Setelah itu dia berjalan pergi meninggalkan rak yang berisi komik. Aku meletakkan komik yang tadi kupegang lalu berjalan mengikuti Ferrish.

"Lo mau cari novel?" tanyaku padanya.

"Nggak," jawabnya. "Gue mau cari buku anak."

Aku mengangguk-anggukkan kepala mengerti. "Emang sih, buku novel terlalu berat buat cowok bebal kayak lo," ucapku meledeknya. "Terlalu tebal dan terlalu banyak tulisannya."

Ferrish terkekeh mendengar ejekanku. "Rasanya lucu banget diledek sama cewek yang jauh lebih bodoh dari gue," katanya membalas ejekanku.

Aku mengepalkan kedua tanganku hendak memukulnya dari belakang. Bayangan akan ditelantarkan Ferrish di toko buku lah yang membuatku mengurungkan niatku untuk memukulinya habis-habisan.

"Gue mau cari kado buat anak kakak sepupu gue," kata Ferrish. "Dua hari lagi dia ulang tahun."

"Ah," balasku tidak terlalu peduli. "Kenapa nggak dikasih mainan aja, sih?"

Ferrish menoleh ke arahku yang berada di belakangnya. "Nggak ah, takut kalau gedenya kayak lo," katanya kembali meledekku.

Kali ini kekesalanku tidak bisa lagi kutahan. Akhirnya aku mengulurkan kedua tanganku ke arah lehernya, hendak mencekiknya. Dan tentu saja dengan mudah Ferrish menghentikan aksiku tersebut.

"Lo mau melakukan percobaan pembunuhan di sini?" tanyanya sambil tertawa puas.

"Iya! Jangan hentikan gue!" balasku sebal. "Lo terlalu menyebalkan kalau dibiarin hidup terus."

"Kalau gue nggak ada, hidup lo nggak akan seru," ucapnya santai seraya menyingkirkan tanganku dari hadapannya. "Udah, bantuin gue cari buku buat kado anak kakak sepupu gue."

Aku hanya berdecak lalu kembali berjalan mengikutinya menuju rak yang berisi buku anak dan sejenisnya. Aku mengambil satu buku yang sudah tidak terbungkus plastik lalu membuka halaman-halamannya. Buku yang kupegang ini berisi cerita mengenai petualangan seorang gadis kecil dan kucing peliharaannya. Selain berisi tulisan, buku ini pun ada gambar di beberapa halamannya.

"Wah, seru," kataku ketika tahu kucing peliharaan si gadis kecil menggigit seorang penjahat yang hendak melukai gadis kecil itu.

"Suka buku anak?" tanya seseorang yang berada di sampingku.

Ketika aku menoleh, aku melihat seorang cowok yang sepertinya seumuranku tengah mentapku dengan ekspresi ramah. Wajah cowok itu pun tampak cukup tampan dengan hidung mancung serta alis tebal. Lihat cowok tampan, entah kenapa membuatku merasa kalau dia adalah jodohku.

"Atau buat adik?" tanyanya lagi ketika aku tidak kunjung menjawab.

"Bukan ini—"

"Buat keponakan gue," potong suara di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Ferrish sudah berdiri di belakangku sambil memegang dua buah buku. "Yang itu bagus?"

Aku hanya menganggukkan kepala.

"Oke," kata Ferrish seraya mengulurkan tangan untuk mengambil buku yang sama seperti yang kupegang. "Udah, ayo ke kasir," lanjutnya seraya menarik bagian belakang jaket yang kukenakan. Mau tidak mau aku langsung meletakkan buku yang tadi kupegang ke atas rak karena saat ini aku sudah terseret dengan posisi berjalan mundur.

"Bentar-bentar," kataku pada Ferrish.

"Buruan. Gue udah laper, pengen cepetan makan."

Aku menatap ke arah cowok yang tadi mengajakku mengobrol. Cowok itu kini menatapku dengan kernyitan di dahinya. Aku hanya bisa meringis, tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Selain malu, aku juga kesal. Ferrish memang paling jago merusak momen orang! 

------------------------- 

[09.06.2023]

Halo! Berantemnya Ferrish dan Moza seru nggak? Atau malah menggemaskan? hahaha

btw, jangan lupa buat baca cerita-ceritaku yang lain yaaaa. Terima kasih banyaaak! 

Continue Reading

You'll Also Like

581K 22.6K 35
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
PUNISHER By Kak Ay

Teen Fiction

1.3M 115K 44
"Kenapa lo nolongin gue, hm? Kenapa nggak lo biarin gue mati aja? Lo benci 'kan sama gue?" - Irene Meredhita "Karena lo mati pun nggak ada gunanya. G...
260K 24.3K 30
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.2M 222K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Ada satu rumor yang tersebar, kalau siapapu...