1%

By PuspitaPirsouw

80.5K 14.4K 33.4K

Barangkali dari jauh jalanan panjang itu terlihat mulus. Ketika dilewati ternyata berbeda dari perkiraan. Kam... More

●WELCOME●
*
**
1.1
1.2
1.3
2.1
2.2
2.3
3.1
3.2
3.3
4.1
4.2
4.3
5.1
5.2
5.3
6.1
6.2
6.3
7.1
7.2
7.3
8.1
8.2
8.3
9.1
9.2
9.3
10.1
10.2
10.3
11.1
11.2
11.3
12.1
12.2
12.3
13.1
13.2
13.3
14.1
14.2
14.3
15.2
15.3
16.1
16.2
16.3
17.1

15.1

452 114 194
By PuspitaPirsouw

Doaku masih sama. Semoga kamu baik-baik saja.

Banyak terima kasih untuk yang masih mendukung cerita ini.

Mohon maaf jika cerita ini tidak selalu memuaskan keinginanmu.

Beri cerita ini cinta yang banyak.

Selamat membaca!
:)

_________________________________________

"Jangan! Aku mohon." Sadar telah kembali terseret ke dalam alur yang sama, Judith segera berlutut. Rona basah, mata merah, fisik dan psikis lelah.

Sebagai jawaban, Kama menggendong istrinya. Bukan adegan romantis yang kalian harapan. Kaki jenjang itu membuat langkah panjang menuju kotak besi besar yang terbuka.

"Aku mohon, Kama." Suara tangisnya mampu bersaing dengan gemuruh hujan di luar sana. Judith meronta.

"Bersabarlah sedikit. Ini nggak lama." Kama mengecup tergesa puncak kepala wanita itu. Sebuah kecupan harusnya terasa hangat, bukan sebaliknya.

Belum juga masuk ke dalam kotak besi besar itu, sudah terasa suhunya. Kulit meradang ketika bersentuhan dengan air dingin penuh balok es. Upaya terakhir dilakukan Judith untuk meloloskan diri, sebelum tangan dirantai.
________________________________________


15.1















°

Kerja bagus!
Untuk semangat yang tidak punah,
walaupun melalui semua
dengan tidak terhitung lagi
seberapa lelah.















                INI selalu terjadi, tidak lama setelah Kama menemukan kerutan halus dan masalah kulit lain yang wajar untuk wanita seusia Judith. Berlangsung sekitar 30 hingga 45 menit.

"Kelakuanmu kayak anj*ng! Nggak punya perasaan!" Wanita itu memaki sebagai bentuk pelampiasan emosi.

Jangan pikir Judith tidak pernah mencoba beberapa jurus bela diri yang telah dipelajari. Namun, level Kama jauh di atasnya.

"Aku perlakukan putramu dengan baik, seperti anak kandungku sendiri. Harusnya segini nggak masalah buatmu." Jemari pria itu bergerak di wajah Judith, mengusap lembut.

Kemudian turun ke leher dan mencekik. "Apa aku menuntut lebih?"

Sorot matanya terlihat keji. "Aku hanya mau kamu merawat diri, agar sampai tua aku bisa memanjakan mata dengan kecantikanmu."

Cengkeramannya mengendur, Judith memasok napas lebih banyak.

Makian tadi sepertinya kurang tepat. Seseorang yang hina dan biadab macam Kama Kariel, tidak pantas disejajarkan dengan hewan yang peduli dan setia kepada majikannya.

"Kamu diberkati Afrodit. Jadi, jangan mengecewakannya, Judia."

"Aku bukan dewi! Aku cuma manusia biasa, yang akan menua! Dan, nggak mungkin bisa menghindari penuaan!" Bibir Judith bergetar. Ujung-ujung jari kaku, sebentar lagi pasti mati rasa.

"Kamu selalu memakai alasan yang sama. Bilang aja malas merawat diri!" balas Kama lebih sengit. Dia tidak suka dibantah.

Penyesalan terbesar Judith saat ini, menerima Kama kembali. Mereka berpacaran kira-kira setahun, kemudian berpisah atau tepatnya pria itu menghilang. Selama itu, tidak ada yang mencurigakan. Atau mungkin Judith muda terlalu cantik, hampir tidak ada celah yang mengecewakan.

Sempat menjalin hubungan terlarang dengan Julio, dia hanya memberi tubuh tidak dengan cintanya.

Kama brengsek itu entah bagaimana caranya, tidak menyisakan sedikit ruang kecil untuk orang lain, dia menguasai hati Judith penuh-penuh.

Kalau sedikit saja Noah menunjukkan tidak bahagia, atau ketahuan Kama memperlakukannya dengan buruk, saat itu juga Judith akan mengakhiri rumah tangga mereka. Namun, dia melihat kebahagiaan di mata anak itu, juga hubungan yang mesra di antara ayah dan anak laki-laki.

Oke, kembali kepada Kuntum Kenanga.

Kabur dari rumah dengan emosi penuh, hanya terpikirkan satu tempat untuk didatangi. Maka di sinilah Kenanga, membunyikan bel sambil berteriak tidak sabar.

"Kambing!"

"Woy! Bukain pintu aja lama banget!"

Dia bisa saja menelepon dalam perjalanan, agar disambut di depan rumah. Beberapa saat tadi dia baru tersadar meninggalkan ponsel di kamar. Sial! Padahal setengah nyawanya ada pada benda itu.

Pintu berderit. Belum sepenuhnya terbuka, Kenanga tersenyum antusias. "Selamat malam, Kambing!"

Ternyata salah orang. Yang ini Nagata versi tua. Masih tampan, tetapi kerutan tidak bisa menutupi usia.

"Eh, maaf, Om. Kirain yang keluar kambing." Cepat-cepat diralat Kenanga, sebelum dikira tidak sopan pada orang tua.

"Selamat malam juga, Kerbau!" Balasan yang tidak terduga dari pria matang itu.

"Anak orang disangka kerbau. Dia monyet, Bro!" Tangan Nagata melingkar dengan santai di bahu ayahnya. Hubungan mereka seperti sahabat.

"Bau apa ini? Macam bau kambing!" Mengendus. Kenanga sengaja mempertontonkan wajah jijik.

"Wangi gini dibilang bau kambing." Nyatanya dari jarak 5 meter pun, harum seorang Nagata bisa tercium.

Nagata maju dengan cepat, kedua tangan dibentangkan kemudian mengurung Kenanga dalam dekapan. "Cium sendiri! Makin jelas wanginya, 'kan?"

"Makin jelas bau kambingnya!" Memuji Nagata secara langsung, sangat terlarang bagi Kenanga.

Masih juga mengejek, pipi Kenanga dicubit sampai merah. Kalau tidak segera menepis tangan Nagata, hidung dijadikan sasaran berikut.

"Sakittt bego!"

"Emangnya lo pinter?!" Vokal Nagata sedikit meninggi. Diejek bego oleh yang beneran bego itu, rasanya nyelekit.

"Pinterlah!" Kenanga tidak sadar diri.

Nagata menggerakkan ibu jari, diusap-usapnya pipi Kenanga, pada bagian bekas dicubit. "Perkalian 1 sampai 10 aja, belum tentu hafal semua. Itu yang katanya pinter?"

Kenanga tidak senang, kepintarannya diukur hanya dari perkalian. "Pinter bukan tentang itu aja. Gue pinter makan, pinter ngabisin duit, pinter—"

"Pinter bikin masalah. Pinter naikin emosi." Nagata ikut membeberkan sisi gelap Kenanga. Sisi terangnya hampir tidak kelihatan.

Melihat Kenanga membawa koper, Nagata tersenyum tipis. "Akhirnya diusir, ya? Nggak heran, sih. Kalau punya anak modelan lo, pasti gue usir juga. Gue coret sekalian dari kartu keluarga!"

"Tamu nggak dipersilakan masuk, nih?" Cukup lama berbincang, Kenanga mulai jenuh berdiri.

"Silakan masuk, Tuan Putri!" Nagata dan papanya masing-masing dari arah kiri dan kanan, sedikit membungkuk dengan gaya yang khas.

"Udin, tas nyonya bawa langsung ke atas!" Sekilas melirik Nagata, kemudian Kenanga berjalan anggun dengan dagu sedikit terangkat, ala-ala bangsawan. Bukannya keren, malah aneh.

Di belakang, Nagata menggeret koper. Bisa-bisanya di posisi ini dia terlihat seperti model runway.

"Kalau mau terus tinggal di sini, kalian berdua om nikahin aja." Bukan baru sekarang terlintas di pikiran Romeo. Memiliki Kenanga sebagai menantu, sepertinya akan seru.

"Usul ditolak." Tanpa dipertimbangkan. Sekalipun hanya tersisa Nagata laki-laki di dunia ini, Kenanga ogah menjatuhkan pilihan padanya.

Romeo belum menyerah. "Gimana, Naga?"

"Papa suruh aku nikahin dia, sama aja sedang merusak masa depan anak sendiri!" Menggebu-gebu sekali. Buru-buru Nagata menjauh karena merasakan aura mematikan.

Mereka tiba di kamar tamu. Cukup luas, rapi dan bersih. Meski jarang digunakan tetapi tidak terabaikan. Di kamar itu hanya ada perabotan yang diperlukan saja. Paling mencolok bingkai besar lukisan seorang wanita yang wajahnya tertutup daun talas.

"Ada masalah apa?" Nagata bertanya, setelah meninggalkan koper di samping ranjang.

Masih mengenakan sepatu, Kenanga melempar dirinya ke atas ranjang empuk. "Julio kampret itu bilang nggak ada gue lebih baik."

"Gue setuju!" Tawa kecil bernada meledek keluar dari mulut laki-laki itu.

"Katanya gue anak pembawa sial!"
Kenanga sudah siap untuk diolok habis-habisan, tetapi tidak ada suara. Hening yang cukup lama, sampai dia harus menoleh untuk memastikan Nagata masih di sana. "Kenapa diem? Kalau mau ngatain atau ketawain gue, silakan."

"Mau seburuk apa pun lo, pasti ada orang yang bersyukur lo terlahir ke dunia."

"Emang ada? Bukannya gue ini anak kurang ajar, yang bisanya bikin orang kesel. Orang tua gue malah seneng kalau gue nggak ada. Mungkin juga mereka nyesel udah lahirin gue." Kenanga menyamakan dirinya dengan suatu virus yang merusak sistem. Di mana virus itu harus musnah, jika ingin sistem berjalan normal.

"Nggak kelihatan, ya? Padahal gue segede ini." Nagata memperlihatkan senyuman tipisnya yang terkesan angkuh.

"Gimana? Nggak ngerti gue." Di saat-saat penting, otak Kenanga malah tidak bekerja dengan baik. Lain halnya jika menyusun rencana kejahatan.

"Gue orangnya. Gue bersyukur lo terlahir ke dunia." Kata-katanya terdengar sungguh-sungguh, seolah datang dari kedalaman hati.

"Jijik gue denger lo ngomong kayak gitu!" Bukannya tersentuh, Kenanga malah ingin muntah. Rasanya aneh mendengar Nagata berbicara semanis itu padanya.

"Kabur dari rumah, lo udah tahu resikonya? Uang bulanan lo pasti dihentikan." Nagata mengingatkan, barangkali Kenanga lupa.

"Nanti gue nyopet aja!" Kenanga menarik guling, dipeluk erat dengan posisi menyamping.

"Lagi serius ini."

Kenanga bangun, duduk di tepi ranjang. Mata yang bulat tertuju sepenuhnya ke Nagata. "Kalau gitu, nafkahin aku, Mas!"

"Ogah!" Penolakan tegas datang dari Nagata.

"Menurut papa, kalian nikah aja!" Romeo muncul tiba-tiba, berdiri tegak di depan pintu. Tahu kapan harus menyela.

"Nggak mau!" Tetap ditolak.

"Nggak mau nolak, 'kan, maksudnya?" Saat-saat menyenangkan bagi Romeo, ya di saat dia sedang mengusili putranya.

Langkah panjang yang terburu-buru Nagata menuju pintu, yang kemudian ditutup rapat.

Sementara itu, Kenanga telah turun dari ranjang. Dia berjalan mendekati Nagata dengan satu pikiran di otaknya. "Nagata Nobu! Lo ketahuan!"

"Ketahuan apa?"

Ada yang sulit dijelaskan, mengenai tatapan Kenanga saat ini. Nagata merasa seperti dikuasai. Gadis itu tidak juga menghentikan langkah, hingga mereka terpojok di pintu.

Sengaja Kenanga menaruh telinga di dada Nagata, untuk mendengar degup jantung di dalam sana.

"Ngapain lo?!" Nagata panik dan langsung mendorong.

Gadis itu tidak membiarkannya kabur. Dia tersenyum, seperti memenangkan sesuatu. "Ketahuan. Suka. Sama. Gue."


_________________________________________

Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. Terima kasih juga untuk semua cinta.

Perlakukan dirimu dengan baik, ya.

Kita jumpa lagi nanti.

Sayang, sayang, sayang 🖤🖤

_________________________________________

Silakan follow:

@puspita_pirsouw
@milanesta1133

_________________________________________

1%

14 Mei 2023






PUSPITA PIRSOUW

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 151K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
451K 49.5K 22
( On Going + Revisi ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum lay...
6.7M 285K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
10.6M 674K 43
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...