Cita Cinta Caraka

beliawritingmarathon द्वारा

84.9K 22.3K 23.5K

Caraka Mahawira, seorang manajer band Aspire yang super sibuk sekaligus teman sejak kecil Janitra. Sebuah tak... अधिक

Chapter 1
CHAPTER 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 22
Chapter 23
END
[INFO] Open Pre-Order!
PROLOG (VERSI NOVEL)
H-1 PRE-ORDER, siap-siap war!!!

Chapter 21

2.4K 714 1K
beliawritingmarathon द्वारा

Anindita bangun lebih awal dari biasanya. Dia membutuhkan waktu untuk bercermin, mencari baju yang pas, padahal biasanya juga mengambil baju apa pun dengan sembrono. Kali itu dia mendesah jengah, kali pertama seumur hidupnya, Anindita baru merasakan kalau bajunya memang sedikit dan no-rak. "Pakai apa dong!" tanyanya bingung. Lalu dia melihat sebuah baju yang tidak pernah dipakainya. Dress milik ibunya.

Gadis itu langsung mengambil dress bunga-bunga berwarna biru laut, memakainya, dan tersenyum lebar. Dress itu terlihat cantik dan pas di tubuhnya seakan memang diciptakan untuk seorang Anindita Keshwari. Lalu dia menyisir rambut. Berpikir sepertinya butuh sesuatu yang beda. Alhasil dia memakai jepitan yang pernah diberikan Dian untuknya, tetapi tidak pernah dia pakai. Dia mengirim chat ke Caraka untuk tidak menjemputnya di rumah, tetapi cukup jemput di perempatan gang saja. Awalnya Caraka menolak, "apa sih Nin cowok jemput cewek depan gang rumah itu nggak banget! Nggak ah, aku mau jemput kamu depan rumah."

Anin menolak keras karena tidak ingin mengundang pertanyaan dalam kepala Janitra. Alhasil Caraka setuju saja.

"Nduk, nggak sarapan?" Ayahnya rupanya sudah duduk di meja. Tumben sekali, biasanya jarang ada di rumah.

"Ayah ... iya aku buru-buru."

Sudah ada Tante Nia dan Janitra yang sedang menikmati kudapan. "Udah bawa bekal juga." Dia mengangkat tas bekal yang sudah dia masak subuh tadi. "Aku berangkat ya, Yah, mau ada ujian di kampus." Dia mendekat, bersaliman dengan ayahnya. Lalu dia beralih ke Tante Nia.

"Nggak perlu, tangan saya masih kotor." Tante Nia masih terlihat dingin dan berjarak.

"I ... iya, aku berangkat ya, Tan, Kak." Dia melirik Janitra yang tidak menatapnya sedikit pun. Kalau begitu, dia jadi rindu suasana sarapan di kampung. Ibunya akan duduk bersamanya di meja makan, kadang tidak makan. Dia hanya membantu menuangkan air ke gelas sambil tersenyum lebar melihat anaknya makan dengan lahap, lalu tangannya akan mengusap kepala Anindita.

Anindita berlari sepanjang jalan dan akhirnya menemukan mobil Caraka sudah menepi di pinggir trotoar. Dia membuka pintu, terkejut menemukan Caraka sedang tertidur. Begitu mendengar suara pintu ditutup, barulah cowok itu membuka mata. "E—sori sori aku ketiduran." Anindita menempelkan tangannya di kening Caraka. "Kamu kenapa? Sakit?"

"Nggak." Caraka memandangi Anindita, pacarnya, gadis kesayangannya. Seulas senyum terukir manis di lekuk bibirnya. "Cantik banget Ayangnya Caraka yang satu ini, pake dress lagi ... terus jepitnya, aduh nggak kuat, tolong!"

"Kak, apaan deh, lebaynya kumat udah nggak bisa ketolong lagi." Lalu mobil mulai melaju pelan. Anindita menoleh, menemukan Caraka bersendawa beberapa kali seperti masuk angin. Lalu cowok itu mengusap-usap perutnya. "Kamu pagi-pagi minum kopi, ya?" tanyanya menyelidik seperti detektif yang menemukan sebuah kejanggalan dari kasus pembunuhan.

"Kok kamu tahu?" Caraka menoleh, menatap Anindita horor, seperti seorang anak yang ketahuan ibunya makan permen manis padahal sedang batuk.

"Kan aku udah bilang kalau pagi jangan minum kopi, gimana sih?! Kamu tuh punya asam lambung, Kak. Pasti belum sarapan langsung minum kopi, kan?"

"Aku ngantuk, Nin. Semalem begadang ngerjain tugas, baru bisa tidur jam tiga subuh."

"Iya udah berhenti di minimarket depan itu, deh."

"Ngapain?"

"Beli obat."

"Nggak usah, nanti juga sembuh."

"Nggak. Berhenti sekarang!" Anindita terlihat keras kepala, akhirnya Caraka mengalah. Untuk kali pertama seumur hidup dia mengalah. Biasanya dia tidak pernah mau kalah dalam perdebatan, apa pun gendernya, meskipun itu dengan perempuan. Bagi Caraka, kesetaraan gender juga perlu diterapkan ketika berdebat. Namun kali ini Caraka menepikan mobil, membiarkan Anindita turun dan masuk ke minimarket. Beberapa menit dia menunggu sampai akhirnya gadis itu kembali, membawakan sebuah tablet mag. "Kunyah."

"Nggak ah, aneh rasanya."

"Kak, kunyah!"

Sepertinya seorang Anindita punya kemampuan yang selalu bisa membuat Caraka menerima lapang dada. Cowok itu membuka mulut, sementara Anindita memasukkan itu ke bibirnya. Caraka menikmati tablet mag dengan ekspresi aneh. Dia tidak pernah makan obat mag sebelumnya. Biasanya kalau magnya kumat, dia akan membiarkan begitu saja, menunggu sembuh sendirinya.

"Meskipun mag juga jangan disepelein tahu, Kak, tetanggaku meninggal karena asam lambung ... asamnya udah naik ke jantung."

"Nin, jangan nakut-nakutin, ih."

"Makanya, nurut. Kalo aku bilang pagi jangan minum kopi ya jangan! Nanti aku bilangin ke Teh Yati biar nggak bikinin kamu kopi lagi kalau pagi-pagi. Terus kamu udah sarapan?"

Caraka menjawab sambil tersenyum geli. "Belum."

"Tuh gimana asam lambungnya nggak naik? Iya udah kamu makan, aku suapin." Anindita membuka kotak bekalnya, untung hari itu dia memang membawa bekal lebih banyak. "Buka mulutnya." Anindita menyuapi Caraka sementara cowok itu masih setia melajukan kendaraan, menyeimbangkan antara kopling dan gas. Sesekali pandangannya beralih dari jalan raya, ke Anindita, lalu ke jalan raya, dan ke Anindita lagi.

Bersama Anindita, Caraka merasa diperhatikan. Dia seperti terlempar ke masa dia masih kanak-kanak dan ada ibunya yang selalu berada di sisinya, ketika Caraka sakit, dia akan mengadu ke ibunya, lalu ibunya setia mengobati sampai tidak tertidur karena menungguinya demam semalaman. Hingga akhirnya ibunya meninggal dunia, tepat ketika dia masih bocah SD berusia 7 tahun. Dia dipaksa kuat sebelum waktunya, dia harus menjadi dewasa karena ada Ratih yang harus dia jaga. Bertahun-tahun Caraka besar dengan menyampingkan perasaannya sendiri.

Berpura kuat padahal dia sedang lemah. Berpura sehat padahal dia sedang sakit. Berpura-pura bisa padahal tidak bisa. Berpura-pura mengerti padahal sebenarnya belum paham. Dia tumbuh dengan menelan semua perasaannya sendiri. Satu-satunya yang membuatnya bertahan adalah kesibukan. Itu sebabnya dia selalu menyibukkan diri, mengambil banyak hal dalam satu waktu, karena memang begitulah caranya tidak berjibaku tenggelam dalam rasa sakit yang sudah terlalu dalam.

Kini memori perasaan itu kembali menyembul, ternyata begini rasanya memiliki seseorang yang bisa memerhatikan dirinya. Selama ini dia hidup memerhatikan orang lain, tapi lupa melihat dirinya sendiri.

"Kaak, haloo?"

Anindita melambaikan tangan dan Caraka menoleh. Terlambat. Gadis itu menemukan matanya berkaca-kaca. "Kamu ngasih apa, sih? Ini pedas banget, sumpah! Minum dong, minum!"

"Eee—iya, iya!" Anindita membuka botol minumnya dan Caraka langsung menyedotnya sampai setengah. "Kamu nggak suka pedas, ya? Bilang, dong. Aduh ... masih pedas, nggak?"

"Udah hilang, liatin kamu aja. Soalnya kamu manis. Madu aja kalah."

"Mulai deh kumat."

"Serius lho aku ini."

"Ternyata ya, sikap dinginnya tuh cuma kedok. Aslinya mah gini, mulutnya beracun. Aku jadi korban di sini."

"Ya kan gini ke pacarku doang, Nin, yang lain nggak." Tangan Caraka naik mengusap lembut kepala Anindita. "Gombalanku tuh mahal, nggak mudah diumbar-umbar."

"Huek najis." Caraka kian terbahak melihat ekspresi Anindita lalu mencubit pipi gadis itu.

"Kalau aku tahu enaknya punya pacar kayak gini, harusnya aku pacaran aja ya."

"Maksudnya apa tuh?"

"Punya pacar yang pipinya bisa aku cubitin kayak gini, kan nggak mungkin aku tiba-tiba cubit pipi orang nggak dikenal? Yang ada aku masuk penjara, Nin." Caraka mencubit pipi Anindita karena gemas sampai cewek itu meringis kesakitan dan Caraka meminta maaf karena kelepasan. "Habis gemas banget, sih. Makanya jangan gemes-gemes dong."

"Dasar nggak jelas." Anindita mendengus lalu menutup kotak bekalnya yang sudah habis. Gadis itu memusatkan pandangan ke jalanan. Dia berpaling, memandang Caraka.

"Kak, selama ini aku yang banyak cerita ke kamu, sekarang gantian dong? Kamu yang cerita ke aku? Aku kan juga mau tahu tentang kamu. Bukan cuma Caraka yang jadi manajer aspire dan anak berprestasi di kampus, aku mau tahu lebih soal kamu."

Caraka menoleh. "Mau tahu soal apa? Soal tipe pacarku? Kan jawabannya jelas, kamu?"

"Mulai deh kumat." Anindita geleng-geleng kepala. "Gini aja, aku bakal bikin daftar pertanyaan yang bakal kamu jawab."

"Ini bukan soal ujian, kan? Yang kalau salah nilainya dikurangi?"

Mobil sampai di pelataran kampus, Anindita panik menyuruhnya berhenti sebelum sampai gerbang. Kali itu Caraka menolak. "Nggak! Aku mau antar kamu sampai kampus. Baru deh setelahnya terserah kamu."

"Kalau ada yang tahu gimana?"

"Apanya?"

"Aku kok bisa bareng sama kamu?"

"Jawab aja kamu jadi asisten manajernya Aspire, gampang, kan?"

Anindita menatap Caraka dengan pandangan jengah, gampang-gampang, kepalamu peyang!

****

Sesuai dengan permintaan Anindita, dia sudah menuliskan beragam pertanyaan tentang Caraka di buku notes kecilnya. Untuk kali pertama bukan tertulis angka-angka di sana. Mereka kini ada di Danau Harnus. Jam masih menunjuk pukul tiga sore. Kebetulan keduanya tidak ada lagi kelas jadi bisa santai sejenak. Caraka tertawa membaca tulisan tangan Anindita. "Serius Nin, mau tanya aku? Ini kalau nggak sesuai keinginan kamu jawabannya, aku nggak akan dipecat jadi pacar kamu kan? Baru sehari lho."

"Sini deh, aku yang baca." Anindita menarik notes-nya. "Pertanyaan pertama, berapa mantan kamu?"

Caraka berpikir sejenak. "Next question, please?"

"Ih kenapa? Kamu janji mau cerita semuanya sama aku, kenapa sih? Banyak ya? 10? 20? Nggak aneh, sih, kamu tuh diem-diem mematikan, kelihatan aja dingin aslinya mah buaya." Anindita sibuk mencerocos.

"Nggak ada. Kan aku udah bilang kalau kamu orang pertama yang terima cinta aku?"

Anindita berkedip. "Masa? Aku kira kamu nggak serius. Waktu itu aku sempat tanya berapa mantan kamu, kamu nggak jawab? Kenapa? Malu, ya? Aneh, padahal harusnya bangga. Aduh aku terharu nih jadi cewek pertama yang berhasil merebut hati kamu."

"Iya makanya, kayaknya aku yang malah terperangkap sama kamu."

"Kasian kasian kasihan," Anindita mengucapkan itu dengan intonasi seperti ipin ketika bilang betul-betul-betul. "Oke, pertanyaan selanjutnya, apa makanan favorit kamu?"

Kali ini Caraka terdiam cukup lama. Padahal sederhana saja, itu hanya pertanyaan tentang makanan favorit, tapi butuh waktu yang panjang untuk Caraka berpikir. Mungkin pertanyaan tentang bagaimana efek dari perang dingin Rusia dan Ukraina terhadap perekonomian dunia akan jauh lebih mudah dijelaskan Caraka daripada yang satu ini. "Halo?"

Caraka masih diam.

Dulu dia punya makanan favorit. Nasi goreng buatan bunda-nya, tapi semenjak Bunda meninggal, dia tidak pernah repot memikirkan apa lagi makanan favoritnya. Dia makan apa pun yang ada di meja makan karena sadar dia tidak bisa lagi merepotkan semua orang. Tidak ada seseorang seperti Bunda yang malam harinya akan bertanya, "Besok Caraka mau makan apa? Supaya Bunda bikinin."

"Aku makan apa aja yang dibikinin buat aku, Nin, kamu bikinin aku tempe asin aja aku makan asal dibikin sama kamu."

"Nggak, itu bukan jawaban. Aku tahu kamu pasti suka sesuatu. Bilang aja ke aku kenapa, sih?"

"Ok, nasi goreng. Aku suka nasi goreng bikinan Bunda."

"Nasi goreng gimana? Spesifik dong."

"Nasi goreng kecap, ada telur dadar yang dibentuk kaya wajah kucing di atasnya."

Anindita tersenyum lebar. "Oke. Pertanyaan selanjutnya, aku selama ini suka cerita tentang Ibu aku. Sekarang gantian dong? Aku pengin tahu gimana Bunda kamu. Aku pengin tahu gimana sosok kamu di masa kecil." Mendengar itu pikiran Caraka kembali berkelana, berusaha mengingat bagaimana sosok Bunda-nya.

"Bunda itu ... lembut dan romantis, aku ingat waktu TK ada acara perpisahan dan harus nari, teman yang jadi pasanganku nggak datang karena sakit. Aku sedih banget karena semuanya ada pasangan, aku doang yang nggak ada. Bunda tiba-tiba naik panggung jadi pasanganku. Terus semua orang tepuk tangan. Itu jadi momen yang nggak akan aku lupain sampai sekarang."

"Pasti kamu dulu gemesin banget, banyak senyumnya, lucu. Nggak kayak sekarang, buaya!" Anindita meleletkan lidahnya dengan ekspresi jenaka dan membuat Caraka spontan mengacak rambut pendek sebahunya.

"Ye, kalo aku Bu Aya, kamu Pak Aya ya? Biar pasangan."

"Tuh ... kumat lagi? Mau minum obat?"

Caraka tertawa lalu tiba-tiba dia meletakkan kepalanya di atas paha Anindita. Dia mengambil tangan Anindita, meletakkan di atas dadanya. Tempat di mana jantungnya berdetak. Lalu cowok itu memejamkan mata.

Mata Anindita memandangi Caraka dan sedikit iri, bagaimana mungkin dia bisa punya hidung semancung itu? Dia meletakkan jemarinya di kepala Caraka, merasakan bagaimana lembutnya rambut Caraka berada di sela-sela jemari tangan kirinya. Bahkan rambutnya jauh lebih halus daripada rambut Anindita!

Ini benar-benar nggak adil, kan? Anindita menggerutu.

Situasi terasa damai dan berjalan sureal seperti sebuah lukisan yang hidup. Suara cicit burung dari kejauhan. Semilir angin berembus membelai rambut Anindita. Pemandangan danau dengan air yang tenang serta Caraka tertidur di atas pahanya, sampai akhirnya ketenangan itu pecah berkeping-keping begitu mendengar suara seseorang merusak suasana. Tak lain dan tak bukan berasal dari Bas. Si perusak momen. "WOI KALIAN BERDUA NGAPAIN MESRA-MESRAAN DI SINI?"

Bersambung

***

A/N: Semakin dekat dengan ending nih!

Spam "next" di sini biar semakin semangat. Jangan lupa nabung ya, inget THR lebaran jangan dihabisin wkwk biar bisa peluk Ayang Caraka <3

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

My Twilight Elsa yunita द्वारा

किशोर उपन्यास

3.6M 175K 64
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
BADBOY DOYAN SUSU (END) Sexy Lexy द्वारा

किशोर उपन्यास

6.6M 217K 75
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
Ervan [End🤎] inizizi द्वारा

किशोर उपन्यास

1.8M 129K 82
[Brothership] [Not bl] Setiap orang berhak bahagia, meskipun harus melewati hal yang tidak menyenangkan untuk menuju kebahagiaan. Tak terkecuali Erva...
RICKY PAMUDYA AFKARA Butterfly द्वारा

किशोर उपन्यास

236K 9.5K 28
Menjadi seorang istri di usia muda yang masih di 18 tahun?itu tidak mudah. Seorang gadis harus menerima perjodohan dengan terpaksa karena desakan dar...