Cita Cinta Caraka

By beliawritingmarathon

84.8K 22.3K 23.5K

Caraka Mahawira, seorang manajer band Aspire yang super sibuk sekaligus teman sejak kecil Janitra. Sebuah tak... More

Chapter 1
CHAPTER 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
END
[INFO] Open Pre-Order!
PROLOG (VERSI NOVEL)
H-1 PRE-ORDER, siap-siap war!!!

Chapter 16

2.6K 877 1.1K
By beliawritingmarathon

Pss: ini part favoritku hehe! Selamat membaca, jangan lupa votes ya. Thank you.

***

Hari itu Sabtu pagi. Hari terbaik untuk menikmati hari, menyingkirkan berbagai macam hal seperti tugas, bahan presentasi. Gadis itu keluar dari kamar, melihat cahaya matahari terkuak dari pintu yang terbuka. Ah, indahnya hari ini! Anindita menguletkan tubuh. Lalu dia bertemu pandang dengan Janitra. Benar kata Caraka, Janitra sudah keluar dari rumah sakit sejak kemarin sore. "Eh, hai Kak, udah sehat?"

"Kenapa? Kecewa, ya? Pengin liat gue lebih lama di rumah sakit?" balas Janitra sarkastis.

Huh, Janitra dan Caraka memang pantas bersahabat. Mulutnya sama-sama pedas!

"Bi, tolong buatin aku susu kedelai." Gadis berambut panjang itu melongok ke dapur.

"Aku aja yang buatin, ya? Tadi Bibi pergi ke pasar."

"Nggak usah, gue sendiri aja."

"Kakak kan masih sakit. Aku juga nggak bakal ngapa-ngapain, kok. Kepikiran buat ngeracunin aja, nggak!" balasnya sambil tersenyum lebar.

Berhubung tubuh Janitra masih belum sepenuhnya sehat. Alhasil dia pasrah saja, membiarkan Anindita membuatkan susu kedelai. Setelah terdengar bunyi klontang panci yang heboh dari arah dapur, muncullah Anindita sambil membawa segelas susu kedelai yang masih hangat. Dia letakkan gelas itu di hadapan Janitra yang sudah duduk di ruang tengah.

Anindita duduk di sebelah Janitra, sengaja mengambil jarak karena tahu kakaknya itu pasti akan segera mengusirnya kalau dia ambil keputusan duduk dekat dengannya.

"Kak, suka Upin-Ipin nggak?"

"Nggak. Udah gede gini, ngapain nonton kartun. Emangnya lo, nggak ada kehidupan."

"Mereka tuh lucu banget tahu, Kak. Mereka kembar, terus kompak. Upin-Ipin itu udah yatim piatu, mereka punya Kakak namanya Kak Ros. Kak Ros ini Kakak yang galak tapi sebenarnya perhatian, tiap kali Upin-Upin mau makan, dia yang masakin. Kata Ipin ayam goreng buatannya Kak Ros itu enak banget. Kak Ros di rumah suka marah-marah, biasanya yang tenangin itu Opah."

"Opah yang mana?"

"Opah itu neneknya Upin-Ipin. Oh ya, mereka juga sekolah di Tadika Mesra, Upin-Ipin punya teman namanya Jarjit. Nah itu Kak, yang rambutnya dikuncir kayak benjol. Dia keturunan Punjabi. Dia suka banget pantun, kalau ada hal yang bikin takjub, biasanya dia bilang marvelous ... marvelous." Anindita memeragakan gerakan Jarjit. Lalu dia menoleh, rupanya Janitra sejak tadi mendengarkan dia bicara.

"Kok diem? Lanjutin."

"Ketua kelas di sekolahnya Upin-Ipin namanya Ihsan, dia anak paling kaya karena bajunya paling bagus kalau di kelas."

"Ihsan yang mana?"

"Yang pakai kacamata. Tapi dia pernah dimarahin sama netizen Indonesia soalnya ngejekin Upin-Ipin nggak punya bapak-ibu, akhirnya si Ihsan bikin klarifikasi permintaan maaf."

Janitra mengernyit. "Emang netizen Indonesia tuh norak, sama kayak elu."

"Terus di sebelah Ihsan namanya Mail, dia temannya Upin-Ipin yang paling rajin dan jago jualan. Dia bisa jualan apa aja, rambutan, ayam goreng, jagung bakar. Biasanya dia bilang dua singgit-dua singgit. Perempuan yang matanya sipit itu namanya Mei-Mei, dia orang Tionghoa, walaupun beda agama tapi dia selalu menghargai teman-temannya. Mei-Mei juga paling pintar karena cita-citanya mau jadi guru. Katanya sih Mail tuh suka sama Mei-Mei, soalnya suka jahilin Mei-Mei, tapi nggak bisa bersama karena beda agama."

"Kan kartun anak-anak, masa ada cinta-cintaannya? Nggak mendidik!"

"Emang Kak Janitra waktu kecil nggak pernah suka sama orang?"

"Ya pernah."

"Nah itu, manusiawi dong."

Rupanya selagi kakak beradik yang tidak pernah akur itu mengobrol, Bi Yuli pulang dari pasar sambil membawa tas keranjang berisi sayuran. Perempuan itu ternganga, terkejut melihat bagaimana sepasang kakak-beradik yang biasanya bertengkar itu mendadak rukun. Tapi rupanya hanya berjalan beberapa menit karena detik selanjutnya Janitra berteriak. "Lo kenapa jadi jelasin gue Upin-Ipin, sih? Udah ah, sana lo. Jangan ganggu waktu gue untuk nonton!"

****

Baru saja Anindita ingin memejamkan matanya sambil menikmati hari yang panjang, tahu-tahu ponselnya bergetar. Matanya terbelalak begitu melihat siapa yang muncul di layarnya. Ca-ra-ka. Caraka Mahawira meneleponnya. Anindita menggerutu jengkel, tapi mau tak mau dia mengangkatnya. "Halo, Luwak White Koffie, passwordnya apa?" tanyanya teringat kuis interaktif yang sering dia tonton di rumah.

"Hah? Password apa?"

"Harusnya jawab, Luwak White Koffie, kopi nikmat tidak bikin kembuuung."

"Hmm, Luwak White Koffie, kopi nikmat tidak bikin kembung." Rupanya Caraka meladeni bercandaan Anindita yang membuat gadis itu bersorak kegirangan.

"Selamat, Anda memenangkan 500 ribu rupiah!"

"Ok, kalau gitu uangnya bisa diantar ke rumah gue sekarang juga. Gue tunggu. Setengah jam udah di sini. Ada kerjaan buat lo."

"Lhoo—ini ikan hari libur—haloo? Haloo?" sambungan terputus.

"Apa-apaan? Ini namanya eksploitasi tenaga manusia!" Anindita menggerutu, tapi sedetik kemudian teringat bahwa dia masih dalam fase magang. Buru-buru gadis itu menyambar jaketnya, mengganti celananya dengan celana yang tergantung di belakang pintu, lalu memesan ojek online. Setengah jam kemudian dia sampai di rumah Caraka. Cowok itu sudah rapi, mengenakan kaos berwarna hitam bertuliskan The Tielman Brothers. "Hai selamat pagi!" Anindita masuk.

"Wah selamat pagi, Kak Anin. Tumben banget nih pagi-pagi di sini."

"Hehehe soalnya ada yang tiba-tiba telepon aku nyuruh ke sini, ganggu banget."

"Oh gitu, jadi ganggu?" tanya Caraka.

"Eh udah ada Kak Caraka ternyata, hai Kak." Anindita menatap Caraka dengan senyum lebar, padahal jauh dalam hatinya, dia ingin sekali menjambak rambut gondrong cowok di depannya itu yang kini menatapnya tanpa sedikit pun merasa berdosa karena sudah mengganggu hari Sabtu orang lain.

"Udah sarapan?"

"Kebetulan udah."

"Iya udah, yuk berangkat."

"Hah? Berangkat? Ke mana?"

"Temenin gue."

"Ke ...?"

"Ya pokoknya temenin aja."

"Ratih mana?"

"Masih tidur, Neng," jawab Teh Yati. "Hari Sabtu biasanya Neng Ratih bangunnya agak siang, jam 10-an."

Caraka langsung menggandeng tangan Anindita, sampai gadis itu terkejut karena tiba-tiba saja tangannya digenggam. Lalu cowok itu membuka pintu mobil, mempersilakan Anindita masuk lebih dulu. Sampai Anindita bertanya-tanya, apa di hadapannya benar sosok Caraka yang kemarin kesal padanya? Sebenarnya dia punya berapa kepribadian, sih?

****

Kepala Anindita dipenuhi pertanyaan sepanjang perjalanan sembari menikmati jalanan arteri Ibukota yang hari itu terlihat sepi. Tidak sepadat biasanya. Kata Caraka, orang-orang Jakarta di hari Sabtu dan Minggu kebanyakan berlibur ke puncak. Itu sebabnya Jakarta lebih sepi dari hari kerja. "Kamu mau bawa aku ke mana, sih?"

"Kenapa sih kayak takut banget? Emang selama ini gue ajak lo ke mana? Kayak pernah gue ajak ke tempat penuh kriminal aja wajahnya."

"Ya emang, percaya sama kamu tuh musyrik tahu!"

"Ini masih hari kedua penilaian lo bekerja, lho, yakin bakal diterima?" ancam Caraka, "gue masih menilai kira-kira lo cocok atau nggak nih bekerja sama dengan gue. Jadi tolong kooperatif buat hari ini."

"Kamu tuh lebih cocok jadi pengacara, tahu, daripada manajer. Pintar banget berkelit." Anindita menjawab.

"Oh ya? Kalau lo lebih suka apa? Manajer atau pengacara?" tanya Caraka.

"Aku?" Anindita menunjuk dirinya sendiri, "maksudnya gimana, sih? Suka apaan?"

"Nggak jadi, Nin, lupain aja." Caraka mendengus. Cowok itu lantas membuka ponselnya, tapi Anin menurunkan benda itu.

"Kemarin tuh ada yang nyuruh aku jangan teledor dan harus hati-hati, boleh dong kalau aku juga nyuruh kamu hal yang sama? Berhenti dulu deh di pinggir jalan baru main HP," saran Anindita yang membuat Caraka menoleh, cowok itu lantas tersenyum lebar. "Kenapa malah senyum gitu, ih? Serem, tauk!"

"Apa sih, Nin, orang senyum kok dibilang seram. Emangnya hantu? Mana ada ya hantu seganteng ini."

Caraka dan rasa pedenya. Anindita tidak bisa berkelit, kalau itu memang kenyataan. Caraka memang ganteng. Apalagi kalau sedang tersenyum begitu, Anindita jadi bisa melihat lesung pipi di pipi bagian kirinya.

"Jangan main HP! Nanti kalau kita kenapa-napa gimana."

"Sebentar aja, mau balas chat."

"Iya udah berhenti dulu."

Caraka sering bermain ponsel ketika berkendara, tapi tidak ada yang pernah memarahinya kalau itu bersalah. Meskipun sebenarnya dia tahu itu sesuatu yang tidak boleh dilakukan karena berbahaya. Namun, mendengar Anindita melakukan itu untuknya, dia tahu bagaimana rasanya diperhatikan oleh seseorang meskipun dengan hal-hal sederhana seperti harus menghabiskan makan, tidak boleh minum kopi di pagi hari karena bisa membuatnya asam lambung, dan tidak boleh menggunakan ponsel ketika berkendara karena membahayakan dirinya.

"Iya udah nggak jadi, nanti aja balesnya." Caraka meletakkan ponsel di dashboard.

"Nah gitu, dong."

Caraka tertawa kecil.

"Tuh kan sekarang malah ketawa sendiri, sumpah deh, kamu menyeramkan hari ini. Bayangin apa, sih?"

"Nggak."

"Nggak mungkin, ekspresi kamu tuh lagi membayangkan sesuatu."

"Iya sih, gue lagi bayangin, gini kali ya rasanya kalau pacaran sama lo."

Anindita langsung menoleh, menatap Caraka dengan tatapan seolah mengartikan 'apaan-tuh-maksudnya-barusan?'. Melihat tatapan Anindita menghunusnya demikian, Caraka tertawa, satu tangannya mengacak rambut Anindita sambil berkata manis. "Bercanda, jangan diambil hati."

"Bercandanya jangan gitu dong, bahaya banget! Kalau aku baper beneran gimana, kamu mau tanggung jawab?"

Bukannya membalas dengan ucapan sarkastis, balasan Caraka betul-betul di luar dugaan. "Lemah banget, gitu doang masa baper, tapi boleh sih ... kalau baper beneran bilang ya, nanti gue tanggung jawab."

Dasar Kak Caraka nyebelin, kenapa sih sukanya main-main dengan perasaan?

****
Segala pemikiran Anindita yang muncul di kepalanya terpecahkan begitu tahu rupanya Caraka mengajaknya ke mal. Anindita terlihat riang gembira begitu mengetahui Caraka mengajaknya jalan-jalan. Namun, tujuan sebenarnya Caraka ke mal rupanya untuk membeli baju. "Ooh aku tahu kenapa kamu ngajak aku ke sini, kamu butuh seseorang yang bisa jadi tukang angkat-angkat barang, kan?" tebak Anindita.

"Negatif aja pikirannya."

"Kalau sama kamu mana bisa tuh berpikiran positif."

"Jelek banget ya imej gue di kepala lo ini?" Caraka kembali seperti kebiasaannya semula, menyentil kening Anindita, untungnya kali ini tidak terlalu keras jadi gadis itu hanya meringis kecil.

"Nggak apa deh, mau angkat barang juga aku jalanin, asal habis ini traktir makan ya?"

"Makan melulu, tapi badan nggak besar-besar."

"Ini tuh salah satu anugerah lho, cita-cita semua perempuan, makan banyak tapi badan nggak membengkak hehehe." Anindita tertawa geli.

"Yuk, buruan." Caraka menarik pergelangan tangan Anindita, membawanya masuk ke salah satu butik. "Lo suka yang mana?"

"Kok aku?"

"Iya, lo lebih suka kalau gue pakai yang mana?" tanyanya. "Bantu pilihin."

"Serius nih nanya ke aku? Selera aku aja ..."

"Kenapa sama selera lo?"

"Tanpa kamu bilang juga aku tahu kalau selera pakaianku tuh no-rak habis. Kayak gadis kampung." Tanpa disindir sebenarnya Anindita mengakui itu, hanya saja dia sudah tebal telinga. Prinsipnya, hidup dengan mendengarkan perkataan orang lain akan membuatnya lelah. Jadi dia hanya akan melakukan apa yang dia sukai. "Serius deh, kamu harusnya ajak Janitra yang jauuuuh lebih kompeten dan pendapatnya bisa diperhitungkan daripada aku."

Seperti ada tanggung jawab besar yang tiba-tiba dibebankan ke Anindita. Caraka menarik sebuah kaos. "Bagus mana? Ini atau ini?"

"Bagus dua-duanya."

"Ya lo suka yang mana?"

"Ini, deh."

"Oke."

Caraka mengambil banyak hoodie, kemeja, kaos. Dan semua pilihan dibebankan ke Anindita. Ternyata memilih baju jauh lebih melelahkan daripada memilih makanan. Dia membayar seluruh baju pilihan Anindita di kasir. "Sini aku bawain."

"Nggak perlu, gue ngajak lo ikut bukan buat bawa-bawa barang ini." Caraka menolak tegas.

"Terus ngapain?"

"Ya itu, bantu pilih-pilih. Sekarang bantu pilih sepatu." Anindita kembali diajak berkeliling—lagi-lagi dia menyesuaikan pilihan Anindita. Biasanya Caraka hanya membeli sneakers berwarna hitam, putih, atau abu-abu. Warna monokrom yang tidak menarik, tapi begitu Anindita mengusulkan membeli sepatu perpaduan warna merah dan kuning, cowok itu awalnya terlihat tidak setuju.

"Apa nggak terlalu mencolok, Nin?"

"Justru itu, yang mencolok itu malah bagus, tauk!"

Sebenarnya Anindita sedang mengerjai Caraka, supaya dia menyesali keputusannya karena sudah menyuruhnya memilih, tapi dia justru bertanya. "Lo beneran suka kalau gue pakai sepatu itu?"

Hah?

Kok malah begitu, sih, pertanyaannya?

Sejak kapan pendapat seorang Anindita itu penting untuk seorang Caraka Mahawira yang keras kepala?

"Y—ya s ... suka, sih."

"Oke. Yang itu, Mbak." Tanpa bertanya dua kali, Caraka langsung membayar sepatunya. Anindita sampai ternganga. Pertama karena warna yang sangat tidak menggambarkan seorang Caraka dan kedua karena harganya di luar kepala. Sama seperti uang jajannya tiga bulan!

"Udah, kan?"

"Terakhir, bantuin gue lagi."

"Apa?"

"Mau potong rambut, bantu pilihan yang cocok buat gue, ya?"

****

Anindita sengaja ingin meluangkan hari Sabtu-nya dengan berleha-leha, tapi Caraka justru menambah bebannya. Memilih model rambut untuk Caraka itu bebannya jauh lebih besar dari sekadar tugas yang belum Anindita kerjakan atau latihan presentasi yang harus dia lakukan di depan dosen paling killer sejagad Fakultas Ekonomi. Mereka kini sudah berada di salah satu barber shop terkemuka dalam mal. Anindita membolak-balik majalah di atas pahanya sementara Caraka setia menunggu. "Kak, serius deh, pilihan sepenting hidup dan mati ini masa diserahin sama aku?"

"Kenapa emang?"

"Nggak, deh, aku disuruh yang lain nggak apa-apa, deh. Asal jangan yang ini. Aku mau balik aja, hiks, Ibuuu bantu anakmu ini." Anindita berniat bangkit dengan dramatis, tapi Caraka sudah menahannya untuk kembali duduk.

Caraka menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Anindita sampai hidung Anindita bisa mencium aroma tubuh Caraka yang maskulin bercampur pepper mint. "Kalau ini lo suka nggak?" Caraka menunjuk model rambut undercut.

"Nggak ih, kayak cowok nakal."

"Lo nggak suka?"

"Nggak."

"Oke, jangan."

"Kak plis deh, masa aku sih yang milihin?" Wajah Anindita tampak sangat tertekan. Masalahnya rambut itu sangat mempengaruhi bentuk visual, meskipun Anindita yakin, Caraka kalau dibuat botak juga masih tetap mempesona. Tapi kan ... gimana kalau pilihannya salah?

"Emang kenapa kalau lo yang milih?"

"Oke, tapi kalau nggak cocok sama wajah kamu, jangan salahin aku ya."

"Nggak akan disalahin kalau menurut lo bagus."

"Emang pendapat aku sepenting itu?"

"Penting, Nin."

Huh!

Anindita akhirnnya kembali membalik lembaran majalah hingga pandangannya tertuju pada satu model rambut. Koma hair. Nah ini sepertinya cocok untuk Caraka, tapi dia menatap rambut Caraka dengan tatapan getir. "Kak serius deh, apa nggak sayang sama rambutnya?"

"Nggak, gue juga gerah punya rambut gondrong, mau gue potong. Nggak usah bersalah gitu tampangnya. Gue emang mau potong rambut. Ya udah yang mana? Lama banget milihnya!"

"Ya udah aku pilih ini." Dia menunjuk model koma hair. Caraka terlihat ragu-ragu. Cowok itu mengusap dagunya, tampak jelas kalau dia sedang berpikir. "Tuh kan kamu aja ragu-ragu, menurut aku pilihan sepenting model rambut itu harus dipikirin sendiri."

Caraka mengangkat tangan dan seorang penjaga barber mendekatinya. "Model ini ya, Mas."

"Oke, siap Kak. Cuci rambut dulu ya."

Anindita mengerjapkan matanya menatap Caraka dengan tatapan terheran-heran, bertanya hari itu dia salah makan apa. Apa Teh Yati memasukkan makanan yang membuat pikirannya aneh? Atau hari itu kepalanya terbentur tanpa sengaja dan membuatnya seperti seseorang dengan kepribadian berbeda. Anindita pernah menonton salah satu film, ada manusia memiliki 7 kepribadian, seperti psikopat, pemusik hebat, seniman andal, si jenius. Dia seperti bukan melihat sosok Caraka.

Ini betulan Caraka Mahawira, bukan, sih?

Selagi menunggu Caraka sedang dipangkas rambutnya, Anindita mengambil ponsel. Sudah lama dia tidak mengabari ibunya.

Anindita

Haloo Ibunya Anin, lg ngapain nih?

Ibu.

Halo anak cantiknya Ibu. Ini Ibu lg istirahat nduk.

Km d mn?

Anindita

*Sends a picture*

Nemenin temen aku potong rambut bu.

Ibu.

Kok tempat potong rambut laki2?

Teman kamu laki2, nduk?

Anindita

Ehehe ketahuan deh.

Ibu

Siapa tuh? Cerita2 dong ke Ibu.

Anindita

Cuma temen buuu

Bukan siapa2

Ibu.

Hati2 ya jaga diri selama di sana nduk

Ibu mau lanjut jual ikan dulu.

Anindita setia menunggu, dia melihat sang pemangkas rambut melakukan tugasnya dan setia memunggungi Anindita sehingga dia tidak bisa melihat wajah Caraka. Matanya mengantuk. Alhasil gadis itu tanpa sadar tertidur.

****

Tepukan pelan terasa di punggung tangan Anindita, gadis itu membuka matanya perlahan. Dari balik bulu matanya yang panjang dia mulai mengintip, pemandangan yang awalnya buram lama kelamaan menjadi jelas. Dia melihat sosok yang berbeda di depannya. Bukan Caraka dengan rambut gondrongnya, tetapi seperti sosok pangeran yang tiba-tiba keluar dari negeri dongeng. Selayaknya Anindita seorang putri tidur yang telah menunggu waktu sekian tahun agar terbangun dari tidur panjangnya dan kemudian menemukan pangeran tampan nan kaya raya tepat di depan mata.

Anindita refleks menarik tubuhnya yang semula bersandar di sofa. Dia mengucek mata, memastikan cowok di depannya memang Caraka. "Maaf, boleh kenalan?" tanyanya jenaka, "namanya siapa, Pak?"

"Garing lu." Caraka mendengus sambil membawa barang belanjaan miliknya. "Gimana potongannya? Lo suka, nggak?"

Gadis itu mengacungkan dua jempol tangannya. "Sayangnya aku cuma punya dua jempol, kalau punya lima, lima-limanya aku acungin."

"Suka?" dia bertanya lagi.

Mendengar itu, pipi Anindita bersemu. Kenapa juga Caraka harus bertanya begitu?

Namun gadis itu akhirnya mengangguk penuh semangat. "Banget! Yakin deh, ini cewek-cewek pasti banyak yang naksir sama kamu."

"Lo termasuk, nggak?"

"Termasuk apa?"

"Barisan cewek-cewek yang naksir gue?"

"Narsis. Kamu tahu cerita narcissus? Dia mati karena sikap narsisnya sendiri. Jadi plis deh, jangan terlalu nar-sis. Tapi aku suka, sih, kayaknya aku harus jauh-jauh deh dari kamu ... bahaya, nanti aku naksir liat potongan rambut kamu seganteng ini."

Tanpa Anindita sadari, Caraka menahan senyumnya mendengar itu. "Lo ada yang mau dibeli? Beli baju? Sepatu?"

"Nggak ah, barang-barangku masih bagus." Perhatian Anindita beralih pada sebuah booth yang terlihat ramai orang mengantri membentuk barisan panjang seperti bermain ular-ularan di kampung. Gadis itu memiringkan wajahnya dengan penasaran. "Eh itu ada antri apa? Rame banget? Kayaknya minuman, ya? Seenak apa, sih?"

"Mau?"

"Aku mau beli, deh."

"Gue aja yang antre, lo duduk sini."

"Aku aja, aku tahu kamu pasti nggak bakal tahan ngantre sepanjang itu."

"Bentar." Caraka mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Uang seratus ribuan. "Pake ini aja." Dia sepertinya sudah hapal sikap perhitungan Anindita dengan uang. "Beli dua ya, gue juga mau."

"Oke."

Anindita akhirnya mengantri. Hampir setengah jam dia berada di barisan, lalu dia melihat seorang cowok tiba-tiba menyapanya. "Hai, Putri!"

Anindita sampai menoleh ke belakang, memastikan apakah cowok itu sedang tersenyum padanya atau tidak. "Hei," sapanya. "Pesanan aku udah?" tanyanya.

"Ya?"

Cowok itu mendekat dan berbisik di telinga Anindita. "Saya malas antri, saya pesan bareng kamu, ya, nanti pesanan kamu saya yang bayar." Gadis itu menoleh dan melihat antrian semakin panjang.

"Oke."

Tiba Anindita yang memesan. Gadis itu memesan tiga. Dua untuknya dan satu untuk cowok di sebelahnya, sesuai perjanjian, pesanan milik Anindita dibayar olehnya. "Terima kasih ya, kenalin saya Jeremy."

"Anindita."

"Salam kenal, Anindita. Nice to know you. Selamat menikmati juga."

"Thank you, Jeremy!" Anindita berlari riang menuju ke posisi Caraka yang duduk di salah satu kursi. Gadis itu bersiul sambil menyerahkan minuman buah dengan irisan potongan mangga yang menggoda di atasnya.

"Kenapa happy banget?"

Anindita mengembalikan uang Caraka dalam kondisi utuh. "Tadi aku dibayarin sama cowok, dia malas antre jadi dia antre bareng aku ... gantinya dia bayarin pesanan kita. Malah ganteng banget, lagi."

"Seriously, Nin?" Caraka menatapnya dengan alis terangkat, "terus lo terima dibayarin sama cowok lain? Lo lebih memilih dibayarin cowok lain daripada uang dari gue?"

"Ya iyalah, kan uang kamu jadi nggak kepake. Harusnya kamu senang, dong."

"Tahu dari mana gue bakal senang? Nggak jadi minum deh, lo aja habisin dua-duanya." Caraka mengembalikan minuman itu ke genggaman Anindita. Lalu beranjak.

"Eh bentar dong, masa ditinggalin? Mau ke mana?"

"Mau nyari cewek cantik buat gue beliin minuman gratis."

"Masa gitu aja ngambek? Kak ... Kak Caraka tungguin dooonggg!"

A/N:

Sooo, gimana part ini? Mereka gemesin ya 🙂


Jangan lupa spam jari metal Ala Caraka Mahawira di sini!
Makasih ya buat antusias teman-teman semua, ngomong-ngomong ceritanya bakal terbit nih. Bulannya nanti aku spill, pokoknya jangan lupa menabung dari sekarang, okraaay?

Continue Reading

You'll Also Like

221K 7.3K 21
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
5.9M 251K 57
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
647K 51.9K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
1.2M 53K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...