FWB: Friends With Bittersweet

By rahmatgenaldi

1.4K 120 14

❝Antara aku yang terlalu naif, dan kamu yang terlalu baik.❞ • • • Toko buku, toko perabot, tumbler dan desser... More

1. Tentang
2. Hantu Masa Lalu
3. (Masih) Tentang Julian
4. Julian dan Masanya yang Telah Usai
5. Bab Terakhir Untuk Julian
6. Rajendra Rama Hakmani
7. Kali Pertama
8. Simbiosis Mutualisme
9. Usik
11. Dua Sisi
12. Menolak Mengabaikan
13. Distraksi
14. Balada Toko Buku
15. Pertanyaan Berbahaya
16. Netra Cokelat & Degup Jantung
17. Mengusahakan Topik (1)
18. Mengusahakan Topik (2)
19. Menghadapi Kegelisahan
20. Rama & Toko Buku
21. Kamu?

10. Sedikit Celah

24 4 0
By rahmatgenaldi

Setidaknya ada tiga hal yang membayangi pikiranku ketika kembali memijakkan kakiku di pantai yang sama besok malamnya. Pertama, aku tidak begitu yakin jika malam itu aku akan beruntung. Kedua, aku benar-benar tidak menyangka bahwa orangtua Julian punya koneksi kuat yang jauh lebih besar dari yang kukira, hingga dia bisa membuat pesta seliar itu di sebuah pantai terkenal yang harusnya dibatasi oleh norma masyarakat. Dentuman musik keras, ratusan manusia yang bergerak mengikuti irama dengan penuh gairah, minuman beralkohol di mana-mana, bahkan di panggung pesta ditampilkam dua penari erotis yang hanya mengenakan pakaian minim.

Dan ketiga—sepertinya Andre benar-benar menikmati perannya sebagai pacar pura-puraku malam ini. Aku berjalan dengan tangan yang masih setia digandeng olehnya, mengabaikan tiap tatapan yang sepertinya memang ditujukan terhadapku. Di belakang kami ada Angel dan Kirei, sedangkan Putri dan Anisa sudah menghilang di tengah-tengah pesta.

"Aku penasaran bagaimana pecundang itu akan mempermalukan dirinya sendiri," celetuk Angel setelah meneguk habis segelas koktil yang ia ambil dari salah satu meja yang ada di sana.

Kirei mengernyit, sedikit berteriak melawan suara musik dj yang membahana. "Maksudmu?"

"Julian. Memangnya, siapa yang akan bisa dirangkulnya malam ini? Nadia? Itu bukan tandingan Raina. Lagi pula...," Angel menggantungkan kalimatnya sesaat, "... tidak pernah ada gadis bodoh selain Raina yang akan terpesona dengan wajah buruk rupa seperti dia."

"Tidak, Angel. Aku akui dia tampan. Kau tidak bisa mendebatku soal ini," celaku langsung.

Ia membelalak, "Kau buta?! Atau kau sudah mabuk?Oh, ayolah Raina! Kau bahkan belum meneguk setetes minuman pun!" Ia menatapku heran, meneliti tiap inchi badanku sebelum kembali bicara. "Well, love is blind, right? Blind and dumb. Akan kuwajarkan kebodohanmu yang satu ini. Tentu. Matamu buta, Raina. Akan kubantu berdoa untuk kesembuhannya."

Andre dan Kirei tertawa ketika diam-diam aku menyumpahi Angel dalam hati. Dia berlebihan. Julian memang tampan. Tak ada satu pun orang yang mampu membantah itu selain Angel sendiri. Terlebih lagi, mataku benar-benar sudah tidak bisa berfokus ke arah lain selain kepada dia yang kini sudah berdiri di tengah pesta.

Julian berdiri di sana, seperti biasa memamerkan senyuman yang kurasa, dia sendiri pun sudah menyadari betapa manis dan menawannya. Ia mengangkat tangan, meminta agar musik dihentikan.

"Boleh kuminta waktunya sebentar, teman-teman?" Dia menginterupsi lewat mikrofon.

Tanpa alasan yang jelas, aku merasa gugup. Tanganku terasa dingin. Andre yang berdiri di sampingku pun sepertinya paham akan kegelisahanku. Dia menggenggam tanganku, berusaha menenangkan meski tetap saja aku tidak bisa tenang.

"Aku tau bahwa kalian sudah sangat kagum dengan pesta ini," tambah Julian kemudian. Dia hanya tidak tau bahwa Angel yang berdiri di sampingku langsung membuang ludahnya setelah mendengar ucapannya barusan.

"Tapi aku yakin. Pesta ini tidak ada apa-apanya. Ada hal lain yang jauh lebih mengagumkan. Lebih menawan, menggoda, lebih manis .... dan cantik."

Aku menunduk ketika mulai bisa menangkap ke mana pembicaraan Julian ini akan mengarah. Well, dia ingin memamerkan gadis baru. Harusnya aku tidak perlu datang, aku benar-benar tidak seharusnya berada di sini.

"Kalian akan jauh lebih terpukau melihat siapa gadis beruntung yang akan menemaniku memotong kue malam ini."

"Gadis beruntung? Siapapun dia, sebaiknya ke dokter mata!" seru Angel yang syukurnya tidak semua orang bisa mendengar.

"Please welcome...," Julian menahan kalimatnya, membiarkan kami semua menunggu lebih lama. "... My queen, Livvy Avory."

"WHAT?!

"ASTAGA!"

Angel dan Kirei memekik bersamaan. Aku ternganga, sedangkan Andre hanya diam tak mengerti. Biar kujelaskan lebih dulu, bahwa apa yang terjadi di malam itu benar-benar berada di luar dari perkiraan kita semua—utamanya aku. Aku yakin bahwa tak ada yang menyangka jika seorang Azka Julian Angkasa akan menggandeng gadis mahal seperti Livvy Avory pada malam itu.

Angel terus menggeleng tak percaya. Pasalnya, kami benar-benar paham sepak terjang Livvy seperti apa sejak SMA. Aku dan Angel memang tidak akrab mengenalnya, namun memang tak ada satupun di angkatan kami yang tidak mengenal Livvy. Gadis tercantik di angkatan, mayoret dalam marching band sekolah—yang dalam sebulan saja sudah bisa menolak lebih dari tujuh nama lelaki yang menembaknya.

"Livvy sudah kehilangan akalnya," celetuk Angel dengan wajah pias.

Kirei hanya diam. Di antara kami dia lah yang lebih mengenal Livvy sebab mereka berdua sama-sama mayoret ketika di SMA dulu. Mereka juga tergabung dalam agency majalah yang sama. Kirei seorang model, Livvy salah satu rival-nya dalam berkarir.

"Jujur saja, aku sama sekali tidak terkejut."

Kali ini mata kami bertiga tertuju kepada Kirei. Aku mengernyit, sedang Kirei hanya mengedikkan bahu dengan santai. "Kau tau, Na? Lelaki yang dulu kau puja-puja itu sudah sering mengobral diri semenjak putus dari Nadia. Dia banyak mendekati primadona-primadona dari SMA kita untuk membuktikan bahwa dia hebat. Tapi tak satupun dari gadis-gadis yang didekatinya tertarik dengan dia."

"Kau tau dari mana?" tanyaku.

"Maaf jika ini terlalu tiba-tiba. Aku baru akan mengatakan ini kepada kalian karena kurasa ini tidak begitu penting bagiku. Kalian tau bahwa jika teman-teman SMA kita membicarakan tentang primadona sekolah, aku selalu masuk dalam hitungan, tapi sungguh. Aku sedang tidak bermaksud untuk menyombongkan diri kali ini."

"Tapi yang ingin kuberitahu di sini adalah, berhubung karena aku adalah satu dari sekian siswi yang terhitung sebagai primadona—juga karena Julian sangat haus validasi untuk menggandeng gadis terkenal—dia sempat mendekatiku. Kalau tidak salah ingat, waktu itu kita semua masih berkuliah semester satu."

"Kau bercanda? Maksudku, kenapa kau justru baru bilang sekarang?" sanggah Angel.

"Karena aku tidak menganggap itu penting?" Kirei mengedikkan bahu. "Lebih dari empat kali dia mengajakku berkencan, lebih dari itu pula aku menolaknya."

Aku hanya diam. Dari masa waktu yang disebutkan Kirei aku bisa menebak dengan pasti bahwa saat itu aku sudah putus dengan Julian. Sekali lagi, tidak ada yang tau bahwa aku dan dia pernah resmi berpacaran. Mungkin karena itu pula lah Kirei sama sekali tidak keberatan untuk memaparkan itu semua. Satu hal yang mengganjal hatiku saat itu; sebesar itukah keinginan Julian untuk menghancurkanku? Hendak mengencani sahabatku setelah putus dariku? Oh, Tuhan. Andai saja perasaanku sudah tidak lagi mengarah kepada pria brengsek itu....

"Lagi pula, setampan dan sekaya apapun Julian itu, aku masih punya hati untuk tidak mengkhianati sahabatku sendiri. Aku tau seberapa besar kau memuja Julian itu, Na."

Ah, Kirei. Kau tidak tau bahwa sebenarnya dia mantan pacarku.

"Aku tidak mungkin mau mengencani dia. Tapi... ada apa dengan Livvy? Maksudku, aku tau Julian cukup oke. Tapi bukankah putri sejagad itu bisa memilih pria lain yang jauh lebih mumpuni?"

Di tengah perbincangan serius Angel dan Kirei akan Julian, aku semakin erat menggenggam tangan Andre. Bahkan sepertinya aku sudah bisa merasakan bahwa sekarang ini dia sudah meringis karena aku lebih persis seperti meremas tangannya terlewat kuat ketimbang hanya sekadar menggenggam.

Julian yang baru saja selesai meniup lilin dan memotong kue kini terlihat berjalan ke arah kami, menggandeng Livvy dengan wajah angkuhnya. Apa yang sedang dia rencanakan kali ini?

"Halo, Raina," sapa Julian dengan ramah. Aku menatapnya datar, pasrah akan permainan apa yang akan dia lakukan malam itu.

Kulihat Livvy mengulurkan tangannya dengan senyuman lebar yang dibuat-buat. Aku tidak suka ditempatkan pada situasi seperti ini, maka biarlah Angel maju lebih dulu daripada diriku sendiri.

"Aku sudah membaca habis ceritamu ini," Livvy mengangkat ponselnya, menunjukkan layar ponselnya yang tengah menampilkan satu-satunya karyaku di platform WriteYours. "... sungguh menyedihkan karakter gadis yang ada dalam ceritanya. Apalagi di bagian... dia ditinggalkan di kamar hotel sendirian tanpa busana? Lalu, besoknya tersebar video skandal yang membuatnya di keluarkan dari sekolah?!  Kasihan sekali, aku hampir menangis."

Aku mengepalkan tangan, menatap nyalang ke arahnya yang kini terlihat menahan gelak tawa.

"Kirei," panggil jalang di hadapanku itu. "Bolehkah kau tanyakan kepada temanmu yang penulis ini? Apakah gadis memalukan nan menyedihkan yang ada di dalam cerita itu... dirinya sendiri?"

"Sebaiknya kau tutup mulutmu itu," desisku penuh ancaman.

"Kenapa? Kau malu? Kalau malu, kenapa masih berani muncul di sini, pelacur?"

Aku sudah tidak bisa menahan amarahku lebih lama. Satu tamparan kulayangkan ke arah gadis congkak di hadapanku, namun segalanya tak sampai terwujud ketika Julian justru lebih sigap menangkap tanganku lebih dulu.

"Jangan emosi seperti ini, cantikku," ucap Julian tersenyum angkuh. Ia kemudian melepas cekalannya dari tanganku dengan perlahan. "Aku dan Livvy justru ingin mengajakmu bersenang-senang. Aku ingin membagikan malam kebahagiaanku ini bersamamu, kenapa kau justru emosional seperti ini?"

Empat lawan dua. Kami berempat hanya diam tanpa suara, tanpa perlawanan. Mungkin karena merasa bahwa kami sepertinya sudah cukup terintimidasi, Livvy kembali bicara.

"Aku tau seberapa besar kau mengagumi Julian, Raina sayang." Livvy tersenyum licik, ia kemudian meraup sisi wajahku dengan tangannya. "Malam ini aku ingin berbagi kebahagiaanku denganmu. Tertarik?"

Kasar, aku langsung menepis tangannya dari wajahku. Entah sejak kapan, pesta itu seakan berhenti sesaat hanya untuk menjadikan kami pusat perhatian.

"Ikut kami ke tengah pesta," desis Livvy yang masih bisa didengar oleh hampir seluruh tamu pesta, berhubung saat itu suasana berubah menjadi hening.

Aku tetap bergeming, bermaksud untuk tidak membawa diriku masuk ke dalam permainan Julian.

"Kenapa, Raina?" Livvy kembali mendesakku. "Kau takut?"

Alih-alih menjawab, aku justru membuang tatapanku ke sembarang arah, berusaha untuk menyembunyikan mataku yang hampir basah.

"JAWAB!" Livvy membentak. "Kau mau ikut aku ke tengah pesta menghibur mereka semua bersama dengan Julian, atau kau akan tetap menerima takdirmu malam ini sebagai pecundang?"

"Hei jalang! Kalau kau sedang mencari lawan di sini, carilah lawan yang imbang! Jangan Raina! Kalau kau memang berani, coba lawan aku!" Jika tebakanmu benar, selamat. Perlawanan itu memang datang dari Angel.

Julian dan Livvy semakin lebar memamerkan senyum angkuh mereka. Livvy mengangkat tangannya, lantas bertepuk tangan sambil tertawa kegirangan. "It will be a great night. Seorang pecundang dibela oleh temannya yang sok jagoan."

"Sebaiknya simpan kata-kata tak bergunamu itu untuk menutupi rasa malumu nanti."

Semua orang yang ada di sana langsung bersorak, bertepuk tangan entah untuk Angel yang dengan berani menyentak Livvy, atau untuk menyambut hal-hal bodoh yang akan terjadi setelah itu.

Kurasa Livvy tentu tak mau kalah. Melihat euphoria penonton membuatnya semakin terpecut untuk memenangkan dirinya atas kami semua. Ia langsung berkacak pinggang, masih berdiri pongah di hadapan Angel. "Kau yang akan malu lebih dulu, little whore."

"Tak usah banyak bicara. Langsung saja. What's the game?" tanya Angel.

"Kita main truth or dare."

"Di mana?"

Livvy tersenyum penuh arti, lalu menatap sekeliling. "Di sini?" Dan seluruh orang yang ada di sana berseru-seru seperti akan mendapatkan tontonan yang paling mereka ingini.

Aku terlalu mengenal sahabatku Angel. Aku sangat paham bahwa saat itu, setelah melihat betapa ramainya orang yang menyoraki kami —dia pasti mulai gentar. Aku menarik tangannya, menggeleng kuat demi menolak gagasan buruk ini.

"Aku akan melakukannya."

"Tidak, Angel. Kau jangan terpancing. Mereka hanya ingin mempermalukan kita semua malam ini." Kirei berucap.

"Aku tidak peduli. Mereka berdua lah yang akan kupermalukan malam ini. Lihat saja."

Julian dan Livvy sudah berjalan menuju tengah pesta bersamaan dengan suara sorakan yang semakin menjadi-jadi. Bahkan beberapa dari mereka sudah ada yang duduk melingkar, menjadikan pasangan sejoli itu sebagai centre utama.

"Angel....! Angel! Angel! Angel!"

Nama Angel diteriakkan, membuat Livvy yang ada di tengah sana semakin semangat mengangkat-angkatkan tangannya untuk membakar para penonton lebih lagi.

Angel sudah akan maju menyusul ke tengah, namun dengan cepat aku langsung mencegat tangannya. "Jangan, Jel. Jangan. Kumohon."

"Ayolah, Raina. Aku sedang berusaha membelamu!"

"Kau tidak perlu membelaku dengan cara seperti ini," rengekku hampir frustrasi.

"Tidak. Kalau kau sama sekali tidak pernah punya cara untuk membuat Julian berhenti mengusik harga dirimu, maka biarkan aku memakai caraku."

Aku melihat Angel berjalan ke depan tanpa gentar, menyusul Livvy dan Julian ke tengah pesta diiringi dengan teriakan para tamu pesta yang sudah tidak sabar melihat sajian utama dalam pesta malam itu.

Seorang kru event organizer maju membawa sebuah meja bundar berukuran sedang dengan botol wine yang sudah kosong. Tubuhku menegang sembari menahan napas, Kirei dan Andre hanya diam dengan ekspresi yang tak kalah tegangnya dariku.

"Kalau bibir botol ini mengarah kepada salah satu dari kami berdua, dia yang kalah." Livvy mengangkat botol kaca sebelum kembali ditaruh ke atas meja, semua yang hadir semakin semangat menyoraki. "Karena malam ini adalah malam kebahagiaan Julian, pacarku—maka aku ingin dia duduk tenang di kursinya sembari menyaksikan permainan ini," tambahnya lagi yang kemudian membuat Julian beranjak dari sana. Dia turut menjadi penonton.

"Siapa yang akan mulai lebih dulu?" tanya Livvy kepada Angel dengan suara lantang.

"Kau saja," jawab Angel terlihat santai.

Botol langsung diputar oleh Livvy, membuat jantungku bekerja lebih cepat dari batas normalnya. Waktu terasa sangat lambat sebelum akhirnya botol itu berhenti berputar.

Bibir botol menunjuk tepat ke arah Livvy, membuat teriakan semua orang semakin pecah terdengar.

Angel tersenyum lebar, ia langsung meraih microphone untuk melemparkan pertanyaan kepada gadis yang termakan permainannya sendiri. "Livvy Avory, truth ... or dare?"

"Truth."

Kulihat Angel menyambut jawaban Livvy dengan senyuman penuh arti. "Kalau begitu jawablah dengan jujur, cantik. Livvy Avory, kau ... masih perawan?"

Dalam hitungan detik, euphoria penonton yang ada di sana lebih heboh dari sebelumnya. Semua orang semakin menggila, bahkan tak sedikit dari mereka yang langsung mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan momen yang menurut mereka tidak akan terjadi untuk kedua kali.

Meski sudah berusaha dia sembunyikan dengan susah payah, dari tempatku berdiri aku masih bisa menikmati wajah pias Livvy sekarang. Dia menelan ludah, meraih microphone dengan ragu-ragu.

"Aku harus sportif dengan permainan ini, bukan? Baiklah. Apakah aku masih perawan?"

Teriakan dan sorakan-sorakan itu seketika menghening, menunggu jawaban Livvy.

" Well, aku ..." Jujur saja, aku yang berdiri di sini sudah mulai kasihan dengan dia.

"... sudah tidak."

Aku sudah tidak bisa membayangkan seberapa pecahnya teriakan mereka setelah Livvy menjawab dengan terlalu jujur. Permainan langung dilanjutkan, Angel mengambil gilirannya untuk memutar botol.

"Tunggu." Livvy menginterupsi sahabatku yang hendak memutar botol itu, demi menawarkan sebuah aturan baru yang kemudian membuat semua penonton semakin menggila.

"Mari kita buat ini semakin seru," ucapnya sembari bersedekap tangan. "Yang kalah tidak punya pilihan selain dare. Kalau aku atau justru kau yang kalah setelah ini, lepas dan keluarkan bra dari dalam baju. Bagaimana?"

Angel menggeleng kuat. "Tanggung. Kenapa tidak sekalian melepas baju saja? Half naked?"

Kulihat Livvy mengangkat tangan, tersenyum lebar sambil menatap ke sekitar seolah meminta pendapat dari semua orang yang ada. Dia lalu menatap Angel tanpa sedikit pun terlihat gentar. "Deal."

Angel kembali memosisikan botol di atas meja untuk bisa diputar dengan seimbang. Dalam hitungan detik, semua orang terdiam menunggu putaran itu akan berhenti pada arah siapa. Lalu, semua yang ada di sana berteriak bak manusia kesetenan ketika ujung botol menunjuk tepat
ke arah Angel.

Aku hampir menangis. Aku bisa merasakan bahwa saat itu Angel mungkin sudah mulai takut. Namun demi menunjukkan bahwa dia sama sekali tak takut dengan siapapun, Angel tetap melakukan apa yang sudah menjadi perjanjian dalam permainan sialan itu.

Angel benar-benar melakukannya. Dengan ekspresi datar, dia melepaskan outer dan tank top yang menutupi tubuh bagian atasnya. Dia sekarang benar-benar berdiri dengan kondisi tubuh yang hanya memiliki bra sebagai satu-satunya batasan. Benar-benar pemandangan yang dinantikan oleh setiap lelaki yang ada di sana.

Aku hampir menangis, Angel tidak seharusnya melakukan hal nekad seperti ini hanya untuk membelaku. Aku menggenggam tangan Andre dengan jauh lebih kuat.

"Bawa aku pergi dari sini," bisikku pada lelaki itu.

"Kau yakin ingin meninggalkan Angel? Bahkan ketika dia sedang berusaha membelamu di depan sana?"

Aku menggeleng kuat bersamaan dengan air mataku yang mulai merembes. Genggaman tangan Andre perlahan kulerai, isakanku mungkin sudah akan keluar lebih kencang jika seandainya Kirei tak langsung merangkulku.

"Don't be scared. We're stand for you. Kau tau bahwa Angel akan sangat senang jika berhasil membela sahabatnya, kan?"

Kirei benar. Untuk itulah aku tetap bertahan lebih lama di sana. Dari tempatku berdiri aku masih bisa melihat Livvy kembali meraih botol untuk diputar, dengan senyum kemenangan yang belum tanggal dari wajahnya.

"Tunggu." Suara Angel terdengar lewat pengeras suara. "Aku boleh memberi penawaran seperti kau tadi? Untuk membuat permainan ini menjadi jauh lebih seru?"

Livvy mengangkat bahu, mempersilakan Angel kembali bicara.

"Aku mau... yang kalah setelah ini ... harus mencium Julian." Dari tempatku berdiri aku masih mampu melihat wajah Angel yang tersenyum puas. Lalu di hadapannya ada Livvy yang terkesiap, dia terlihat panik dengan tawaran Angel. Sesaat dia menoleh ke arah Julian, seolah meminta lelaki itu agar membebaskannya dari situasi ini.

Aku tidak tau persis apa yang terjadi, aku pun tak memiliki ide apapun tentang mengapa Angel melayangkan tantangan yang seperti itu. Hanya Angel yang tau. Tapi menurut tebakanku, mungkin tidak hanya aku yang mampu membaca bahasa tubuh Livvy sejauh ini.

Mungkin Angel yang notabene anak psikologi jauh lebih mampu membaca pikiran Livvy lebih dari yang kubisa. Bahwa pada malam itu Livvy sang primadona hanya sedang berperan dalam skenario yang disutradai Julian. Hubungan Livvy dan Julian tidak benar-benar nyata. Gadis itu hanya membantu Julian untuk turut menghancurkanku, entah dengan imbalan apa. Mereka hanya bersandiwara, kurasa Angel juga membaca itu. Berangkat dari itu semua, memangnya Livvy akan sudi jika diminta untuk mencium Julian?

"Aku menunggu persetujuanmu, Livvy. Yang kalah akan mencium Julian, 'pacar' mu. Bagaimana?"  Angel menekankan kata pacar, membuatku semakin yakin bahwa dia memiliki pemikiran yang sama denganku tentang skenario Livvy-Julian.

Livvy yang menurutku sudah berada pada situasi yang mendesak terlihat tetap tenang, meskipun aku tidak yakin apakah benar dia masih bisa tenang atau justru tengah menutupi kegelisahan. Matanya menatap sekitar, lalu dengan gerakan ragu kembali meraih mikrofon. "Me-mencium Julian? Ba-baiklah! Kenapa tidak?!"

Gadis yang katanya tidak akan takut itu mengambil gilirannya untuk memutar botol. Waktu terasa melambat sekali bagiku. Aku sama sekali tidak akan setuju dengan gagasan gila ini! Menurutku Angel tidak sedang membelaku, dia sedang memenuhi egonya untuk keluar sebagai pemenang! Alih-alih membelaku, dia justru akan menghancurkanku dengan cara ini. Memangnya dia pikir aku akan kuat jika harus menyaksikan Julian berciuman dengan gadis lain? Atau, bagaimana jika justru Angel lah yang harus mencium Julian? Oh Tuhan, aku hampir gila! Bisakah seseorang membawaku pergi dari sini?

Bersamaan dengan napasku yang semakin sulit untuk kuhela, botol itu akhirnya berhenti berputar. Aku terdiam. Mataku mengabur akan air mata kala melihat botol sialan itu menunjuk tepat ke arah Angel. Hal itu hanya berarti satu hal; aku harus melihat Julian dicium oleh sahabatku sendiri.

Kirei langsung mempererat rangkulannya pada bahuku, berusaha menenangkan karena pada saat itu aku sudah hampir menangis.

"Aku tau Angel salah, Na. Dia hanya sedang berusaha membelamu. Tolong maafkan dia," lirih Kirei di telingaku.

Sedangkan riuh penonton di sana tak bisa dihentikan. Mereka menagih penepatan aturan dari Angel yang kurasa lebih mirip dengan sebuah bumerang. Senjata makan tuan. Aku tak pernah merasa semarah itu kepada Angel.

"CIUM! CIUM! CIUM!"

Lantas apa? Aku tak bisa melakukan apa-apa selain tetap berdiri di sana dengan tanganku yang kembali digenggam Andre dengan maksud hendak menguatkan. Aku melihat Livvy tertawa ke arahku, sedangkan Angel tetap berdiri di sana dengan wajah tebalnya. Julian menghampiri sahabatku itu, mungkin hendak menagih satu ciuman yang akan benar-benar menghancurkanku.

Ketika kulihat Angel dan Julian sudah semakin rapat mengikis jarak, ketika mereka benar-benar hampir berciuman—tanpa kuminta mulutku refleks berteritak, "ANGEL! KAU BENAR-BENAR SUDAH GILA!"

Setelahnya, aku benar-benar tidak peduli ketika semua orang meneriakiku yang sudah berlari menjauh dari sana sambil menangis.

• • •

Aku berlari menghampiri tempat di mana Andre memarkirkan mobil dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya. Melelahkan sekali rasanya harus menghadiri sebuah pesta yang sejak awal kau sudah tau bahwa kau tidak perlu berada di sana. Telingaku masih bisa mendengar dengan samar hiruk-pikuk pesta yang entah masih berjalan atau tidak—aku tidak peduli!

"RAINA, TUNGGU!"

Aku mempercepat laju langkahku setelah mendapati Andre dan Kirei yang mengejarku di belakang. Selanjutnya kudengar pula dengan samar suara Angel yang memintaku berhenti berlari. Putri dan Anisa? Sekali lagi aku tidak peduli, sekalipun mereka lebih memilih untuk tetap enggan meninggalkan pesta itu, aku tidak peduli. Sebab pada akhirnya, aku hanya bisa memperhitungkan diriku sendiri untuk menjadi satu-satunya yang mampu menguatkan.

Sekuat apapun aku berlari tetap saja Andre akan tetap
mampu menjangkauku. Ia menarik tanganku, dengan refleks pelukanku langsung menghambur ke tubuhnya tak peduli apakah dia siap atau tidak.

"Aku mau pulang, Ndre. Bawa aku pergi dari sini," lirihku sembari membenamkan wajahku di dadanya.

Andre meraih puncak kepalaku, mengusapkan sentuhan menenangkan. "Akan kupastikan kau aman."

"AYOLAH RAINA!" Angel tiba bersama Kirei di sampingnya. "JANGAN MEMBUAT INI MENJADI SULIT!"

Aku hanya diam. Perlahan kulerai pelukan bersama Andre, berdiri di sana tanpa perlu melihat ke arah Angel. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa muak dengan dia yang selalu melakukan segala hal atas keinginan dan egonya sendiri. Siapa yang dia bela? Diriku atau egonya?

"Raina! Kau benar-benar terlihat kacau sekali! Kenapa kau masih bisa terusik dengan Julian? Kita tadi sudah hampir menang, kau ini kenapa, hah?!"

"KAU YANG JUSTRU KENAPA?!" Aku meledak tanpa aba-aba. "SIAPA YANG KAU BELA? AKU TIDAK PERNAH SETUJU DIBELA DENGAN CARA SEPERTI ITU!"

"Kau menyalahkanku? Setelah apa yang kulakukan tadi? Lihat aku, Raina! Lihat!" Angel menunjukkan sisi tubuhnya yang tak tertutup di bagian atas. "Aku melakukan ini untuk membelamu!"

Aku menggeleng, menatapnya dengan tatapan yang kuharap mampu menyiratkan kekecewaanku terhadapnya. "Kau tidak membelaku, Jel. Kau hanya memenuhi egomu,  aku sama sekali tidak merasa terbela jika harus melihat sahabatku sendiri harus mencium Julian."

"Lantas kenapa?" Seperti biasa, Angel memang tidak pernah merasa salah "Apa yang kau maksud dengan memenuhi egoku? Kau pikir aku benar-benar mau mencium Julian, huh? Raina, sekali lagi kutegaskan padamu, aku tidak sama denganmu. Aku bukan gadis bodoh yang mau dijadikan budak napsu oleh lelaki sejelek Julian! Aku tidak sebodoh dirimu!"

"Aku memang bodoh." Aku menunduk sejenak, menyeka air mata yang benar-benar tidak ingin kutunjukkan kepada Angel. "Tapi aku akan menjadi terlalu bodoh jika malam ini aku harus kembali memaklumi sifat egoismu itu lagi, dan lagi. Kau jelas salah! Kau salah besar jika dengan cara seperti itu kau merasa telah membelaku."

"GADIS BODOH, KAU CEMBURU BUTA! AKU SAMA SEKALI TIDAK INGIN MENCIUM PANGERAN IDAMANMU ITU! AKU AKAN DENGAN MUDAH MELAKUKANNYA JIKA AKU MAU, TAPI KALI INI AKU MEMANG MELAKUKANNYA UNTUK MEMBELAMU!" Wajah Angel memerah, meluapkan segala emosinya yang sudah tersulut karena tak terima kusalahkan. "Tapi gadis bodoh akan tetap menjadi bodoh. Kau terlalu bodoh sampai salah memahamiku, Raina. Kupikir kau tidak akan bisa lebih bodoh lagi dari malam ini."

Aku sudah pasrah. Tenaga dan emosiku terkuras habis hanya untuk meladeni Angel yang memang tidak akan pernah mengaku salah. Sekali lagi aku menatapnya dengan dadaku yang memanas, membiarkan dia kembali merasa benar seperti biasanya. "Terserah kau saja. i'm out," ucapku lalu beranjak dari sana.

Andre langsung mengambil langkah cepat di belakangku, sudah paham betul bahwa mengantarkanku pulang adalah tugasnya. Sedangkan Kirei, aku berharap dia masih bisa tahan untuk menghadapi Angel yang masih ingin membenarkan diri di sana.

• • •

Aku sampai di rumah sudah lewat larut malam. Beruntung, ibu tidak di rumah. Mungkin tengah menginap dengan selingkuhannya, atau melakukan hal-hal kotor lain yang sama sekali bukan urusanku. Bang Thoriq tanpa berpikir panjang langsung membukakan pagar ketika tau bahwa orang yang mengantarkanku pulang adalah Andre.

Memangnya apa lagi yang harus kulakukan setelah semua yang terjadi—selain menangis sepanjang malam? Kubiarkan Andre pulang tanpa pamit, sebab aku benar-benar sedang tidak ingin diganggu. Kuabaikan pula Naufan yang menatapku heran karena langsung membanting pintu kamar sambil menangis.

Angel memang tidak pernah berubah. Aku akui dia memang berani, aku tersanjung jika memang benar dia tulus hendak membelaku. Tapi sebagian dari dirku merasa terusik dengan kenyataan bahwa pada malam itu pembelaan Angel malah membawaku semakin dalam untuk hancur. Membayangkan Julian dicium oleh gadis lain, terlebih lagi sahabatku? Aku bahkan tidak berani membayangkan.

Satu hal yang menjadi sangat jelas pada malam itu; Julian sudah terlalu jahat untuk tetap aku cintai dengan tulus. Aku benar-benar marah kepada diriku sendiri yang masih mampu merindukan dia berhari-hari. Apa yang dilihat oleh mataku pada malam itu seharusnya sudah cukup untuk menjadi alasanku untuk sadar. Bahwa Julian sudah tidak sama. Bagaimana dia mencari tiap celah untuk menghancurkanku, tatapannya, perkataannya—semua itu seakan menjadi penyadar bahwa Julian tidak bermaksud dengan sengaja untuk pernah menjadikanku miliknya yang berarti.

Jika harus memilih, tentu aku sudah tidak mau lagi jika masih harus menangisi ini. Julian sudah tidak pantas kutangisi, menjadi alasan mengapa pada malam itu aku berusaha keras mencari banyak pengalih perhatian.

Aku kembali mengingat ketika hari-hari seperti itu pernah terjadi sebelumnya, biasanya kubiarkan diriku tenggelam dalam kesedihan yang kuciptakan sendiri. Aku mencari ketenangan dalam diriku yang sebenarnya hanya ingin Julian kembali. Ketenangan yang tidak mungkin muncul karena justru yang akan kudapatkan adalah penderitaan batin jika tetap bersama Julian.

Hotel Rinjani selalu menjadi saksi bisu bagaimana aku selalu membaca kembali hal-hal usang yang seharusnya sudah kubuang. Aku sering kali datang ke sana hanya untuk merasakan kehadiran Julian yang nyatanya sudah tidak ada, atau untuk membayangkan aku dan dia masih nyata bersama, sementara kenangan itu sudah jauh tertinggal di belakang. Menyedihkan memang, tapi perasaan tenang bisa kudapati dari hal-hal bodoh seperti itu.

Berselang hampir dua jam aku menangis, aku memutuskan untuk bangkit dari tempat tidurku sebelum akhirnya meraih gelas tumblr yang ada di atas meja kerjaku. Aku melangkah keluar kamar, hendak membuat segelas es kopi meskipun sebenarnya aku tidak pernah suka kopi. Entahlah, semuanya memang terasa harus kulakukan hanya untuk mendistraksi diriku dari perasaan-perasaan yang membuatku tidak nyaman.

Kembali masuk ke kamar, kuputuskan untuk menyalakan ponsel tanpa harus meladeni hal-hal yang membuatku sakit. Seperti video-video pesta yang sudah berseliweran di mana-mana, beberapa cerita di aplikasi Instagram yang menunjukkan video di mana Angel melepas pakaiannya di depan umum—hingga keributan di grup obrolan Pretty Shitty yang sama sekali tidak ingin kubaca. Angel sibuk meminta maaf di sana, menjelaskan hal-hal yang sama secara berkali-kali; meskipun kata maaf sempat dikirimkannya melalui pesan, tetap saja menurutku dia terlalu egois karena masih menyelipkan banyak pembelaan diri.

Jemariku bermain di atas layar ponsel tanpa arah yang pasti. Membuka aplikasi Instagram, lantas kembali menutupnya ketika yang kudapati di sana adalah kilas balik hiruk pikuk pesta yang sudah benar-benar membuatku muak. Membuka aplikasi menulis WriteYours, kemudian menutupnya lagi setelah mendapati beberapa pembacaku mendesak untuk aku menulis cerita baru.

Aku ingin menghilang dari ini semua. Dunia terlalu cepat berjalan untuk aku yang masih tertatih-tatih melangkah. Aku seperti memerlukan seseorang yang bisa membawaku keluar dari ini semua. Terbang jauh dari segala rasa, meninggalkan sejuta keresahan—yang dengan begitu akan membuat dadaku terasa lega meski hanya sejenak.

Putri:
"Aku tau kau tidak salah. Aku maklumi jika saat ini kau marah terhadap Angel."

"Tapi, Raina, ini sungguh tidak adil jika kau biarkan tetanggaku yang tampan itu pulang dengan wajah kusut setelah mengantarmu pulang."

"Kau apakan lagi dia?"

Pesan pribadi yang dikirim oleh Putri membabat habis pikiran kalutku. Dahiku mengernyit, sebelum akhirnya menyalahkan sebagian dari diriku yang terlalu sibuk dengan perasaan sendiri, hingga tidak menyadari bahwa ada orang sekitar yang turut menjadi korban.

Raina Genna Eldirah:
"Aku tidak melakukan apa-apa."

"Tapi jika diamku menjadi alasan untuk Andre merasa terabaikan dan akhirnya sedih ... "

"Tolong sampaikan maafku. Dia sudah terlalu baik sejauh ini. "

Putri:
"Baiklah."

"Satu hal, Na."

"Semoga kau cepat sadar, ya."

Raina Genna Eldirah:
"Soal Andre?"

Putri:
"Siapa lagi? Hanya nama itu, kan, yang sedang kita bicarakan? Ayolah Raina, dia tidak sekadar ingin berteman saja. Ayo sadari itu!"

Raina Genna Eldirah:
"Kalau kau memintaku untuk sadar, kau harus tau bahwa aku selalu sadar."

"Aku sudah terlalu sadar, selama ini aku hanya berharap kepada Andre supaya dia bisa dengan benar menerjemahkan diamku selama ini."

Putri:
"Aku tidak mengerti."

Raina Genna Eldirah:
"Aku menganggap dia sahabatku."

"Dan aku benar-benar tidak punya pikiran lain di luar dari batasan itu."

Lima menit berlalu semenjak Putri membaca pesan terakhir yang kukirim itu. Berangkat dari sana, kupikir dia sudah paham tanggapanku tentang Andre akan seperti apa.

Masih betah persoalan Andre beterbangan di kepalaku, satu notifikasi lagi kembali masuk dari pengirim yang berbeda. Jika kalian masih ingat, aku sempat memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah grup obrolan yang berisi sekelompok lelaki yang merupakan teman sekelasku di kampus.

Salah satunya adalah Rama. Sebuah nama yang menjadi alasan selanjutnya untuk kekalutanku terdistraksi.

To The Moon🚀

Rama Hakmani:
* Sent a picture *

Aku menghela napas dengan kasar, memperbaiki posisi duduk sebelum kembali membenarkan ikatan rambutku. Apa yang dikirimkan Rama bukanlah sebuah hal penting, hanya sebuah kiriman pap random berisikan dua orang lelaki yang sedang tertidur.

Sejak selesai menyeka habis air mataku beberapa waktu lalu, aku sudah berniat untuk melakukan apapun demi mengenyahkan perasaan tidak enak dalam dirku. Untuk itu, biarkanlah aku kembali melakukan hal-hal yang sama sekali bukan Raina—hanya demi menghibur diri.

Raina Genna Eldirah:
"Itu siapa?"

"Mereka ... menginap di rumahmu?"

Rama Hakmani:
"Kau sudah lebih sebulan bergabung bersama kita semua di sini, tapi kenapa hanya namaku saja yang sampai sekarang kau tau?"

"Menarik."

Aku hanya diam. Bukan karena apa, tapi aku benar-benar tidak bisa memberi jawaban jelas— bahkan untuk diriku sendiri. Mendapatiku hanya diam meresponi perkataannya, Rama kembali mengetikkan pesan baru.

Rama Hakmani:
"Well, kau benar. Mereka menginap di rumahku. Itu sudah menjadi hal biasa sebenarnya, aku bahkan sudah hampir muak melihat wajah mereka setiap hari. Kau saja yang memang terlalu jarang memerhatikan isi grup."

Raina Genna Eldirah:
"Rumahmu sudah menjadi markas. Itu artinya, kalian sudah sangat jauh saling mengenal, bukan?"

Rama Hakmani:
"Ya ... jangan salahkan aku jika kenyataannya kau satu-satunya orang di grup ini yang belum pernah ke rumahku."

Raina Genna Eldirah:
"Ya tidak apa."

"Aku tidak tersinggung."

"Kecuali kalau kau memang tidak pernah berniat untuk mengundangku sama sekali."

Rama Hakmani:
"HAHAHA."

"Kau ini kaku sekali, Raina."

"Ayolah, kita sebenarnya sudah sejak lama saling mengenal, bukan?"

Raina Genna Eldirah:
"Oh, tentu."

"No wonder. Kau sudah banyak menggali tentangku sebelum ini. Lewat saudari ibumu, kan? Wajar jika kau menganggap sudah lama mengenalku."

Rama Hakmani:
"Menggali tentangmu?"

"😂"

Raina Genna Eldirah:
"Apa harus kubahas di sini?"

"Kau kenal Dokter Nancy, kan?"

Rama Hakmani:
"Dia tanteku. Memangnya kenapa?"

Raina Genna Eldirah:
"Tidak ada. Dia psikiater yang dulu pernah menanganiku."

Rama Hakmani:
"Hei."

"Kau yakin ingin membahas itu di grup ini?

"Kau baru saja membuka aibmu sendiri."

Raina Genna Eldirah:
"Aku tidak menganggap itu aib:)"

Rama Hakmani:
"Dasar bodoh."

"Terserah kau saja."

"Tapi aku hanya ingin bilang, kau baru saja terlihat terlalu percaya diri karena tadi sempat menuduhku mencari tau tentangmu lewat tanteku. Asal kau tau saja,  waktu itu, aku hanya anak SMA tahun terakhir yang sibuk mempersiapkan ujian dan aku hanya mengenalmu sebagai adik kelasku. Aku bahkan terlambat untuk tau bahwa kau salah satu pasien yang dia tangani waktu itu."

"Dia memang sempat menanyakan beberapa hal tentangmu, tapi aku bilang aku tidak tau, aku tidak begitu mengenalmu. Aku punya banyak urusan yang jauh lebih penting ketimbang harus menggali tentangmu. Justru tanteku bilang, kau terlihat senang setiap kali dia menceritakan tentang diriku? Bukankah ini terdengar seperti kau lah yang sebenarnya penasaran tentangku, Raina?"

Ya Tuhan. Apakah aku baru saja mempermalukan diriku sendiri? Untuk beberapa alasan, aku bisa saja tersinggung, lalu membalas Rama yang menurutku sedikit berlebihan. Tapi bagaimana jika Rama berkata yang sebenarnya? Bahwa dia sama sekali tidak pernah mencari tau tentangku? Mungkin waktu itu Dokter Nancy hanya ingin agar aku merasa lebih aman bercerita dengannya dengan cara menipuku? Berkata bahwa Rama menanyakan tentangku, padahal terhadap Rama rupanya dia juga berkata hal yang hampir sama; aku penasaran akan sosok Rama. Sedikit dramatis, tapi begitulah semesta bekerja untuk menciptakan adanya interaksi antara aku dan Rama, lewat skenario lucu yang dirangkai rapi oleh Dokter Nancy.

Aku mengecek info pesan yang sempat kukirim di grup itu, berniat mencari tau siapa saja yang sudah sempat melihat interaksiku dengan Rama. Jujur saja, aku malu. Rama menohokku dengan terlalu telak. Ketika mendapati bahwa hanya ada Rama dan aku yang masih aktif di grup ini, aku menghela napas lega. Aku kembali membaringkan tubuhku di kasur, hendak mengunci layar ponsel sebelum satu notifikasi kembali muncul di layar.

To The Moon🚀

Rama Hakmani:
"Tapi kalau boleh kutahu, kau kenapa waktu itu? Kenapa sampai membutuhkan psikiater? Dikeluarkan dari sekolah bukan berarti dunia kiamat, kan?"

Raina Genna Eldirah:
"Bukan tentang dikeluarkan dari sekolah yang membuatku hampir mengakhiri hidupku sendiri waktu itu."

"Tapi tentang alasan di balik kenapa aku bisa sampai dikeluarkan.  Kau tau, kan, betapa parahnya hukum sosial yang akan melanda korban porn revenge? Dan ketika itu terjadi, aku tidak bisa apa-apa selain menguatkan diri menghadapi banyak hujatan. Aku mau tidak mau harus siap di cap sebagai pelacur. Dan dikeluarkan dari sekolah adalah takdir yang paling tidak adil yang pernah kualami. Aku tidak pernah menginginkan video menjijikkan seperti itu tersebar, aku di sini korban. Tapi ... terkadang dunia memang lupa caranya adil."

Rama Hakmani:
"Maaf, Na."

"Aku sama sekali tidak tahu menahu soal apa yang kau paparkan tadi. Porn revenge? Bukankah itu istilah tentang penyebaran video privat oleh salah seorang oknum,  yang dilakukan tanpa persetujuan pihak yang lain? Dalam kasusmu, kau punya seseorang yang tidak bertanggung jawab, yang dengan penuh dendam menyebarkan video yang harusnya tidak menjadi konsumsi publik? Kau... mengalami itu, Raina?"

Raina Genna Eldirah:
"Kau ini sedang memancingku untuk memaparkan semuanya lebih jahuh, ya?"

"Sedikit terdengar tak masuk akal kalau kau bilang tak pernah tahu-menahu tentang kabar heboh di waktu itu. Raina Genna Eldirah. Sejak hari itu, namaku hanya dikenal sebagai gadis yang ada di dalam video porno."

Rama Hakmani:
"Maaf, Raina. Aku benar-benar tidak tahu."

"Aku hanya mendengar kabar tentang kau seorang adik kelas yang dikeluarkan dari sekolah, untuk alasannya aku sama sekali tidak tau."

"Dan maaf jika pertanyaanku tadi menyinggungmu."

Raina Genna Eldirah:
" Tidak apa. Kau santai saja."

Aku tidak bisa menyimpulkan terlalu banyak tentang interaksiku dengan Rama beberapa waktu lalu. Kupikir dia akan merasa canggung setelah ini karena topik yang tidak sengaja kami bahas terkesan sensitif. Tapi jika boleh jujur, aku sama sekali tidak merasa tersinggung, aku tidak merasa diriku sedang direndahkan ketika Rama justru terkesan perhatian dengan caranya bertanya. Sekilas, dia sepertinya berhasil membuatku mengerti bahwa dirinya memang tipikal orang yang peduli tentang apa saja yang terjadi di luar dari dirinya sendiri.

Belum lama aku terhanyut dalam pemikiranku sendiri, Rama kembali mengirim pesan di grup obrolan. Membuat grup itu jadi terasa hanya milik aku dan dia.

Rama Hakmani:
"Jadi, bagaimana, Na?"

"Maksudku, apakah sekarang ini kau sudah merasa lebih tenang?"

"Maaf jika aku terkesan lancang. Kau boleh memilih untuk tidak menjawab."

Raina Genna Eldirah:
"Akan kujawab, Rama."

"Kenapa sekarang malah kau yang terkesan kaku?😂"

Rama Hakmani:
"🙃"

Raina Genna Eldirah:
"Tentu bukan hal yang mudah untuk bisa berdamai dengan semua itu. Aku bahkan merasa sangat beruntung karena untuk bisa bertahan sampai saat ini saja, waktu itu kupikir sudah sangat tidak mungkin."

"Tapi, ya ... semuanya hanya tentang waktu. Aku percaya bahwa waktu adalah penyembuh yang paling ahli."

"Dulu aku sempat berpikir, ada apa dengan mereka? Orang-orang yang menghujatku, merundungku, apa mereka tidak pernah memikirkan bahwa untuk mendapati diriku di dalam video itu saja sudah cukup menyakitkan? Tidak bisakah mereka berpikir bahwa aku justru korban yang sedang membutuhkan dukungan? Lagi pula, aku merasa tidak layak untuk menerima segala perundungan di waktu itu karena aku tidak pernah sekalipun menyakiti siapapun."

"Tapi sekarang aku paham, bahwa mereka juga manusia. Manusia selalu punya pilihan. Mereka punya pilihan antara merundungku atau mengabaikan semua yang terjadi. Mereka berhak memilih untuk menempatkan diri di pihakku, atau justru menyudutkanku. Mereka hanya sedang mengambil pilihan mereka sebagai manusia. Dan aku, aku punya pilihan untuk tidak peduli dengan itu semua."

Rama Hakmani:
"Kau benar."

"Mereka punya bibir yang bebas bicara, punya prinsip dan pemikiran yang bebas menilai, tapi kita punya dua tangan untuk menutup telinga, kan?"

"Aku menyesal karena baru mengetahui semua ini darimu."

"Seandainya waktu itu aku lebih peduli dengan sekitar, tidak hanya sibuk mengejar ambisiku sendiri, mungkin akan ada aku yang memihakmu waktu itu."

Raina Genna Eldirah:
"Terima kasih."

"Kau baik."

Rama Hakmani:
"Bukan apa-apa."

"Aku seperti ini karena sedikit banyak, sebenarnya aku paham bagaimana rasanya menjadi korban perundungan."

"Aku ingat sekali di SMP sering menjadi bulan-bulanan anak populer. Mereka merundungku hanya karena mereka merasa lebih hebat. Padahal pada nyatanya, mereka hanya belum tau saja. Haha."

"Tapi kau hebat karena bisa melewati itu semua, Na."

Raina Genna Eldirah:
"Kau pun begitu."

"Kita berdua hebat."

"We have a same energy."

Rama Hakmani:
"Seperti yang kukatakan tadi, mereka melakukan hal-hal buruk itu kepada kita, karena mereka merasa lebih dari kita. Mereka hanya belum tau. Tugas kita hanya untuk membuat mereka jadi tau."

"Tau bahwa mereka sudah salah memilih korban."

"Maksudku, orang-orang tidak akan meremehkan kita lagi kalau kita sudah menunjukkan siapa kita, dan apa yang kita punya. Ironis memang, tapi dunia memang bekerja dengan cara yang tidak ideal seperti itu."

"Kau hanya perlu melakukan pergerakan, Na. Pergerakan yang bisa membuktikan kepada mereka bahwa mereka sudah salah menilai tentangmu."

"Ya ... misalnya dengan prestasi. Akademik, atau mungkin non akademik? Lewat kesuksesan setelah kuliah ini, atau mungkin karya? Apa saja, kau hanya perlu tekun."

Sesaat aku tersenyum geli. Rupanya Rama ini tipikal manusia ambisius yang sepertinya terlalu banyak dicekoki kalimat-kalimat penyemangat dari para motivator ulung, ya? Tapi terlepas dari itu semua, harus kuakui bahwa dia cukup menyenangkan, setidaknya untuk sekadar bertukar pikiran.

Raina Genna Eldirah:
"Well, sejauh ini aku tidak hanya tekun."

"Aku justru sudah berhasil dengan upaya pembuktian, seperti yang kau paparkan tadi."

Rama Hakmani:
"Oh ya? Apa itu?"

"Prestasi akademik? Tentu tidak mungkin. Aku benar-benar tau betapa Kenzie terlalu sering kau repoti untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahmu."

Raina Genna Eldirah:
"HAHAHA"

"Ya, kau benar soal itu. Tapi, ayolah, Rama! Kau benar-benar selambat itu mendapat berita?"

"Kau ... benar-benar tidak tau kabar apa yang baru saja beredar tentangku? Keberhasilanku?"

"Ayolah, aku sedang tidak bermaksud untuk menyombongkan diri, tapi kurasa kau perlu mengikutiku di Instagram untuk bisa tau siapa aku sebenarnya."

Rama Hakmani:
"HAHA. Baiklah. Itu ide yang menarik."

Raina Genna Eldirah:
"Tapi satu hal yang ingin kukatakan padamu, bahwa pembuktian diri saja bagiku belum cukup untuk menenangkan diri."

"Kau tau? Sampai saat ini aku masih merasa cukup depresi untuk menjalani sisa-sisa konsekuensi dari masalah yang lalu itu."

"Sejak aku dikeluarkan dari sekolah waktu itu, semuanya berubah. Ayahku, ibu ... semuanya."

Rama Hakmani:
"Tidak apa."

"Kau yang sudah bilang padaku sebelumnya. Waktu adalah penyembuh yang paling ahli, bukan?"

Raina Genna Eldirah:
"Kau benar. Tapi terkadang aku sedikit kewalahan dengan perlakuan orang tuaku. Utamanya ayahku. Dia benar-benar berubah menjadi lebih protektif dan posesif."

"Aku merasa dia berlebihan karena tidak lagi mengizinkanku membawa teman ke rumah. Dia tidak membiarkanku dekat—atau bahkan sekadar berkenalan dengan lelaki mana pun."

"Jadi, jika boleh jujur, sebenarnya saat ini aku sedang melanggar satu aturan dari ayahku, dengan cara menyelipkan diri di tengah-tengah kalian semua."

Rama Hakmani:
"Hahaha. Tidak apa."

"Lakukan hal-hal yang menurutmu bisa membuatmu lebih santai menjalani hidup. Tapi pastikan juga bahwa hal yang kau lakukan itu benar."

"Dan menurutku kau sedang melakukan hal yang benar saat ini."

Raina Genna Eldirah:
"Hal yang benar?"

Rama Hakmani:
"Ya. Membuka celah untuk kita berdua saling mengenal. Menurutku itu tidak ada salahnya. Bisa saja setelah ini ayahmu akan punya lelaki yang bisa dia percaya untuk jadi temanmu."

"Kau tenang saja. Aku sudah membantumu menyeleksi beberapa lelaki untuk kau jadikan teman ke depannya. Semua ini orang-orang pilihan! Aku, Genta, Gilbert, Kenzie, Iqbal, Sabian dan Raka siap menjadi temanmu. Kita semua akan menjadi orang-orang yang nantinya akan diizinkan ayahmu untuk main ke rumah."

Raina Genna Eldirah:
"🙃"

"Kuharap begitu."

Balasan terakhir yang kukirim mungkin saja terkesan seperti sebuah balasan yang bertujuan untuk menutup obrolan bagi Rama. Terbukti karena setelah itu dia tidak lagi meresponi bahkan setelah dua puluh menit kemudian.

Aku juga tidak terlalu menunggu dia meresponi kembali karena sejatinya, malam itu aku ingin sekali fokus kepada diriku saja. Berterima kasih karena sudah sehebat itu mendistraksi diri dari kesedihan. Hal terakhir yang kuingat dari malam itu awalnya hanya tentang asumsiku perihal bagaimana Julian mengadakan skenario hubungan asmara dengan Livvy hanya untuk menghancurkanku, tentang Angel yang mempermalukan dirinya di pesta itu, juga Andre yang pulang dengan kekecewaan atas diamku—sampai tiba-tiba semuanya seolah tersapu habis oleh distraksi yang diberikan Rama lewat obrolan yang lebih dari menyenangkan.

Satu hal yang kusadari malam itu bahwa Rajendra Rama Hakmani telah berhasil melakukan pembuktian bahwa dirinya tidak seburuk yang kukira. Dia mematahkan asumsi buruk yang kudapat dari first impression ku sejak masa LDKS di SMA dulu. Tidak banyak hal yang kupikirkan lagi setelah itu, aku hanya sibuk membaca ulang interaksiku bersama Rama karena aku masih tidak percaya bahwa akan ada lelaki lain selain Andre yang bisa membuatku membuka diri.

Malam itu aku tidak tau ke depannya akan seperti apa, satu hal yang pasti adalah diriku yang sudah berhasil membuka sedikit celah untuk orang-orang baru masuk ke dalam zona nyamanku. Atau mungkin aku lah yang justru tanpa sadar membuka sedikit celah dari tembok pertahananku agar kemudian bisa melangkah keluar dari zona nyaman.

Setelah selesai membaca kembali interaksiku bersama Rama di grup itu, aku hendak mengunci layar ponselku sebelum satu notifikasi terakhir muncul lagi, membuatku urung mempersiapkan tidur.

Aku langsung terperanjat, bergeming cukup lama setelah menatap layar ponselku. Mataku kembali membaca notifikasi yang datang dari Instagram itu untuk kedua kali.

Sebuah notifikasi yang dengan anehnya mampu membuat bibirku tersenyum kecil—tanpa kusdari.

@ramahakmani mulai mengikuti Anda.

• • •

Sampai jumpa di chapter selanjutnya:)

Continue Reading

You'll Also Like

296K 20.8K 31
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
2.5M 274K 48
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.2M 17.4K 37
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
396K 15.7K 33
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...