ASAVELLA [TERBIT] ✓

By jerukminii

8.2M 602K 48K

Aku terlalu bahagia mengisi hari-harinya. Sampai aku lupa, bukan aku pengisi hatinya. ••••• Cover by pinteres... More

Asavella 🍁
Asavella 🍁2
Asavella 🍁3
Asavella 🍁4 +
Asavella 🍁5
Asavella 🍁6
Asavella 🍁7
Asavella 🍁8
Asavella 🍁9
Asavella 🍁10
Asavella 🍁11
Asavella 🍁12
Asavella 🍁13
Asavella 🍁14
Asavella 🍁15
Asavella 🍁16
Asavella 🍁17
Asavella 🍁18
Asavella 🍁19
Asavella 🍁20
Asavella 🍁21
Asavella 🍁22
Asavella 🍁23
Asavella 🍁24
Asavella 🍁25
Asavella 🍁26
Asavella 🍁27
Asavella 🍁28
Asavella 🍁29
Asavella 🍁30
Asavella 🍁31
Asavella 🍁32
Asavella 🍁33
Asavella 🍁34
Asavella 🍁35
Asavella 🍁36
Asavella 🍁37
Asavella 🍁38
Asavella 🍁39
Asavella 🍁40
Asavella 🍁41
Asavella 🍁42
Asavella 🍁43
Asavella 🍁44
Asavella 🍁45
Asavella 🍁46
Asavella 🍁 47
Asavella 🍁48
Asavella 🍁49
Asavella 🍁50
Asavella 🍁51
Asavella 🍁52
Asavella 🍁53
Asavella 🍁54
Asavella 🍁55
Asavella 🍁56
Asavella 🍁57
Asavella 🍁58
Asavella 🍁59
Asavella 🍁61
Asavella 🍁62
Asavella 🍁63
Asavella 🍁64
Asavella 🍁65
Asavella 🍁66
Asavella 🍁67
Asavella 🍁68 pt.1
Asavella 🍁 68 pt.2
Asavella 🍁69 pt.1
Asavella 🍁 69 pt.2
Asavella 🍁70 (A)
Asavella ending?
ENDING ASAVELLA
EPILOG
ARKHAN : AKU JUGA PERNAH BAHAGIA
VOTE COVER ASAVELLA
OPEN PRE ORDER ASAVELLA

Asavella 🍁60

84.9K 5.9K 236
By jerukminii

Buku-buku berhamburan tak beraturan. Selimut, guling bahkan bantal sudah melayang —mendarat ke sana kemari. Membanting vas hingga menimbulkan serpihan kaca.

Membanting foundation yang ia tabung hanya untuk menutup—menyamarkan bekas luka matanya. Teriakan pilu penuh sesak begitu kencang menyayat bagaikan hantaman yang bertubi-tubi tiada henti.

Bahkan sesekali memukul diri sendiri—menarik kuat rambut pendek dan memaki-maki visual yang terlihat membuatnya semakin benci dengan dirinya.

Ini sudah pukul 02.00 dini hari. ia tidak tidur sedari tadi.

Teriakan Riri—Ibu Yuga dan Brian tenggelam dan terabaikan oleh laki-laki yang tengah bergelut dengan dirinya sendiri di dalam sana. Kekhawatiran Riri mulai semakin menjadi di kala semua mulai terbongkar.

Riri mencoba berulang kali memanggil—mengetuk sekuat tenaga pada kamar yang terkunci rapat tanpa memperbolehkan siapapun masuk ke sana.

Suara kekecewaan pada diri Yuga semakin menjadi-jadi tak terkendali.

Bagaimana laki-laki tersebut mengurung diri dan menyiksa candu tangannya dengan garis-garis pada tiap lengannya. Menumpuk bekas luka yang mengering dan menghiasi kembali dengan sayatan tipis-tipis menggunakan jarum peniti.

Satu goresan tipis. Sangat candu.

Dua tekanan menimbulkan darah.

Diakhiri gesekan keras berkali-kalo hingga menghasilkan sembilan sayatan yang untuk kesekian kali menghias di lengan kanan dan kiri secara bergantian.

Berulang kali seusai melakukan hal bodoh tersebut— ia kini menekan banyak tombol—menempatkan layar ponsel pada daun telinga kiri. Ini sudah yang ke 22 kali sosok seberang sana tidak bisa dihubungi. Bahkan satu pesan hanya menampilkan satu tanda centang. Profil sang gadis yang terhias dengan foto kucing kesayangannya kini tak lagi terpampang.

“Angkat, angkat, angkat,” gerutunya berulang kali penuh harap memohon seraya tangan lain menggenggam erat jarum peniti yang tidak ia tutup kembali.

Maaf nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.

“ANGKAT ASA!!!” geram Yuga mengeras pada layar telepon yang redup manual—membuang kasar dan membuat layar ponsel tersebut retak untuk kesekian kali.

“Angkat telepon gue,” lirihnya memohon dan menekuk tubuhnya. “Sekali aja,” tambahnya yang kali ini ia menunduk—menekuk lutut untuk sebagai pelukan paling sakit.

Kepalanya terangkat. Ketika ia merasa pintu kamar ada yang tengah berusaha mendobrak. Dengan tubuh yang lemas—ia berusaha berdiri membuka kunci dan menarik ganggang pintu ke bawah.

Bagaimana sosok laki-laki itu mendapati wanita yang berstatus menjadi seorang ibu beranak dua memasang wajah penuh cemas.

“Bun? Ada apa?” Laki-laki tersebut maju satu langkah. Meraih-menyentuh dingin pipi sang ibu.

Riri menarik senyum paksa dengan dua air mata terjun bebas. Ia mencoba memegang lembut punggung tangan anaknya yang memegang pipinya. “Kamu juga mau ninggalin bunda sendiri, kak?”

Yuga tidak menjawab. Jika ia berkata jujur, ia akan membuat wanita yang melahirkannya itu  menangis.

“Kenapa bunda menangis? Jangan nangis, kakak punya salah, ya? Maaf ya, belum bisa jadi anak yang buat ibunya bahagia,” lirih Yuga menghapus air mata Riri dan disambut gelengan kecil Riri.

Sesak disertai mata yang memanas membuat Riri tidak bisa menahan air mata.

“Yuga,” panggil riri sekuat tenaga menghapus air mata sang anak walaupun terlihat jelas laki-laki tersebut tengah memasang wajah baik-baik saja.

“Yuga kalau capek, minta perlindungan kepada Tuhan. Yuga itu anak paling hebat bunda, kakak paling kuat untuk Brian, dan pahlawan kedua setelah ayah,” jelas Riri seraya menatap ngilu bagaimana telapak tangan sang anak tertusuk beberapa jarum peniti dan membiarkan menempel dengan menghadirkan rasa denyut nyeri.

“Yuga kalau pergi, siapa yang temani masa tua, bunda? Kalau bunda sakit, siapa yang rawat bunda kalau bukan, Yuga?” Riri mencoba mencabut perlahan satu sampai tiga peniti besar dari telapak kanan sang anak dengan air mata yang semakin deras membentuk sungai kecil.

Yuga hanya diam. Menghirup udara melalui mulut, sebab hidungnya mulai tersumbat karena sesak yang menggebu-gebu.

“Kak Yuga, jangan buat sayatan kaya gini, Brian nanti marah sama bunda, soalnya gabisa jaga kamu, nak, nanti mau bilang apa bunda ke adek kamu, nak?” beo Riri yang melihat untuk kesekian kali Yuga melakukan hal buruk pada tubuhnya.

Yuga menarik napas dalam dan membuang dari mulut. “Apa Brian juga bakalan marah karena kakaknya telah membunuh jiwa dari kekasihnya tanpa raga yang tidak terkubur?”

Riri terdiam sejenak. Ia tahu apa yang dimaksud dari sang anak.

“Apa Brian juga bakalan marah karena Yuga jatuh cinta kepada kekasihnya?”

Ruangan depan kamar Yuga mulai sunyi sebab Riri terdiam.

“Bagaimana dengan alasan klasik soal amnesia Yuga hanya buat untuk pengalihan isu supaya Yuga bisa mengenal Asavella untuk pertama kali, bunda?” tanya Yuga kepada sang ibu.

“Barangkali hal bodoh ini enggak terbenam di otak saat itu dan Yuga enggak menyamar jadi sosok Brian, mungkin Yuga bisa menjaga Asavella jauh lebih baik, bunda,” tekannya begitu lirih.

Yuga menjatuhkan lemas tubuhnya dengan kepala tertunduk. Sontak saja, itu membuat Riri refleks memegang pundak sang anak.

“Selama ini, Yuga, enggak pernah menyalahkan garis takdir yang ditulis Tuhan untuk, Yuga. Bahkan ... sekali dua kali hanya mengeluh untuk tidak mengambil Asavella dari Yuga, Bun.”

“Yuga bahkan enggak pernah berburuk sangka kepada Sang Pencipta Antariksa dan segala isinya. Tapi anak laki-laki remaja yang harusnya menikmati masa main ini kenapa harus memikul beban sebesar ini?”

“Apa laki-laki seperti ku tidak boleh menangis dan mengeluh?”

“Bunda tahu, Brian mencintai Asavella sedalam samudera. Tapi dia tidak tahu, Samudera masih memiliki dasar,” kata Yuga yang sekarang tengah membicarakan satu lembar dari buku berjudul Diary Brian si pecinta Mahakarya Alam Tuhan.

“Jika katanya dia mencintai sedalam samudera di dunia, maka aku menyatakan mencintai seluas antariksa yang tak terhingga di mana letak ujung batasnya.”

Riri kali ini tidak bisa melarang sang anak untuk menaruh hati dengan siapa. Di sisi lain Riri juga merasa bersalah, sebab ia sering mengingatkan sang putra untuk tidak jatuh cinta kepada adiknya. Dalam artian, Yuga tidak boleh mencintai Asavella. Bagaimanapun Riri selalu mengatakan jikalau Asavella adalah milik Brian. Dan jelas status Asavella dengan Yuga sebatas adik dan kakak. Tidak lebih dan tidak kurang.

Kesalahan yang dibuat Riri membuat Yuga tersiksa batin melakoni sosok Brian. Berperan dua dalam satu raga dan jiwa. Yang di mana, ia harus melakoni jati dirinya dengan watak yang keras kepala dan memiliki kekasih. Di sisi lain, harus melakoni watak kembarannya yang terbilang lebih manja, ceria, dan penyabar.

“Maaf kan bunda ya, kak, seharusnya bunda enggak harus melarang dengan siapa kakak jatuh cinta. Sebab, bunda hanya tahu gadis yang bersamamu itu milik adik kamu, bunda terlalu mencemaskan Brian tanpa melihat Yuga,” kata Riri seraya menutup mata.

Yuga menggeleng. “Bunda enggak salah. Barangkali Yuga juga tahu batasan dan enggak hanyut dalam sebuah cerita yang membangkitkan seolah Yuga ini Brian, mungkin, Yuga masih sadar dan enggak akan jatuh cinta dengan, Asavella.”

Yuga melirik sekeliling rumah yang sepi, kamar sebelah yang selalu tertutup tak lain adalah kamar Brian Claudius. Rumah yang sunyi. “Bun,” panggil Yuga penuh hati-hati dengan netra yang masih menatap sekeliling isi rumah.

“Iya nak?”

“Gimana ya, bun, kalo Yuga pergi nanti buat nyusul ayah sama Brian? Pasti rumah ini semakin sepi, terus siapa yang menyisir rambut bunda? Yang bantu bunda bersihin rumah? Apa jadinya bunda kalo sakit?”

Riri menggeleng. Menutup mulut sang anak yang cara bicaranya sudah tidak masuk akal dan membuatnya begitu takut. “Nak …, cukup yah,” mohon Riri sembari menggigit bibir bawahnya untuk menahan isak yang siap menjerit seberapa takutnya jikalau anak semata wayangnya juga akan menyusul jejak sang suami dan anak bungsunya.

“Bunda mohon. Bertahan, ya. Sama bunda. Di bumi yang sudah tua ini. Bunda cuma punya kamu di sini, nak.”

Yuga menggeleng. “Yuga udah enggak bisa buat janji sama, bunda atau diri Yuga sendiri.”

Riri sudah tidak tahan ia menangis sejadi-jadinya di hadapan sang anak dengan wajah tertutup menggunakan kedua telapak tangannya. Ia meraih penuh getar tubuh sang putra—membawa masuk dalam dekapan dan mengusap-usap pundak anak tersebut.

“Kakak yang kuat yah, bertahan lebih lama jika bukan buat bunda, setidaknya buat Aca, nak.”

Mendengar sang ibu menyebut nama gadis itu berhasil membuat Brian menutup mata. “Gadis itu sudah tidak ingin mengenal Yuga, Bun.”

"Melihat wajah Yuga akan membuatnya semakin membenci Brian."

“Nak, Aca cinta kamu.”

“Dia hanya menyebut nama Brian. Bukan, Yuga.”

“Yuga sudah kalah. Yuga mau tidur di pangkuan bunda terakhir kali, boleh?”

 

ฅ⁠^⁠•⁠ﻌ⁠•⁠^⁠ฅ

Di sisi lain seorang gadis yang masih menggunakan pakaian dari kemarin tidak pernah mengganti pakaian. Bibirnya kering memucat. Kantung mata menghias bersamaan dengan mata sembab. Kamarnya berantakan. Merobek seluruh foto-foto yang tersusun indah pada scrapbook dengan cover hitam dengan gambaran dari spidol putih—memperlihatkan payung dan kucing yang berteduh di bawah payung.

Susunan kata-kata sederhana yang ia jadikan pelengkap pada masing-masing poto tersebut ia bakar di dalam kamar dan membuat ubin tersebut menghitam sampai meninggalkan abu dari kertas tersebut.

Bahkan berulang kali ia mendengar ketukan pintu dari luar sana. Sebab seisi rumah mencium bau tidak enak dari kamar Asavella. Jendela yang tertutup rapat ia kunci membuat fentilasi udara berkurang karena asap yang memenuhi ruangan.

Andaikata semua orang tahu, itu adalah hadiah yang akan diberikan Asavella untuk Brian seusai operasi dari laki-laki itu berjalan dengan lancar.

Karena olimpiade dan lomba-lomba kecil, membuat Asavella tidak bisa turut hadir saat laki-laki tersebut akan membuka mata untuk melihat kembali dunia. Beberapa minggu seusai menyelesaikan segala tugas kependidikan yang menghambat waktunya, ia berupaya untuk menemui dan memberikan scrapbook tersebut.

Bagaimana Asavella terlihat bahagia dengan scrapbook yang ia buat dan ia percantik isinya menggunakan fotonya dan Brian serta kata-kata sederhana.

Gadis itu terlihat bahagia di kala ia mengayuh sepeda yang menuju arah pada perumahan tempat tinggal sang laki-laki.

Sesampainya, ia memarkirkan sepeda di halaman rumah Keluarga Gerald.

Asa tidak ke rumah sakit, sebab dengar-dengar laki-laki yang ia temui sudah pulang. Ini informasi dari Riri yang masih di rumah sakit tengah mengurus pakaian Brian selama di sana untuk dibawa pulang.

Ini bukan awal pertama gadis ini bermain ke sini, tapi rasa canggung selalu melekat. Sebab ia tidak terbiasa nyelonong masuk ke dalam rumah orang. Tetapi Riri telah mengizinkan Asavella untuk masuk saja dikarenakan sosok yang akan ia ingin temui ada di dalam rumah.

Tentu dengan hati-hati ia membuka pintu utama. Bibirnya mengembang ke atas setiap langkah menyusuri rumah sederhana tersebut.

Baru juga sampai ruang tamu. Langkahnya berhenti sebab ia mendengar suara Brian mengeluh soal televisi yang tidak ada serial romantis. Ya. Laki-laki itu di ruang tengah.

Dengan hati berdebar. Asavella menghitung lirih angka satu sampai tingga sembari merajut langkah besar penuh hati-hati.

“BIAN!! SUP--!!”

Asavella menggantung kalimat surprise di kala bagaimana di bahu Brian ada kepala gadis lain dengan rambut yang diusap lembut. Geli tawa selalu terlontar satu sama lain. Hingga berakhir bibir mereka hampir bersatu.

Senyuman Asavella sekejap pudar.

“BAJINGAN!!” bentak Asavella penuh sesal telah datang kemari.

Dua sejoli yang tengah bercumbu panas diusia remaja sontak duduk tegak. Bagaimana tatapan laki-laki itu menatap bingung dengan kepala miring. Sementara gadis yang Asavella kenal tak lain adalah Jysa tengah menahan napas. Ia merasa terkejut kehadiran saudarinya.

“Siapa dia? Kenapa bisa masuk ke dalam rumahku?” tanya laki-laki itu tanpa penuh dosa.

Ya. Yuga Claudius Permana. Inilah pertemuan pertama laki-laki tersebut dengan sosok Langit yang lebih di kenal dengan Asavella.

“Kamu lupa, aku?” tanya Asavella yang masih penuh hati-hati dengan alis bertaut satu.

“Kamu memang tidak tahu aku, atau melupakanku?” tanya kembali gadis tersebut yang terlihat menyudutkan Yuga.

“Sa,” panggil Jysa berdiri penuh getar. Ia bingung bagaimana cara menjelaskan kepada sang adik.

“Dengerin, gue,” lirih Jysa memegang pundak sang adik yang masih memakai seragam sekolah.

Bri-brian, brian am-amnesia, Ca, dia ngira gue lo,” bual sempurna sosok Jysa.

“Hah? Lo ngomong apa sih ke dia?” sela Yuga yang kebingungan. Kenapa kekasihnya membual bodoh seperti itu.

Jysa membalik badan. Mencengkeram lengan Yuga penuh tekanan dengan kuku tumpulnya. “Dia. Asavella. Adek gue,” tekannya penuh lirih.

Di situlah Yuga terkejut. Di sisi lain Asavella menahan kecewa dan bingung ada apa dengan mereka?

“Kalian pacaran?” Kalimat itu terlontar begitu saja. Scrapbook yang akan ia beri kepada Brian harus ia sembunyikan dibelakang punggungnya.

Hening sejenak. Dari pihak Jysa maupun Yuga tidak membuka suara. Tentu itu membuatnya kesal.

“JAWAB GUE!!”

“YA! GUE PACARAN SAMA JYSA, KENAPA?”

“Brian!” Jysa mencoba memanggil Yuga dengan Brian. Menghentikan kebodohan Yuga yang akan menyakiti Asavella di awal pertemuan mereka untuk pertama kalinya.

“Kemana lo saat gue operasi? Kenapa lo gaada? Katanya lo mau nemenin gue! Tapi mana? Malah Jysa yang hadir? Lo cinta gue atau enggak sih?”

“Oh atau karena gue cacat lo malu  dan sekarang pas gue udah bisa lihat dunia lo mengakui lo cinta ke gue, Sa?”

“Brian …,” Jysa mencoba untuk menghentikan Yuga yang diluar watak sosok Brian.

“Kenapa yang Asavella bukan Jysa? Kenapa lo? Jadi jangan salah kalau gue menyimpulkan jika Jysa itu Asavella. Karena cara lo yang enggak sopan masuk rumah orang udah memperlihatkan lo anak yang kurang kasih saya—”

“CUKUP!!” teriak dua gadis bersamaan membuat Yuga menatap Jysa dan Asavella bergantian.

Tanpa banyak kata atau sebuah dialog pamit. Asavella menatap penuh kecewa sosok Brian yang ia temui. Hanya satu minggu seusai operasi Asavella tidak bisa menjenguk karena mengejar nilai dan lomba-lomba yang memeras otaknya berpikir 24 jam.

Tapi lihatlah, bagaimana sambutan Brian yang berubah drastis dan membuat gadis berambut sebahu tersebut pergi dengan air mata dan kekecewaan.

Sementara Jysa?

“Gue tahu, gue tahu keluarga gue enggak keluarga cemara kaya keluarga lo! Tapi stop bilang kurang kasih sayang kek gitu! Lo pikir pantes? Gue tahu lo bukan Brian dan Yuga ya tetap Yuga. Tapi sesekali filter emosi lo! Kalo lo seperti ini, gue lebih baik ninggalin lo.”

“Inget. Yang boleh nyakitin adek gue, cuma gue.”

ฅ⁠^⁠•⁠ﻌ⁠•⁠^⁠ฅ

Jangan lupa buat komen, vote dan follow yaww.

udah tau kan pertemuan Asavella sama Yuga. (⁠~⁠ ̄⁠³⁠ ̄⁠)⁠~

Continue Reading

You'll Also Like

7.1M 297K 60
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
ALUNAZKA By pjmin

Teen Fiction

462 192 7
(Follow sebelum baca) ****** Seorang remaja yang tahun ini genap 17 tahun, Alana adalah seorang piatu yang menghabiskan hidupnya dengan sang Ayah. S...
1.5K 356 21
Berawal dari suatu kejahatan hingga menuju ke suatu misteri yang harus diungkapkan, interwoven mengisahkan perjalanan beberapa karakter yang selalu d...
593K 28K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...