Cita Cinta Caraka

By beliawritingmarathon

85.1K 22.4K 23.5K

Caraka Mahawira, seorang manajer band Aspire yang super sibuk sekaligus teman sejak kecil Janitra. Sebuah tak... More

Chapter 1
CHAPTER 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
END
[INFO] Open Pre-Order!
PROLOG (VERSI NOVEL)
H-1 PRE-ORDER, siap-siap war!!!

Chapter 9

2.5K 827 1.1K
By beliawritingmarathon

Perlahan tapi pasti, Anindita membuka kelopak matanya dan merasakan seseorang memercikkan air ke wajahnya. Kontan saja dia megap-megap seperti ikan yang dibawa ke daratan lantas menarik tubuhnya duduk. Janitra berdiri di hadapannya sambil memegang segelas air. "Enak banget lo, ya, mimpi indah Tuan Putri?" teriak Janitra. "Bangun lo, siapin sarapan! Jangan kayak Ratu deh lo di rumah ini. Ayah udah pergi, jadi nggak usah carmuk lo minta dibela."

Anindita mengusap wajahnya sambil melirik jam dinding. Baru pukul setengah tujuh pagi. Anindita menguletkan badan, dia berniat untuk tertidur lagi. Namun Janitra memelotot ke arahnya. Kalau tatapan membunuh, mungkin dia sudah terkapar di lantai. "Mau tidur lagi lo? Bantuin tuh Bi Yuli!"

"Iya iya. Aku cuci muka dulu."

"Buruan!" Janitra meninggalkan kamarnya.

Tidak ingin melihat si Nenek Lampir kian meradang. Gadis itu bergegas sikat gigi dan cuci muka. Lalu keluar kamar. Dia berjalan menuju ke dapur, menemui Bi Yuli yang sedang memasak. "Mau aku bantu apa, Bi?"

"Potong-potong aja sayurnya, Kak."

Dia mematuhi perintah Bi Yuli, urusan potong-memotong adalah hal kecil untuk Anindita. Dia sering membantu ibunya memasak kalau di dapur. Begitupun seandainya ada acara besar, pastilah tenaganya dibutuhkan. "Bi, Kak Janitra itu sukanya apaan sih?" tanyanya sambil memotong wortel menjadi lebih kecil.

"Kak Janitra mah makannya pemilih, tapi dia biasanya suka banget sama capcai. Kalau ada capcai, makannya bisa lahap."

"Serius? Kak Janitra suka capcai? Kok sama kayak aku." Anindita mencuci wortel. "Kalau gitu aku yang bikin ya, Bi? Aku di rumah sering banget bikin capcai."

"Boleh banget, Kak." Bi Yuli tersenyum menyetujui, membiarkan dapurnya diinvasi oleh seorang bocah ingusan seperti Anindita. Anindita memasak dengan cekatan, menumis bumbu, lalu memasukkan sayur. Tak lupa dia menambahkan biji wijen dan larutan tepung jagung agar mengental. "Bi, cobain deh." Dia menyerongkan spatula ke tangan Bi Yuli yang segera dicoba wanita bercepol itu.

"Enak, Kak."

"Beneran? Nggak kurang apa-apa?"

Bi Yuli mengangkat jempol. Anindita memasukkannya ke dalam mangkuk, lalu dia membawanya ke meja makan. Janitra sudah duduk di sana, sibuk dengan ponselnya. "Makan dulu, Kak." Anindita menyiapkan piring milik Janitra. "Mau pakai nasi?"

"Nggak usah, gue ambil sendiri." Janitra terlihat sensi. "Lo makan setelah gue, nggak sudi gue semeja sama lo."

"Ok, aku makan sama Bi Yuli aja nanti." Anindita setuju, dia akhirnya menuju ke dapur, sambil mengintip Janitra mencoba masakannya. Se-sendok capcai masuk ke bibir Janitra. Gadis itu terlihat mengernyitkan kening, tak lama dia menyendok sesuap lagi dengan lahap.

Bi Yuli tergopoh-gopoh membawakan gelas dan teko berisi air mineral. "Lahap banget, Kak, udah lama nggak liat Kakak makan lahap gini."

"Tumben nih capcainya enak, ditambahin apa Bi?"

Senyum tipis muncul di bibir Bi Yuli. "Enak ya, Kak? Bukan Bibi soalnya yang masak."

"Terus siapa? Mama? Mama kan masih tidur."

"Kak Anin."

Kontan saja Janitra terbatuk-batuk seolah ada sianida membakar tenggorokannya. Lalu dia meminum segelas air. Matanya membulat, dia memandang Bi Yuli geram.

"Kok bisa-bisanya nyuruh dia masak? Kalau saya diracun gimana? Bibi mau saya mati?"

"Ya ampun Kak, Bibi di samping Kak Anin, ngeliatin prosesnya ... nggak mungkin diracun."

Janitra mengambil semangkuk capcai yang masih penuh, lalu membawanya ke dapur. Dia ingin membuangnya ke tong sampah, tapi Anindita langsung menahan tangannya.

"Kak kalau nggak suka ya udah nggak dimakan nggak apa-apa, tapi jangan dibuang, sayang Kak. Ini belinya pakai uang." Anindita selalu merasa bersalah setiap kali melihat makanan mubadzir, teringat pengalaman di mana dia pernah hanya makan dengan sayur minyak bekas goreng ikan milik tetangga saking kelaparan ketika ibunya sedang di ladang. Ibunya tidak pernah tahu fakta itu.

"Ini peringatan buat lo, ya. Jangan berani-beraninya masakin gue. Gue minta lo bantuin Bibi, bukan sok unjuk gigi keahlian masak lo! Paham nggak?"

Anindita mengangguk lemah. "Maaf, Kak, aku nggak akan coba-coba masak lagi."

****

Sama sekali tidak terpikir di benak Anindita kenapa Janitra bisa berpikir bahwa dia akan memasukkan racun ke dalam capcai yang dia masak. Padahal Anindita murni hanya ingin memasak untuk kakaknya itu. Seperti halnya Ibu yang sering memasak makanan kesukaan Anindita, tiap kali dia merasa sedang bad mood, kesal, sedih, masakan ibunya selalu menjadi ramuan yang membuatnya bahagia seolah ada mantra terselip di dalamnya. Mantra bernama nikmat.

Berhubung jam kuliahnya dimulai siang, Anindita masih punya waktu untuk keluar. Dia memutuskan pergi ke rumah Caraka untuk menemui Ratih. Ratih kan suka sekali sayur, dia pasti senang makan capcai. Gadis itu memesan ojek online yang mengantarnya ke rumah Caraka. Mobil Caraka masih terparkir di garasi. Rupanya cowok itu belum ke kampus.

Dia berdiri di depan pintu yang setengah terbuka, lalu mendengar suara keras sampai ke telinganya. Suara milik Caraka.

"Ini juga karena Teteh sih, terlalu manjain dan bebasin dia!"

"Maaf, A."

"Aku selama ini jarang marah, Teh, tapi ini udah keterlaluan. Kalau dia sampai diapa-apain sama laki-laki gimana? Siapa yang bakal disalahin sama Papa? Aku, Teh. Aku dibilang Kakak nggak becus, yang nggak bisa ngurus adik. Padahal aku udah sekuat tenaga ngurusin dia, di tengah urusan kampus sama band-ku yang padat. Teteh harusnya bantuin aku."

Suara Caraka semakin keras. Anindita akhirnya memberanikan diri masuk sambil membawa rantang. Gadis itu terkejut melihat Ratih menangis sesenggukan dengan punggung naik turun. Dia meletakkan rantangnya di meja, Caraka menatapnya terkejut. "Ngapain lo di sini?"

Anindita tidak memedulikan pertanyaan Caraka serta tatapan mengintimidasi cowok itu. Dia langsung memeluk Ratih yang menangis tersedu-sedu dalam pelukan Anindita. Tangan Anin bergerak menenangkan Ratih. "Ngapain lo-" Anindita melemparkan tatapan kesal ke Caraka. Menyuruhnya untuk diam. Caraka akhirnya diam, cowok itu berdesis sebal lalu pergi ke taman di samping.

"Kamu kenapa?" Anin menarik Ratih menjauh. "Kenapa dimarahin?"

Ratih masih sesenggukan.

"Neng Ratih ketahuan pacaran, terus Aa marah besar."

Ratih menggerakkan tangan, Anindita melirik Teh Yati, meminta diterjemahkan. "Aku kenalan sama cowok di Twitter, dia temanku dan ngajak aku ketemuan di mal. Kak Caraka kebetulan nggak sengaja liat di ponselku, dia marah terus mengira kami pacaran."

Anindita menghapus air mata Ratih. "Abang kamu marah-marah terus, biarin wajahnya cepat tua. Ya udah jangan nangis lagi, aku bawain capcai buat kita makan sama-sama. Nanti kalau kamu mau ketemu sama cowok itu, aku bisa temenin kamu. Oke?" Teh Yati mengartikan itu berhubung Anindita belum begitu mahir menguasai bahasa Isyarat.

Ratih mengangguk. "Aku cuci muka dulu, nanti kita makan sama-sama, ya."

****

Kepala Caraka tertunduk karena terasa berat. Semalam dia kurang tidur karena harus mengerjakan tugas seabrek, lalu dia pergi ke kamar Ratih untuk mengecek apakah adiknya itu sudah tertidur dengan selimut menutupi tubuh dan lampu yang sudah dimatikan. Tanpa sadar matanya mendengar ponsel adiknya bergetar, muncul notifikasi di layarnya dengan nama "Arsenio" dan chat berisi:

Mau nggak ketemuan? Ke PIM yuk besok malam?

Kontan saja dia langsung meradang, tanpa memikirkan privasi Ratih, dia membuka chat-nya. Rupanya mereka berkenalan sudah satu bulan. Ratih bertemu dengannya di Twitter. Mungkin reaksinya berlebihan, seandainya ada Mama, apakah Mama akan semarah itu dengan Ratih? Atau justru mendukung Ratih? Caraka butuh jawaban.

"Pantes dari tadi di dalam berisik, ternyata asal petirnya dari sini. Muka kamu murung banget, sih." Anindita menghampiri Caraka. "Ratih udah cerita sama aku, dia bilang belum pacaran, cuma temenan aja." Gadis itu meletakkan mangkuk yang berisi capcai. "Itu aku bikin capcai. Kata Teteh kamu belum sarapan."

Caraka hanya melirik mangkuk itu dengan tidak selera, lalu kembali fokus ke Anin. "Lo bukan kakaknya. Lo nggak tahu perasaan gue gimana waktu baca chat itu. Gue takut, Nin. Apalagi ketemunya di Twitter. Gimana kalau ternyata cowok itu om-om? Terus Ratih keluar tanpa sepengetahuan gue? Ratih itu masih di bawah umur, Nin, dia belum ngerti sama perasaannya."

"Kamu tuh paranoid persis kayak Ibu aku waktu tahu aku pacaran."

Caraka menelan ludah. "Ibu lo juga reaksinya gini waktu tahu lo pacaran?"

"Ehm-hm, bukan pacaran sih, baru suka-suka doang. Waktu itu aku kelas 1 SMA, suka sama cowok terus kami dekat deh suka chat-chat-an, sampai akhirnya Ibu liat dia antar aku pulang. Wah dia marah banget, dia teriak di depanku katanya gini," Anindita menirukan mimik ibunya, "kamu tuh ya! Kalau sampe hamil gimana? Ibu yang repot! Kamu tuh anak cewek, Nin, kalau rusak ya ada bekasnya. Beda sama cowok, kalau mereka ngapa-ngapain ya nggak bakal kelihatan. Wah pokoknya parah, deh, sampai aku nangis sesenggukan."

Caraka setia mendengarkan, dia ingin tahu cerita selanjutnya. Masa SMA Caraka dilalui tanpa ada seorang Ibu di sebelahnya. Dia tidak tahu rasanya dimarahi oleh Ibu ketika dirinya ketahuan berpacaran, karena ayahnya terlalu sibuk dengan pekerjaan. Apalagi dia memang tidak pernah berpacaran.

"Ratih kan udah remaja, burung aja kalau terus dikurung dalam sangkar nggak suka, apalagi manusia. Dia pasti ngerti kok mana yang baik dan mana yang buruk, asalkan diarahin ... jangan jadi sosok yang disegani buat dia, tapi jadilah Kakak yang bisa jadi tempatnya cerita. Jangan sampai Ratih justru lebih percaya cerita ke orang lain daripada ke keluarganya sendiri. Iya kalau cerita ke sosok yang bisa dipercaya dan kasih nasihat positif tapi gimana kalau dia justru cerita sama seseorang yang jahat? Yang bukannya kasih nasihat, justru menjerumuskan?"

Anindita tersentak mendengar kalimat yang dia ucapkan. Kalimat yang sebenarnya ingin dia ucapkan ke Janitra. Dian punya sosok kakak perempuan dan setiap hari Anindita menjadi saksi bagaimana tingkah laku Dian dengan kakaknya. Kadang mereka akan bertengkar hanya karena Dian meminjam baju kakaknya tanpa izin, kadang mereka bisa saling jambak-jambakan cuma perihal Dian memakai motor kakaknya tapi tidak pernah mengisi ulang bensin. Tapi terkadang keduanya bisa menjelma menjadi kakak-adik yang hangat.

Dian pernah patah hati, dan esok harinya, kakaknya langsung melabrak cowok itu.

Terkadang Anindita berandai-andai, kapan dia bisa memiliki hubungan dekat dengan Janitra?

"Hati-hati tuh boleh, tapi terlalu hati-hati juga nggak baik, justru bisa jadi penghalang kita buat bahagia karena mikir yang negatif terus."

Caraka kontan tertawa. Wajah mendungnya mulai bergeser. "Ini pasti bukan Anin, jin dari mana lo? Buruan keluar. Keluar nggak?"

"Ih nyebelin. Giliran lagi serius malah dibercandain."

"Makasih ya, Adik Kecil." Caraka mengacak rambut Anindita sampai rambutnya berantakan dan menutupi matanya. Gadis itu kelimpungan sambil mengempas tangan besar Caraka dari wajahnya. "Kadang kalau noraknya nggak kumat, boleh juga."

"Maksudnya apa, nih? Udah dikasih petuah terus dibilangnya norak? Dasar orang kota, mulutnya nggak bisa dijaga."

Anindita melihat Caraka mulai mencoba capcai buatannya. "Lo yang bikin? Kok enak? Bohong, nih, pasti Bi Yuli yang bikin. Lo cuma oseng-oseng aja, kan?"

"Aku yang bikin, kalau enak ya soalnya ada ramuan rahasia."

"Apa?"

"Masaknya pake kolor."

Caraka langsung tersedak. Anindita mengangkat segelas minuman mendekat ke arah Caraka. "Lagi makan, nih, serius dikit dong."

"Ibu aku kalau aku nanya masakannya kok enak, jawabnya selalu gitu, tapi betul sih kan Ibu aku masaknya nggak telanjang. Betulan pakai kolor."

"Noraknya masih belum hilang ck ck." Caraka terdengar kecewa.

"Heee ... kan aku udah berbaik hati jadi konselor gratis, bayarannya mana nih?" Caraka tersedak kedua kalinya yang membuat Anindita langsung lari ke dalam sebelum cowok itu kembali menyemprot dengan kata-katanya yang setajam belati.

****
Ketika seseorang marah sebenarnya ada dua orang yang terluka; orang yang dimarahi dan orang yang memarahi. Kata-kata yang disemburkan seolah bilah pedang yang menusuk dua orang. Caraka rupanya merasa bersalah karena sudah memarahi Ratih. Kesepakatan akhir diputuskan Caraka mengizinkan Ratih bertemu dengan Arsenio, tapi dengan persyaratan, harus diantar oleh Caraka. Ratih setuju, asalkan Anindita ikut. Ratih tidak ingin Caraka bergabung, dia hanya boleh melihat dari kejauhan.

Otomatis setelah pulang kuliah, Anindita kembali ke rumah Caraka. Mereka berangkat sebelum jalanan macet total. Bisa ditebak siapa yang paling bahagia dan paling berisik sepanjang perjalanan? Jawabannya adalah Anindita, sampai Caraka harus menyumpal suaranya dengan meninggikan volume musik. Membiarkan suara Radiohead mengalahkan suara Anindita.

"Lo kalau masih berisik, gue turunin di sini, nih. Diem nggak? Berisiknya ngalahin bawa bayi." Caraka mengancam.

"Kaku banget, marah-marah terus ih! Ratih kok tahan punya Kakak begini?"

Ratih hanya terkekeh saja mendengarnya.

Mereka akhirnya sampai di PIM pukul setengah 7 malam. Anindita turun dari mobil dan sibuk mengabadikan mal dengan kamera ponselnya yang butut. "Woah besar banget kayak istana. Kamu tahu nggak istana di film kartun Beauty and The Beast? Waktu itu Ibu beli kasetnya di pasar, aku tonton sampai berkali-kali, 10x ada kayaknya. Nah istananya itu sebesar ini." Anindita mengarahkan kamera ke Caraka dan Ratih secara bergantian. Caraka tersorot dengan ekspresi kesal sementara Ratih melambaikan tangan dengan riang.

"Maaf ya, Pak, dia soalnya baru keluar dari hutan. Masih saudara sepersusuan sama Tarzan." Caraka melihat seorang satpam melihat Anindita sinis dan balas menjawabnya. "Kalau lo nggak diem, gue suruh tuh satpam bawa lo keluar."

"Iya, deh. Aku diem." Anindita membuat gerakan seolah mengunci bibir.

"Abang sampai sini aja. Aku ketemuan sama Arsenio di Starbucks. Nanti aku hubungi Abang kalau udah selesai." Ratih melebarkan tangannya, memberi isyarat ke Caraka untuk berhenti membuntutinya.

"Oke! Semangat. Semoga sukses." Anindita berteriak.

"Sukses apaan?" Caraka langsung memelotot.

Ratih masuk ke dalam Starbucks. Caraka melihat bagaimana sosok Arsenio-seumuran dengan Ratih. Secara visual dia tidak terlihat seperti cowok nakal. Pakaiannya rapi. Dia juga tersenyum tulus pada Ratih. "Ceilah biasa aja dong ngeliatinnya, kayak mau keluar tuh mata kamu." Anindita menepuk bahu Caraka. "Tuh kan dia masih muda, bukan Om-Om kayak di pikiran kamu."

"Nama kok Arsenio, kayak nama racun, Arsenik." Caraka terlihat antipati. Anindita tertawa melihat raut wajah Caraka yang begitu waswas.

"Udah deeh, jangan diliatin terus ... kata Ratih kan ketemuannya di sini. Mending temenin aku jalan-jalan?"

"Lo aja sendiri."

"Kalau aku tersasar gimana?"

"Bodo amat, derita lo."

"Iya udah, aku keliling dulu." Melihat Anindita berlalu, mau tak mau Caraka akhirnya membuntuti. "Katanya nggak mau temenin? Plin-plan, deh."

"Nggak jadi, nanti kalau lo hilang, gue juga yang repot." Caraka menggenggam tangan Anindita. Persis seperti membawa anak balita dengan sejuta kehebohannya. Anindita berseru heboh begitu melihat gulali. Tuh, kan, baru juga dibilang. Ini dia sebenarnya sedang bawa seorang remaja atau bocah usia empat tahun, ya?

***

A/N:

Makasih ya udah setia baca cerita ini, kalau kalian baca jangan lupa share di Instastory terus tag ke akun aku, @eriscafebriani, @carakamahawira, @citacintacaraka, @aninditakeshwari


Boleh deh spam jari Metal Ala Caraka di sini

See you on the next part, Araaa!

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 122K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
420K 15.2K 30
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
1.1M 108K 58
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
286K 11.8K 31
Menjadi seorang istri di usia muda yang masih di 18 tahun?itu tidak mudah. Seorang gadis harus menerima perjodohan dengan terpaksa karena desakan dar...