=/= Love

By SangBison

5.3K 215 445

Untuk menjadi lebih baik kita perlu berubah, namun dengan berubah apakah kita selalu jadi lebih baik ? Bagaim... More

Disclaimer
Chapter 1 : Endless Free Fall
Chapter 2 : Good Boy Gone Bad
Chapter 3 : "Kontak"
Chapter 4 : Now and Before
Chapter 5 : Asserting Dominance
Chapter 6 : The First Hit
Chapter 7 : Ally or Foe
Chapter 8 : Student Council
Chapter 9 : The Terror Behind Her Smile
Chapter 10 : Him
Chapter 11 : Memories
Chapter 12 : Blood
Chapter 13 : Theo
Chapter 14 : Dirinya

Chapter 15 : Regret(s)

369 14 37
By SangBison

"Sesal..dan Kesal.."

--------------

"Lu pernah gak si ngerusak hubungan temen lu sendiri ?"

Sebuah pertanyaan rancu dari Dey yang membuat Yonat terdiam. Perasaannya campur aduk, haruskah ia langsung menyerang Dey dengan pertanyaan dari dirinya sendiri ? Apakah Dey selama ini mengetahui diri Yonat sebagai pacar Chika ? Apakah usahanya untuk berada di bawah radar percuma ?

Namun Yonat mencoba tetap tenang, ia tak boleh gegabah dengan pilihannya. Yonat menganalisis pertanyaan itu, berusaha mencari jawaban yang tepat untuk mencegah informasi mengenai dirinya diketahui oleh Dey.

"Engga si, emang kenapa ?"

"Bagus deh, jangan kaya gue ya. Gue jahat banget..."

"Emang ceritanya gimana ? Keliatannya lu bukan tipe orang yang kaya gitu Dey."

Dey menghela nafas sejenak, ia tak pernah menceritakan hal ini kepada siapapun bahkan ke keluarganya ataupun Gita. Sesak mengisi rongga dadanya, namun entah mengapa ia merasa Yonat adalah orang yang dapat dipercaya untuk melepaskan sesaknya.

"Gue punya temen...namanya Chika. Kita temen baik dari kecil, kayak sodara dah. Akhirnya gue ngenalin dia ke orang, ternyata orang ini...bukan orang baik."

Mendengar cerita yang sudah pernah ia baca ini, emosi Yonat perlahan naik. Kejadian hari itu terputar kembali dalam pikirannya, kisah yang mengubah hari-harinya itu kembali muncul. Gambar yang meninggalkan rasa pahit dalam mulutnya itu tercetak jelas dalam benaknya.

"Gara-gara dia...temen gue putus sama pacarnya. Padahal mereka pasangan yang bahagia banget."

"Oh agak lucu ya, ceritanya mirip sama yang gue alamin."

Kalimat Yonat membuat Dey terkejut, jujur racun berbentuk kalimat itu spontan keluar dari mulut Yonat. Emosinya menguasai hati dan pikirannya yang tadi berusaha untuk tetap tenang.

"Sakit banget ya..?"

"Ya menurut lu ?!"

Yonat meluapkan amarahnya pada Dey tanpa pikir panjang. Hubungan baik nan bahagia yang tadinya ia miliki hilang karena satu orang bajingan yang tak mampu menahan diri. Ia merasa begitu dikhianati oleh pacarnya sendiri.

"Gue tuh udah seneng, akhirnya hidup gue ada arahnya sedikit. Tapi sekarang ? Semuanya rusak, gak ada lagi yang bisa bikin gue nyaman & damai. Kenapa si manusia kaya dia harus ada ? Kenapa si dia harus kenal sama temennya itu ?! KASIH TAU GUE KENAPA DEY!"

Api kebencian dalam hati Yonat membara terang, dirinya hanya ingin menghabisi Ardian dan segala orang yang menyebabkan rusaknya relasi Chika dan dirinya. Tangannya gemetar, nafasnya terengah, ia bisa saja dengan mudah memukul seseorang saat ini. Bisa dikatakan ia telah meledak sepenuhnya.

Namun satu suara meredakan semua itu, suara yang tak lain tak bukan berasal dari Dey. Di tengah rintik hujan yang kencang, suara tangisan yang ia tahan itu masih terdengar oleh Yonat.

Perasaan Yonat berubah, entah mengapa saat ini ia justru merasa bersalah. Terasa seperti dunia menghakimi dirinya karena telah membuat seorang wanita di sampingnya ini menangis. Wanita yang sebetulnya jika kita pikir, tidak terlibat langsung dalam perkara ini.

"Maaf..."

"H-hah ?"

"Gue...paham pasti sakit banget buat lu...gue mau minta maaf buat ngewakilin orang yang ngelakuin itu ke lu yon..."

Perkataan Dey itu justru menjadi bahan bakar pada api yang telah membara di hati Yonat. Tujuannya baik, namun Dey tak tahu bahwa pelaku yang dimaksud Yonat adalah Dey sendiri.

"Lu gak ngerti Dey ! Maaf gak bakal bisa ngebenerin apa-apa ! Maaf gak bakal bisa ngebalikin gue sama dia. Kalau aja temennya yang satu itu-"

"Bisa jadi dia gak salah Yon !"

Perkataan itu membuat Yonat bertanya-tanya dalam pikirnya. Bukan apa, tapi yang dikatakan Dey tidak dapat masuk dalam akalnya. Tidak salah ? Bagaimana ia bisa tidak salah ?

"Orang yang gue kenalin ke temen gue itu...Gue kira dia gak berubah setelah lima tahun tapi..."

"Berubah ?"

"Iya dia berubah, bisa aja gak si...temennya pacar lu itu kaya gue ? Yang sama-sama gak tau kalo kita ngenalin pacar kalian ke orang yang salah...?"

"LAH TERUS GUE YANG HARUS NANGGUNG AKIBATNYA ?! TERUS GUE HARUS APA ANJING ?!!"

"JANGAN TANYA GUE ! Please....."

Tangisan Dey menjadi lebih keras dari sebelumnya. Nafasnya terengah, sesak dalam dadanya justru semakin parah. Mungkin solusi ini bukan pilihan yang tepat baginya.

Di sisi lain Yonat justru mendapatkan insight baru. Walau masih tak masuk akal, dirinya tak pernah terpikir mengenai kemungkinan yang dikatakan Dey. Dan juga, selama ini ia tak pernah memikirkan perasaan Dey.

Jika memang benar Dey berteman baik dengan Chika, ia pasti merasa begitu bersalah telah merusak relasi yang baik antara dua sejoli muda itu. Hal ini terbukti dengan dirinya yang masih menangis. Walau tak bersuara, sesak dalam dadanya begitu terasa bahkan bagi Yonat. Salah kini menyelimuti hati mungilnya.

Lagi, rasa itu diperkuat dengan sikap baik Dey pada dirinya sejak hari pertama. Walau sering ketus, Dey tak pernah menilai Yonat rendah. Bahkan rasa dalam dadanya membuat Dey begitu ingin bersama Yonat terus. Rasanya, Yonat selama ini telah menyerang pihak yang tidak tepat.

Jemari Yonat perlahan bergerak ke kepala Dey, membelai rambutnya yang panjang dan halus. Tangis itu perlahan memudar, belaian kepala orang yang baru membentak tadi kini begitu membantunya. Rasa sakit dan sesak dalam hatinya perlahan menghilang melalui sentuhan orang "spesial" milik Dey.

"Sorry ya Dey...gue gak maksud nyalahin gitu"

"Yon..."

Dey tidak mendengar apa yang dikatakan oleh siswa itu. Dirinya hanya terpaku pada satu hal, ada sesuatu yang harus ia pastikan. Dan sekarang adalah saatnya yang tepat.

"Kenapa-Mmphm!"

Tanpa persiapan apa-apa, bibir kedua pelajar itu bertemu di tengah. Entah atas dasar apa Dey melakukan hal ini, namun Yonat tidak memberikan perlawanan apa-apa. Lebih tepatnya ia terlalu terkejut untuk melakukan sesuatu.

Kegiatan itu berlangsung sebentar, namun efeknya akan membekas cukup lama pada kedua sejoli muda yang sama-sama baru melepas ciuman pertama mereka. Saling menatap dalam diam, mereka perlahan larut dalam perasaan.

"D-Dey..."

"Ternyata bener..."

"Apanya ?"

Dey tak menjawab pertanyaan itu. Kini ia tahu betul rasa yang ada di dalam dadanya. Rasa yang selalu membuatnya ingin bersama Yonat. Kini perasaan itu relevan layaknya jurnal ilmiah.

Dey mendorong Yonat perlahan ke sofa. Lagi, Yonat tak melawan. Dirinya tak paham dengan arah dari tindakan Dey. Walau rasanya, kita tahu kemana arah dari kegiatan ini.

"Oh, ulernya gerak"

Yonat berusaha memproses maksud dari kata "uler" yang dikatakan Dey. Pikirannya liar, berfikir ular yang dimaksud adalah ular miliknya yang saat ini bergejolak karena seorang wanita cantik yang tengah berada di atas dirinya. Sayangnya Yonat tak menyadari ular yang Dey maksud adalah ular sungguhan.

Sisik ular itu bergesekan dengan kulit Yonat ketika makhluk itu melingkar pada kakinya. Reflek pada tulang belakang Yonat membuatnya berteriak dan seketika berdiri di depan Dey. Instingnya berkata ia harus melindungi Dey.

Oh iya author lupa bilang,


Yonat itu cupu masalah ular.

"D-D-DEY M-M-MUNDUR BIAR GUE YANG HADEPIN N-NI ULER. M-MAJU LO ! GUE GAK TAKU-"

*hiss*

"HIIIIIIIIIIIIII"

Yonat berusaha tetap berdiri dengan berani di depan Dey walau dalam dadanya dipenuhi rasa takut. Berbeda dengan Yonat, Dey justru tampak menahan tawa dengan tingkah temannya itu.

"D-DEY LU NGAPAIN ?!"

Dey mendekati ular itu dan mengalungkannya di leher. Berbeda dengan Yonat yang sudah pucat, Dey justru tampak berteman dengan ular itu.

"Lu takut sama uler yon ?"

"E-enggak ! Mana ada gue taku-HIII JAUHIN !"

Yonat mundur dengan hentakan kaki kuat dari Dey. Putih menjadi warna dominan yang mewarnai wajahnya. Jika dibandingkan, mungkin dengan lantai ubin itu kulitnya tak berbeda jauh.

"Haha, ini uler peliharaan gue Yon. Kenalin ni Zero"

Ular itu mendesis pada Yonat. Berbeda pemahaman dengan Dey, Yonat melihat hal itu sebagai ancaman pada keselamatan dirinya sendiri. Padahal kita tahu, Zero hanya ingin berteman dengannya.

"Sini ih, kenalan ama Zero !"

"DHEA JANGAN ! GUE TAKUT ! DHEAAAAAAAA !!"

"Siniii Zero baik tauu"

Keduanya berkejaran di dalam rumah layaknya pemain utama dalam sebuah drama. Sayangnya, karakter utama kita disini berlari bukan untuk melakukan adegan mesra, melainkan untuk menyelamatkan dirinya dari ular.

***

"Chika"

"Hm ? Kenapa lla ?"

"Waktu pertama lu bilang mau nemuin Yonat, gue kira lu udah tau dia dimana."

"Oke terus ?"

"KALO KAYA GINI NAMANYA KITA MASIH NYARI WOI BUKAN NEMUIN"

Olla tak bisa menahan rasa kesalnya. Waktu menunjukkan pukul 9 malam, dan ini kesekian kalinya ia keluar bersama Chika untuk mencari pacarnya yang hilang itu.

Bukan setengah hati, tapi rasanya mencari seperti ini sangat tidak efektif dan hanya membuang waktu serta energi mereka.

"Ya namanya juga usaha lla, semangat dong"

"Ah elah kalo kaya gini mendingan gue tidur di rumah jir"

"Tenang, gue hari ini ada feeling kita bakal dapet sesuatu."

Olla kembali menghela nafas, entah mengapa feeling yang dimiliki temannya itu tak cukup untuk meyakinkan dirinya. Chika bukan seorang yang biasanya mengandalkan feeling, semoga saja kali ini feelingnya sungguh tepat.

Keduanya membelah dingin malam, mengendarai motor hitam milik Chika. Malam ini bulan tampak benderang, tak ada awan malam yang menghalanginya.

Insting Chika membawanya ke taman di daerah Tebet, ia mendapat informasi tempat ini sering dipakai berkumpul bagi beberapa anggota geng motor.

Walau membahayakan, jujur Chika memiliki nyali cukup besar. Rasa cintanya lebih besar untuk mencari sang kekasih dibanding rasa takutnya pada malam. Lagipula kehadiran Olla sudah cukup untuk menambah rasa percaya dirinya.

Chika dan Olla duduk di sebuah warung yang berjualan minum di sisi taman itu. Pendekatan yang paling mudah adalah dengan bertanya pada warga lokal yang sudah sehari-hari menjadi saksi kejadian tempat ini.

"Oh iya neng, kalo malem teh suka jadi tempat kumpul buat geng motor. Ada itu satu namanya agak susah apa tu Tursdey Caild ?"

"Thursday Child ?"

"Nah eta"

Baru saja disebut, terdengar suara motor bergumul dari luar. Chika mengintip dari balik tenda warung itu, tampak sekelompok orang dengan jas dan coat berwarna putih. Namun ada satu sosok yang membuat Chika lebih terkejut.

"I-Itu..."

Olla ikut menengok ke arah mereka, namun di matanya tak ada sosok yang ia kenal. Wajar saja, Olla tak pernah melihat penyebab kehancuran relasi Chika dan Yonat.

"Ardian, ngapain dia di sini ?"

"Siapa chik ?"

Chika belum menceritakan Ardian dan kejadian kelam itu pada Olla atau siapapun di sekolah. Mereka hanya tau Chika dan Yonat sedang bertengkar. Lagipula, sekarang bukan waktunya untuk membahas ini.

Ardian tampak tertawa dan bercengkrama dengan sekelompok orang yang mengenakan outer putih itu. Namun selang beberapa menit, Ardi dan salah satu orang dari kelompok itu memisahkan diri.

"Lla ayok"

"Hah eh, tar dulu-"

"Neng jangan deh"

Perkataan sang penjual mengalihkan perhatian kedua siswi muda itu. Ia tampak gelisah, sepertinya ia benar-benar tak ingin kedua siswi itu terlibat.

"Kenapa emang pak ?"

"Itu.."

Belum sempat menjawab, dua orang dengan outer putih masuk ke tenda warung itu. Keduanya duduk sembari menyalakan rokok pada genggaman tangan mereka.

"Eh maaf ya neng, kita ngerokok"

"Oh iya gapapa pak"

Terlepas dari penampilan mereka yang seram, keduanya memiliki etika yang cukup baik. Pada lengan coat mereka tertulis "Thursday Child", sebuah tanda yang cukup untuk mengetahui asal geng mereka.

Kehadiran mereka hanya menghalangi penggalian informasi yang Chika ingin lakukan. Ia sudah berniat untuk pergi dan mencari informasi lewat orang lain, namun lagi-lagi satu nama membuatnya tetap duduk.

"Eh lu udah denger tentang Yonat ? Dia balik lagi cuy"

"Yonat yang One Man Army itu ? Anjir..."

Nama Yonat memang masih sering menjadi pembicaraan walau sosoknya sempat hilang selama setahun. Nama yang mampu membuat merinding para petarung jalanan yang ada di ibukota itu.

Olla melirik ke Chika, ia ingin memastikan bahwa apa yang ia dengar ini memang benar. Bagi Olla, hal ini sesuatu yang baru. Ia sendiri tahu bahwa Yonat sempat terlibat dalam hal seperti ini, namun dengan istilah itu entah mengapa image Yonat menjadi begitu mengerikan baginya.

"Bos Kai gak bakal suka ni..."

"Mana mereka dulu selisih lagi..."

"Napa dah ?"

"Tau, emang kagak akur aja dah kayanya"

"Orang kalo sama-sama punya power gitu kali ye ? Untung kite damai-damai aje"

"Damai bapak lu, aliran geng kita udah mulai ngarah ke sisi bunuh-bunuhan anjir !"

Seketika mereka melihat ke arah Chika dan Olla yang masih menyimak pembicaraan itu. Ya memang pembicaraan mereka bukan untuk khalayak umum, apalagi untuk dua gadis muda itu. Mendengar kata bunuh membunuh saja rasanya sudah cukup untuk membuat mereka bergetar.

"Ngomong-ngomong, ini neng berdua dari tadi kan nyimak ya. Kalian siapa ?"

Pupil Chika mengecil, ia tak menyangka akan ditanya seperti itu. Otaknya berusaha untuk mencari jawaban yang tepat untuk menjawabnya tanpa menyebabkan kecurigaan. Entah apa yang akan terjadi jika ia memberikan jawaban yang tidak sesuai.

"Jujur ini bukan tempat yang orang umum tau, kalian ke sini gegara perkara tarung jalanan kan ? Ato kalian lagi nyamar buat ngebongkar bisnis temen kami...?"

Salah satu dari orang itu berdiri dan mendekati kedua siswi itu. Chika perlahan merogoh kantongnya, disana ada senjata ilegal yang cukup untuk merobohkan orang ini. Namun jemarinya yang masih bergetar justru mempersulit proses itu.

"Mereka keponakan saya a"

Sebut penjual warung tiba-tiba, membuat suasana yang mencekik kedua siswi itu sedikit mereda. Ia sadar kedua siswi ini tak tahu menahu mengenai lokasi ini, maklum ia sudah terbiasa membedakan orang asing dan orang lokal yang biasa berkumpul di sini.

"Oh iya ? Belom dikenalin ni, emang siapa namanya a ?"

"Yang pake jaket kulit itu namanya Ica, yang satunya Lola."

Keduanya mengangguk dan menyapa pria tadi dengan hangat. Tentunya itu ekspresi yang dipaksakan, terutama dengan tangan mereka yang masih gemetar.

"Mereka dateng ngecek saya, soalnya kemaren saya kan sakit tuh. Bela-belain ke sini padahal mah di rumah juga gapapa."

"A-ahaha, takutnya nanti ke rumah gak ada orang. Tau sendiri akang suka maksain diri."

Olla berusaha ikut dalam permainan ini, meyakinkan kedua orang dari Thursday Child itu untuk percaya. Namun belum sempat bertanya lebih lanjut, pria itu kembali ke sisi temannya untuk kembali menikmati secangkir kopi.

"Balik dulu gih, udah malem gini. Akang gapapa kok. Besok-besok cek di rumah aja ya."

Ibarat memiliki kemampuan membaca pikiran, akang warung itu paham kendala yang dialami Chika dan Olla. Untuk keluar dari kondisi ini, ia rasa mengusir mereka secara halus akan menjadi solusi terbaik. Keduanya paham dengan kode yang disampaikan.

"I-Iya, makasi kang. Sehat-sehat ya, jangan maksain diri terus."

Mereka tanpa pikir panjang berdiri dan segera pergi. Motor hitam Chika segera melaju secepat mungkin dari lokasi itu. Menghilang dalam malam.

Rasanya mereka baru saja menghindari petaka

-------x--------

Words count : 2152 words

Makasii yak udah baca chapter ini, jan lupa pencet tombol bintang di pojok kiri bawah biar nyala-nyala hehe ✌

Anjir ini mah bukan malem lagi ye tapi subuh 😂🙏

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 32.1K 60
In which Daniel Ricciardo accidentally adds a stranger into his F1 group chat instead of Carlos Sainz.
127K 2.3K 47
Alexis Piastri is Oscar Piastri's older sister. After feeling unfulfilled with her life, Alexis decides to drop everything to take a gap year and joi...
791K 47.6K 120
Y/N L/N is an enigma. An outgoing, cheerful, smiley teenage boy. Happy, sociable, excitable. A hidden gem in the rough of Japan's younger soccer pl...
1.5M 26.1K 53
What if Aaron Warner's sunshine daughter fell for Kenji Kishimoto's grumpy son? - This fanfic takes place almost 20 years after Believe me. Aaron and...