Cita Cinta Caraka

Da beliawritingmarathon

84.9K 22.3K 23.5K

Caraka Mahawira, seorang manajer band Aspire yang super sibuk sekaligus teman sejak kecil Janitra. Sebuah tak... Altro

Chapter 1
CHAPTER 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
END
[INFO] Open Pre-Order!
PROLOG (VERSI NOVEL)
H-1 PRE-ORDER, siap-siap war!!!

Chapter 6

2.6K 864 1K
Da beliawritingmarathon

Udah chapter 6 aja nih,

Kalian baca di pukul berapa? Coba absen di sini!

Selamat membaca!

—-

Sejak pagi, Anindita sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kampus dengan penuh semangat. Persis seperti anak TK yang tak sabaran bertemu teman-temannya. "Selamat pagi, Teh." Anindita menyapa Teh Yati yang sedang menyiapkan sarapan. "Hmm ... aromanya enak banget, masak apa hari ini Teh?"

"Teteh bikin soto, nih."

Anindita membantu Teh Yati memindahkan kuah sop di panci besar ke dalam mangkuk berukuran sedang lalu meletakkan di meja makan. "Teh, emangnya Ibunya Caraka itu di mana?" tanyanya penasaran.

Teh Yati sejenak menghentikan kegiatannya dengan melirik Anin, lalu lirih dia menjawab. "Udah meninggal waktu Aa' usia 7 tahun, waktu itu karena melahirkan Eneng Ratih terkena infeksi postpartum."

"Infeksi postpartum?"

"Kalau nggak salah, karena ada bakteri masuk ke tubuhnya Ibu terus ujungnya infeksi ... aduh Teteh takut salah jelasin, Neng." Teh Yati terlihat berhati-hati sekali.

Anindita terdiam sejenak, berusaha mencerna informasi itu dalam kepalanya. "Kalau ayahnya?"

"Kerja di luar kota, pulang kalau akhir tahun saja atau kalau lebaran, Neng. Makanya ada Neng Anin di sini, Teteh senang pisan, akhirnya Neng Ratih ada temennya. Biasanya mah dia sendirian, apalagi kan Neng Ratih homeschooling sejak kelas 3 SD. Awalnya Neng Ratih di sekolah biasa sampai akhirnya suatu hari dia pulang sambil nangis, katanya dijahatin teman-temannya karena nggak bisa bicara, akhirnya Bapak teh mutusin supaya Neng Ratih sekolahnya di rumah aja. Ssst ... obrolannya dilanjutin nanti aja, ya. Ada Aa' udah bangun, tuh." Teh Yati beralih kembali fokus ke kegiatannya.

Kepala Anin menoleh dan menemukan Caraka sudah rapi, mengenakan kemeja berkerah, celana jins dan sneakers sambil menenteng tas ranselnya di punggung. "Selamat pagi!" Anin menyapa penuh semangat.

Caraka memandangnya aneh, seolah Anin berbicara dalam bahasa alien.

"Pagi! Dijawab, dong,"

"Hm."

"Kopinya, A'." Teh Yati menyuguhkan kopi Robusta di hadapan Caraka.

"Makasih, Teh. Kalau dibuatin sesuatu tuh bilang makasih, dong."

"Berisik lo." Caraka menyesap kopi dengan nikmat setelah sebelumnya mengendus aroma itu hingga memenuhi gelambir paru-parunya. "Ngomong-ngomong, mulai besok gue nggak bisa antar lo, jadi hari ini gue ajarin lo caranya naik angkutan umum ke kampus."

"Oke siap."

Anin melihat Caraka mengusap-usap perutnya dan bersendawa.

Caraka menikmati sarapannya sambil mengetik sesuatu di ponselnya yang tersambung secara otomatis ke pemutar suara di ruang tengah yang suaranya dapat terdengar hingga ke dapur. Lagu Hey Jude milik The Beatles mengalun. Soal selera musik, Caraka bisa dibilang jauh lebih menyukai musik jadul. Tampilannya saja yang up to date, tapi aslinya dia jadul banget. Meskipun terkadang mau tidak mau dia harus riset juga tentang lagu baru yang sedang hits untuk dinyanyikan Aspire. Anindita mendengarkan dengan serius. "Lagu apa sih? Koplo aja, dong. Kan kita harus mencintai budaya lokal?"

"Udah kayak hidup di zaman Orde Lama aja, lo."

Anin mengernyit—dia masih ingat materi Sejarah yang diucapkan oleh guru di sekolahnya mengenai orde lama, orde baru, reformasi, hingga era demokrasi. "Apa hubungannya musik sama orde lama?"

"Zaman orde lama dulu, tepatnya waktu Indonesia dipimpin sama Bung Karno, beliau anti banget tuh kalau ada masyarakat atau radio setel lagu The Beatles, bisa dicap imperialis dan nggak nasionalis. Kakek gue dulu anak band, cinta banget sama The Beatles, waktu itu tahun 1960-an, dia pernah jalan-jalan ke bioskop pake celana ala The Beatles ... eh ternyata ada polisi patroli, celana Kakek dimasukin bir lewat bagian bawah, kalau birnya nggak bisa masuk bakal digunting di tempat sampai sepaha karena dibilang celana jengki alias celana yang juga hits karena dipake sama The Beatles."

"Ya ampun sampe segitunya?"

Caraka mengangguk. "Pernah dengar Koes Plus Bersaudara?"

"Ehm-hm, Ibu sering nyanyi lagunya kalau lagi di perahu, yang gini kan bukan lautan ... hanya kolam susu ... kail dan jala cukup menghidupimu ... tiada badai tiada topan—"

"Oke cukup, mending lo makan aja daripada nyanyi."

"Iih, jangan jujur gitu dong." Anin tertawa ngakak. "Oke lanjutin ceritanya, kenapa sama Koes Plus?"

"Koes Plus pernah ditangkap perkara pernah tampil nyanyiin lagunya The Beatles."

"Serius?"

"Makanya lo beruntung bisa dengar masterpiece ini, tanpa harus dihantui bakal dipenjara atau dituduh nggak nasionalis."

"Bener juga." Anin mengangguk setuju. "Selain Koes Plus, apa lagi lagu favorit kamu?"

"The Tielmans Brothers."

"Siapa tuh? Aku baru dengar namanya. Delman? Mereka main musik sambil naik kuda. Aduhhh, sakit ih. Lama-lama aku pitak, nih." Anindita meringis begitu Caraka menyentil keningnya yang untungnya tertutupan poni. Jika tidak, mungkin sudah memar. Dasar tidak berkeprimanusiaan.

"Mereka tuh legenda, pencipta genre rock n roll pertama di dunia dan mereka asal Indonesia. Mereka udah ada, jauh sebelum The Beatles tercipta bahkan kalau liat cara manggung itu sama persis kayak The Beatles."

"Keren bangeeet." Anindita berseru heboh sambil bertepuk tangan. "Kamu juga keren bisa jadi manajer band kampus."

"Kok tahu?"

"Iya, kemarin wajah kamu tampil jadi materi pengenalan kampus. Katanya mahasiswa kebanggaan fakultas. Keren banget, sih. Bangga, deh. Pokoknya te o pe be ge te." Anindita mengacungkan jempolnya.

Caraka sudah sering mendengar pujian, tapi entah kenapa kali itu dia tersenyum lebar. Pujian yang disampaikan Anindita terdengar tulus tanpa pretensi apa-apa atau maksud tersembunyi dengan memuji.

"Keren-keren gini tapi kasian euy," Teh Yati menimpali, "kasian masih jomblo." Mendengar celetukan Teh Yati yang bersamaan dengan Caraka menyesap kopinya, alhasil cowok itu tersedak.

"Masa sih, Teh? Kasian cup-cup-cup." Anin mempuk-puk kepala Caraka dengan ekspresi konyol. "Mau bantu dicariin nggak nih?"

"Udah buruan berangkat yok, mau gue tinggal lo?"

*****

Anin tidak berangkat dengan Caraka, cowok itu menurunkannya di halte dan memberitahu rute agar Anin sampai ke kampus. Untungnya dia tidak terlambat, dia datang tepat ketika mahasiswa disuruh untuk berbaris agar bersiap memasuki auditorium. Anindita sempat menangkap Janitra, rupanya dia sudah datang dan menatapnya penuh kedengkian. Rasanya ingin sekali Anin bilang, "jangan marah-marah, nanti cepat tua, lho!" tapi tentu saja itu tidak mungkin dia lakukan. Itu hanya akan membuat Janitra semakin marah.

"Buruan dong! Lama banget, sih!" Janitra berteriak tepat di depan telinganya sampai telinga Anin rasanya berdenging.

Dasar nenek lampir!

Semua mahasiswa sudah diajak duduk di kursi masing-masing. Hari itu adalah Masa Orientasi Universitas terakhir. Jadi tidak banyak yang mereka lakukan, para mahasiswa hanya dipersilakan untuk berdiri dan berani memberikan kesan serta pesan ke para kakak kelas mereka. Lalu tiba di waktu jam makan siang, satu anak tiba-tiba berdiri. Wajahnya tampak panik dan ekspresinya tergesa-gesa. "Nyari apa?" Janitra yang lebih dulu menangkap pemandangan itu.

"Itu Kak ... anu ..."

"Apaan?"

"Dompet saya."

"Kenapa dompet kamu?"

"Hilang," dia menjawab ragu-ragu.

"Kok bisa? Terakhir kamu taruh di mana?"

"Di tas saya, Kak."

"Duduk semuanya. Jangan ada yang keluar!" Janitra berteriak. Mahasiswa yang semula ingin makan siang terpaksa tertahan di dalam. "Tutup pintunya, Tin! Benar terakhir kamu taruh di tas?" Janitra kembali mengonfrontasi.

Sherly—si anak yang kehilangan dompet itu mengangguk. Dia ingat kali terakhir meletakkan dompetnya adalah di tas bagian depan. Tidak mungkin kan tiba-tiba hilang atau tetringgal. "Kalau gitu, Rian, bantu geledah tas anak-anak." Janitra langsung mengultimatum yang membuat anak-anak dalam kelas berseru gaduh. "Diam!"

"Tapi Kak, kami bukan pencuri—" salah satu anak terlihat tidak terima.

"Kamu mungkin bukan pencuri, tapi belum tentu temanmu yang lain. Taruh tas kalian di atas meja, jangan ada yang bergerak." Kemudian seluruh kakak kelas bergerak mencari dari satu tas ke tas lain.

"Dompetnya warna apa?" tanya Janitra lagi.

"Hm ... warna ungu, Kak, ada tulisan I Love BTS di depannya."

Satu kelas tertawa mendengar itu yang membuat Janitra meradang. "Diam!"

Tiba giliran tas milik Anindita yang digeledah, tahu-tahu Tina mengangkat sebuah dompet yang sesuai dengan deskripsi dari Sherly. "Ini bukan dompetnya?"

Pandangan semua orang tertuju ke Anindita, sementara Anindita terenyak. Tidak menyangka bahwa dompet itu ada dalam tasnya.

"Iya, Kak, itu dompet saya."

"Waah gila ada pencuri."

"Mukanya sih polos, nggak tahunya pencuri."

"Untung aja ketahuan ya..." kasak-kusuk, bisik-bisik, tatapan menuduh menyerbu Anindita sementara gadis itu menatap dengan bingung.

"Saya—saya nggak tahu kok ada di tas saya, Kak ... sumpah demi Tuhan, saya nggak maling."

"Jadi maksud lo, dompetnya jalan sendiri gitu?" Janitra berteriak, dia mendekati Anindita. "Wah gimana nih, ada maling di kelas ini." Tangan Anindita terasa kesemutan. Dia terpojok, pandangan penuh intimidasi kembali tertuju ke arahnya. Tatapan yang sama persis terarah ketika segerombolan anak menatapnya dan mengatainya sebagai anak pelakor. Desas-desus keramaian yang entah kenapa terasa seperti denging menyakitkan menusuk telinga.

"Aku nggak ngambil dompet itu. Aku juga nggak tahu kenapa ada di tas aku!" Anindita kembali membela diri. "Sumpah demi Tuhan ... aku nggak tahu." Suara Anindita sudah bergetar.

"Nggak usah bawa-bawa Tuhan, Dek." Kak Tina yang biasanya membela adik-adiknya kini tidak berpihak di sisi Anindita. Dia mengambil dompet dari meja Anindita dan mengembalikan ke Sherly. "Sekarang sih dompet, nggak tahu ke depannya bakal ngambil apa."

"Miskin sih boleh, asal jangan serakah. Ngambil sesuatu yang bukan punya lo, otak lo di mana? Bikin malu aja lo! Tega-teganya ya lo makan punya teman seperjuangan lo sendiri." Janitra berteriak sampai gendang telinga Anindita seolah ingin pecah. "Keluar lo sekarang dari kelas, bawa tas lo." Anindita ditarik keluar menuju ke ruang sekretariat, menjauh dari anak-anak yang seketika berubah berisik seperti dengung nyamuk.

"Kita apain nih anak, Tra?" tanya Tina sembari menatap Anindita jengkel, "lo tuh ya ... gue kira polos, nggak tahunya maling. Bikin malu aja lo. Nih berita pasti nyebar ke fakultas lain, percuma kita capek-capek ngadain ospek supaya angkatan ini tuh solidaritasnya ada. Lo ngerusak semuanya."

Janitra memandang Anindita dengan tangan terlipat di depan dada. "Kita nggak perlu kasih hukuman."

"Maksud lo, Tra?"

"Iya ... kita nggak usah repot-repot kasih hukuman, biar nanti sanksi sosial yang jalan." Mendengar itu, Anindita mendongak, menatap mata kakaknya. Hari itu dia menyadari masa-masa kuliahnya yang dia harap menyenangkan, mungkin akan berubah seperti halnya pengalaman dia SD dulu. Terasingkan dan tidak punya teman.

****

Hanya butuh waktu setengah hari, berita mengenai seorang maba di Fakultas Ekonomi yang mencuri dompet milik teman seangkatannya sudah menyebar. Bahkan berita itu sudah sampai di telinga Caraka.

Tepat pukul setengah delapan malam, latihan band selesai lebih awal. Caraka pamit pulang. Dia mengendarai kendaraan dengan pikiran kusut. Kalau kepalanya transparan, mungkin terlihat neuron-nya saling bertabrakan dan membentuk pikiran abstrak yang sulit diuraikan. Entah kenapa perkataan Janitra begitu mengusiknya. Lelaki itu memarkirkan mobil di garasi dan bergegas masuk rumah. Rupanya Teh Yati masih belum pulang dan sedang membuat adonan kue. "Belum balik, Teh?"

"Iya, Eneng Ratih minta dibuatin brownies."

Caraka mengangguk. "Ratih mana?"

"Di kamar, main sama Neng Anin."

Caraka mengernyit. "Anin masuk kamar Ratih?"

"Iya, kumaha atuh A?"

Kontan saja Caraka berjalan cepat menuju ke kamar Ratih, diketuknya pintu kamar adik perempuannya itu. Pintu terbuka. Kamarnya begitu berantakan. Tidak seperti biasanya. Ada banyak baju dikeluarkan dan diletakkan di atas kasur. "Baju kamu kenapa dikeluarin?" tanya Caraka heran.

"Mau aku kasih ke Kak Anin, soalnya banyak baju aku yang nggak aku pake."

Pandangan Caraka langsung berubah pandang ke Anindita yang memakai baju milik adiknya. "Kenapa lo pake baju Ratih?"

Pertanyaan Caraka terdengar mengintimidasi dan penuh kecurigaan yang ditangkap samar oleh Anindita. "Ini Ratih yang kasih, katanya dia udah nggak suka.

"Jangan sembarangan masuk kamar Ratih." Dari ekspresinya, Anindita bisa membaca kalau itu nada penuh peringatan. Nada yang sama yang pernah Anindita dengar dari salah satu ibu dari teman sekelasnya, Rini, padahal mereka berteman dekat. Tiba-tiba keesokan harinya ibu Rini melabraknya dan bilang, "Jangan berteman dengan anak saya, saya nggak mau anak saya berteman sama anak dari wanita nggak benar." Anindita yang masih kelas 1 SD pulang ke rumah dengan berlinangan air mata, bertanya ke ibunya apa itu wanita nggak benar, tapi dia tidak sedih karena itu.

Dia sedih karena semenjak ibunya Rini bilang begitu padanya, Rini jadi tidak pernah bermain lagi. Dia menjauhi Anin.

Kali ini perasaannya seperti de' javu.

A/N:

Jeng jeng, apa Caraka sudah ada pihak Janitra?

Silakan tunggu di bab berikutnya. Makasih ya udah setia baca cerita ini, kalau kalian baca jangan lupa share di Instastory terus tag ke akun aku, @eriscafebriani, @carakamahawira dan @citacintacaraka

Boleh deh spam jari Metal Ala Caraka di sini

See you on the next part, Araaa!

Continua a leggere

Ti piacerĂ  anche

2.4M 249K 60
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
3.7M 175K 64
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
MARSELANA Da kiaa

Teen Fiction

957K 52.2K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
982K 94.9K 52
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...