Cita Cinta Caraka

Por beliawritingmarathon

85.1K 22.4K 23.5K

Caraka Mahawira, seorang manajer band Aspire yang super sibuk sekaligus teman sejak kecil Janitra. Sebuah tak... Más

Chapter 1
CHAPTER 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
END
[INFO] Open Pre-Order!
PROLOG (VERSI NOVEL)
H-1 PRE-ORDER, siap-siap war!!!

Chapter 5

2.9K 922 1K
Por beliawritingmarathon


Kiw, ketemu lagi sama Caraka Mahawira di sini.

Coba absen dong kalian baca ceritanya jam berapa?

Spam jari metal ala Caraka dulu dong sebelum baca,

Happy reading!

Janitra Naladipa sama sekali tidak menyangka ketika dia masuk kelas rupanya melihat sosok yang ingin sekali dia musnahkan duduk di antara puluhan mahasiswa baru. Rupanya Anindita masih di sana, padahal Janitra mengira dia sudah pulang, kembali ke kampungnya bersama ibunya, si penghancur rumah tangga orang itu. Perhatian Janitra tertuju dari atas kepala ke ujung kaki, melihat betapa noraknya penampilan Anindita. Sepatunya paling jelek di antara yang lain. Bahkan Janitra bisa melihat ada bercak kepinding di seragam Anin. Janitra juga tidak mengerti dari sedemikian banyaknya universitas di Jakarta, kenapa ayahnya memilih untuk menguliahkan Anin di tempat yang sama dengannya.

Apa ayahnya itu mau membandingkan Anin dengannya?

Apa ayahnya butam kalau dari segala hal tentu saja Janitra jauh di atas segalanya daripada Anin.

Sejak tadi Anin menunduk, terlihat sekali bahwa dia menghindar untuk menatapnya. Bagus. Itu tandanya dia sadar posisi. Janitra tidak akan membiarkan kehidupan seorang Anindita baik-baik saja selama di Jakarta. Dia akan balas dendam. Sebagaimana ibunya Anin telah menghancurkan kehidupan keluarganya. Dia akan membalas malam-malam di mana dia mengintip ibunya menangis hanya karena perlakuan dari ibu Anindita yang dengan sengaja merebut ayahnya.

Janitra melihat Anindita izin ke toilet. Diam-diam dia mengikuti, menunggu di wastafel sementara Anindita masuk ke bilik. Begitu Anin keluar dari balik pintu, terkejutlah gadis itu menemukan Janitra sudah ada di depannya. "Gue kira lo milih balik ke kampung, rupanya nyali lo oke juga," sahutnya sembari menatap Anin tajam. Tatapannya mengintimidasi sampai Anin mundur beberapa langkah hingga tubuhnya berhadapan dengan tembok.

"H ... hai, Kak."

"Bagus-bagus lo di kampung, kenapa justru kepikiran ke Jakarta? Belum puas ya nyokap lo ngehancurin keluarga gue? Lo mau ngerebut perhatian Ayah?"

Anindita menggeleng. "Ayah yang nyuruh aku ke Jakarta."

"Nyokap lo ngerencanain sesuatu, ya? Dia mau nguasain harta Ayah, kan? Oh iya dong, karena misi sebelumnya gagal. Dia mau nikah sama Ayah dengan harapan bisa jadi istri orang kaya. Ternyata usaha Ayah bangkrut. Beda istri emang beda rezeki, ya. Nyokap lo sama lo itu harusnya sadar kalian semua pembawa sial. Terus waktu Ayah balik lagi ke keluarga lamanya, berusaha ngerintis lagi dari awal, usahanya sukses lagi, lo datang. Otak lo tuh licik ya nggak sepolos wajah lo." Janita mendorong kening Anin dengan telunjuknya.

"Nggak, aku sama Ibu nggak ngerencanain apa-apa. Aku cuma mau kuliah dengan baik di sini, terus pulang ke kampung. Lagipula dia juga ayah aku, masih kewajiban Ayah kan buat nyekolahin aku."

"Ooh gitu, udah pintar ngomong ya? Siapa yang ngajarin lo ngomong begitu? Nyokap lo?"

"Bertahun-tahun aku dan Ibu nggak nuntut apa-apa, Ibu juga udah terima nasibnya sebagai istri kedua. Terus, kalau sekarang Ibu meminta Ayah buat memenuhi kewajiban aku, itu salah?"

"Salah."

"Lagipula semua kebutuhan Kakak udah terpenuhi, kan? Apa salahnya kalau berbagi sedikit ke aku? Dari kecil Kakak hidup nggak kekurangan apa pun dari segi materi."

"Lo—" Janitra merengkuh dagu Anindita, mencengkeram rahangnya keras sampai pipi Anindita terasa nyeri.

"Permisi, Kak." Sepertinya hari itu Tuhan mengirimkan pertolongan melalui seseorang yang masuk ke dalam toilet dan mengurungkan keinginan Janitra untuk menghabisi Anindita detik itu juga. Anindita mempergunakan kesempatan itu dengan melarikan diri, kembali ke auditorium sebelum dia berubah jadi ayam geprek. Persis seperti yang diucapkan oleh Caraka.

*****

"Lari ... ayo lari. Lembek banget sih!" teriakan Janitra menggema dari belakang membuat para maba pontang-panting menyamakan ritmenya. "WOY, GUE BILANG LARI YA LARI. MALAH JALAN SANTAI!" Anin merasa jantungnya seperti melorot ke perut begitu mendengar suara Janitra tepat di sebelahnya.

"I ... iya Kak! Siap!" Anin berlari sekuat tenaga. Mereka dikumpulkan di sebuah lapangan, ada beberapa Kakak Tingkat lainnya yang sudah berkumpul di sana. Menatap mereka dengan tatapan beringas seperti binatang buas siap menerkam mangsa. Mangsanya adalah adik tingkat di hadapan mereka.

"Kamu!" Janitra berhenti di sebelah Anin. "Tali pinggang kamu mana?"

Anin baru ingat kalau dia lupa memakai tali pinggang.

"Mana?"

"Lupa, Kak."

"LUPA? KAMU BILANG LUPA?" Janitra mengelilingnya. "Enak ya bilangnya lupa! Tata tertibnya nggak dibaca? Buta lo? Sekarang juga lari keliling lapangan 15x."

"Jan," seorang temannya terlihat tidak setuju.

"Kenapa? Mau ditambah? Oke, jadi lo keliling lapangan 20x! Sekarang!" Janitra mendorong Anin menjauh dari barisan sampai tubuh mungil gadis itu nyaris saja terhuyung jatuh kalau kakinya tidak menapak ke depan untuk mencari keseimbangan. "Buruan!" Mendengar teriakan Janitra menggema, Anin kontan terhuyung-huyung langsung berlari. Sesuai dengan apa yang diperintahkan; 20 x putaran.

Selama berlari, Anindita merasa jantungnya seperti mau meledak. Matahari terasa begitu terik. Dia berhenti sejenak untuk menyelaraskan ritme jantungnya, tapi teriakan Janitra kembali menggema dan memaksa Anin terus berlari tanpa henti. Akhirnya setelah terengah-engah, Anin berhasil menyelesaikan hukumannya. Gadis itu berniat duduk, tapi Janitra memergokinya. "Siapa yang nyuruh lo duduk? Sana, masuk ke barisan. Asyik-asyik banget lo duduk sementara yang lain berdiri!"

Kaki Anindita terasa keram. Urat-urat ototnya seolah saling beradu dan menekan, tapi dia sadar kalau dia bilang, yang ada Janitra akan semakin marah. Dia hanya memancing singa untuk menerkamnya bulat-bulat. Jadi gadis itu memilih untuk tetap berdiri sambil menggigit bibir, menahan kakinya yang terasa sakit. Saking sakitnya, bahkan ketika ada acara Club Exhibition, Anindita memilih untuk istirahat saja di kelas. Kakinya sudah tidak kuat untuk berjalan lebih jauh lagi.

****

Suasana kantin di Fakultas Ekonomi di saat makan siang terlihat ramai, Janitra memutar bola matanya untuk mencari kursi dan akhirnya menemukan satu-satunya kursi yang kosong adalah kursi milik Caraka. Janitra menghampirinya. "Sendirian aja? Gue sama teman-teman gue duduk sini ya, eeeh sini woy!" Janitra melambaikan tangan ke teman-temannya, tanpa meminta persetujuan Caraka apakah dia setuju atau tidak. Tipikal Janitra, untungnya Caraka sudah memahami di luar kepala.

Teman-temannya terlihat canggung. "Nggak apa-apa, nih?" tanya Tina sembari melirik Caraka dengan kikuk.

"Yaelah, nggak apa. Nggak ada kursi juga, kan, tenang Caraka jinak kok! Nggak apa, kan, Ka?"

Caraka mengangguk pelan, teman-temannya yang lain bergegas duduk. Kapan lagi mereka bisa seduduk dengan Caraka. Di kampus, Caraka itu tipe yang untouchable, orang-orang segan untuk dekat-dekat. Pertama, mereka bingung harus membahas topik apa. Kedua, mereka takut mengganggu. Di antara segudang kesibukan Caraka, waktu istirahat pasti sangat dia butuhkan.

Alhasil para anak di kampus memilih memandangi dari jauh daripada mengajaknya mengobrol. Hanya Janitra, satu-satunya anak yang bisa berteman dekat dengan Caraka, selain para personil Aspire tentunya. Itu pun karena memang mereka sudah dekat sejak kecil. Ditambah lagi, Janitra tak kalah pintar dengan Caraka, mereka selevel dan sekubu.

"Eh tuh anak yang tadi kamu suruh lari 20 putaran kasian juga lho, kecapekan banget kayaknya! Sampe nggak ikut Club Exhibition dia tadi."

"Oooh si Anindita? Biarin aja, lemah banget. Nggak bakal kepake kalau mentalnya lemah gitu!"

Caraka menoleh begitu mendengar Janitra menyebut nama Anindita. Janitra menyadari Caraka menatapnya dan memilih untuk tidak mengindahkan arti tatapan itu.

"Tapi sumpah ya, kampungan banget tuh anak gayanya. Norak!"

"Asli! Orang macam mana yang sampe sekarang masih tahan pake HP Samsung yang layarnya udah butek?"

"Gembel kali." Janitra tertawa terbahak-bahak.

"Tra, mana ada gembel yang kuliah di Harnus."

"Ada aja sih kalau dapat beasiswa," tambah yang lain.

"Malah bau parfumnya norak! Kayak parfum lima ribuan," seru lainnya.

Caraka berdiri. "Eh, Ka, mau ke mana?" Janitra menahannya.

"Mau ke studio latihan," balasnya dingin sembari menatap teman-temannya Janitra dengan tatapan tidak suka yang kontan membuat mereka semua terdiam tanpa suara.

Lelaki berambut gondrong itu memakai tas ranselnya sembari berjalan keluar dari kantin, di perjalanan, dia menemukan Anindita. Gadis itu duduk sendirian di kursi lorong sambil menikmati sebungkus roti. Sementara para maba lainnya berkumpul di kantin, di taman, bergerombol, Anindita justru seperti bebek yang terpisah dari barisan. Bebek yang sengaja dipisahkan karena tidak sesuai standar.

Yang tidak Caraka tahu; Anindita memang tidak makan ke kantin. Bukan karena tidak mau, tapi karena uangnya terlalu sayang dipakai membeli makanan yang kalau di kampung seharga uang makannya selama tiga hari.

****

"Tra, kemarin gue nggak sempat tunjukin pakaian yang bakal dipake sama anak-anak Aspire. Bisa ketemuan sekarang? Di resto Yuto, ya. Jam 8 gue di sana."

Begitu chat yang masuk di ponsel Janitra satu jam lalu dan kini Janitra sudah ada di sana. Tak lama dia menemukan sosok yang ditunggunya muncul juga. "Lama banget lo, nggak biasanya lo telat."

"Iya sori, macet tadi."

Janitra lantas menge-slide layer ponselnya. Menunjukkan beberapa katalog terbaru dari clothing line-nya, D'eye. "Ada beberapa yang baru, gue kirim fotonya ke ponsel lo. Tahun ini ada tema-nya nggak, sih?"

"Kalau gue nggak salah tangkap info terbarunya, temanya bebas tahun ini sih. Pake varsity juga oke. Kaos juga oke. Ini bagus, sih." Caraka terlihat suka pada beberapa desain Janitra.

"Ini emang tahun keberuntungan gue, momennya pas. Ini varsity koleksi terbaru, bakal meledak kalau keluar setelah dipake sama anak Aspire. Mereka gue jadiin foto katalog, boleh kan?"

"Endorse berarti, ya?" tawar Caraka yang dibalas Janitra dengan kepala terangguk. "Eh bentar lo mau pesan apa?" Janitra melambaikan tangan, memanggil pelayan.

"Jus sirsak aja satu."

"Tambah sirsak ya, Mbak, satu."

"Oke, ada lagi?"

"Itu aja." Janitra mengernyit melihat tatapan pelayan seolah flirting ke Caraka yang tentunya tidak cowok itu sadari karena sedang fokus pada ponselnya. Gadis berambut panjang itu mendekat, ikut memerhatikan ponsel Caraka sampai akhirnya terdistraksi melihat sebuah pemberitahuan muncul di bagian layar atas menunjukkan sebuah chat dari Anindita. "Anindita?" tanya Janitra bingung, "jangan bilang Anindita yang dimaksud itu Anindita si anak perek itu?"

Caraka mendongak, menyadari Janitra melihat ponselnya. "Dia di mana? Jangan bilang kalau Ayah nyuruh dia tinggal di rumah lo." Seperti ada radar yang memberitahu Janitra, dia menebak tepat sasaran. Melihat Caraka diam saja, Janitra tertawa sarkastis.

"Bokap gue tuh ya ... sekarang dia justru bawa-bawa lo ikut campur ke dalam masalah keluarga gue."

"Apa lo nggak terlalu keras ke dia?"

"Kesannya tuh emang gue yang jahat, ya, padahal sebetulnya yang korban itu gue. Anin sama ibunya nggak pernah tahu apa yang udah mereka bikin ke keluarga gue, Ka. Nyokapnya Anin itu cewek bejat. Waktu itu Ayah lagi ada kerjaan di luar kota, setelah menangin sebuah proyek, Ayah diajak sama rekanannya buat minum-minum buat perayaan. Nyokapnya Anin kerja di sana jadi bartender, dia kebetulan ngincer Ayah.

Dia pengin kaya dengan cara instan, ya dengan nikah sama orang kaya. Dia naruh obat tidur di minuman Ayah. Dia jebak Ayah buat tidur sama dia, dia hamil, dia maksa Ayah buat nikah ... mau nggak mau Ayah harus bertanggungjawab. Nyokapnya itu ngerusak dongeng wanita lain demi merangkai dongengnya sendiri."

Baru kali itu Caraka mendengarkan Janitra berterus terang dengan kisahnya yang kelam.

"Semenjak tahu kabar itu, keluarga gue udah nggak sama lagi. Setiap malamnya gue nggak pernah tidur nyenyak karena harus dengar Bunda sama Ayah berantem. Ayah ternyata nggak kuat, dia memilih buat pergi dari Bunda dan tinggal sama cewek genit itu, sampai akhirnya Ayah bangkrut, Ayah mohon ke Bunda buat dikasih kesempatan kedua dan memperbaiki semuanya. Bunda ngasih itu—tapi semuanya nggak sama lagi buat gue, Ka."

Janitra menatap Caraka. "Gue cuma mau bilang hati-hati ke lo. Kalau berpikir Anindita sebaik itu, lo salah. Dia sama kayak ibunya. Dia manipulatif. Mungkin target dia selanjutnya adalah menarik perhatian lo, supaya lo suka, apalagi waktu dia tahu lo kaya raya."

Bertahun-tahun Caraka mengenal Janitra, dia tahu bahwa ada banyak hal menyebalkan yang gadis itu perbuat. Namun, ada satu hal mustahil yang tidak akan gadis itu lakukan yaitu berbohong. Caraka bukan seseorang yang bodoh, dia sudah sering bertemu dengan berbagai tipe orang yang berkamuflase dengan tampang lugu. Apalagi dalam dunia bisnis, tapi pembohong yang menyamar dalam tubuh seorang gadis kampung yang selalu cerita, tampaknya belum.

"Lo dengar omongan gue, kan?" Janitra menyadari Caraka yang melamun.

"Ehm-hm."

"Jangan biarin dia sedekat itu sama Ratih, got it?"

Bersamaan dengan itu, jus sirsak pesanan Caraka datang. Dia mengaduk jusnya sambil menyeruput perlahan, ikut tenggelam bersama pikiran yang tiba-tiba menggumpal dalam kepala diikuti sejuta pertanyaan;

Apakah perkataan Janitra memang benar dan dapat dipercaya?

****

A/N:

Sooo, kamu ada di tim Anindita - Caraka atau Janitra - Caraka, niiiih?

Atau tim Caraka - Ara aja? wkwkwk.

Seguir leyendo

También te gustarán

502K 25.2K 73
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
402K 42.2K 19
*Spin off Kiblat Cinta. Disarankan untuk membaca cerita Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengetahui alur dan karakter tokoh di dalam cerita Muara Kibla...
6.5M 278K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
283K 11.7K 31
Menjadi seorang istri di usia muda yang masih di 18 tahun?itu tidak mudah. Seorang gadis harus menerima perjodohan dengan terpaksa karena desakan dar...