Alchemy of Souls 3 : Light in...

By itsaleeaaa

14.3K 1.3K 156

Kehidupan para penyihir Daeho after ending Alchemy of Souls 2 : Light and Shadow Cast : Jang Uk - Cho Yeong... More

Light in The Dark (Part I)
Light in The Dark (Part II)
Light in The Dark (Part III)
Light in The Dark (Part IV)
Light in The Dark (Part V)
Light in The Dark (Part VI)
Light in The Dark (Part VII)
Light in The Dark (Part VIII)
Light in The Dark (Part IX)

Epilog!

1K 67 4
By itsaleeaaa

Burung burung berterbangan dan menghilang
Awan kesepian melayang dengan santai
Kita tak pernah bosan memandang satu sama lain
Hanya gunung dan aku

~Li Po~

🌾

Siapapun percaya bahwa daun kecil yang jatuh pun akan menemui takdirnya, begitu pula manusia. Tapi tidak dengan bocah laki-laki berusia dua belas tahun yang saat ini sedang berada di puncak pegunungan Wuyuan. Takdirnya sudah ditentukan, bahkan sejak ia menghembuskan nafas pertamanya ke dunia.

Yang Wuyuan adalah guru ketujuhnya dalam memperoleh kekuatan sihir. Ia merupakan seorang penyihir tua bertubuh tinggi dan besar, rambut putihnya yang panjang menandakan ia benar-benar tidak peduli dengan penampilannya, begitu juga dengan kumis dan janggutnya yang bisa disisir. Orang-orang sering memanggilnya dengan sebutan Biksu Yang -padahal aslinya ia bukan biksu- karna pembawaannya yang tenang dan damai. Ia sangat mencintai alam dan hewan, dan menghabiskan penghujung hidupnya di pegunungan Wuyuan. Walau sekali-kali ia akan turun gunung untuk mengikuti Pertemuan Umum yang diadakan para penyihir Daeho.

Ini adalah hari kedua puluh Jang Uk berada di Gunung Wuyuan. Anak itu benar-benar berniat keras untuk mendapatkan kekuatan sihir. Wajar saja, ayahnya yang merupakan Gwanju Cheonbugwan merupakan penyihir terhebat di negara Daeho, hal ini membuatnya ingin mengikuti jejak sang ayah.

Dan selama dua puluh hari itu pula, ada banyak hal aneh yang sudah Jang Uk lakukan, seperti mengangkat air dari sungai dan membawanya ke atas gunung, untuk memenuhi sumur tua yang ada di kuil dengan alasan mempersiapkan tenaga dalam sebelum belajar sihir. Atau, menyalin kitab buatan Biksu Yang sebanyak 1000 kitab, dengan alasan menulis akan membuat seseorang lebih memahami isinya daripada menghafal. Dan sekarang, Jang Uk sedang menciptakan ratusan pedang dengan cara melebur, menempa, melapiskannya dengan besi, dan mengasahnya dengan teknik khusus yang diberikan oleh Biksu Yang. Saat bertanya tentang alasan kenapa ia harus membuat ratusan pedang, Biksu tua itu beralasan 'menciptakan pedang akan membuatnya paham inti dan kekuatan dari pedang tersebut'. Tapi apalah arti inti dan kekuatan pedang, jika ia tak bisa menggunakannya. Namun, Jang Uk merupakan anak yang baik. Ia tetap mengikuti arahan gurunya dengan penuh ketakdziman.

Setelah menghabiskan ratusan besi di kuil dan mengubahnya menjadi pedang panjang yang tajam, Jang Uk langsung pergi menemui gurunya.

"Seonsaengnim, aku sudah mengubah semua besi itu menjadi pedang. Kapan kita akan mulai belajar sihirnya?" tanya Jang Uk, binar-binar kegirangan muncul diwajah tampannya.

Biksu Yang yang sedang duduk bertapa langsung membuka matanya, terkejut. "Oh benarkah?..."

Ia berjalan keluar dari kuil dan pergi ketempat Jang Uk membuat pedang selama ini. Benar saja, ratusan pedang sudah tertata rapi dengan kualitas yang bagus. Persis seperti teknik yang ia ajarkan pada anak itu. Ini merupakan rekor tercepat yang pernah ia lihat. Seharusnya menciptakan pedang sebanyak besi yang ada di gudangnya bisa menghabiskan sekitar 30 hari. Tapi apa ini? Kenapa dalam 10 hari Jang Uk bisa menyelesaikannya.

Biksu Yang terpelongo, tak percaya.

"Seonsaengnim, kita akan berlatih sihir mulai sekarang kan?" tanya anak itu lagi, sebuah harapan muncul dalam hidupnya.

"Bahkan ikan pun sulit mengetahui nasibnya jika berada di pantai yang dangkal. Bersabarlah..." jawab Biksu Yang dengan tenang.

Sesaat, Jang Uk terdiam lumayan lama, hingga akhirnya

"Biksu Yang, apa kau akan menipuku juga, seperti guru-guru yang lain?"

Biksu Yang terkejut bukan main. Bagaimana bisa bocah kecil itu berterus terang seperti ini?! Membuatnya merasa bersalah karna telah mengelabui Jang Uk seperti yang diminta oleh Park Jin. Ya... Park Jin menyuruh Biksu Yang dan juga guru-guru sebelumnya untuk mengelabui Jang Uk, membuatnya jatuh dan tidak ingin belajar sihir, sehingga pada akhirnya ia akan menyerah sendiri.

"Biksu, jawab aku. Sejak awal kau memang tidak berniat mengajariku sihir kan?"

Lama Biksu Yang terdiam, hingga akhirnya ia bersuara dengan pelan, "Pergilah ke arah Timur, Jang Uk. Teruslah berjalan dan kau akan menemukan sebuah pondok kecil milik Tuan Baekdong."

Jang Uk tentu saja girang bukan main, "A-apa T-tuan Baekdong itu bisa membantuku?!"

Biksu Yang mengangguk pelan. Ia berjalan kembali ke kuil. Menyiapkan barang-barang Jang Uk dan beberapa makanan yang bisa dimakan anak itu selama di perjalanan. Jang Uk senang bukan main, akhirnya ia akan menemukan gurunya sendiri, dan belajar sihir.

Hari sudah mulai gelap dan Jang Uk tidak menemukan apapun kecuali hutan belantara. Bocah itu terus berjalan ke arah Timur seperti arahan gurunya dan berharap beberapa menit lagi pondok kecil itu kelihatan. Tapi nahas, bukannya sebuah rumah yang ditemui, ia malah berhadapan dengan seekor babi hutan. Binatang itu menatap lurus kearah Jang Uk seakan siap menerkamnya saat ini juga.

Jang Uk yang sadar dirinya sedang dalam bahaya saat ini langsung berlari sekencang mungkin. Ia terus berlari menelusuri hutan yang kini mulai dipenuhi oleh kabut putih. Beberapa ranting kayu menyentuh kulitnya, mengoyaknya kecil, tapi pria itu tak peduli.

Suara lolongan keras dari babi hutan membuatnya semakin panik. Binatang itu mengejarnya dengan sangat kencang. Dan anehnya, suara itu terdengar semakin dekat dan dekat, membuat jantung Jang Uk berdegup dengan kencang entah karna ia takut atau karna lelah. Pria itu melirik sekilas ke belakang, benar saja, hanya jarak 5 meter yang memisahkan mereka. Ternyata ada gunanya juga Biksu Yang menyuruhnya mengangkat air dari sungai ke gunung, hal itu membuat kakinya lebih kuat dan tak mudah lelah.

Tapi tentu saja, dengan langit yang mulai gelap, dan kabut yang berterbangan kemana mana membuat Jang Uk tidak bisa melihat dengan benar. Lelaki itu tersandung sesuatu, entah kayu atau batu, dan beberapa detik kemudian, tubuhnya tersungkur kedalam sesuatu.

Buggggg

"Awwww!!!" jeritnya kesakitan ketika tubuhnya menyentuh tanah dengan dedaunan kering yang mulai berterbangan menutupi tubuhnya. Kelihatannya ia terkena jebakan yang diciptakan oleh seseorang. Sebuah lubang yang memiliki kedalaman 3 meter, lumayan dalam.

"Ah, siapa sih yang membuat jebakan seperti ini." rintih Jang Uk kesakitan, tubuhnya benar-benar terasa seperti diremukkan oleh raksasa saat ini.

Namun, tiba tiba diluar sana Jang Uk mendengar suara angin keras menghantam sesuatu, menimbulkan raungan kesakitan, yang bocah itu yakini berasal dari babi hutan. Seseorang sudah membunuhnya, sepertinya.

'Syukurlah!' batinnya, meski ia tak tahu apa itu. Oh mungkinkah Tuan Baekdong? pikirnya kegirangan.

Jang Uk berdiri dengan perlahan, membersihkan sedikit kotoran dan dedaunan kering yang menempel di jubah abu-abunya, bersiap untuk menemui tuan atau siapapun yang telah menyelamatkannya. Namun matanya terbelalak saat ia melihat seseorang yang berdiri diatas sana. Bukan pria tua atau orang dewasa, melainkan seorang gadis yang mungkin seumuran dengannya?

"Mwoya, kukira aku akan makan enak malam ini." ucapnya kecewa sembari mengulurkan tali tebal ke arah Jang Uk.

Jang Uk meraih tali itu, salah satu kakinya ia sangkutkan ke tanah sedangkan satunya lagi ia jadikan pijakan dorongan dan dengan sedikit tarikan dari gadis diatas, tubuhnya langsung melayang melompat keluar.

Ia menatap sekilas gadis yang menyelamatkannya. Seorang gadis dengan bola mata yang indah. Bajunya yang berwarna merah kebiruan tampak lusuh dengan topi jeraminya. Wajahnya sedikit kotor, tapi itu tak menutup kecantikannya.

"Teman, maaf menghancurkan impianmu untuk makan enak malam ini. Dan terimakasih telah menyelamatkanku." ucap Jang Uk dengan sopan. Ia membungkukkan badannya pelan sebelum mengulurkan tangannya dengan tulus.

"Aku Jang Uk. Kau?"

"Darimana asalmu? dan apa yang kau lakukan disini?" tanya gadis itu, ketus.

Jang Uk menurunkan tangannya yang tak dapat balasan. "Ahhh, aku sedang mencari pondok Tuan Baekdong. Kata guruku, jika aku terus berjalan ke arah timur, aku akan bertemu dengannya."

"Aku sudah lama tinggal dihutan ini, dan tidak ada siapapun manusia disini selain aku. Kurasa kau ditipu." Gadis itu mengambil beberapa batang kayu yang panjang dan meletakkannya diatas lubang yang sengaja ia ciptakan. Lalu menutupinya dengan dedaunan kering hingga tampak seperti jalanan.

"Benarkah?! Tapi tidak mungkin Biksu Yang menipuku juga," Jang Uk kini terduduk dengan sedih. Ia sudah menghabiskan seluruh waktu dan tenaganya dengan harapan akan bertemu dengan Tuan Baekdong seperti yang diucapkan oleh Biksu Yang.

"Kelihatannya kau sering ditipu." balas gadis itu kejam.

Jang Uk hanya diam, bocah itu merenung, kenapa ia masih mempercayai gurunya, padahal sudah jelas guru-guru sebelumnya juga menipu dan mengelabuinya.

"Tenanglah, bukankah lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan selamanya?" ucap gadis itu lagi, kali ini nadanya lebih menenangkan daripada sebelumnya.

"Hah?!" Jang Uk mendongak, tak mengerti maksud gadis itu.

"Sudah hampir gelap. Tidak mungkin kau pulang malam ini. Ayo kita kerumahku saja."

Jang Uk bangkit dalam keadaan sedih melanda dirinya. Ia mengikuti langkah kaki gadis itu. Menelusuri hutan dan sungai, lalu hutan lagi. Perjalanan yang lumayan jauh membuatnya bertanya-tanya, apa mungkin gadis itu sedang berada didekatnya tadi?

"Jang Uk, apa kau bisa menangkap burung?" tanya gadis itu tiba tiba. Membuat Jang Uk gelagapan

"Hah? Apa?"

"Kelihatannya tidak..."

"A-aku..."

"Yasudahlah, masih ada buah loquat hasil panen kemarin. Sebaiknya kita makan itu saja."

"A-aku tidaak bisa menangkap burung,... Tapi, aku bisa membuat pedang." pamernya tiba-tiba, membuat gadis itu menatap Jang Uk penuh keheranan, sebelum akhirnya tertawa lepas.

"Kalau begitu, saat aku besar nanti, kau harus membuatkan aku pedang satu, ya!" ucap gadis itu masih tertawa.

Jang Uk kecil terpana dengan tawa gadis itu. Sangat indah dan memukau.

"Siapa namamu?" tanya Jang Uk, masih penasaran dengan nama gadis ini.

"Apa kau akan memanggilku dengan namaku?"

Jang Uk mengangguk cepat.

"Entahlah... Rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengar namaku disebut."

"Kalau begitu aku akan memanggil namamu mulai sekarang."

Gadis itu berhenti sejenak, menatap Jang Uk kedalam bola matanya. Apa ia benar-benar boleh menyebutkan namanya? Tapi ayah angkatnya melarang siapapun tahu nama gadis itu.

"Namaku Yeong, margaku Cho. Berjanjilah, kau tak boleh memberitahu namaku pada siapapun, ya?!" gadis itu mengangkat jari kelingkingnya.

Jang Uk mengangguk setuju, mengikat kelingkingnya pada wanita itu. "Tapi, kenapa? Kenapa oranglain tidak boleh tahu namamu?"

"Tidak tahu,"

Cho Yeong benar-benar tidak tahu alasan kenapa ayah angkatnya menyuruhnya merahasiakan namanya. Katanya ada beberapa orang yang sedang mencarinya setelah insiden ayahnya yang dibunuh. Membuat gadis itu terpaksa bersembunyi dihutan, dan melatih diri untuk bisa melawan dikemudian hari. Tentu saja, berkat ajaran ayah angkatnya.

Setelah berjalan agak lama, akhirnya Jang Uk dan Cho Yeong tiba disebuah gubuk yang terletak dipinggiran bebatuan. Gubuk itu terbuat dari jerami yang sudah lusuh, dan kelihatan sangat bobrok. Walau tempatnya lumayan bersih, tapi gubuk ini tak bisa disebut layak pakai. Jang Uk melihat ke sekeliling gubuk, disana hanya tersedia satu papan tidur dan meja kecil tanpa bangku.

"Yeong-a, apa kau tinggal sendiri disini?" tanya Jang Uk, kedua alisnya bertaut melihat betapa tempat ini tak pantas disebut rumah.

"Tidak. Ayah angkatku akan datang sekali-kali kesini."

"Itu artinya kau sendiri... Dasar bodoh." bisik Jang Uk, berharap gadis itu tak mendengarnya.

"Siapa yang kau bilang bodoh?! Lebih bodoh siapa sampai ditipu gurunya sendiri,"

Ucapan kejam itu mengingatkan dirinya yang sedang tertipu karna gurunya sendiri, lagi, Jang Uk merasa sedih. "Hmm... Menurutmu kenapa mereka membodohiku, ya? Padahal aku rajin, bekerja keras, pandai juga." lirih Jang Uk yang kini duduk diatas papan tempat tidur.

"Sudahlah... Masih banyak guru lain didunia ini. Suatu saat kau akan menemukan guru yang tepat untukmu. Nah sekarang, makanlah." gadis itu menyodorkan sepiring buah loquat pada Jang Uk. Lalu berjalan keluar mengambil tumpukan jerami, membawanya masuk dan menyusunnya dengan rapi ditanah.

"Untuk apa itu?" tanya Jang Uk keheranan

"Untukmu. Bukankah ini lebih baik daripada tidur didalam perut babi hutan?" Cho Yeong menyindir sambil tersenyum cerah.

"Yya, jangan bercanda seperti itu."

"Sudahlah. Cepat tidur, besok kau akan melakukan perjalanan yang panjang."

🌾

Jang Uk tak kembali ke Gunung Wuyuan. Ia sangat kecewa dan marah pada Biksu Yang karna sudah menipunya. Yah, ini bukan salahnya juga sih. Siapapun tak ada yang berani menentang kehendak sang ayah, Jang Gang.

'Kalau begitu lebih bagus aku hidup bebas seperti Cho Yeong. Aku bisa menemukan guruku sendiri dan membuka inti energiku,' batinnya kesal, rasa marah dan kecewa bercampur menjadi satu.

Tapi kalau ia hidup bebas seperti perempuan itu, ia tidak bisa bertemu dengan Danggu dan Seoyul. Tidak ada lagi Kim Doju dan rumah yang hangat. Membayangkan harus hidup dihutan dengan gubuk yang lusuh dan makanan yang seadanya membuat Jang Uk membuang jauh jauh pikirannya yang tadi.

"Oh tidak tidak. Membayangkannya saja membuatku ngeri," Jang Uk bergidik ngeri, seluruh tubuhnya merinding.

"Jang Uk?!" panggil seseorang, memecahkan lamunan Jang Uk. Bocah itu mengangkat kepalanya memandang kesekitar. Astaga, ternyata ia sudah tiba di Kota Pertahanan Daeho. Tunggu, sejak kapan ia keluar dari hutan?

"Jang Uk! Bagaimana kau bisa ada disini?" seorang bocah laki-laki berambut pirang berlari menghampirinya. Diikuti dengan bocah lainnya yang berambut hitam legam.

"Bukankah kau seharusnya ada di Gunung Wuyuan?" tanya temannya yang lain.

"Eoh. Ceritanya panjang. Ayo kita main ke Chwiseonru," ajaknya pada dua bocah itu.

Ketiga bocah itu pun pergi bersama-sama ke kedai Chwiseonru. Jang Uk yang sudah lama tak makan enak langsung memesan tiga piring ayam rebus, kepiting sepuluh kaki porsi besar, mie, buah, dan tentunya arak buah yang rendah alkohol.

Jang Uk menceritakan pengalamannya pada temannya selama berguru dengan Biksu Yang, termasuk membuat ratusan pedang, pondok Baekdong palsu, dikejar babi hutan, dan tentu teman perempuan yang ia temui.

"Apa dia cantik?" tanya Danggu yang selalu tertarik dengan konteks perempuan.

Jang Uk mengangguk semangat. "Kurasa dia juga pandai silat dan ilmu sihir,"

"Kalau begitu, dia pasti bukan dari keluarga sembarangan. Siapa namanya? Mungkin aku tahu dia anak siapa," tanya Seo Yul

"Eoh, namanya.... mengenai namanya, hmm, aku lupa bertanya." bohong Jang Uk, bocah lelaki itu sudah berjanji untuk merahasiakan nama Cho Yeong.

"Menurutmu cantikan siapa? Choyeon agasshi, atau perempuan itu?"

"Tentu saja perempuan yang aku temui. Kau tidak bisa membayangkan betapa cantik dan hebatnya dia."

"Tidak mungkin... Mana ada perempuan yang bisa mengalahkan kecantikan musim seminya Choyeon." Danggu meragukan ucapan Jang Uk.

"Uk-a, kenapa kau tidak mengajaknya tinggal di kota? Aneh sekali perempuan itu tinggal sendiri di hutan." kali ini Seo Yul yang penasaran.

"Aku sudah mengajaknya. Tapi dia tidak mau." jawab Jang Uk sedih. Benar, sebelum kembali ke Kota Pertahanan Daeho, Jang Uk sempat mengajak bahkan membujuk Cho Yeong untuk ikut ke kota. Masalah tempat tinggal, gadis itu tak perlu khawatir, dirumahnya ada banyak kamar yang bisa ditempati. Tidak seperti gubuk tua itu, kamar dirumah Jang Uk bahkan lebih nyaman dan hangat. Mungkin gadis itu juga bisa menimba ilmunya di Songrim.

"Kupikir kau adalah anak yang paling malang dimuka bumi ini. Ternyata ada yang lebih malang daripada kau, Jang Uk." kata Park Danggu, yang anehnya membuat Jang Uk sadar. Ya, walaupun ibunya sudah meninggal dan ayah yang tak tahu dimana, setidaknya ia masih punya rumah, teman dan Kim Doju yang sangat menyayanginya. Sedangkan gadis itu, ayah ibunya tak tahu dimana, tinggal dihutan, ayah angkatnya hanya sekali kali menjenguknya. Dia pasti sangat kesepian.

Ucapan Park Danggu benar benar mengganggu Jang Uk selama beberapa hari, membuatnya merasa bersalah dan ingin menjemput paksa Cho Yeong untuk tinggal bersamanya. Bocah lelaki itu pun pergi menelusuri hutan untuk mencari keberadaan Cho Yeong, ia tak ingat dimana hutan itu, tapi kalau ia terus berjalan, mungkin Jang Uk akan menemukannya. Tapi sayang, sudah beberapa kali Jang Uk mencari, ia tetap tak menemukan dimana bebatuan tempat gubuk itu berada. Membuatnya harus merelakan dan melupakan kenangan serta rasa bersalahnya terhadap gadis kecil itu.

🌾

Jin Seoyeon



Park Gang


Park Dan


Seo Mi-ran

Go Yoo


🌾

Masa tua tidak membuat Park Jin kehilangan semangatnya dalam hal mengajar, baik itu di Songrim atau dirumahnya sendiri.

Saat ini, di sebuah paviliun yang sengaja dibangunnya lebih luas dan lebar serta pemandangan yang indah menyejukkan, pria tua itu berjalan mengitari beberapa anak kecil yang sudah ia anggap cucunya sendiri. Sambil membacakan beberapa pengajaran kehidupan untuk mereka.

"Tetesan air menembus batu, gergaji tali memotong kayu. Siapa yang tau artinya?" tanya Park Jin pada murid-murid kecilnya

Semuanya tidak menjawab kecuali satu orang yang sedang mengangkat tangannya. Seperti biasa, anak itu selalu mengagumkan.

"Beritahu kakek, Dan-a."

"Air yang menetes dapat melubangi batu bukan karna kekuatannya, tapi karna ketekunannya. Maksudnya adalah kesabaran dan kegigihan dapat menembus apapun, tidak peduli sebesar dan sekeras apapun kesulitannya." jawab Park Dan dengan suara tenang dan lembutnya.

Park Jin tersenyum puas dengan jawaban Park Dan, "Api bintang bisa bersinar jauh. Apa artinya?" sambungnya lagi

Lagi lagi, Park Dan mengangkat tangannya "Cahaya bintang bersinar jauh,"

"Cukup, Dan-a. Kakek ingin mendengar orang lain yang menjawab. Ayoo, Seo Mi-Ran?"

"Nde?" kejut anak kecil itu saat namanya tiba tiba dipanggil. "Bintang bersinar jauh, ke..gelapan mulai... hmm..m-mendekat,"

"Park Gang!"

Bocah kecil yang sedang menampung pipinya dengan mata tertutup itu tiba tiba terkejut, "Nde!"

"Ayo artikan..."

"Ehehe, haraboji...." Park Gang nyengir dan melirik kearah adiknya, minta jawaban.

"Apa kau tidur lagi?"

"Tidak kok!" bantahnya dengan cepat.

"Sudahlah. Pangeran Go Yoo, jelaskan padaku apa maksudnya pepatah tadi?!"

Go Yoo bangkit dari duduknya, "Nde, haraboji. Cahaya bintang bersinar jauh, satu percikan api dapat memicu kebakaran padang rumput. Artinya adalah sebelum melakukan sesuatu, alangkah baiknya berpikir panjang, karna satu tindakan kecil memiliki konsekuensi yang luas."

"Bagus sekali... Duduklah,"

"Dalam bergerak hendaknya secepat angin. Dalam menyerang, ganaslah seperti api. Dalam bertahan hendaklah sekokoh gunung. Kata-kata bijak ini menggunakan unsur alam sebagai kata kuncinya... Katakan pada kakek, apa arti angin, api, dan gunung?"

Kelima murid itu terdiam. Ini adalah materi baru yang belum pernah mereka dengar. Park Dan dan Go Yoo yang sudah banyak membaca buku pun tak tahu, apalagi Park Gang, Jin Seoyeon dan Seo Mi Ran. Ketiganya malah pura pura tidak dengar ucapan kakeknya.

Park Jin menatap kearah Park Gang, bocah kunyuk itu sibuk melirik ke arah saudaranya, Dan dan juga Go Yoo, mencari jawaban. Lalu pria tua itu melirik ke arah Seo Mi Ran, putri sulung Seo Yul yang seceria matahari bersinar, anak itu berpura pura membuka lembaran catatannya, seolah sedang mencari tahu jawabannya. Terakhir, Jin Seoyeon, berbeda dengan yang lain yang sibuk membuka buku cari jawaban, Seoyeon malah sibuk bermain dengan air yang ada di gelas kecilnya. Mencoba menggunakan energinya untuk menerbangkan setitik air kecil seperti yang sering ibunya lakukan.

"Seoyeon-aaa!" panggil Park Jin mengejutkan gadis kecil itu.

"Nde?!" jawabnya sedikit terkejut, aksinya yang sembrono sudah ketahuan oleh kakeknya.

"Apa yang sedang kau lakukan? Kenapa kau tidak cari jawabannya seperti temanmu yang lain..."

"Haraboji, belajar seperti ini membuatku ngantuk. Lebih baik kita memancing di danau Gyeongcheondaeho, kudengar jika kita menangkap ikan emas disana, kita akan langsung mencapai Chisu," celoteh Seoyeon, matanya melirik ke arah Seo Miran, mengirim sinyal dukungan untuknya.

Seo Miran mengangguk, "Benar kata Seoyeon, haraboji. Lebih baik kami berlatih langsung daripada memahami kata-kata ini."

Park Jin sudah sering terjebak oleh tipu muslihat dua wanita kecil ini. Kali ini ia tak akan membiarkan hal itu terjadi lagi. Lelaki tua itu berjalan kearah Go Yoo dan Park Dan,

"Kalian berdua,... juga tidak pernah mendengarnya?"

"Belum, haraboji." jawab keduanya.

"Hmm, kalau begitu, cari tahu sesampainya dirumah, kakek akan bertanya jawabannya esok hari... Dan sebagai hukumannya, kalian harus menghabiskan bubur kacang merah buatan kakek."

"TIDAKKKK!!!!" sontak semua murid berteriak seiring hilangnya jejak Park Jin dari paviliun.

"Astaga, kakek pasti langsung membawa bubur kacang merah itu kesini, kan?" ucap Park Gang, ekspresi merinding tak bisa hilang dari wajah tampannya.

"Aish, bagaimana ini ya? Apa yang harus kita lakukan?" panik Miran, tak siap membiarkan lidah manisnya kehilangan rasa karna masakan kakek Park Jin.

"Aku akan bilang perutku sedang sakit dan langsung permisi pulang," kali ini Park Dan yang biasanya tenang pun ikut goyang.

"Yya, kau tidak bisa begitu. Apa kau akan meninggalkanku?" sahut Park Gang pada saudara kembarnya.

"Kalau begitu, aku akan bilang aku sedang berpuasa untuk merasakan penderitaan rakyat miskin," jawab Go Yoo hendak berbohong, ekspresinya saat ini sama paniknya dengan Park Dan.

"YYAA!!! kau tidak boleh menipu seperti itu, eoh! Lagipula, itu hanya akan menambah beban kami. Benar-benar bukan perilaku yang mulia," sahut Seoyeon tak terima.

"Aigoo, daripada kita berdiam disini, bukankah lebih baik kita melarikan diri?" usul Park Dan pada teman temannya.

"Ide bagus!"

"Wah! Tumben kau bisa berpikiran seperti itu." ledek Seoyeon, lalu tertawa bersama Miran.

Mereka segera membereskan alat tulis mereka dan hendak pergi, tapi Go Yoo si murid teladan menahan mereka.

"Tidak boleh seperti itu! Kita harus berpamitan terlebih dahulu pada kakek."

"Kau saja yang berpamitan, pangeran. Aku mau menyelamatkan diri." ucap Miran, didukung oleh rekan rekannya yang lain.

"Tapi kalau kita kabur begitu saja, itu bukan tindakan yang terpuji."

"Yya... Disaat genting seperti ini, tidak terpuji sekali-kali boleh!" Seoyeon mengambil tas milik Go Yoo dan memasukkan semua barang milik pria itu, lalu menarik tangannya untuk kabur dari paviliun secepatnya.

Mereka berlari sekencang mungkin menjauhi rumah Park Jin sambil tertawa bersama. Tidak sanggup membayangkan bagaimana wajah kakeknya yang terkejut melihat muridnya melarikan diri, tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah ekspresi Go Yoo yang tertawa sangat besar. Tidak biasanya Go Yoo, sang pangeran yang sejak kecil terkenal damai dan tenang bisa tertawa selepas itu. Hal ini membuat yang lainnya ikut tertawa hingga perut mereka sakit.

"Ah, aku lelah karna tertawa. Mari kita duduk di Chwiseonru, aku akan mentraktir kalian makanan enak!" ajak Go Yoo, yang langsung disetujui oleh teman-temannya dengan gembira.

~The End~

Continue Reading

You'll Also Like

125K 9.9K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
24.9K 2.3K 44
I know you know I love you.
168K 17.8K 26
[Not ending yet but stuck and choose to stop] "Kebaikan super apa yang aku lakuin di masa lalu sampai bisa ketemu orang kayak kamu?" -Yoon Kiran "D...
225K 33.8K 61
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...