The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

270K 22.9K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
27
28
29
30
31

26

6.4K 526 151
By jaeandje

21.17

ok, first of all. I miss u guys like a loott

dua bulan kemarin ga update karena ada alesan yang gabisa gue jelasin disini tapi gue mau bilang kalau gue ngga sengaja ngilang selama ituu😭🙏🏻

im so sorry for disappearing for two months long, really really sorry.

semoga temen-temen semuanya masih mau sabar nunggu dan baca cerita ini<3

gaaahh misss uuu

enjoy enjoyy!

Jehan mengancingkan kemeja putihnya sambil menghadap kaca super besar untuk memandangi penampilannya pagi ini. Kemudian ia meraih jas hitam miliknya di atas meja kaca kumpulan jam tangan bermerek serta aksesoris milik istrinya. Setelah itu, Jehan pergi dari walk in closet dan berencana mendatangi Rasel yang entah sedang melakukan apa di lantai satu.

Kaki panjang Jehan bergerak menuruni anak tangga sementara tangannya sibuk memasang salah satu jam tangan di pergelangan kirinya. Di lantai satu, Jehan tidak melihat sosok yang dicarinya. Ruang keluarga, ruang makan sampai dapur pun tidak ada batang hidungnya dan itu membuat Jehan heran.

Kemana istrinya di pukul delapan pagi begini? Tidak mungkin berangkat kerja sebab semalam Jehan tidak memperbolehkannya pergi bekerja karena dia berencana mengajak Rasel ziarah ke makam orang tuanya yang tidak pernah Rasel ketahui seperti ucapannya kemarin.

Hanya saja Jehan belum benar-benar memberitahunya agenda hari ini secara rinci.

"Sel?"

"Nyonya ada di halaman belakang, Tuan" celetuk Mbu Lami yang tiba-tiba muncul dari pintu kaca yang menjadi satu-satunya akses ke area halaman belakang.

Jehan mengernyit heran, "Di halaman belakang?"

Mbu Lami mengangguk disertai kekehan kecil sembari menuangkan susu ke dalam gelas. "Buat pagi ini Tuan mau teh manis atau kopi?"

"Nanti aja, ini buat Rasel kan?" Jehan meraih gelas yang sudah terisi penuh oleh susu dan Mbu Lami menganggukan kepalanya sebagai jawaban untuk pertanyaan tuannya tadi.

"Biar aku aja yang kasihin, makasih ya, Mbu"

Kemudian setelah itu, Jehan pun berjalan menuju halaman belakang rumah yang dimana Rasel sedang beraktivitas disana. Entah aktivitas apa itu. Disana Jehan bisa langsung melihat istrinya yang memang kelihatannya sibuk sendiri di dekat kolam renang.

"Pagi-pagi gini lagi sibuk ngapain sih?" tanya Jehan seraya memberikan gelas susu yang ia bawa.

Tak diduga wanita itu malah menatapnya sinis, dari raut wajahnya menunjukkan kalau dia sedang kesal. "Bisa liat sendiri kan aku lagi ngapain–"

Jehan mengangkat sebelah alisnya, sedikit merasa heran dengan respon sang istri. "Masih pagi udah ngambek aja, kamu kenapa?" Rasel hanya mengedikkan bahunya sembari meneguk susu yang diberikan.

"Karena aku ngga ngebolehin kamu pergi kerja?"

"Tuh tau," cetus Rasel pelan tetapi Jehan masih bisa mendengarnya meskipun samar. "Jahat banget istrinya mau coba produktif tapi malah dilarang,"

Kekehan gemas pun keluar dari mulut Jehan. "Bukan ngelarang tapi hari ini aku mau ngajak kamu ke sesuatu tempat,"

"Kemana tuh?" Rasel penasaran jadinya.

"Udahan dulu marahnya coba, baru aku kasih tau"

Rasel mendelik, "Aku ngga marah tapi kesel!"

"Sama aja, sayang"

Mendengar itu Rasel sontak mengangkat kepalanya sambil menahan senyum. "Ap-apaan sayang-sayang,"

"Kenapa? Salah aku manggil kamu kayak gitu?"

"Engga, aku suka!" elak Rasel langsung. "Tapi jangan sering-sering nanti aku salting" katanya sangat pelan.

Jehan tertawa menggeleng-geleng sementara Rasel menundukkan kepalanya, merasa malu setelah menyatakan kejujurannya begitu saja.

"Malah harus sering dong biar kamu terbiasa, ya ngga?"

"Engga, jangan gitu ah! Malu tau," ujar Rasel sembari membereskan semua alat perlengkapan menggambarnya.

Lagi-lagi Jehan tertawa sebagai responnya. Pria itu menyukai sisi Rasel yang menggemaskan layaknya anak kecil ini. Mood Jehan yang tadinya tidak terlalu bagus di pagi ini berubah karena hanya tingkah dan ucapan lucu dari sang istri.

"Jadi kamu mau ngajak aku kemana?" tanya Rasel sungguh penasaran.

"Ini kamu ngepang sendiri?" Jehan memegang rambut panjang istrinya yang terikat kepang. Ia sudah salah fokus dengan penampilan wanita itu sedari tadi.

Ini adalah pertama kalinya Jehan melihat Rasel dengan rambut dikepang seperti itu. Dan kalau ada kata yang mendeskripsikan lebih dari kata cantik, akan Jehan ucapkan detik ini juga.

Hiperbola memang. Tetapi di pagi ini Rasel terlihat cantik dan menawan dengan tampilan begitu. Jehan merasa semakin 'bangga' kepada dirinya sendiri karena wanita cantik itu merupakan miliknya sekarang.

Rasel mengangguk cepat, ia senang jika Jehan melihat hasil karya yang ia buat susah payah selama hampir sejam tadi. "Iya, bagus kan?"

"Cantik." ucapan Jehan yang berhasil membuat Rasel tersipu.

"Kamu mau ngajak aku kemana, Je? Jawab dulu ih!" ujar Rasel mencoba mengalihkan topik karena kalau gitu lama-lama sepertinya dirinya tidak akan kuat.

Jehan tersenyum manis sambil membelai rambut Rasel yang tidak terikat , "Pertama aku mau ajak kamu ke makam papah–"

"Kamu serius?"

"Serius dong. Berhubung aku juga udah lama banget ngga ke makam papah, kamu mau kan?"

Jehan sengaja tidak memberitahu bahwa tujuan utama dari ajakannya ini adalah mengunjungi makam kedua orang tua Rasel juga.

"Mau lah! Udah dari lama aku mau ziarah ke makam papah tapi aku takut bilangnya.." Rasel mendelik.

"Yaudah, aku ganti baju dulu. Kamu curang udah rapih duluan!" dengus Rasel menyerahkan gelas kosong kepada Jehan lalu melenggang pergi.

°°°

San Diego Hills Memorial Park merupakan nama tempatnya. Keluarga besar Kanagara menjadikan tempat ini sebagai pemakaman utama mereka. Mulai dari keturunan pertama maka mau tak mau sampai keturunan selanjutnya terus menerus.

Sesampainya disana, Jehan dan Rasel disambut oleh orang kepercayaan Kanagara yang menjaga serta merawat semua anggota keluarga yang sudah dimakamkan.

"Selamat datang kembali, Pak Jehan"

Jehan hanya mengangguk untuk respon sapaan tersebut namun ia menunjukkan Rasel kepada orang itu. "Ini istri saya, Rasel"

"Oh halo, Bu Rasel" Orang itu tersenyum hangat seraya menjulurkan tangan kanannya ke hadapan Rasel untuk berjabat tangan dan Rasel pun menerima sembari tersenyum ramah.

“Kami sudah menyiapkan semua yang bapak minta termasuk tidak akan ada pengunjung lain untuk pagi ini selain bapak dan ibu. Mau saya antar ke dalam?”

“Tidak usah, terima kasih.” tolak Jehan yang kemudian menyatukan tangan kanannya dengan tangan kiri istrinya. Mereka berjalan sambil menggenggam tangan menuju area pemakaman keluarga Kanagara.

Rasel tidak berhenti berdecak kagum dengan pemandangan tempat ini. Ia sering mendengar tentang mewahnya tempat ini, namun Rasel tidak pernah melihat secara langsung karena ya pada saat itu tempat seperti ini bukanlah kastanya. Bagaimana tidak? Mengadakan pemakaman disini akan memakan biaya yang sangat amat besar sedangkan dulu Rasel tidak mempunyai harta sebanyak itu. Bahkan untuk membayar tunggakan biaya kuliah pun Rasel harus bekerja mati-matian.

Tidak sekali atau dua kali Rasel ingin melihat bahkan bermimpi untuk menjadikan San Diego tempat pemakamannya dan keluarganya. Memang pemikiran dan mimpinya terlalu jauh namun lihat sekarang. Tanpa disadari keinginan tersebut terwujud.

Lagi pula siapa yang tidak mengetahui pemakaman San Diego Hills?

San Diego Hills sangatlah luas. Orang-orang yang dimakamkan disini biasanya berasal dari kalangan atas salah satunya ya keluarga besar Kanagara namun juga tersedia untuk kalangan umum. Ketahuilah Kanagara sangat mampu untuk membeli San Diego menjadi hak milik keluarga mereka. Namun entah apa yang membuat mereka hanya memiliki lahan yang hampir setengahnya dari lahan asli tempat tersebut.

Setelah berjalan cukup jauh dari pintu masuk tadi, Jehan dan Rasel kini telah memasuki sebuah lapangan yang lebih luas dari pada yang sebelumnya dimana, lapangan tersebut adalah area utama pemakaman keluarga besar Kanagara. Dengan tiga buket bunga di pelukannya, Rasel menganga takjub.

“Seluas ini cuma khusus buat keluarga kamu, Je? Serius?” Jehan tersenyum sebagai responnya.

Rasel jadi berandai-andai apabila keluarganya yang sudah tiada dapat dimakamkan disini. Makam ayah dan bundanya pasti akan cantik. Begitu angan-angan Rasel.

Di lapangan yang seluas ini sudah ada beberapa makam, sudah pasti anggota keluarga Kanagara bukan? Hanya saja sejujurnya Rasel penasaran siapa saja mereka namun ia tidak berani bertanya.

"Kakek sama nenek dari mamah, tante bahkan sampe sepupu pun semuanya dimakamin disini. Tapi sebenarnya ngga semua anggota keluarga, ada kerabat terdekat juga," jelas Jehan tiba-tiba seolah-olah lelaki itu bisa membaca pikiran Rasel.

Hingga akhirnya mereka berdua sampai tempat dimana batu nisan yang tertulis nama 'Reygan Kanagara' tertangkap oleh mata Jehan dan juga Rasel.

Melihat itu mereka berdua menghela nafasnya. Rasel sedikit membungkukan badannya untuk menyimpan satu buket bunga di dekat batu nisan. Sementara Jehan hanya menatap kosong dengan kedua tangan dimasukkan ke kedua sisi saku celananya.

Jehan rindu ayahnya tapi itu tidak membuatnya bersedih kembali. Sudah dua belas tahun lewat jadi Jehan tidak mau berlarut dalam kesedihan tersebut lama-lama.

Rasel tersenyum hangat dengan kedua mata yang entah sejak kapan sudah berkaca-kaca. Ia mengingat dengan jelas perawakan Reygan dulu bagaimana. Sosok yang selalu berbincang bersama kedua orang tuanya, sosok yang selalu memberinya kue atau apapun yang ia inginkan disaat ibu atau ayahnya melarang, bahkan sosok yang pernah mengajari Rasel terhadap beberapa hal dulu ternyata menjadi mertuanya.

Kalau diingat, Rasel belum pernah mengatakan terima kasih kepadanya jadi ziarah hari ini akan Rasel gunakan untuk mengatakan semua hal yang tidak sempat tersampaikan.

Kedua mata Rasel terpejam. Ia menumpahkan segala perasaannya dalam bentuk doa di dalam hatinya yang salah satunya adalah berterima kasih atas keputusan menjadikan Jehan sebagai suaminya.

Sementara Jehan yang sudah tidak lagi bisa bersedih seperti orang-orang pada umumnya sedang menatap Rasel yang terlihat khusyuk sekali saat berdoa, membuat Jehan mengulas senyumnya.

Jehan pernah diceritakan hubungan ayahnya dengan Rasel. Dulu mereka dekat mungkin itu disebabkan oleh eratnya persahabatan antara Reygan, Aretha dan juga Farez. Itulah mengapa ia berakhir menjadi suami Rasel karena wanita itu adalah satu-satunya yang dipilih oleh sang ayah.

Saat Tania bercerita kepada Jehan, ayahnya sudah berangan-angan bahwa Rasel harus menjadi menantunya. Tidak ada gadis lain yang berhasil menarik perhatian Reygan juga Tania selain Raselia Emmera Abiyaksa ini.

Dari awal Jehan bertemu, ia harus mengakui bahwa Rasel memang memiliki pesona yang sangat kuat.

"Kamu udah doa?" tanya Rasel setelah kembali berdiri. Jehan mengangguk pelan.

Rasel pun mengembangkan senyum manisnya sembari menyatukan kembali tangan mereka. "Tadi kamu bilang kita beli tiga buket karena ada lagi yang harus dikunjungin, siapa?"

"Sini," Jehan mengambil alih dua buket bunga yang tersisa di tangan Rasel lalu melangkah empat kali saja dan ia pun meletakkan kedua buket bunga tersebut pada dua batu nisan yang letaknya tepat di samping makam sang ayah.

Rasel membaca nama yang tertera di batu nisan itu. Tatapannya terpaku dan tubuhnya spontan melemas. "A-ayah? Bunda?"

'Aretha Mahesti Abiyaksa' dan 'Farez Abiyaksa'

"Selama ini kamu ngga pernah tau dimana makam orang tua kamu dimana jadi aku rasa aku harus kasih tau kamu tentang ini–"

"Jehan, ini beneran makam ayah sama bunda aku?"

Jehan mengangguk sambil tersenyum hangat, "Iya dari dulu makam orang tua kamu selalu disini,"

"Karena tragedi dua belas tahun lalu mamah ngadain upacara pemakaman buat papah, ayah sama bunda kamu. Waktu itu aku sama sekali ngga ngerti kenapa pemakamannya harus diam-diam bahkan aku juga ngga kepikiran kenapa keluarga dekat ayah sama bunda kamu ngga ada yang hadir di pemakaman itu,"

"Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai paham. Status orang tua kita itu agen rahasia negara yang dimana mereka punya aturan kalau gugur saat bertugas, instansi yang bakal ngurus pemakamannya secara tertutup tapi mamah ngga mau. Mamah minta pengecualian buat orang tua kita dengan syarat tertentu,"

"Akhirnya mamah ngadain upacara pemakaman sekaligus yang cuma dihadiri aku, mamah, Mbak Kana, Jendra sama Kakek."

Penjelasan Jehan berdasarkan apa yang Tania jelaskan dahulu kala. Terdengar cukup sedih memang karena Rasel tidak menghadiri upacara pemakaman kedua orang tuanya sendiri bahkan Jehan menjadi merasa bersalah.

"Sel, maaf aku baru ngajak kamu kesini sekarang,"

Rasel langsung menyeka buliran bening yang menetes dari kedua matanya lalu menggeleng. "Justru aku mau bilang makasih, Je.." katanya yang belum mengalihkan pandangannya dari batu nisan di depannya itu.

"Makasih banyak ya udah ngejaga, ngerawat makam orang tua aku selama aku ngga tau dua belas tahun ini. Dan makasih juga udah ngemakamin ayah sama bunda aku di tempat yang indah banget kayak tempat ini."

Jehan tersenyum tipis seraya menerima tubuh Rasel masuk ke dalam pelukannya lalu dia mengelus lembut belakang kepalanya hingga punggungnya.

"Dari dulu ayah sama bunda kamu udah dianggap jadi bagian dari Kanagara. Mereka spesial banget khususnya di mata kakek,"

"Kan? Lagi-lagi aku berutang ke kamu sama keluarga kamu" gumam Rasel mendesah miris. Untungnya Jehan tidak mendengar karena jika iya sudah pasti lelaki itu marah sekarang.

"Jehan, aku boleh sering-sering kesini kan?" tanya Rasel agak samar namun terdengar lesu.

"Kenapa engga? Dateng aja kapanpun yang kamu mau." Jehan melepaskan pelukannya untuk melihat wajah Rasel yang basah dan sedikit memerah.

Dirinya menyeka air mata yang terus berjatuhan. "Take your time, aku ngga bakal jauh-jauh dari sini ya,"

Jehan mengecup pelipis Rasel sebelum dia pergi untuk memberikan istrinya waktu sendiri melepas rindu. Ia melangkah sedikit menjauh dari situ seraya mengeluarkan ponselnya dari saku dalam jas hitam yang ia pakai.

Sementara Rasel tersenyum getir. Wanita itu mencengkram kuat samping celananya, melihat batu nisan yang tertulis nama kedua orang tuanya membuat matanya kembali memanas.

Sungguh, Rasel sangat merindukan mereka. Air matanya kembali berjatuhan tatkala memori tentang belasan tahun lalu berputar di otaknya. Dua belas tahun lamanya Rasel tidak pernah tau apakah kedua orang tuanya dimakamkan atau tidak setelah kematian yang begitu naas, tetapi kini makan ayah dan bundanya berada di depan mata, bisa bayangkan betapa lega dirinya saat ini?

Ternyata makam ayah dan bundanya berada di tempat yang luar biasa indah, terjaga serta terawat dengan sangat amat baik dan itu membuat Rasel lega, tenang sekaligus bahagia. Karena rasa itulah Rasel tidak menangis kencang. Ia hanya meneteskan air mata saja beserta rasa tentram yang datang setelah mengetahui ayah dan bundanya dimakamkan secara layak ditempat ini.

"Wow, ternyata butuh dua belas tahun buat ngeliat lo datang kesini, Nona" sahut seseorang.

"Seeing the graves of your parents, how does it feel?"

Suaranya sangat familiar. Rasel menoleh pelan untuk memastikan siapa pemilik suara tersebut. Ia tersentak melihat orangnya, meskipun dari samping tetapi Rasel dapat mengenali siapa dia.

"Hai."

Rasel sontak mundur perlahan, menjauhi orang itu. Orang yang patut dihindari sebagaimana yang dikatakan Jehan dan lainnya. Orang yang katanya terkait dengan kematian orang tuanya. Dan dia adalah orang yang menculiknya beberapa waktu lalu, Jeksa.

"L-lo ngapain disini?" tanya Rasel sedikit terbata.

Jeksa terkekeh sembari menghadap Rasel yang masih mencoba menjauh. "I won't hurt you, Sel. Gue murni kesini karena gue mau ziarah,"

"Ziarah ke makam orang yang lo bunuh? Really?" Rasel berdecih.

"Ouch you got the wrong information, Mam" Jeksa menyeringai. "Justru orang tua lo yang ngebunuh orang tua tunangan gue.."

Rasel mengernyit, tak paham dengan perkataan orang itu. Namun seketika ia teringat ucapan Jehan bahwa Jeksa adalah sosok manipulatif jadi Rasel tidak perlu mempercayainya bukan?

"So basically the news about your parents is true, huh?" Jeksa mengangkat salah satu alisnya sambil maju mendekat ke arah Rasel secara perlahan.

"Lo anak pembunuh, Rasel. Keep that in your mind."

"J-Jehan.." Rasel menggetar ketakutan. Wanita itu semakin melangkah mundur supaya ia tidak berdekatan dengan orang itu.

Di sisi lain, Jehan sedang sibuk menelpon beberapa orang, dan sekarang sudah orang ketiga. Ia mengusap dagu runcingnya belum menyadari kedatangan Jeksa yang tak diundang dan berhasil membuat Rasel ketakutan disana.

"Oh iya Nat, gue butuh bantuan lo sama anak buah lo jadi tim keamanan buat acara perusahaan gue besok."

'Tentang itu Marven udah bilang ke gue dan udah gue urus juga jadi lo tenang aja'

Jehan mengangguk saja meski orang yang di seberang teleponnya tidak dapat melihat itu. "Buat masalah layout tempatnya, lo bisa obrolin itu sama Marven"

Baru teringat bahwa dirinya meninggalkan Rasel sementara, ia langsung membalikkan tubuhnya karena posisi Jehan adalah membelakangi sang istri.

Tepat dirinya menoleh, Jehan membelalak kaget melihat orang yang datang tak diundang sedang mencoba mendekati istrinya disana. "Brengsek–"

'Wait, what?'

"Nanti gue kabarin lo lagi, Nat" Jehan langsung memutus hubungan telepon secara sepihak.

Tanpa berlama-lama lagi, Jehan menghampiri kesana dengan rasa panik dan emosi menjulang tinggi di benaknya.

Bagaimana bisa lelaki itu datang kesini? Tepatnya datang ke area makam keluarga besarnya.

Jeksa menatap Rasel dengan tatapan yang sangat mengintimidasi alhasil istri dari pewaris KNG's Group itu ketakutan setengah mati.

"L-lo mau apa dari gue, Jeksa?"

"Trust me you won't like to hear what I want," Jeksa terkekeh yang malah membuat Rasel semakin merinding takut.

"You're afraid of me, hm?"

"Well look who's coming,"

Jeksa menyeringai melihat kedatangan Jehan yang terlihat dari raut wajahnya, ia menahan amarah sembari menarik Rasel ke belakang tubuhnya. "Ok, possessive.."

"Hai, brother. It's been awhile–"

"Gimana caranya lo bisa masuk ke area ini?" tanya Jehan berusaha tetap tenang agar tidak memulai suatu masalah.

"Itu, gue tau ngga sembarang orang bisa akses ke area sini jadi gue ngaku sebagai keluarga jauh bokap lo, ups-" Jeksa meringis sambil cengengesan.

"Technically it's not my fault. Ya apa yang gue bilang mereka langsung percaya padahal gue berharap sesuatu yang ketat tapi ternyata akses disini semudah itu."

"I want something strict, Jehan. Karena mudah, gue jadi ngga perlu bunuh siapapun disini dan gue benci hal itu, ngga asik."

Nafas Jehan memburu, menandakan dirinya telah memendam emosi yang semakin lama kian memuncak namun ia masih menahannya. Sementara cengkraman Rasel ada jas hitamnya bertambah kuat. Wanita itu bergidik ngeri oleh perkataan Jeksa barusan.

"Dasar gila." gumam Jehan. "Tujuan lo apa?"

Jeksa mengulum bibirnya lalu tersenyum, "Lo ngga usah khawatir. Kedatangan gue kesini murni karena gue mau ziarah, so I won't hurt your woman."

"Orang macam lo punya niat baik ziarah? Gue ragu-" Jehan tersenyum miring meremehkan.

"Kali ini gue serius ngga punya tujuan lain. It's your time to see the good side of me, Jehan."

Jehan menggeleng sambil terkekeh, "Good side of you? Nah I don't trust you so I think you should better leave, Sa"

"Chill. Gue masih punya banyak waktu jadi–"

"Ck! Gue ngga bakal ngebiarin lo manipulasi istri gue, jadi pergi." Jehan maju selangkah untuk menarik kerah baju lelaki di hadapannya ini secara kasar.

"Gue? Manipulasi?" Jeksa tertawa remeh saat mendengar penuturan tersebut.

"You are the one who manipulate her, dude. Gue cuma menyampaikan fakta disini"

"Fakta? Fakta tentang orang tua tunangan lo yang bunuh diri?" Jehan tersenyum miring, ia mendekatkan wajahnya ke dekat telinga Jeksa.

"Lo ngomongin fakta? Oke. Pengedar akan selalu kalah. That's the fact and you have to admit it, brother."

"Jangan pikir karena gue sendiri sekarang gue ngga mampu bunuh lo biar semua ini berakhir, gue tahan itu tapi kesabaran gue tipis, Tuan Navarez"

"Don't hold it back, Jehan. Just kill me now because I warn you this chance won't come twice," ucap Jeksa tak mengenal takut. Lelaki itu sengaja memancing amarah Jehan yang masih dipendam.

Jeksa tau kalau jiwa iblis tertanam di dalam diri Jehan dan ia ingin mengeluarkan itu. Semenjak dia menikah, terdapat perubahan besar pada diri Jehan sedangkan Jeksa tidak suka itu karena menurutnya hal itu membosankan.

Jeksa juga tau alasan Jehan menahan diri adalah kehadiran Rasel di dekatnya. Terlalu drama, itu yang ia pikir.

Rasel mengencangkan cengkramannya sebagai pertanda bahwa Jehan tidak boleh terpancing. Ia bisa merasakan suaminya itu benar-benar menahan emosi dan Rasel semakin takut.

"Ayolah, Je. Gue tau sebesar apa rasa ingin bunuh gue yang lo rasain sekarang–"

"Get the hell out of here, Jeksa." ucap Jehan dengan suara beratnya. Ia melepaskan tarikan cengkramannya pada kerah baju Jeksa lalu mundur.

"Pengecut," desis Jeksa remeh sambil merapihkan kerah bajunya yang berantakan. Jehan benar-benar menahan diri, tidak asik.

Jehan menarik nafasnya lalu menatap tajam pria itu, "Gue bilang pergi dari sini, brengsek."

"Dan lo melewatkan kesempatannya?"

"Gue ngga peduli," tukas Jehan tersenyum miring.

Jehan melewatkan kesempatan terakhir ini? Tidak, akan ada banyak kesempatan untuk mengakhiri ini semua dengan membunuh dalangnya dan saat itu terjadi Jehan tidak lagi melewatkannya. Camkan itu.

"Ok, you're the one who wants this to continue, so don't blame me or my fiancé for what happens next. Do we have a deal?"

"Go to hell, Navarez"

Jeksa mengangguk-ngangguk dengan senyum miringnya. Ia maju beberapa langkah mendekat ke arah Jehan dan Rasel. "Okay then.."

"Gue anggap lo siap dengan apapun yang lo hadapi nanti, dasar heroik–"

Kedua netra tajam bak elangnya beralih ke arah wanita yang masih memeluk lengan suaminya sembari menatapnya penuh kebencian. Jeksa pun tersenyum manis seraya menyelipkan surai hitam yang terangin-angin ke belakang telinga wanita itu.

"See you again really really soon, Beautiful"

Rasel melempar tatapan sinis ke arah Jeksa yang tersenyum aneh kepadanya sambil berjalan mundur meninggalkan dirinya dan juga Jehan. Rasel menggetar tak karuan, ia semakin mengeratkan gandengannya pada lengan Jehan.

"Jehan, maksud omongan dia apa?" tanya Rasel sedikit bergetar.

“Ngga usah dipikirin. Aku sama yang lain bakal pastiin ngga akan terjadi apa-apa, kamu percaya aku kan?”

Jehan menangkup wajah Rasel dan menatapnya lekat. Rasel mengangguk kecil. Setelah memastikan Jeksa pergi dari sini, Jehan langsung membawa Rasel kedalam pelukannya.

"But he's scaring me, Je"

"Everything will be okay."

I'm sorry, Rasel.

°°°

Jehan menarik tangan Rasel menuju sebuah butik ternama yang membuat Rasel bingung karena pasalnya Jehan belum mengatakan apa yang membuat suaminya itu mengajaknya ke tempat ini.

Di perjalanan tadi, Jehan mengatakan bahwa dia akan membawanya ke sesuatu tempat tetapi Rasel sama sekali tdak mengira butik adalah tempatnya.

Butik yang mereka datangi ini sangat terkenal dan harganya pun luar biasa mahalnya. Banyak orang yang mendambakan menikah memakai gaun pernikahan berasal dari butik ini, salah satunya Rasel.

Dari berbagai gaun putih yang dipajang saja, Rasel mendecak kagum bahkan jatuh cinta untuk desain-desainnya.

Semua keluaran gaun dari butik ini mempunyai nilai estetikanya sendiri. Desainnya otentik tapi tetap ada sentuhan modern, pernak-pernik atau aksesoris yang dipakai juga merupakan elemen asli sehingga nilainya pun bertambah. Ada harga ada kualitas memang.

"Besok itu anniversary perusahaan. Aku ngajak kamu kesini buat fitting beberapa gaun untuk acaranya besok,"

"Besok banget?!" pekik Rasel kaget. Jehan terkekeh dan mengangguk.

"Kenapa harus mendadak sih, Je??"

Jehan mendekatkan wajahnya ke telinga Rasel, "Jadi istri aku harus terbiasa sama semua hal yang dadakan, termasuk–"

"Termasuk apa hah?" potong Rasel langsung dan itu membuat Jehan tertawa.

"Selamat siang, Pak Jehan, Bu Rasel. Kami sudah dihubungi oleh Pak Marven dan kami juga sudah menyiapkan beberapa gaun untuk Bu Rasel jadi mari?"

Jehan dan Rasel sontak menoleh dan mendapati seorang perempuan berpakaian rapi yang menjadi ciri khas pegawai butik ini. Perempuan itu tersenyum ramah ke arah mereka berdua. Khususnya kepada Jehan, dapat dilihat dari wajahnya mereka sudah saling mengenal.

“Kaku amat sih, Ra..”

Perempuan itu terlihat masih muda, mungkin seusia dengannya. Ugh, Rasel sedikit tidak suka dengan bagaimana cara mereka saling memandang.

"Azura, desainer kepercayaan mamah sama Mbak Kana sekaligus pemilik butik ini." ujar Jehan. "Semua gaun yang mamah sama Mbak Kana punya, dia yang ngedesain sendiri. Kecuali gaun kamu waktu pernikahan kita kemarin karena dengan sombongnya dia menolak semua pesanan Kanagara–”

Eits, stop. Jangan salah paham tentang itu. Kanagara selalu jadi customer VIP aku tapi waktu itu pesanan aku terlalu penuh jadi aku terpaksa tolak semua pesanan baru termasuk gaun pernikahan kamu kemarin, so sorry for that” elak desainer itu.

Wow, aku-kamu.

“Hai, Rasel? Eum, aku boleh manggil gitu?”

Rasel tersenyum dan mengangguk kaku. “Senyamannya aja,”

“Salam kenal, Azura! Aku udah nyiapin beberapa gaun yang didesain khusus buat kamu sesuai permintaan Jehan, mau liat sekarang?”

Kepala Rasel menoleh ke arah Jehan yang sepertinya sedari tadi menatapnya. Tatapan Rasel seolah-olah meminta tanggapan dari suaminya.

“Aku lagi nunggu Marven jadi kamu duluan aja nanti aku nyusul. Pilih semua yang kamu mau ya,” ucap Jehan sambil tersenyum dan Rasel pun mengangguk saja lalu mengikuti langkah Azura menuju ruang fitting.

Tak lama seperginya Rasel, orang yang Jehan panggil secara mendadak yakni, Marven, akhirnya muncul dengan tergesa. ”Lo bilang Jeksa muncul? Dimana?”

“San Diego Hills,” jawab Jehan langsung.

What in the hell?! Brengsek! Tuh orang berani muncul disana?!” Marven murka. Sangat murka. Bahkan ketika detik ia diberitahu oleh Jehan bahwa Jeksa muncul tiba-tiba dihadapan Rasel saja Marven sudah murka.

Jehan memegang bahu Marven, "Gue mau lo ubah sistem akses disana. Pokoknya apapun caranya ngga ada yang bisa datang selain Rasel, gue atau keluarga gue,"

"Perlu gue kasih tau penjaga disana tentang Jeksa sama Lola?'' Tanya Marven.

"Hm. Gue rasa lebih baik kayak gitu," Jehan menepuk bahu Marven kemudian berlalu dari hadapannya.

Aneh sekali. Jehan malah terlihat tenang setelah bertemu dengan musuh bebuyutannya secara tiba-tiba.

"Kok lo bisa tenang banget sih, Je?!" Marven memekik kesal seraya mengikuti langkah pria itu.

Jehan dan Marven masuk kedalam ruang fitting yang dimana Rasel sedang mencoba seluruh baju yang telah disiapkan khusus. Ketika Jehan membuka pintu, mereka berdua langsung disuguhkan pemandangan Rasel dengan balutan gaun berwarna putih sedang berkaca diri.

"Gimana, Je?"

Mata coklat Jehan sontak membulat melihat area tubuh istrinya terutama bagian pinggang belakangnya terbuka hampir ke bokong. Hal itu langsung membuat Jehan menatap Marven dengan tajam.

"Lo tunggu diluar, sekarang." Marven buyar lalu mengangguk nurut. Setelah itu, dia pun keluar mengikuti perintah Jehan.

Jehan menghampiri Rasel disana yang sedang memandangi dirinya sendiri. Pinggangnya yang terekspos bebas membuat Jehan menahan nafas dan berusaha untuk biasa saja.

"Ini bagus banget, aku suka deh!" ucap Rasel terdengar senang.

"Tapi aku ngga suka," Jehan menyahuti setelah berdiri tepat di belakang Rasel.

"Loh kenapa? Liat desainnya, bagus tau! Selera kamu aja yang norak–"

"Ganti yang lain, jangan yang ini." ucap Jehan dengan suara beratnya seraya berjalan ke arah sofa tunggu yang letaknya tepat berhadapan dengan kaca.

Entah mengapa rasanya panas sekali saat ini, Jehan melonggarkan ikatan dasinya dan juga melepaskan jas hitamnya sebelum duduk di sofa.

"Kenapa dulu? Alasannya yang jelas coba,"

"Pinggang belakang kamu terlalu terbuka, Rasel" cetus Jehan tak suka.

Mendengar itu Rasel pun menahan senyum. "Oh jadi kamu–"

"Ganti cepetan." cela Jehan langsung sementara Rasel hanya terkikik tidak jelas.

Jehan melempar tatapan tajam ke arah Azura yang berdiri tak jauh dari kaca. Perempuan itu malah cengengesan bahkan tertawa tanpa suara.

"Dasar protektif," sahut Azura yang sedari tadi mendengar percakapan suami istri itu.

Rasel tersenyum menggoda ketika dirinya dan Jehan saling bertatapan. "Ciee.."

"Apa?"

"Katanya aku boleh pilih semua yang aku suka?"

"Aku tarik omongan aku yang itu." Rasel mendengus sebal dan ia terpaksa menggantinya, lagi.

Kalian pikir Jehan akan membiarkan hak miliknya dilihat oleh orang lain? Meskipun hanya sebatas pinggang tetapi Jehan tidak sudi apabila dirinya harus berbagi dengan orang lain.

Selagi menunggu, Jehan mengeluarkan ponsel dari saku celananya untuk memeriksa beberapa hal. Dan beginilah reaksi Jehan ketika Rasel sudah berkali-kali mengganti gaunnya.

"Model apaan itu?! Ganti!"

"Ya Tuhan, kok malah makin terbuka?!"

"Ganti yang lain."

"Aku ngga suka yang itu, ganti."

"Ganti, itu terlalu ketat."

"No, I hate that one"

"Ngga."

"Itu bagus tapi kamu terlalu cantik nanti banyak orang ngelirik kamu, aku ngga suka jadi ganti."

"Nah, I don't like that dress"


"ISH! SEMUANYA AJA NGGA SUKA!" Rasel menggeram kesal karena pasalnya sudah lebih dari delapan kali dirinya mengganti baju.

"Zura, semua gaun buatan lo emang di desain kayak gini? Lo kekurangan bahan apa gimana?"

Azura mendesah jengah, "Dari dulu konsep butik aku kombinasi antara klasik sama modern ya jadi emang gitu desainnya!"

"Kamunya aja yang terlalu over protektif padahal zaman sekarang model gaun hampir rata-rata kayak gini," cetus Azura.

"Jehan, kamu sadar ngga udah berapa kali aku ganti gaun? Kamu pikir ganti baju ngga cape apa?" tanya Rasel jengah.

Jehan mengedikan bahunya tak acuh. Ia sama sekali tidak peduli Rasel harus berapa gaun yang dicoba, pokoknya Jehan menolak semua gaun yang terlalu terbuka.

"Gaun-gaun tadi terlalu terbuka, Rasel. Nanti orang lain natap kamu yang engga-engga, aku ngga suka."

"Ck! Aku baru tau ternyata kamu seposesif ini," Rasel berdecak namun menahan senyum.

"Untung aja aku nyiapin banyak,"  Azura bergumam kecil disertai helaan nafasnya. "Let's try another one–"

"Ini yang terakhir kalinya! Kalo kamu tetep ngga suka, aku ngga peduli." ucap Rasel yang sudah sangat lelah bolak-balik ke ruang ganti sebanyak delapan kali.

"Yang tertutup, aku ngga mau tau!" balas Jehan terdengar serius.

"Ck, iya!"

Beberapa menit kemudian, Rasel dan Azura keluar dari ruang ganti dengan gaun lain yang modelnya berbeda dari gaun-gaun sebelumnya namun kali ini berwarna hitam. Mereka berdiri di hadapan kaca berdampingan, membelakangi Jehan yang tatapannya terus mengikuti setiap pergerakan Rasel.

Rasel memandangi dirinya sendiri di pantulan kaca. Melihat keindahan gaun yang ia pakai membuat Rasel tidak dapat berkata-kata. Ia masih tidak menyangka akan bisa memakai gaun yang dibuat langsung oleh desainer pemilik butik terkenal ini.

Rasel sempat meringis ketika tak sengaja melihat label harga yang tergantung pada bagian leher gaunnya. Jika mengingat kondisi ekonominya dahulu, sepertinya dapat terbeli setelah sepuluh tahun menabung atau bahkan lebih.

Senyuman manis terlukis di wajah Rasel. Ia sangat amat menyukai semua gaun yang sudah dicoba termasuk yang satu ini.

"Kamu suka yang ini ya?" tanya Azura sambil tersenyum.

Rasel mengangguk, "Lebih tepatnya aku suka semuanya tapi–"

Azura terkekeh kecil sembari mengelus lembut bahu polos Rasel. "Please, Jehan. Ini gaun paling tertutup yang pernah aku buat jadi kalo menurut kamu masih terbuka, berarti kamu yang ngga paham fashion!" ucapnya.

"Lagian keliatannya istri kamu suka banget sama gaun yang ini," goda Azura.

Jehan menyimpan ponselnya di dekat jasnya lalu menarik nafas dan menghampiri Rasel di depan kaca.

Dari pantulan kaca, Azura melihat Jehan yang mendekat ke mereka dan ia menangkap sesuatu. "I have to check something, you guys talk about it first okay?"

Setelah mengatakannya Azura pun langsung meninggalkan pasangan suami istri itu, siapa tau mereka memerlukan ruang dan waktu untuk membicarakannya. Azura itu peka.

"Yang ini bagus kan? Please, jangan minta aku ganti lagi-" ucap Rasel sedikit cemberut.

Jehan tersenyum dan menggeleng, "Yang ini aku suka."

"Serius??" Rasel berbinar senang sedangkan Jehan mengangguk.

"Coba liat sini," Jehan menarik kedua bahu polos Rasel agar menghadapnya. Ia ingin melihat penampilan istrinya yang begitu menawan itu dengan mata kepalanya sendiri.

Rasel tersenyum merekah setelah mengubah posisinya menjadi berhadapan dengan Jehan. "Okay, so what do you think?"

Jehan memandang dari kepala hingga ujung kaki, tidak melewatkan satu inci pun. Ia sangat kagum dengan kecantikan paripurna yang dimiliki istrinya ini. Ditambah kalung indah pemberiannya yang terpasang di leher jenjang Rasel, benar-benar definisi sempurna baginya.

Senyuman tulus kini muncul di wajah tampan Jehan sembari mengusap lembut pipi tembam Rasel. "Cantik,"

"Kamu cantik banget–"

"Apaan sih, Je" desis Rasel menahan diri agar tidak salah tingkah.

"Aku serius, kamu cantik banget pake gaun ini," Rasel tersenyum malu mendengar pujian yang diberikan suaminya sendiri.

“Y-yaudah. Jadi yang ini aja ya?”

Jehan mengangguk. “Cuma satu ini? Mumpung disini ngga akan cari yang lain? Kecuali gaun-gaun terbuka yang tadi,”

“Engga, yang satu ini aja mahal banget dan udah cukup buat aku.” jawab Rasel yang diangguki Jehan. Pria itu menghargai apapun perkataan Rasel meskipun baginya semua nominal untuk setiap gaun disini bukanlah suatu masalah.

"Tapi aku mau gaun yang pertama juga, boleh ngga?" teriak Rasel dari dalam ruang ganti.

"Ngga!"

°°°

Natalie memasang earpiece nya sambil menatap ke layar tablet di tangannya, sedang memonitor situasi semua titik yang tertangkap kamera pengawas. Disitu terlihat sudah mulai ramai didatangi para tamu undangan.

Benar. Hari ini adalah Perayaan hari jadi KNG's Group yang ke 25 tahun. Sebuah acara yang bukan acara sembarang karena agenda perayaan disini tidak hanya sebatas pesta tetapi juga selalu adanya investasi hingga penggalangan dana yang nantinya akan didonasikan kepada mereka yang membutuhkan, seperti contohnya panti asuhan dan rumah sakit.

Selain itu, tamu-tamu yang datang juga  bukan hanya karyawan perusahaan. Banyak orang penting yang diundang secara khusus untuk menghadiri acara ini oleh pimpinan, ketua dewan, direktur serta para pemegang saham KNG's Group.

Acara perayaan ini sangat penting terutama bagi keluarga Kanagara yang notabenenya ialah pendiri dari perusahaan sukses ini. Sebegitu penting, Natalie diberi kepercayaan oleh Jehan langsung untuk menjadi kepala keamanan selama acara berlangsung. Maka dari itu, dia mengerahkan seluruh tenaga sekaligus anak buahnya menjadi tim keamanan untuk acara ini.

Bahkan ia membuat sebuah tanda di kerah baju masing-masing anak buahnya sebagai petunjuk bahwa mereka bekerja dibawah komando Natalie.

Semua pemuda bersetelan rapih hitam dan putih yang berdiri tegak dengan tatapan lurus kedepan di setiap titik gedung ini merupakan bawahannya. Jika dijumlahkan mungkin sekitar 200 lebih ajudan yang ditugaskan.

Namun karena Pimpinan mengundang menteri dan beberapa tamu penting lain, alhasil Natalie harus bekerja sama dengan pihak kepolisian supaya kejadian pengeboman di masa lalu yang benar-benar membuat keluarga Kanagara harus lebih waspada tidak terulang kembali.

Kini Natalie dan Billy masuk ke dalam ruangan yang berisi Pimpinan, Tania, Kanara, Jendra, Yaslan, Alaya dan Ezzra. Disana mereka sudah dengan setelan rapihnya masing-masing dan panggilan Pimpinan membuat mereka semua berkumpul di ruangan itu.

"Tim keamanan sudah di posisi, Pak" lapor Natalie kepada Pimpinan.

Pimpinan yakni Kakek dari Kanara, Jehan dan Jendra, itu mengangguk. "Bagus, untuk masalah keamanan Jehan serahkan ke kamu dan saya juga percaya kamu, Natalie"

"Oh ya, saya mendengar kabar dari Jehan tentang Jeksa kemarin. Dia muncul di pemakaman keluarga?" tanya Kakek dengan suara beratnya.

Kanara mengangguk. "Iya, Kek. Whoa, he really can do everything."

"Kemarin malam Billy dan beberapa anak buah saya melihat Jeksa di salah satu kasino daerah Utara." jawab Natalie, setelahnya memberi kode kepada Billy di sampingnya.

Billy maju mendekat sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya kemudian dia menyimpannya di atas meja. Atensi perhatian  Pimpinan, Tania, Kanara, Jendra dan yang lain pun teralih kepadanya.

Beberapa lembar foto tergeletak di atas meja yang menampakkan seorang Jeksa terlihat sedang bersenang-senang.

"Ini foto yang saya ambil kemarin malam, tapi saya tidak melihat tanda dari tunangannya. Sepertinya Lorenza masih bersembunyi." ucap Billy.

Pimpinan alias Kakek Kanagara memendam amarah saat memandangi foto-foto itu sambil menopang dagunya. Alis yang menderut serta raut wajah yang kurang bersahabat membuat semua orang yang ada disana sedikit takut.

"Jehan sama Rasel sudah datang?" tanyanya.

"Belum," jawab Tania langsung.

"Cari tau tujuan dia sekarang juga."

Jendra berdecih, "Bukannya udah jelas? Dari awal tujuan bajingan ini selalu sama, pasti Rasel"

Natalie melihat kekhawatiran di wajah Pimpinan dan wajah yang lainnya juga. Ia memahami kekhawatiran tersebut, namun setelah melihat jam tangannya Natalie merasa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mengekspresikan rasa khawatir tersebut.

Mengingat mereka adalah subjek paling penting dari acara perayaan malam ini tentunya mereka harus fokus.

"Acaranya sebentar lagi dimulai, para tamu VIP juga sudah datang jadi sebaiknya Pimpinan dan Bu Tania menemui mereka"

"Saya akan memperketat keamanan terutama di bagian pintu masuk. Untuk Jehan dan Rasel, saya juga sudah menyiapkan tim khusus buat mereka." katanya.

Pimpinan mengangguk kecil lalu berdiri. "Nat, kalau ada apa-apa saya serahkan ke kamu sepenuhnya." ucapnya yang menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada Natalie.

"Baik, pak."

"Tania, Kana, Jendra, kita harus keluar. Ada tamu yang harus kita temui sekarang."

Mendengar ucapan Pimpinan alias sang kakek bagi Kanara dan Jendra dan ayah mertua bagi Tania, mereka bertiga merapihkan setelannya sebelum kembali ke Ball room dimana acara perayaan berlangsung.

Kanara menggandeng kakeknya sedangkan Tania menggandeng putra bungsunya kemudian mereka keluar dari ruangan situ bersamaan.

Seperginya keluarga penting tersebut membuat yang lain langsung memasang earpiece di kedua telinga mereka sambil bersiap-siap. Dan Alaya sedang menyiapkan laptop serta berbagai perangkat yang sulit dijelaskan untuk keperluan nantinya.

“Cek audio lo semua,” sahut Alaya tiba-tiba. Natalie, Yaslan, Ezzra dan Billy mengikuti perkataan Alaya dengan memeriksa alat earpiece yang terpasang di telinga mereka. “Oke, aman”

“Acara utama hari ini tuh pesta perayaan, lo pada bisa enjoy. Tapi gue tekanin sekarang, rencana ngga ada yang berubah, jadi meskipun kalian nikmati acaranya gue tetep butuh kerja sama lo semua.” ucap Natalie terdengar tegas.

"Stay focused. We don't know what plan they came up with and we can't underestimate Jeksa with Lorenza,"

"Gue langsung ke posisi." celetuk Yaslan sembari memasukan pistol yang telah diisi penuh peluru.

"Tunggu," sahut Ezzra berhasil membuat mereka yang hendak pergi berhenti.

"Pake ini, semuanya. Gue ngga mau ada yang kenapa-napa malam ini."

Ezzra memberikan rompi anti peluru kepada mereka semua. Ia harus menyiapkan segala kemungkinan yang ada di malam ini, terlebih Jeksa yang kembali muncul.

-

Jehan menggandeng Rasel sambil berjalan memasuki ball room yang menjadi tempat berlangsungnya acara perayaan hari jadi perusahaan. Di dalam sudah ramai sekali. Tamu undangan sudah datang dan kebanyakan dari mereka sudah menunggu kehadiran Jehan dan Rasel dari tadi.

Pasangan itu sedikit terlambat dari waktu yang seharusnya. Salahkan Rasel yang begitu lama merias dirinya dan salahkan Jehan yang terlalu bersantai padahal Marven sudah mengingatkan bahwa mereka berdua tidak boleh terlambat.

Tentunya Marven kesal. Lelaki itu masih saja menunjukkan wajah kekesalannya saat ini. Tetapi tak lama dia tidak menghiraukannya dan fokus pada keberlangsungan acara malam ini.

“Tamu VIP di depan semua," ucap Marven yang diangguki Jehan.

"Orang-orang yang dateng ke acara ini pasti orang penting semua, ya kan?" bisik Rasel takjub.

Kemeriahan dan kemegahan yang menjadi suasana saat ini berhasil mengesankan Rasel yang tidak pernah menghadiri acara perayaan begini. Benar, ini pertama kalinya bagi Rasel.

Dahulu hanya sebatas angan-angan saja, sama sekali tak mengira akan bisa merasakan hidup yang seperti ini. Percayalah kini Rasel sedang tersenyum senang. Untuk sesaat, wanita itu melupakan apa yang terjadi pagi tadi.

"Ngga semua. Ini kan perayaan perusahaan, jadi karyawan biasa juga diundang kok" balas Jehan tak henti melempar senyum kepada semua orang yang dilaluinya.

"Kalo gitu penampilan aku–"

"Kamu cantik malam ini." Jehan langsung memotong ucapan istrinya dengan bisikan.

Jehan tidak berbohong. Sudah berkali-kali ia terhipnotis dengan istrinya sendiri karena Rasel memancarkan kecantikannya yang tiada tara malam ini. Buktinya orang-orang yang ada disitu memandangi Rasel dengan tatapan terpukau dengan penampilannya yang begitu menawan.

Mereka jadi semakin percaya bahwa rumor yang beredar kemarin adalah berita palsu yang sengaja disebarluaskan dengan tujuan menjatuhkan Rasel.

“Jehan, ini kan acara penting buat perusahaan. Aku takut malu-maluin kamu sama keluarga kamu” bisik Rasel meragukan dirinya sendiri sehingga Jehan pun menghentikan langkahnya.

“Malu-maluin kenapa?”

"Ya–"

"Masih karena rumor itu? Coba liat gimana cara orang sekitar mandang kamu sekarang," cela Jehan terdengar jengah.

Rasel mengikuti perkataan sang suami dengan melihat sekelilingnya dan mendapati orang di sekitarnya memang memandangnya dengan tatapan terpesona.

"Aku udah bilang untuk masalah rumor itu, biar aku, kakek sama mamah yang urus. Kita punya jalan keluarnya, kamu tenang aja."

"Apa itu?"

"Aku ngga bisa jelasin sekarang, Sel" Rasel mendengus sebal terhadap jawaban suaminya yang kembali melanjutkan langkahnya dan mulai menyapa beberapa tamu.

"Pak Jehan,"

"Mohon maaf atas keterlambatan saya tapi selamat datang, Pak Menteri" ucap Jehan seraya menjabat tangan pria agak tua dengan tampilan rapih itu.

"Selamat hari jadi perusahaan yang ke 25 tahun, Pak Jehan" balasnya.

"Terima kasih. Ah ya ini istri saya, Rasel"  Jehan sedikit menarik gandengan Rasel supaya istrinya itu sejajar dengannya dan pak menteri tersebut tersenyum kikuk ke arahnya.

Rasel dapat melihat sesuatu yang aneh dari wajah pak menteri itu, seolah beliau sedikit tidak menyukainya. Pasti karena rumor yang beredar kemarin bukan?

Jehan langsung memahami situasi saat ini. Ia mengencangkan genggaman tangannya dengan tangan Rasel supaya istrinya itu tidak memikirkan hal yang aneh-aneh.

“Rasel ini pilihan ibu dan mendiang ayah saya langsung, jadi saya harap Pak Menteri tidak termakan oleh berita yang beredar seperti petinggi-petinggi lainnya” ucap Jehan tanpa berpikir lama.

Bapak menteri itu tertawa kecil. “Tenang saja, Pak Jehan. Saya bukan tipe orang yang mudah percaya dengan berita tidak berdasar,” Mendengar hal itu Jehan tersenyum kecut dalam diam.

Rasel mengulas senyum kikuk terhadap situasi saat ini namun tak lama kemudian matanya bertemu dengan ibu dan kakak mertuanya sedang menyambut tamu juga diseberang sana.

"Jehan.."

"Saya permisi sebentar," Jehan sontak menoleh ke arah Rasel. "Kenapa?"

“Aku ke mamah aja ya?” bisiknya.

Helaan nafas keluar dari hidung Jehan lalu pria itu mengangguk pelan. “Ngga nyaman ya? Yaudah tapi pasang dulu earpiecenya,”

Jehan menatap Rasel yang sedang merogoh tas selempangnya untuk mencari earpiece yang dirinya berikan sebelumnya di mobil tanpa ekspresi, entah apa maksud dari tatapan itu.

Sesuai dengan perkataan Jehan tadi, Rasel segera memasang alat tersebut ke telinga kirinya. "K-kenapa ngeliat aku kayak gitu?"

"Ya, cek audio Rasel."

'Udah masuk ke gue kok, aman. '

"Whoa, gue bisa denger suara lo, Ya!" pekik Rasel terkejut dengan suara yang muncul dari alat yang sudah terpasang di telinganya.

'Norak lo, Sel'

"Ish! Maklumlah! Gue ngga pernah pake beginian tau?! Biasanya cuma liat di film-film doang," Rasel mengerucutkan bibir bawahnya. Jehan tersenyum gemas sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah istrinya itu.

“Udah kan? Aku ke mamah dulu ya, dadah!” bisik Rasel langsung pergi meninggalkan Jehan dan menuju ibu mertuanya di sebelah sana.

Jehan menatap Marven dengan tatapan yang sulit dideskripsikan namun Marven memahami maksudnya dengan cepat. Dia langsung memberi isyarat kepada dua penjaga yang berdiri tidak jauh darinya kemudian kedua penjaga tersebut beranjak dari posisinya.

"Lo udah siap?" tanya Marven setelahnya.

"Siap apaan?"

"Pimpinan mau lo yang isi pembukaan acaranya" ucapnya.

Jehan tersentak tidak suka mendengar itu, "Kenapa gue?!"

"Lo calon pewaris, bodoh!" umpat Marven kesal sementara Jehan mendengus seraya merotasikan bola matanya.

°°°

Yaslan merapihkan setelan bajunya namun mata tajamnya mengitari ke seluruh penjuru ruangan. Sementara Ezzra mengambil dua gelas ketika seorang pelayan melewatinya sambil membawa nampan.

"Rasel cakep banget malam ini," ucap Yaslan sembari menerima gelas yang diberi kawan detektifnya itu.

Ezzra meneguk minumannya sedikit-sedikit, "Dia bini temen lo, Lan"

"Justru itu gue ngomong jujur"

"Lo bosen hidup apa gimana? Gue saranin lo ngga usah cari masalah sama si Jehan lah," Yaslan tertawa kecil bersamaan Ezzra yang menggelengkan kepalanya.

"Zra, sampe detik ini gue ngga tau sebesar apa utang lo ke Jehan." ujar Yaslan tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.

"Lucu ya? Bertahun-tahun kita jalanin misi tapi ngga ada satupun yang tau latar belakang satu sama lain kenapa kita bisa disini dan anehnya kita bisa saling percaya bahkan gue percaya lo semua lebih dari apapun,"

"Ngga ada kata yang bisa ngejelasin seberapa besar utang gue buat keluarga ini, gue yakin lo paham apa yang gue maksud" Ezzra meneguk tegukan terakhirnya lalu menepuk bahu Yaslan.

"Gue ngga pernah membayangkan hidup gue bakal kayak gini."

Ezzra menghela nafas. Ia menatap nanar ke arah teman baiknya yang hendak mengisi pembukaan acara malam ini di depan sana lalu ia juga menatap nanar ke arah wanita bergaun hitam tak jauh dari posisinya.

"Gue juga,"

"Tapi gue lebih menyayangkan mereka berdua harus ngalamin semua ini. Terutama Rasel, di umur duabelas tahun dia liat apa yang seharusnya ngga dia liat. Ngga banyak orang yang bisa bertahan tapi dia bisa, gue takjub.."

Yaslan tersenyum dan mengangguk tipis. "She's lucky–"

"Dapet suami modelan Jehan" Yaslan terkikik diakhir kata.

"They're lucky to have each other," ralat Ezzra.

"Gue rasa pertemuan mereka emang takdir," sahut seseorang yang entah kapan datang dari samping kanan Ezzra. "They really complement each other," lanjutnya.

Ezzra dan Yaslan pun sontak menoleh saat mendengar sahutan tersebut. "Selamat malam, Bu Dokter.." sapa Yaslan.

"Gue kira lo ngga bakal datang, Sya" Ezzra terheran. Pasalnya tadi siang ia mendengar kalau sahabatnya Rasel yang satu ini tidak dapat menghadiri acara ini.

"Tadinya gitu sih, tapi setelah gue pikir-pikir kapan lagi gue datang ke acara perayaan kayak gini," jawab Jisya.

"Dan acara keluarga tajir kayak Kanagara udah pasti punya minuman alkohol yang terbaik, gue ngga mau melewatkan itu." kekehnya sembari mengambil satu gelas dari nampan pelayan yang lewat.

Ezzra dan Yaslan berdecih sambil menggeleng, alasan yang aneh namun dapat diterima. "Aneh lo,"

"Ngomong-ngomong gue udah denger tentang Jeksa, lo semua punya rencana apa malam ini?"

"Biasa–"

"Ngga ada rencana apa-apa." balas Ezzra dengan suara beratnya.

Jisya menatap Ezzra dengan tatapan tidak percaya, “Lo bohong ya? Gue liat Natalie barusan”

“Jehan nunjuk dia jadi kepala keamanan buat acara ini, ngga ada alasan khusus” ucap Ezzra terdengar meyakinkan. Namun Jisya tidak percaya semudah itu.

“Lo pikir gue bodoh?”

Ezzra berdecak kesal, “Sorry to say tapi ngga setiap rencana lo harus tau, Jisya”

"Gue cuma mau bantu–"

"Kemarin lo udah cukup membantu. Tapi sekarang gue ngga mau ambil resiko," balasan Ezzra kali ini berhasil membuat Jisya menghela nafasnya.

"Okay, whatever. Lo berdua liat Rasel ngga? Gue belum ketemu dia dari tadi,"

Yaslan menunjuk ke depan memakai dagunya, "Gue khawatir orang-orang itu nyinggung berita Rasel kemarin."

Jisya melipat kedua tangannya di depan dada dan ia merotasikan bola matanya. "Sampe detik ini gue heran kenapa lo semua ngga bertindak sama sekali padahal kalian tau berita itu ngga bener–" sindirnya.

"Don't blame us, Ms. Haranarati. Jehan bilang dia yang bakal urus masalah berita itu sendiri dan ngga ada satupun dari kita yang tau rencananya, kita semua cuma nunggu perintah dia."

"Ck terserah! Hidup lo semua dipenuhi rencana mulu, muak gue." cetus Jisya setelahnya pergi meninggalkan Ezzra serta Yaslan yang saling bertatapan disitu.

Disisi lain, Natalie dan Billy tidak dapat begitu menikmati acaranya meskipun belum dimulai. Mereka berdua sangat waspada dengan situasi sekitar, terlebih semenjak kedatangan Jehan dan Rasel.

Hingga detik ini belum ada tanda-tanda yang menimbulkan kecurigaan namun justru hal itu yang membuat mereka janggal. Permainan Jeksa dan Lorenza terkenal bersihnya sampai mereka harus sigap tiap detiknya.

"Sebentar lagi Pak Jehan pembukaan, periksa kembali balkon atas dan pantau terus setiap sudut kamera pengawas." ucap Natalie sambil berjalan menghampiri Alaya.

'Baik, Bu. Tapi sejauh ini tidak ada yang aneh atau mencurigakan'

"Tetap fokus."

Natalie menepuk bahu kanan Alaya, "Lo dapet apa disini?"

Alaya mengedikkan bahunya dan menggeleng. "So far, nothing suspicious. Gue heran deh–"

"Seorang Jeksa ngga mungkin gerak lambat kayak gini. Lo curiga sesuatu ngga, Nat?!"

"Perasaan gue ngga enak," Natalie bergumam gelisah.

"Lo bisa akses daftar tamu undangan kan?" Alaya mengangguk. "Oke, periksa semua tamu udah pada masuk atau belum nanti kabarin gue langsung."

"Got it."

Setelah itu, Natalie pun pergi meninggalkan Alaya yang sibuk dengan laptopnya. "Billy, lo dimana?"

'Lantai satu, ada yang janggal jadi gue periksa'

Billy sangat fokus memeriksa keadaan. Entah perasaan janggal apa yang muncul di benaknya saat ini, yang jelas batinnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.

Hal tersebut muncul semenjak Billy tidak sengaja melihat ke arah pintu masuk yang dijaga oleh dua penjaga. Saat itu terlihat normal namun di mata Billy tidak, dua penjaga tersebut bertingkah cukup aneh.

Billy merasa kedua orang itu bukan seperti anak buah didikan Natalie. Meskipun ia tidak melihat wajahnya namun gelagatnya berbeda. Memang belum lama ia mengenal Natalie, tetapi selama ia bergerak di dekat wanita itu ia bisa mengenal sekaligus memahami bagaimana didikan Natalie terhadap semua ajudannya.

Rasa kewaspadaan yang timbul karena keanehan itu membuat Billy menjadi lebih teliti daripada biasanya. Dirinya bahkan tidak memperdulikan orang-orang yang sedari tadi memandangnya kagum. Tak sedikit wanita mencoba mengajaknya berbincang, tetapi Billy mengabaikannya.

Laki-laki berjas hitam ini memeriksa toilet serta mengawasi setiap orang yang mencurigakan. Ia menggunakan mata tajam bak elang dan juga insting kuatnya supaya dia tidak melewatkan sesuatu.

"Kalian tidak melihat orang mencurigakan disini?" tanya Billy kepada tiga anak buah Natalie yang ditugaskan di posisi ini.

"Sejauh ini tidak, pak" jawab salah satu dari mereka. Billy pun mengeraskan rahangnya dan mengepalkan kedua tangannya.

Seberapa kuatnya perasaan tidak enaknya, Billy tidak menemukan apa-apa. Situasi disini tidak sesuai dengan apa yang ia pikirkan dan itu membuatnya kesal. Billy mengedarkan pandangan tajamnya ke seluruh penjuru ruangan yang dipenuhi orang penting ini.

Hingga kedua matanya jatuh pada sebuah pintu yang jaraknya enam langkah dari posisinya saat ini dengan kondisi sedikit terbuka. Perasaan janggalnya kembali muncul karena pintu tersebut tidak seharusnya terbuka.

Billy menghampiri pintu tersebut secara perlahan sambil bersiap diri dengan memegang pistolnya yang terselip di belakang tubuh. Ia bergerak hati-hati karena dirinya tidak mau menjadi pusat perhatian dan menimbulkan kericuhan.

Lelaki itu langsung masuk ke dalam dan menutup pintunya agar tidak terlihat oleh orang lain. Kali ini dugaannya benar. Billy mendapati dua orang tidak sadarkan diri dengan posisi yang tidak mengenakkan untuk dilihat.

Umpatan pun keluar dari mulutnya seraya ia memeriksa kerah baju kedua orang tersebut, memastikan apakah mereka anah buah Natalie atau bukan.

'NW-00177' dan 'NW-00178'

"Nat, anak buah lo nomor 177 sama 178 bertugas dimana?"

'177, 178? Tunggu-'

'Pintu masuk. Gue tugasin mereka buat ngurus akses masuk semua tamu, kenapa?'

'Shit. Nat, tadi lo minta gue periksa daftar tamu kan? Gue udah cek dan tamu undangan terakhir udah masuk dari setengah jam yang lalu,'

Billy memejamkan matanya, kedua tangannya pun mengepal kuat. "Damn it!"

"Kita ubah ke rencana B."

"Semuanya denger gue, ada penyusup disini. Dua orang yang jaga pintu masuk sekarang bukan anak buah Natalie. Gue mau lo semua lepas tugas lo sekarang dan fokus cari penyusup itu!"

"Jangan sampe menarik perhatian, cari secara diam-diam."

"Al, gue ngga maksud ngeraguin kemampuan lo tapi gue mau lo periksa ulang rekaman CCTV dari sebelum acara dimulai. Gue yakin kita ngelewatin sesuatu."

'Got it, tapi kayaknya gue butuh waktu–'

"Sorry, Al. Tapi waktu lo ngga lebih dari 10 menit."

"Nat, gue tunggu lo di titik utama sekarang."

"Lan, lo harus stand by di samping podium."

'Bu Tania sama Pimpinan?'

'Ada gue sama Jendra.'

"Zra, lindungi menteri-menteri jadi prioritas lo sama tim kepolisian lo dan Marven–"

"Gue mau lo stand by ngawasin Rasel."

-

Rasel tertawa kecil setelah mendengar ucapan kakak iparnya yang menceritakan tentang kelakukan adik-adiknya beberapa tahun lalu, mayoritas sih cerita tentang Jehan.

"Gue serius, Sel. Jehan yang sekarang dikenal kaku dulunya ngga sekaku itu justru di antara gue, dia sama Jendra, Jehan yang paling manja, konyol, kekanak-kanakan pake banget" Kanara menggeleng-gelengkan kepalanya yang tiba-tiba memutar kembali masa kecilnya.

"Jujur aja gue ngga bisa ngebayangin Jehan konyol, kekanak-kanakan atau manja," kekeh Rasel yang kemudian meneguk air lemon di gelasnya.

Kanara sontak menatap Rasel dengan tatapan menggodanya. "Percaya sama gue, dia bakal nunjukin sisi manjanya ke lo suatu saat nanti."

"Dan gue harap lo kuat ngehadapinnya," sahut Jendra dari belakang Rasel.

Rasel cukup terkejut namun ia menutupinya dengan cepat. "Gue? Kuat? Emang separah itu?"

"Just wait and see." Jendra mengedikan bahu dan tersenyum miring. "Lo ngga akan pernah ngira suami lo punya sisi kayak gitu."

"Shit, lo berhasil bikin gue semakin penasaran" Rasel terkekeh bersama Kanara dan Jendra.

"Ngomong-ngomong, Jehan ngga mungkin bahas tentang gue disini kan?" tanya Rasel yang terdengar resah ketika arah tatapnya menuju ke podium dimana suami berdiri penuh wibawa disana yang hendak membuka acara.

"Bahas lo tentang apa?" Kanara dan Jendra sama-sama terheran. "Rumor kemarin??"

Rasel mengulum bibirnya lalu mengangguk tipis, "Tadi Jehan bilang–"

"Bilang apa?" cela seseorang dari belakang Rasel yang membuatnya terkejut. "Ih mah, ngagetin aja.."

Tania tertawa sambil merangkul dan menatap dalam-dalam menantu kesayangannya itu.

"Malam ini menantu mamah cantik sekali orang-orang sampe terhipnotis loh.."

Rasel tersenyum malu menanggapi pujian ibu mertuanya namun ia menggeleng seolah dirinya tidak percaya diri. "Engga segitunya, mah–"

"Mamah serius, yang disana ngga berhenti muji kamu. Tuh keliatannya si Kakek bangga banget punya kamu,"

Jendra, Kanara dan Rasel sontak mengikuti arah pandang Tania yang tertuju ke depan yakni area khusus orang-orang penting, termasuk Kakek Kanagara salah satunya. Dari ekspresi di wajahnya, memang terlihat senang sekaligus bangga bahkan sesekali beliau memandang ke arah mereka bertiga.

"Kana, Jendra, kakek manggil kalian. Kesana gih!" ujar Tania seraya menarik putri sulung dan putra bungsunya, memaksa mereka berdua untuk menghampiri sang Kakek disana.

Kanara menahan senyum sambil mendekatkan diri ke telinga Rasel sebelum dirinya ditarik lebih jauh. "But really, Sel. You look so stunning" bisiknya.

"Ck!" decak kakak beradik tersebut secara kompak ketika sang ibu mendorong mereka menjauh. "Iya sabar dong, Mah!"

"Mereka tamu pentingnya kakek, kalian harus nyapa. Cepetan!"

Tania tidak berencana mengajak Rasel bertemu dengan tamu-tamu penting itu. Bukan karena ia ragu atau malu tetapi karena Tania berusaha melindungi menantu kesayangannya dari gunjingan yang tidak beradab.

Meskipun beberapa saat yang lalu Tania baru saja mengatakan bahwa para tamu penting itu memuji Rasel namun mereka akan menyinggungnya mengenai rumor kemarin dan Tania tidak mau Rasel berada di situasi tersebut.

Yang termasuk tamu-tamu penting itu adalah para pemegang saham dan beberapa diantaranya mencoba menjatuhkan Jehan serta mengambil alih perusahaan. Rumor tentang Rasel sudah pasti akan dijadikan sebagai bahan ancaman agar Jehan mengalah.

Setelah memastikan arah jalan kedua anaknya menuju area sana, Tania pun memegang bahu Rasel. "Kamu tunggu disini dulu ya, gapapa?"

Rasel mengangguk sambil tersenyum kemudian ia menarik salah satu kursi disitu dan ia pun mendudukkan dirinya. Rasel hanya bisa menatap lurus ke depan sambil memainkan tisu bekas diatas meja karena kursi-kursi di sampingnya kosong

Sialnya, Rasel tidak pandai berbaur dalam acara seperti ini padahal semua orang yang ada disini mengetahui dan mengenal siapa dirinya. Rasel itu pemalu terlebih di sebuah keramaian.

"Apa yang bikin Nyonya Muda Kanagara yang satu ini ngelamun, hm?"

Rasel sontak menoleh dan melihat sahabatnya berdiri sambil memegangi gelas. Hal tersebut berhasil membuat Rasel tersenyum merekah.

-

Natalie menahan tangan Billu yang hendak mengeluarkan pistolnya. "Lo gila?! Banyak orang yang merhatiin disini!"

"Gue pake peredam–"

"Bill, jangan gegabah. Kalau penyusupnya suruhan Jeksa kita ngga boleh ninggalin jejak sedikit pun. He's smart and we must not take any risks here so we need to do it quietly, okay?"

Billy menggertak dan menghela nafas lalu ia menuruti perkataan Natalie. "Brengsek–" dia bergumam kecil.

Natalie melihat kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang memerhatikan disini. Setelah itu Natalie melangkah dan berdiri tepat di depan salah satu dari dua pria yang menjaga pintu masuk sementara Billy berdiri di lelaki satunya lagi.

"Apa kode lapangan kamu?" tanya Natalie langsung pada intinya.

Pria itu mengernyit bingung, "K-kode lapangan?"

Natalie memberi kode kepada Billy melalui tatapan singkat kemudian setelahnya ia tersenyum miring dan maju satu langkah lebih dekat untuk mengintimidasinya.

"Kamu tidak tau kode lapanganmu sendiri?"

"S-Saya..."

"Kalian siapa? Saya tau persis setiap anak buah yang saya didik tapi saya tidak mengenal kalian berdua." ucap Natalie dengan suara beratnya dan terdengar arogan.

Billy juga melakukan hal yang sama dengan Natalie. Ia mengunci tatapan tajamnya ke setiap inci wajah pria di hadapannya yang terlihat tidak mengenal takut.

"Mencoba untuk menyabotase, huh?" bisiknya tanpa ekspresi. Perlu diketahui bahwa saat ini Billy sedang menahan diri untuk tidak memulai keributan dan merusak acara.

"Ikut saya kalau kalian masih mau hidup."

Natalie menarik kasar kerah baju pria tersebut lalu menariknya menuju toilet, Billy pun  melakukan hal yang sama sementara dua pria yang ditawan hanya bisa diam mengikuti tanpa berencana memberontak. Cukup aneh.

Di dalam toilet, Natalie dan Billy sama-sama menghempaskan tubuh kedua pria tersebut sehingga mereka tersungkur kasar dan meringis kesakitan. Oh di situasi seperti ini jangan harap Natalie serta Billy akan bersikap lembut. Tidak lupa untuk mengunci pintu toilet supaya tak ada yang masuk dan memergoki kegiatan ini.

Who are you trying to give access to?!” bentak Natalie yang telah menahan kegeramannya.

Salah satu dari kedua pria yang masih terbaring di lantai menyeringai penuh kemenangan. “Long enough for you to realize it–” katanya dengan nada meremehkan.

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Tanpa berperasaan, Billy menendang kencang perut pria yang baru saja meremehkannya beserta timnya. “Siapa bos kalian? Jeksa? Lorenza?”

Natalie melipat kedua tangannya di depan dada sambil memegang pistol milik kedua laki-laki itu yang sempat ia ambil barusan dan membiarkan, Billy, rekannya itu bersikap kasar  bahkan ia tidak berencana untuk menghentikannya.

“Wajah mereka non-lokal, tinggi, ngga fasih bahasa lokal dan mereka pake jenis pistol Beretta 92 yang dimana pistol ini sering dipake di Italia–” sahut Natalie.

“Setau gue Keluarga Navarez selalu pake pistol ini. So yeah, udah pasti mereka kerja dibawah perintah Jeksa sama Lorenza.” lanjutnya.

Billy menjongkokkan dirinya kemudian menatap mereka dengan tatapan seolah dirinya haus darah. “Your bosses, where are they?

Too late, brother. Our plan goes perfectly and we prepare some of element of surprise..” Kekehnya. Dia cengengesan penuh kemenangan dengan mulut yang mengeluarkan darah akibat tendangan kencang yang diberi Billy beberapa saat lalu.

Kedua alis Natalie langsung bertaut aneh. “Al, lo denger itu kan?”

‘Yeah, dan kayaknya gue tau kejutan apa yang dia maksud because guys.."

'Jeksa sama Lola disini!’

“Disini?! Disini gimana maksud lo?!” sentak Billy meninggikan suaranya.

‘Mereka ada di acara ini, bodoh!’

‘Lo yakin itu mereka? Lo yakin salah satunya Lola, Al?’

‘I swear to God. Selama gue hidup gue ngga pernah seyakin ini, Zra. Tapi gue belum tau tujuan mereka kesini.’

Natalie tersenyum miring setelah ia menyadari sesuatu. “Rasel…”

They here to surprise her,

Billy menggeram dan mengumpat kesal sementara dua laki-laki yang masih di lantai mengulas senyum yang menunjukkan bahwa mereka puas dengan reaksi yang mereka lihat. Namun tak lama kemudian,

Dor!

Dor!

Natalie terkejut dengan suara tembakan itu. Ia sontak menatap Billy yang terlihat biasa saja setelah menembak dua bawahan Jeksa dan Lola tepat di dahinya.

What the hell did you just do?

“Gue ngga nyuruh lo buat bunuh mereka, gila!”

Billy memasukkan kembali pistolnya lalu menoleh ke arah Natalie, “Tangan gue terlalu gatal. Lagian Mereka ngga berguna, Nat”

“Mending lo ke Rasel sekarang dan lapor tentang ini ke Pimpinan, biar gue yang beresin ini.”

°°°

“Jadi ceritanya lo cemburu sama desainer kepercayaan Kanagara nih?” goda Jisya.

“Gue ngga cemburu, Jisya!” elakan Rasel malah membuat sahabatnya semakin tersenyum menggodainya dan terkekeh.

“Tadi lo bilang ke gue kalau lo ngga suka cara Jehan sama desainer itu bertatapan dan lo juga bilang ke gue lo kesel sama desainer itu karena dia ngobrol sama suami lo pake aku-kamu, ngaku aja sih kalau lo itu cemburu!” perkataan Jisya berhasil membuat Rasel terbungkam.

Cemburu?

Rasel mendengus. “Udah ah! Gue mau ke toilet dulu,” Jisya terkikik melihat gerak-gerik Rasel yang menurutnya jelas sekali kalau wanita itu cemburu.

“Lo mau ngapain?” tanya Rasel saat dirinya menyadari Marven berjalan mengikutinya. “Jangan bilang–” Marven mengangguk seakan ia mengetahui apa yang akan Rasel katakan.

“Gue cuma ke toilet doang ngga perlu dikawal kayak gini” bisik Rasel jengah.

“Sayangnya suami lo itu sangat amat posesif, Nyonya” balas Marven dengan bisikan juga. Rasel pun berdecak kesal sambil terus berjalan menuju toilet, ia berencana akan protes mengenai hal ini kepada Jehan nanti.

“Ven, kalau gue cemburu itu artinya apa?” tanya Rasel tiba-tiba kepikiran.

Marven mengernyit, “Lo cemburu sama siapa?”

“Ngga usah nanya gue cemburu sama siapa–”

“Jehan?”

“Enggaa ih!!” Lagi-lagi Rasel mengelak. “Cepetaan. Kalau gue cemburu itu artinya apa?”

Ulasan senyum tipis muncul di wajah Marven. Ia mengiyakan saja setiap elakan, padahal Marven yakin subjek yang dibicarakan Rasel saat ini pasti tentang Jehan. Hanya saja Marven penasaran siapa yang membuat Rasel cemburu begini.

“Sederhana, lo suka orang itu atau bahkan lebih.” Rasel terdiam mendengar jawaban Marven.

“Lo pernah cemburu sama seseorang?”

Marven tersenyum dan mengangguk, “Pernah. Gue rasa semua orang pasti pernah ngalamin rasanya cemburu”

“Kapan?”

“Mungkin waktu SMA, gue udah lupa. Tapi gue inget alasan gue cemburu karena cewek yang gue suka malah jalan bareng sama cowok lain padahal cewek itu bukan siapa-siapa gue,” Marven menatap Rasel yang terlihat sedang memikirkan sesuatu.

“Gue tau lo cemburu sama Jehan. Pertanyaan gue sekarang, karena apa?”

Rasel mengulum bibirnya. “Sebenarnya gara-gara kemarin pas fitting baju sih–” katanya dengan suara kecil namun Marven masih bisa mendengarnya.

“Karena Azura?” Rasel mengangguk tipis. “Gue tau kok Azura itu desainer kepercayaan mamah tapi gue kesel aja. Jangan bilang ke Jehan, please?

Sejujurnya Marven tidak menduga bahwa Rasel cemburu karena desainer itu, namun Marven tertawa kecil, istri dari sahabatnya ini benar-benar menggemaskan.

“Sel, gue udah belasan tahun di samping Jehan dan gue bisa jamin mereka ngga ada apa-apa, lo ngga usah khawatir.”

“Lagian Azura udah punya tunangan. Setau gue pernikahan mereka bulan depan,”  Fakta ini mengejutkan Rasel namun menenangkan juga di waktu yang sama.

Rasel menghembuskan nafasnya kemudian tersenyum lebar, “Kalau gitu, aman!”

Marven menahan diri untuk tidak khilaf terhadap istri dari sahabatnya ini. Sungguhan kegemasan wanita itu tiada tanding. Namun apakah Rasel tidak mengetahui seberapa dalam Jehan jatuh hati kepadanya?

“Rasel, hai!”

Mendengar itu Rasel dan Marven langsung menoleh ke arah kiri untuk melihat siapa yang memanggil. Jika ada kata lain yang bisa mendeskripsikan lebih dari terkejut, itu akan menjelaskan ekspresi Rasel saat ini. Namun tidak dengan Marven, ia tidak nampak terkejut karena beberapa menit yang lalu Marven mendengar percakapan antara Alaya, Natalie, Billy dan Ezzra.

Ya. Itu mereka. Jeksa dan Lorenza kini berdiri tepat di hadapan Rasel juga Marven di pojokkan keramaian.

“Lola?” Dia mengangguk sambil tersenyum aneh. Rasel tidak pernah melihat penampilan Lola yang seperti ini. Seketika Rasel merinding memandangnya ditambah Jeksa dengan setelan rapih berdiri tepat di samping Lola dan sahabatnya itu menggandeng lengan kekarnya layaknya pasangan.

Tunggu, situasi macam apa ini?

“L-lo kenapa disini?”

Marven sedikit menarik tubuh Rasel supaya wanita itu berdiri tidak terlalu dekat dengan pasangan berbahaya itu. “Diam di belakang gue,” katanya dengan suara kecil agar Jeksa maupun Lola tidak mendengar.

“Ini ada apa, Ven?”

Your husband is not telling you anything? Wow!” ujar Jeksa.

“Jadi ini kejutan yang lo maksud?” Marven mengeraskan rahangnya tanpa melepaskan tatapan dari Jeksa dan Lola di hadapannya.

No invitation for both of you so what the hell are you coming for?

“Marven, jelasin ke gue sekarang juga.”ujar Rasel terdengar menuntut namun Marven hanya diam.

Lola maju satu langkah, “Biar gue aja."

"Nyonya Muda Kanagara, kenalin gue Lorenza Lahna alias Lola dan ini–”

“Jeksa Navarez. Gue yakin lo udah tau dan kenal juga tapi gue mau bilang kalau Jeksa ini tunangan gue.”

to be continued~~~

cuaks akhirnya Rasel tau tentang Lola but unfortunately she doesn't know it from her husband:(

tebak-tebakan yu! Kira-kira Rasel bakal marah besar ngga ya?

bari kelar masalah, muncul lagi masalah baru😭🙏🏻 sabar ya teman-teman semua, kesabaran kalian ngga setipis tisu kan?

ok, wdyt abt this part?
and btw, mau minta maaf sekali lagi sebesar-besarnya karena pending dua bulan🙏🏻

thanks a lot and see you on next chapt, love you all💗

Continue Reading

You'll Also Like

86.8K 8.6K 36
FIKSI
47.7K 6.5K 30
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...
798K 58.7K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...
563K 57.3K 28
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...