Jodoh dari Surga-Nya

By jijiedae

325K 13K 642

Seorang gadis berusia dua puluh enam tahun yang tak kunjung menikah. Sudah beberapa kali sang ibu menyodorka... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sepuluh
Limabelas
Enambelas
Tujuhbelas
Delapanbelas
Sembilanbelas
Epilog Satu
RULES
Epilog Dua
Pemberitahuan
ANDHARA
Saya Tidak Tahu
Keputusan
Spellbound Open PO

Sembilan

36.6K 895 45
By jijiedae

"Ayah!" Suara khas anak kecil memenuhi pendengaran Wafa dan tiba-tiba saja kakinya sudah ditubruk oleh seseorang dengan seragam sekolahnya.

"Ayah... gendong," pinta Irfan sembari mengacungkan kedua tangan ke Wafa membuat pria itu terkekeh geli.

Wafa menuruti, ia menarik Irfan ke dalam gendongan lalu mengecup pipi sang bocah sayang. Ia juga membawa Irfan ke meja makan menunggu bibinya selesai untuk mempersiapkan sarapan.

"Paman ke mana, Bi?" tanya Wafa heran tak melihat sang paman di rumah.

"Pagi-pagi sekali ia berangkat ke bandara buat ke Jakarta diantar mang Ujang. Ini piringmu," beritahu Listi mengangsurkan piring keramik ke Wafa.

"Bi, hari ini aku berencana akan menempati rumah Kakak yang di Krapyak. Aku pikir tidak seharusnya mengosongkan rumah begitu saja," kata Wafa bermaksud pamitan.

Listi yang hendak mengambil nasi pun mengurungkan niatnya. Wajahnya yang semula sumringah langsung pias digantikan oleh wajah sendu tak rela. "Harus hari ini? Pamanmu masih di luar kota, Nak. Paling tidak, tunggulah sampai ia pulang," Listi meminta kelonggaran.

Wafa mengembuskan napas keras, lalu mengusap wajahnya yang terlihat lelah. Bukan maksud hati ia ingin kurang ajar dengan bibinya yang sudah merawatnya belasan tahun silam. Ia tahu, ini keputusan yang sebenarnya cukup terkesan buru-buru, tapi ia pikir ini sudah saatnya ia melawan ketakutan. Kakaknya meninggalkan beberapa peninggalan untuk sang anak yang tentunya tak mungkin ia abaikan begitu saja. Ia harus bisa mandiri merawat Irfan sesuai janjinya pada jasad kakaknya satu tahun lalu.

"Aku akan kembali berpamitan kalau paman sudah pulang dari Jakarta," putusnya sembari mengambil nasi goreng yang tersaji di meja makan itu.

"Ayah... Irfan mau telurnya," pinta bocah lelaki itu sembari menunjuk piring datar yang berisi telur dadar.

"Ini," Wafa menaruh telur dadar ke piring Irfan lalu mengusap kepala bocah itu sayang.

"Apa kau tidak takut Irfan akan menanyakan perihal Fahmi?" tanya Listi masih berusaha untuk mempertahankan keponakannya.

Wafa tersenyum getir lalu menatap Irfan, dielusnya lembut kepala sang anak lagi lalu menggeleng pelan. "Setidaknya ada kali pertama untuk mencoba segala hal, Bi."

Listi mengembuskan napas keras, kali ini tidak ia tahan-tahan sebagai tanda ia menyerah dengan sifat keras kepala keponakan kesayangannya itu. Jujur, ia merasa masih bertanggung jawab atas keponakan yang memang dititipkan padanya dulu saat iparnya meninggal. Dan ternyata lewat Wafa dan Fahmi-lah ia mendapatkan rejeki dan segala hal yang ia miliki. Ia patut bersyukur dengan kehadiran kedua ponakan yang memberikan warna tersendiri untuknya di masa lampau yang nyaris menyerah karena rahimnya harus diangkat sebelum ia memiliki anak.

"Fa...."

Pria dengan kemeja hitamnya itu mendongak menatap bibirnya yang sedang menatapnya nanar.

"Bibi akan selalu mencintaimu. Tak peduli seperti apa kau menganggap Bibimu ini," beritahu wanita paruh baya itu sembari meneteskan kristal yang sudah ditahannya sejak tadi.

"Bi...." Wafa bangun dari kursinya lalu mendekati wanita paruh baya yang begitu berjasa di hidupnya itu. Menghapus air mata yang masih mengalir dari pipi tua sang bibi lalu tersenyum.

"Wafa tak akan pernah pergi dari hidup Bibi. Wafa hanya ingin belajar untuk menjadi seseorang yang lebih mandiri, itu saja."

Listi menarik Wafa ke dalam pelukannya lalu terisak mengingat ini waktu sarapan terakhir yang ia miliki bersama Wafa. Sedang Irfan yang sedang asyik mengotori meja makan dengan nasi gorengnya itu mengernyit menatap kedua orang dewasa itu bingung. Ia turun dari kursinya lalu mendekati Wafa dan juga Listi.

"Eyang kenapa? Ayah nakal ya sama Eyang?" tanyanya polos pada kedua orang dewasa itu.

Baik Listi mau pun Wafa melepas pelukannya, lalu Listi mengusap lembut pipi gembil milik Irfan dan segera memeluknya.

"Ayah selalu baik sama Eyang... Irfan juga harus baik ya sama Ayah? Jangan nakal!" beritahu Listi dengan deraian air mata yang tak henti-henti.

Irfan merengut lalu melepas pelukan Listi. "Eyang jangan nangis lagi, ya? Irfan sayang sama Eyang,"

Dan kalimat terakhir yang muncul dari mulut bocah kecil itu membuat Listi kembali terisak dan memeluk Irfan erat. Sungguh, Irfan adalah replika asli dari seorang Fahmi dan hanya dengan cara ini ia melampiaskan rindu padanya.

***

"Assalamu'alaikum, Ustazah," sapa Nada pada beberapa rekan kerjanya yang sudah duduk manis di ruang guru.

"Wa'alaikum salam, Usta—Nada!" pekik Risa orang pertama yang menyadari kedatangan Nada sembari memeluknya.

"Uhh... kau berat, Ris!" canda Nada pura-pura mengeluh.

Risa mendorong pelan bahu Nada. "Hei... bahkan beratku sudah turun tiga kilo, kali!" protesnya tak terima dibilang berat.

Nada tertawa keras membuat Risa dan beberapa rekan lainnya mengernyit heran pasalnya beberapa hari terakhir Nada terlihat murung. Dan tiba-tiba, setelah ia pingsan kemarin, ia kembali dengan wajah sumringah itu adalahh sebuah keajaiban.

"Kau benar baik-baik saja?" tanya Siska, rekan Nada yang lain.

Nada menatap Siska lalu tersenyum kalem. "Kalau tidak baik-baik saja, seharusnya aku tidak di sini bukan?"

Baik Siska mau pun Risa menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu," ucap Risa dan Siska berbarengan.

"Eh, Nad. Aku ke toilet dulu, ya?" pamit Siska sembari memegangi perutnya.

"Ok!"

Sepeninggal Siska, Risa duduk di kursi yang ada di sebelah meja Nada. Ia memangku wajahnya sambil mengerling jahil.

"Apaan, sih?" tanya Nada tak nyaman.

"Kemarin... ehem, kemarin itu Wafa, ya? Wafa yang... yah, kau tahu maksudku," ucap Risa sembari bertanya.

Nada mendecak pelan, sia-sia saja kalau ia menyembunyikan fakta itu. Toh, kemarin Risa juga membantunya saat pingsan. Tak mungkinlah Wafa tak bilang apa-apa padanya. Paling tidak ia pasti memperkenalkan diri sebagai teman sekolahnya.

"Dia memberitahumu?"

Risa mengangguk cepat, lalu mendekat lagi pada Nada. "Kau luar biasa, tahu! Bagaimana bisa kau menarik dua pria tampan sekaligus seperti itu? Ah... aku ingat pria dengan denim birunya kemarin. Subhanallah... ia punya senyum yang manis sekali," puji Risa dengan mata yang berbinar-binar.

Nada memutar matanya kesal, tahu akhirnya akan seperti ini. Yah, ia tahu benar bahwa Ridho bukanlah pria yang mudah diabaikan begitu saja apalagi dengan wajah yang rupawan seperti itu.

"Ridho namanya. Sebelumnya, Mama menjodohkanku dengannya," beritahu Nada sok kalem.

"Apa? Dan kau menolaknya begitu saja?" Risa syok dengan pernyataan sok kalem dari Nada.

Nada melirik Risa lagi lalu mengambil kertas gambar yang sudah ia persiapkan dari dalam ranselnya. "Lalu, aku harus gimana? Kau tahu benar apa yang terjadi."

Tiba-tiba Risa kembali mendekatkan wajahnya pada Nada lalu ia cengengesan membuat Nada bergidik ngeri.

"Apalagi kali ini?"

"Kalau kau tak mau dengan Ridho, aku bisa kok menggantikanmu, Nad."

"Astaghfirullah, Risa!" Nada dibuat syok oleh permintaan konyol dari Risa. Ya, ia tak begitu terkejut sebenarnya. Hanya saja, ia tak menyangka bahwa Risa akan memintanya secepat itu.

"Ya, Nad?" Risa menangkup kedua tangannya sembari mengerjapkan matanya beberapa kali. "Please?"

"Ustazah Nada," Kali ini seseorang lain memanggil gadis dengan kerudung hitamnya itu.

"Iya, Ustazah?"

"Wali dari murid Irfan kelas A ingin bertemu dengan Anda,"

Wajah sumringah Nada pias, digantikan raut wajah yang tak nyaman sembari menggigit bibirnya.

"Saya akan menemuinya setelah ini, Ustazah. Terima kasih," jawab Nada cepat.

"Wali dari murid Irfan?" sindir Risa bermaksud menggoda.

Nada mendesis pelan. "Tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak begini. Aku menemuinya dulu ya, Ris."

Nada berlalu dari mejanya membuat Risa tersenyum penuh arti. Di dalam hatinya ia bersyukur akhirnya Nada bisa menemukan seseorang yang ia tunggu sejak dulu. Memang belum pasti mereka akan menjadi satu, tapi dengan awal yang penuh kejutan seperti ini, sebagai temannya bolehkah ia mengharapkan mereka kembali satu dalam mahligai rumah tangga?

Nada berjalan ke arah ruang tamu yang disediakan di taman kanak-kanak itu, mengernyit kala Irfan masih berada di pangkuan pria dengan kemeja hitam dan juga celana kain hitam yang begitu licin.

"Assalamu'alaikum," sapanya sembari duduk di sofa yang letaknya sedikit jauh dari Wafa.

"Wa'alaikum salam," jawab Wafa dan Irfan kompak.

 "Ada perlu apa, Kak?" tanya Nada pada Wafa berusaha untuk terlihat santai.

"Irfan yang mempunyai perlu padamu," beritahu Wafa membuat Nada mengernyit dan beralih menatap muridnya yang sudah tersenyum manis.

"Ada apa, Sayang?" tanya Nada lembut dengan senyum keibuannya.

Irfan turun dari pangkuan Wafa lalu ia mendekati Nada dan meminta dipangku oleh Nada. "Ayo kita jalan-jalan, Ustazah!"

Nada mengerjapkan mata berkali-kali, berusaha memahami situasinya. Setelah paham ia malah terkekeh geli.

"Jalan-jalan? Hari ini kan Irfan harus sekolah. Nanti hari Sabtu kita jalan-jalan sama teman-teman yang lain," jelas Nada lembut.

Irfan menggeleng cepat. "Irfan tak mau jalan-jalan sama teman-teman, Ustazah."

"Lalu?"

"Irfan maunya pergi sama Ayah dan Ustazah! Kita ke pantai, ke kebun  binatang, atau mungkin ke goa apa Yah namanya?"

"Goa kreo," jawab Wafa cepat sembari mencermati pembicaraan Nada dan Irfan yang seperti sepasang anak dan ibunya.

"Iya, Goa kreo!"

Nada memijat pelipisnya yang tiba-tiba pening, lalu sejenak ia melirik pria tampan itu yang hanya mengangkat bahunya seolah tak acuh.

"Jangan sok tak pedulilah, Kak," protes Nada pada Wafa.

"Ini wujud peduliku, Nad. Kau tahu, bukan? Aku sudah  berjanji padanya, kemarin."

Nada memejamkan mata berusaha menjernihkan pikirannya.

"Ayolah, Ustazah! Kita pergi hari Minggu, ya?" Irfan menggoyang-goyangkan badannya sembari membujuk Nada yang masih diam tak mau menjawab.

"Nad... please?"

Nada mengembuskan napas keras lalu menjawab, "Baiklah, hari Minggu nanti kita pergi bersama, ya?"

"Horeeee!" Irfan mengecup kilat pipi Nada lalu turun dari pangkuannya dan berlari keluar ruangan mengabaikan Nada yang kaget dan juga Wafa yang tersenyum misterius.

"Kalian seperti sepasang ibu dan anak, kalau kau mau tahu," beritahu Wafa dengan senyum jahilnya.

"Dan aku sama sekali tak percaya ayahnya Irfan benar-benar pintar mengambil kesempatan dalam kesempitan," desis Nada tak suka membuat Wafa tergelak dan tertawa.

"Terserah denganmu saja kalau begitu,"

Nada menyipitkan mata lagi, hendak melayangkan protes kala bel menghentikan perdebatan sengit kedua orang itu.

"Pembicaraan kita belum selesai. Aku akan menghubungimu nanti," kata Nada sembari berlalu dari Wafa.

"Aku meninggalkan nomor ponselku di buku tamu kalau kau kesusahan untuk mencari nomorku," beritahu Wafa sembari menggeleng pelan karena bahagia.

"Roro jonggrangku... sama sekali tak berubah," lirihnya sembari memegang dada kirinya yang berdegup kencang karena kehadiran Nada.

TBC

A/N :

Assalamu'alaikum, Pembaca...

Saya kembali membawa bab sembilan dan tak taulah dengan bab ini hahaha :D

Abstrak udah.

Pokoknya ditunggu komentarnya, ya?

Kita silaturahmi dan sharing.

Bilang aja kalo ada yang ngga srek, suer aku bukan orang yang suka gigit kok. hihihi.

Salam sayang darikuuu...

Wassalamu'alaikum, Nurul Putri Wibowo


Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 64.6K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
225K 44.9K 25
Bagaimana jika sosok humoris dan tidak bisa diam bertemu dengan sosok yang jutek dan pendiam? zanna Prameswari dan Hafidz Zaafarani bertemu akankah...
17.3K 1.4K 26
Aku tak sengaja bertemu dengan dia ketika hujan. Dia datang menawarkan sejuta kehangatan lewat senyumannya. Membuatku terus menantinya setiap hujan. ...
44.1M 2.3M 96
SERIES SUDAH TAYANG DI VIDIO! COMPLETED! Alexandra Heaton adalah salah satu pewaris Heaton Airlines, tetapi tanpa sepengetahuan keluarganya , dia men...