We Start With The End [TAMAT]

By Qomichi

245K 22.7K 1K

[WATTYS 2023 SHORTLIST] Ruby Moonstone melarikan diri ke Indonesia karena perceraian menyakitkan dengan manta... More

Pengantar🌟
Bab 1 : McD
Bab 2 : Keberadaan Ibu
Bab 3 : Kabur
Bab 4 : Terlambat
Bab 5 : Batasan
Bab 6 : Trans Musi
Bab 7 : Pertemuan Ketiga
Bab 8 : Pengawasan
Bab 9 : Namira/Ruby
Bab 10 : Suami
Bab 11 : Lampu Hijau
Bab 12 : Hal Lalu
Bab 13 : Bercerai
Bab 14 : Thomas
Bab 15 : Hal Sensitif
Bab 16 : Keputusan Tepat
Bab 17 : Kebenaran Satu Arah
Bab 18 : Chek
Bab 19 : Naskah
Bab 20 : Tamparan & Pelukan
Bab 21 : Kepala Empat
Bab 22 : Kenangan Tanglong
Bab 23 : Cerita Kunci
Bab 24 : Mulai dari Akhir
Bab 25 : Banting Setir
Bab 26 : Rahim
Bab 27 : Humiliating
Bab 28 : Lampu Merah
Bab 29 : Infertilitas
Bab 30 : Pulang
Bab 31 : Adopsi
Bab 32 : Kesempatan
Bab 34 : We End From The Start
Bab 35 : Kesalahan
Bab 36 : Sally dan Gedung Pernikahan
Bab 37 : Finally, I Love You!
Epilog 🎇

Bab 33 : Bahagia

4.2K 453 43
By Qomichi

🍟🍟🍟

"Anak-anak, ini bukan ulah kalian, kan?" selidik Ruby dengan suara dalam. Wanita itu menatap keduanya intens seraya menunjukkan layar ponsel yang menampilkan pembatalan tiketnya.

Keduanya buru-buru menggeleng. Meski itulah rencana mereka sebenarnya, tapi baik Violet ataupun Becky jujur jika barusan itu bukan ulah mereka. Tadi mereka tak sempat mengatur apa pun karena aplikasinya menggunakan Bahasa Inggris instruktif. "Bukan kami."

Ruby memicingkan mata seraya menarik kembali ponselnya. "Serius?"

"Iya. Suwer!" Becky mengangguk mantap dengan jari membentuk V.

Ruby setelahnya mengusap wajahnya dan menghela napas lelah. Dia kembali mengutak-atik aplikasi dengan raut yang masam.

"Tidak apa." Jason mendekat. "Bisa kita pesan tiketnya lagi?"

"Sudah habis." Ruby menggeleng pelan.

"Kalau begitu pesan tiket malam saja." Onyx menyarankan, tapi Ruby langsung berbalik badan dan beringsut. Menjauhkan diri secara perlahan. "Ak-aku ke toilet sebentar."

"Bi," panggil Jason seraya menyusul mantan istrinya. Onyx yang baru saja hendak mengejar, lagi-lagi harus menahan diri.

"Baiklah, kali ini siapa yang berbuat ulah?" Onyx mengeraskan rahang menatap keduanya tajam.

Becky dan Violet menelan ludah, tak tahu harus merespon apa kecuali gelengan samar.

Onyx berdecak kecil dan memalingkan wajah sejenak. "Anak-anak, entah ulah siapa kali ini, tapi aku senang kepulangannya tertunda."

"Benar, kan?!" Becky bersorak. "Kami pun berpikir begitu!"

"Aha, jadi ini idemu, Hanna?"

Becky otomatis mengatupkan mulut. Matanya melebar dan sekali lagi dia menggeleng pelan. "Bukan Ayah."

"Ah sudahlah."

"Serius!" Violet menimpali. "Becky memang berencana membatalkan tiket pesawat, tapi tidak sempat karena alarm tadi."

Onyx mengernyit lama, menilik wajah mereka bergantian lamat-lamat. "Baiklah, aku tidak tahu harus memercayai siapa." Lagipula menghukum mereka lagi tidak akan ada gunanya. Toh, mereka juga tidak pernah jera.

Di satu sisi, Jason sudah dapat menebak jika Ruby tidak menepi di toilet. Gadis itu berbelok di lorong kecil tempat pintu menuju tangga darurat berada. Ruangan yang amat sangat jarang diisi orang-orang kecuali staf yang berkepentingan.

"Hei, kenapa?" tanya Jason lembut, melihat kecemasan yang tergambar samar di raut wajah wanita itu.

Ruby mengerucutkan bibir ke samping dan menggeleng ragu-ragu. Wajahnya sedikit menunduk dan matanya mengerling ke arah berlawanan. "Ti-tidak ada."

"Kesal karena tiket? Tidak apa, tak masalah jika kita lebih lama di sini satu hari."

"Benarkah?" Ruby menatap Jason tak yakin. "Sebenarnya aku yang membatalkan tiket pesanannya."

"Apa?" Jason mengernyit bimbang, meski ini sepertinya sudah menjadi kebiasaan Ruby.

"I-iya. Ada yang perlu kuselesaikan dengan mereka."

"Anak-anak?"

Ruby mengepalkan tangan. "Onyx."

Bahu Jason menegang. Dia berdiri lebih tegap menghadap Ruby. "Ada apa dengan Jason?"

Ruby berdecak dengan bibir yang masih mengerucut. "Terjadi sesuatu yang cukup intens."

Jason menelan ludah, tahu maksudnya apa.

"Dan karena kita akan rujuk lagi. Ada baiknya aku memperjelas apa yang terjadi. Tidak adil pasti baginya dan bagi anak-anak."

Dada Jason sempat merasa sesak mendengar pengakuan Ruby, tapi ketika mendapati kata 'rujuk' yang wanita itu ucapkan, membuat semuanya menjadi lebih baik.

"Baiklah," katanya. "Lakukanlah. Demi mereka dan demi kita."

Ketika Ruby kembali ke timezone, wajahnya sudah berangsur cerah. Dia tersenyum pada anak-anak dan kembali mengajak mereka main bersama.

"Bagaimana dengan tiketnya?" tanya Onyx menampakkan raut khawatir.

"Tidak apa, kami pesan tiket malamnya."

Violet dan Becky yang sempat lega akan penundaan penerbangan, kembali harus menahan napas mendengar pernyataan Ruby barusan. Jika kepulangannya malam, sama saja hanya menambah beberapa jam kesempatan mereka, bukan hari.

Alhasil, keduanya lebih banyak termenung daripada menikmati permainan yang beragam.

Becky dan Violet duduk di kursi berbentuk gajah, seraya bergandengan tangan. Menontoni Ruby dan ayah mereka yang tengah bermain air hockey dan diawasi oleh Jason.

"Selama dua belas tahun hidupku, tujuh tahun pendidikanku, aku tidak pernah merasa sekalah ini," bisik Violet lirih. "Aku selalu ranking satu, unggul dalam debat, menang cerdas cermat. Aku anak yang paling banyak namanya di kartu buku perpustakaan. Dan sekarang aku merasa tidak berguna."

"Jangan berkecil hati. Masalah yang kita hadapi ini masalah Orang Dewasa, ini bukan porsi kita."

"Semenjak kedatangan Tante Ruby aku sudah membaca banyak buku tentang problematika hubungan dan menghabiskan uang tabunganku membeli e-book tentang rumah tangga. Dan semuanya tak berguna."

"Oke, ada satu ide lagi." Becky akhirnya menyampaikan isi kepala, tak tahan melihat adiknya berputus asa. "Tapi yang ini agak gila."

"Katakan."

"Jadi," Becky menjilat bibir bawahnya, "untuk kali ini, kita biarkan Tante Ruby pulang ke Singapura. Mereka kan harus mengurus perceraian baru bisa menikah lagi. Menikahnya pun harus jeda dulu, paling cepat mungkin tiga bulan. Nah, di waktu itu kita melakukannya."

Violet masih memasang telinga dan menatap serius.

"Satu atau dua bulan dari sekarang, salah satu dari kita akan kabur dari rumah. Satunya lagi menghubungi Tante Ruby untuk datang ke Palembang dan membantu kita mencarinya. Alasannya karena sikap Ayah yang semakin menyebalkan, lalu kita berterus terang jika kita membutuhkan figurnya."

"Tapi Ayah sekarang ini tidak semenyebalkan dulu."

Becky berdalih, "tidak apa kita korbankan Ayah satu kali agar dia bisa kembali bersama cinta pertamanya."

"Entahlah, rasanya seperti sebuah novel. Tidak realistis."

"Kita sudah mencoba berbagai cara realistis, Vay. Tidak ada yang berhasil seperti katamu. Kali ini kita harus mengambil risiko daripada tidak sama sekali. Lagipula kemungkinannya Tante Ruby lah yang meninggalkan Ayah, jadi ada kesempatan, ingat?"

Violet beringsut dari tempatnya, menundukkan wajah dan menerawang jauh ubin lantai yang penuh goresan. Dia berpikir lama, amat lama. "Baiklah kalau begitu. Berarti kita harus membiarkannya pergi saat ini?"

Becky mengangguk. "Jadi, Lampu Hijau?"

"Yeah, Lampu Hijau."

🍟🍟🍟

Hari terakhir, Becky dan Violet meminta banyak bantuan Martha untuk menyiapkan perpisahan dengan Ruby. Si kembar tidak ingin kehilangan momen sehingga mereka akan memberikan kejutan. Dengan sisa uang tabungan Violet yang berlimpah, mereka meminta bantuan Martha untuk memesan kue khusus yang dilapisi krim Nutella. Tulisannya 'Sampai Berjumpa Lagi'.

"Anak-anak, aku harap jasaku ini sepadan untuk kehidupan percintaanku nantinya," kata Martha saat menjemput keduanya dari sekolah. "Becky, itu kue yang kalian pesan."

Becky pindah tempat, duduk di jok depan seraya membopong kuenya. dia mengintip dari kotak plastik itu dan tersenyum kecil.

"Dan Violet." Martha mengangkat tas besar dengan sekuat tenaga, sehingga terdengar bunyi erangan kuli yang mengangkat tumpukan batu-bata. "Ini salinan 'skripsi' yang kau pinta."

Becky mengerjap ketika Martha menyerahkannya ke belakang, yang mana Violet sendiri kesulitan mengangkatnya. "Apa itu, Vay?"

"Untuk Tante Ruby. Salinan kedelapan belas naskah Ibu."

"Astaga."

Keduanya berangkat, kembali ke rumah. Sempat mereka mampir ke resto jepang dan membeli katsu untuk Ruby nantinya. Mereka harap satu atau dua bulan lagi, Ruby benar-benar kembali ke sini.

Setelah sampai, Martha membantu Violet mengangkat salinannya. "Jadi, bagaimana rencana kalian?"

"Ayah dan Tante Ruby pasti pulang dulu sebentar. Mereka tahunya kami sudah di rumah sakit menjenguk Decan. Nah, saat itulah kami akan mengejutkannya."

Martha mengangguk sekali. "Baik, jadi akan kukatakan pada Onyx kalau kalian sudah kuantar ke rumah sakit."

Becky membulatkan jari telunjuk dan jempolnya, menunjukkan persetujuan. Setelahnya, mereka berterima kasih pada Martha.

Selagi menunggu, mereka membereskan barang masing-masing. Becky yang tidak punya hadiah apa-apa, berencana memberikan topi rajutnya, yang langsung dikritik oleh Violet.

Saat suara mobil kembali terdengar lima belas menit kemudian, mereka buru-buru merayap di bawah meja makan seraya menyeret kue dan membawa korek gas. Keduanya bungkam saat bunyi langkah kaki terdengar jelas disertai suara berat ayah mereka.

"Kata Martha mereka sudah di rumah sakit, menjaga Decan." Onyx berjalan mendekat menuju ruang makan yang bersebrangan dengan kamar Decan. Violet membekap mulutnya dengan tangan.

"Baguslah kalau begitu."

"Sepertinya satu baju ganti saja cukup, kan?" Kaki Onyx nampak terhenti di ujung meja dan Ruby ada di seberangnya.

Ruby hendak mengambilkan baju ganti untuk Decan sebelum ikut Onyx ke rumah sakit bersama anak-anak--rencana awalnya begitu.

"Yeah, dan baju dalaman."

"Oke." Kaki Onyx nampak bergerak ke sisi meja satunya, tapi terhenti ketika Ruby tidak menunjukkan adanya pergerakan. "Bi?"

Becky beringsut hendak menyalakan korek. Dia sudah mengode adiknya untuk keluar dan memberikan kejutan, sampai Ruby tiba-tiba berkata, "ada yang ingin kubicarakan denganmu."

Si kembar kembali bergeming.

"Tentang apa? Masalah tiket kemarin? Itu idenya Becky tapi dia tidak melakukannya--"

"Bukan." Ruby menggeleng pelan. Dia menatap Onyx bimbang dan tenggorokannya terasa mencekat. Sulit baginya untuk bicara ketika lidah tiba-tiba menjadi kelu. "Aku ingin memperjelas tentang ciuman kita di jembatan hari itu."

Kini bahu Onyx turut menegang. Matanya melotot lebar dan dia berusaha senyaman mungkin tetap berdiri tegak di hadapan Ruby. Sementara si kembar membeku di tempat.

"Aku ingin kita sepemahaman. Jujur saja, ciuman hari itu berarti bagiku. Berarti banyak." Ruby menelan ludah susah payah. "Hanya saja, kau tahulah bagaimana situasi kondisinya. Kau--"

"You loved me." Onyx memotong tegas. Mata hitam arangnya berserobok dalam, meneliti setiap detail wajah Ruby yang menunjukkan kerutan di dahi dan pinggir mata.

"Nix."

"Nggak Bi." Dengan tangan yang mengepal dan bibir bergetar, Onyx akhirnya menunjukkan kelemahannya. "Ciuman itu mengartikan sesuatu. Itu lebih dari sesuatu."

Bibir Ruby terbuka dan dia tak berkedip mendapati bagaimana mata Onyx yang berkaca-kaca. "Yeah, itu berarti sesuatu. Kau selalu berarti sesuatu bagiku." Wanita itu mengerucutkan bibirnya. "Tapi kau tahulah kondisinya. Kami akan rujuk, Jason sudah--"

"Jangan kembali padanya." Lagi, Onyx memotong. "Kumohon."

Ruby mengerjap tak mengerti. "Nix, kita sudah membahas ini bukan?"

"Dia menyakitimu, Bi."

"Iya memang seperti itu, tapi ini lebih rumit dari yang kau tahu."

"Dia tidak akan menjadi suami yang baik."

Ruby mendelik mendengarnya. Meski suara Onyx terdengar bergetar, tapi ucapan itu tetap menusuk Ruby. "Nix, kami menikah sudah sepuluh tahun. Dia selalu menjadi suami yang baik kecuali satu tahun terakhir."

"Rekan IT-ku sudah memeriksa tentang Selene dan cewek itu bahkan dua belas tahun lebih muda dari kalian. Kau sebut itu tidak masalah setelah dia menceraikanmu?" Onyx menggebrak meja dan mengusap wajahnya. Tangannya yang berpeluh mengacak rambut sebelum langkahnya bolak-balik di tempat.

Jantung Violet berkejaran dan tangannya yang gemetar tak henti membekap mulut.

"Dia hanya teralihkan, oke. Di-dia hanya tertekan oleh orang tuanya yang terus memaksa...." Ruby turut tersendat. Matanya mulai panas. "Orang tuanya ingin cucu. Jadi kami sering bertengkar dan dia bertemu dengan cewek ini, dia hanya teralihkan untuk sesaat."

"Apa bedanya?!" teriak Onyx menggema.

"Tentu berbeda!" Ruby balas meneriaki. "Beda karena dia meninggalkanku setelah dia dipaksa orang tuanya dan teralihkan. Dia meninggalkanku karena aku tidak bisa punya anak. Tidak bisa punya anak!" Ruby menepuk perutnya dengan napas tersengal. "Dia meninggalkanku saat itu dengan alasan yang jelas Nix, karena kekuranganku, karena aku mungkin saja gagal jadi perempuan bagi keluarganya. Sementara kau? Apa alasanmu membatalkan pertunangan saat itu? Tidak ada alasan yang jelas, hanya telepon singkat kalau kita tidak cocok dan kita sering bertengkar, itu saja. Menurutmu aku bisa menerima itu sebagai alasan? Kau tidak hanya membuatku merasa gagal menjadi perempuan, tapi juga merasa gagal menjadi manusia yang utuh!" Ruby mendorong kursi seraya membersit hidungnya.

Wanita itu berbalik badan, buru-buru menyeka air matanya yang mulai meleleh. Hatinya panas, amarahnya memuncak. Semua kepulan asap yang terkurung di dadanya selama belasan tahun ini akhirnya menyeruak, memaksakan diri untuk keluar.

"Dan jangan berani-beraninya kau mengatakan dia bukan orang baik-baik. Dia mungkin melakukan kesalahan, tapi dia kembali langsung. Dia mencariku, dia mendatangiku, meminta maaf, mengakui kesalahannya. Memintaku kembali secara baik-baik. Dan kau?" Langkah Ruby mendekat, tepat di hadapan Onyx secara langsung. "Kau pernah mencoba mencariku, Nix? Tidak! Justru Emma yang mencariku dan dialah yang menyampaikan permintaan maafnya, permintaan maafmu. Aku bahkan tidak pernah dan tidak akan masuk ke hidupmu lagi, ke hatimu lagi, jika saja anak-anakmu tidak menemukanku di restoran itu. Tidak pernah."

Violet semakin mengencangkan bekapannya ketika air matanya turut tumpah.

Onyx mengendurkan bahunya, menatap Ruby terluka dengan sorot mata yang basah. Dia tidak tahu, tidak tahu harus mengatakan apa karena itulah kenyataannya. Dia menyakiti Ruby seperti yang wanita itu utarakan saat ini. Dan Onyx tak berhak untuk berdalih lagi.

"Aku sempat berpikir dan aku berharap Emma mati saja. Di rumah sakit itu, aku bahkan mengatakan pada Emma jika saja dia bisa mati lebih awal, jika saja dia mati setelah kalian menikah, jika saja dia mati setelah melahirkan. Aku berharap dia cepat meninggalkanmu supaya kau merasakan persis seperti yang kurasakan. Kehilangan, tak berdaya, menderita." Tatapan Ruby seketika berubah menjadi amarah yang meluap-luap. "Aku senang melihatmu hancur seperti sekarang, seperti cerita anak-anakmu mengenai kacaunya hidupmu. Tapi aku berubah pikiran. Karena ketika kau tidak bahagia, anak-anak juga tidak bahagia, Decan juga tidak bahagia, Oma dan Opa juga tidak bahagia. Jadinya aku ingin kau bahagia."

Ruby menyeka air matanya sekali lagi yang tidak henti mengalir. "Ya Tuhan, bahkan setelah semua ini aku masih menginginkan kau bahagia."    

🍟🍟🍟

.

.

.

.

.

WE START WITH THE END


Bayangin, batal nikah cuma gara-gara doi tbtb ngerasa nggak cocok🤧 mana ngomongnya lewat telepon lagi.

At least he relized kalau dia made a huge mistake. Everyone deserved getting better.

Setelah ini, tinggal 3/4 chapter lagi yaa gees😅


Maapkun telat update, sinyal eror kemarin:) 


Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 73.4K 20
Book 1 : Dearest Series A Romance Comedy Memutuskan menikah di usia muda benar-benar sebuah bencana bagi Laya dan Bram. Mereka bahkan bercerai sebelu...
16K 2.3K 14
🚫DON'T COPY PASTE!!🚫 Muhammad jungkook Tareq (28 tahun) billioner tampan pemilik Tareq_crop perusahan minyak dan gas terbesar didunia, hidupnya ber...
69.9K 5.3K 53
Kisah cinta tak usai, cerita cinta belum selesai. Dia berfikir bahwa hidupnya tak membutuhkan cinta, tapi ternyata ada cinta yang membutuhkannya. Dia...
282K 33.9K 36
Nina tahu betapa keras kakeknya, H. Rahmat Rasyidin. Pria tua itu hampir bisa menoleransi semua kebrengsekan anak dan cucunya, tapi ada satu pantang...