Cita Cinta Caraka

By beliawritingmarathon

85.1K 22.4K 23.5K

Caraka Mahawira, seorang manajer band Aspire yang super sibuk sekaligus teman sejak kecil Janitra. Sebuah tak... More

CHAPTER 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
END
[INFO] Open Pre-Order!
PROLOG (VERSI NOVEL)
H-1 PRE-ORDER, siap-siap war!!!

Chapter 1

15.6K 2.2K 723
By beliawritingmarathon

Caraka Mahawira sama sekali tidak percaya dengan hari sial, baginya seluruh hari adalah hari baik. Namun, sepertinya hari ini dia mulai percaya bahwa hari sial memang ada. Pasalnya secara beruntun dia mengalami kesialan. Pertama, dia terlambat dengan jadwal penerbangannya. Kemarin dia harus pulang ke Bandar Lampung untuk mewakili ayahnya menghadiri acara pernikahan salah satu kerabat. Nasib sebagai anak tua, relasi kekerabatan adalah salah satu yang mahal dan harus dijaga, sehingga harus dia yang menggantikan datang ketika ayahnya berhalangan hadir.

Hari ini dia memutuskan untuk segera pulang, jadwal pesawatnya di pukul 1 siang dan dia terlambat akibat lupa memasang alarm di ponselnya—padahal hanya telat 5 menit saja. Entah apa yang merasuki pikiran seorang Caraka Mahawira. Dia semalam begadang sibuk menonton youtube Windah Basubara sampai tidak sadar tidur di pukul 3 pagi. Kedua, dia tidak bisa membeli tiket lain karena penerbangan ke Jakarta sudah tidak ada lagi. Ketiga, dia akhirnya hanya bisa pulang menggunakan bus.

Di sinilah dia berada. Di dalam sebuah bus yang AC-nya tidak terlalu dingin. Aroma minyak angin menyebar di mana-mana menusuk indera penciumannya bercampur dengan aroma keringat dan feromon berbagai macam manusia. Seorang penjual kacang naik ke bus menawarkan dagangan. "Kacang-kacang! Kacangnya Kak?"

Cowok berambut gondrong itu mengangkat tangan. "Maaf, Mas," tolaknya (masih) berusaha sopan.

Baru hilang satu sumber suara, muncul suara lain, seorang pengamen banci naik dengan memegang speaker berukuran besar dalam jinjingan. Suaranya melebihi suara hajatan dari depan Gang. Caraka mengusap telinganya. Harusnya dia bisa naik bus yang lebih bagus, sayangnya hari itu semuanya penuh. Tersisa bus ekonomi saja yang kualitasnya sebanding dengan harga murah.

"Minggir woi, gua duluan di sini!" si pedagang berbadan ringkih itu menghalangi jalan si pengamen banci.

"Enak aja, gua duluan. Gua sentil mah mental lu dasar bocil." Si Banci tidak mau kalah.

"Lah lu kagak liat speaker lu segede gaban noh."

"Emang apa urusan elu?"

Pertengkaran itu berlangsung di depan mata Caraka seolah ada laga gulat yang sebentar lagi akan terjadi. Mereka saling berhadapan sementara Caraka menjadi saksi mata. Cowok itu menelan ludah, berharap perang dunia tidak terjadi. Kali ini Cina dan Amerika sedang panas, tapi adegan di hadapannya jauh lebih mengerikan lagi.

Caraka memijat kepalanya. Berharap semua kesialan ini segera berakhir dengan nasib baik segera berpihak kepadanya. Sang pengamen akhirnya turun. Kalau kata Ibu Kartini, habis gelap terbitlah terang, tapi peribahasa yang cocok untuk Caraka adalah habis gelap terbitlah gelap lagi. Hilang satu kesialan, berbiak yang lainnya. "Halo permisi, ini kursi aku, ya?" seorang cewek berambut pendek sebahu dengan style aneh muncul; sweter tebal, rok tutu model polkadot dipadu dengan pantofel. Sebuah kain berwarna biru magenta terlilit di lehernya. Mengingatkan Caraka dengan gaya berpakaian Helena Bolham, tapi kalau Helena yang memakai jadinya ikonik, sementara gadis di hadapannya itu terlihat norak.

Lelaki itu mengangguk, mempersilakan gadis itu duduk di sebelahnya. "Kalau aku pindah ke jendela boleh nggak? Aku mual kalau duduk sini." Sepertinya Tuhan sedang menguji Caraka dengan ujian bertubi-tubi.

"Nggak." Caraka menolak dingin. Dia sengaja duduk dekat jendela agar posisinya lebih luas. Gadis aneh itu terlihat kecewa, tapi hanya beberapa detik saja, selanjutnya dia duduk di kursinya sambil tersenyum lebar.

"Namaku Anindita Keshwari, panggil aja Anin. Kalau kata Ibu, arti namaku berarti jantung hati penyejuk keluarga. Padahal aslinya aku yang bikin Ibu darah tinggi kalau di rumah hehe. Kamu namanya siapa?" Informasi yang sebenarnya tidak penting, Caraka tidak mau tahu arti namanya atau asal-usulnya.

"Caraka," jawabnya pendek.

"Apa? Cakra? Kayak nama penyanyi, Cakra Khan, namakuuu cinta ketika kita bersama." Yak here we go again, orang kesekian yang salah menyebutkan nama Caraka. Padahal nama Caraka itu mudah sekali diingat, tapi orang-orang ada yang memanggilnya 'Cakar', 'Cakra', ada juga 'Cakara'. Memang sesusah itu ya namanya?

"Ca-ra-ka." Dia mengeja agar lebih mudah dalam pelafalan, gadis di depannya ber-ooh ria.

"Kamu udah sering naik bus?"

Hening.

"Udah ke mana aja?"

Hening.

"Aku baru pertama kali nih maaf ya kalau aku berisik. Ngomong-ngomong kamu mau ke Jakarta juga?"

Terdengar dengusan nafas berat dari gadis itu.

"Kata Ibu, kalau diajak orang ngomong itu harus dijawab, itu namanya sopan santun."

"Kata gue, mending lo diem karena ngajak ngomong waktu orang sebelah lo mau istirahat, itu namanya ganggu." Cowok itu membalas lugas.

Gadis bernama Anindita itu menggembungkan pipi dan akhirnya memilih untuk diam.

****

Selama 19 tahun hidup, Anindita selalu menghabiskan waktunya di area pesisir. Kampungnya berada di Krui, area pesisir Barat di ujung Provinsi Lampung. Itu sebabnya dia jauh lebih akrab dengan jenis-jenis ikan daripada nama penyanyi yang sedang hits di dalam negeri. Dia jauh lebih mengenal aroma menusuk garam daripada aroma wewangian parfum. Dia jauh lebih mengenal panas matahari daripada sejuknya AC dalam sebuah ruangan. Baginya, suara air laut yang memecah karang adalah suara menenangkan seperti rahim Ibu. Ikan lumba-lumba yang berenang di bawah kapal nelayan bukan hal mengerikan, mereka adalah teman, hidup di pesisir mengajarkan Anindita bagaimana harus hidup berdampingan antara manusia dan alam.

Anehnya, ketika berada di desa, Anin merasa bahwa waktu berjalan begitu lambat. Saking lambatnya hingga satu hari dia bisa melakukan banyak hal: bangun pagi, membantu ibunya ke berjualan ikan di pasar, berangkat ke sekolah, memanjat pohon kelapa. Kadang di hari Sabtu dan Minggu, dia akan membantu ibunya masak-masak di rumah tetangga yang akan berpesta atau disebut rewang. Jangan heran kalau banyak istilah Jawa, karena di kampung Anin, ada beberapa yang juga suku Jawa—minoritas, di antara suku Saibatin yang merupakan suku asli pesisir Laut. Salah satu yang termasuk suku Jawa di sana, yaitu keluarga ibunya serta tetangganya, Bu Ningsih.

Namun kini Anin merasa waktu berjalan begitu cepat, baru dua jam lalu dia masih di rumah, saling berpelukan dengan ibunya, tetangga, para anak-anak kampung. Sama sekali tidak menyangka bocah cilik yang sejak kecil menghabiskan waktunya di kampung harus berangkat ke kota untuk melanjutkan kuliah.

"Jaga diri selama di sana ya, Nduk." Ibunya, Arum, terlihat sekali begitu sulit melepas kepergian Anin. Satu-satunya anak yang dia punya. Dia memberikan nama Anindita Keshwari bukanlah tanpa alasan, sama seperti namanya yang berarti jantung hati penyejuk keluarga, Arum ingin anaknya itu menjadi penguat untuknya. Penerang di kala dunianya gelap dan serba berantakan, dan kata orang nama adalah doa, begitulah yang kenyataannya terjadi. Arum tidak pernah membayangkan bagaimana hidupnya akan berjalan tanpa Anindita.

"Ingat lho, Nduk sama pepatah, Kebo Gupak Ajak-Ajak." Bu Ningsih, tetangga sebelah rumahnya sekaligus teman ibunya di ladang, yang bibirnya akan mengalahkan kecepatan pesawat Apollo kalau sudah menyebarkan gosip. Tanpa harus menyebarkan di koran, sewa saja kemampuan Bu Ningsih dalam bergosip, satu kampung bisa tahu satu berita dalam satu hari. Pernah ada cerita anak KKN menginap di rumah Bu Ningsih, dalam satu bulan dia tinggal di rumah Bu Ningsih, anak KKN itu sudah tahu silsilah sampai aib paling dalam warga desa. Gimana nggak, itu semua karena mulut julidnya Bu Ningsih.

"Apaan artinya?"

"Kerbau penuh lumpur mengajak kotor yang bersentuhan dengannya, nanti kalau di kota harus jaga pergaulan. Pilih-pilih dalam berkawan, jangan sampai terjerumus, Nduk. Jangan kayak ibumu ini." Bu Ningsih menggerakkan dagu menunjuk Arum. Wajar sekali kalau Ningsih masih kesal dengan Arum, bagaimana tidak, 21 tahun lalu—Ningsih pernah melarang Arum yang gencar sekali ingin pergi ke Bandar Lampung untuk mencari pekerjaan. Bukan pekerjaan yang dia dapat, dia justru menjadi istri kedua dari seorang pria beristri.

Hubungan mereka hanya berlangsung tujuh tahun, karena di tahun ke-7, suaminya bangkrut dan membuat perjanjian dengan istri pertamanya. Suaminya itu akan diberi modal untuk membayar semua utang apabila dia menceraikan Arum. Hari itu juga Arum dipaksa menceraikan suaminya dengan berat hati dan di usia Anin yang baru saja masuk SD, dia harus menerima kenyataan kalau orangtuanya berpisah.

Meskipun terkadang ayahnya masih sering menelepon dan mengajak Anin untuk pergi ke Jakarta. Itu pun bisa terhitung jari, ketika dia lulus SD dan lulus SMP. Yang Anin ingat, ayahnya membawanya untuk bertemu dengan Nenek, dan ketika lulus SMP, ayahnya pernah mengajak Anin ke ulang tahun kakak tirinya.

"Nin, jangan lupain aku ya, Nin." Suara semakin bertambah haru ketika Dian menangis sembari memeluk tubuh mungil Anin begitu erat, Dian adalah teman Anin sejak kecil. Mereka satu SD hingga SMA. Saling tahu kebaikan serta keburukan satu sama lain. Sama-sama memiliki cita-cita untuk membanggakan nama keluarga, namun sayang seribu sayang, takdir tidak begitu baik pada Dian. Perekonomian keluarga yang buruk, masih memiliki 3 adik kecil, membuat Dian harus mengalah untuk tidak berkuliah dan melanjutkan bekerja demi mencari nafkah.

Begitu angkot yang akan mengantar Anin ke terminal datang, kian pecahlah tangis di kampung. Anin tidak pernah membayangkan kepergiannya akan disambut dramatis. Aduh persis seperti tayangan yang sering ibunya tonton di channel televisi berlogo ikan terbang. Anin juga tidak pernah menyangka para bocil yang sering dia usili dengan meminta seribu-dua ribu untuk dibelikan Teh Sisri justru paling keras menangis dan merasa kehilangan. Sebenarnya tidak hanya kehilangan sosok yang sering mengusili, tapi anak-anak itu kehilangan seseorang yang sering berdongeng dan mengajarkan mereka baca-tulis.

"Kakak nanti sering pulang ya, aku masih mau dengerin dongeng-dongengnya Kak Anin."

"Ada yang jauh lebih jago nge dongeng dari aku tauuuu, tuh si Ibu!" Anin melirik ibunya yang hanya geleng-geleng kepala.

Itu adalah kejadian 2 jam lalu, detik ini dia sudah berada di dalam bus. Berada di sebelah cowok yang sepertinya tidak terpaut jauh dengan usianya. Rambutnya gondrong, tapi bagian atasnya setengah dikuncir dan membiarkan rambut bagian bawah menutupi tengkuk. Mengenakan kaos berwarna hitam bertuliskan 'The Beatles'. Sepertinya doa Anindita semalam terkabul, dia berdoa semoga di bus seduduk dengan cowok ganteng atau paling tidak sebaya dengannya deh, jadi dia nggak bete-bete bange karena tidak punya teman mengobrol.

Mobil mulai melaju, bibir Anindita mulai komat-komat seperti Mbah Dukun baca mantra. Merapalkan doa-doa, sehari berubah jadi ustadz dadakan padahal biasanya kalau di rumah, untuk salat saja harus disabet dengan rotan bulu ayam oleh Ibunya.

Bus tiba-tiba rem mendadak.

Tangan Anindita tanpa sadar mencengkram pergelangan tangan cowok di sebelahnya sambil memejamkan mata. Doanya semakin keras berharap menembus langit agar perjalanannya hari itu selamat sampai tujuan. "Mau sampai kapan nih tangan gue lo cengkram?" Anin membuka mata.

Dia menoleh.

Cowok di sebelahnya sudah memandang dengan alis terangkat dan ekspresi jengkel setengah mati.

"Hehe ... maaf maaf ... maaf ya, nggak sengaja." Anindita melepaskan tangannya.

Anindita melihat cowok menyebalkan itu memejamkan mata. Gadis berambut pendek sebahu itu menggigit bibirnya keras-keras, lalu dia teringat dengan ibunya tiap kali dirinya ketakutan, dia akan menyuruh Anindita untuk menghitung domba. Jadi itulah yang dia lakukan. "Satu domba, dua domba, tiga domba, empat domba, lima domba, enam domba, tujuh dom—"

"Lo nggak ngerti bahasa manusia, ya? Gue bilang mau istirahat."

"Kamu nggak ngerti jadi manusia, ya? Kalau ada orang ketakutan, bantuin ditenangin dong."

"Urusan lo ya tanggung jawab lo, dong, kenapa dilimpahin ke gue? Lagian lo yang takut, kenapa gue yang repot."

"Iya udah, ini aku lagi mengatasi rasa takutku sendiri."

"Tapi ganggu."

"Terus aku harus gimana?" Baru beberapa jam Anindita ke luar dari desa, beradaptasi dengan para manusia di kota, dan dia sudah mengalami kendala. Apa kalimatnya kurang jelas, ya? Apa memang benar kata orang-orang di desanya kalau semua orang di kota itu egois, mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri, individualis.

"Pantesan ya kalau aku nonton berita banyak orang-orang di kota bunuh diri, ya karena ada orang kayak kamu ini, nggak peduli sama orang lain. Cuma peduli sama diri sendiri."

"Oh, lo dari kampung?" balasnya terlihat sekali menahan jengkel setengah mati yang sebentar lagi akan meledak.

"Emang kenapa kalau aku dari kampung? Seenggaknya orang-orang di kampungku itu jauh lebih manusiawi, kalau ada yang ketakutan, mereka akan bantu tenangin."

"Iya udah balik aja lagi ke kampung lo, ngapain ngadu nasib ke kota." Ugh. Kalau saja mereka hanya berdua mungkin Anindita akan menjambak rambut gondrongnya itu, ganteng-ganteng tapi nyebelin!

"Mulut kamu tuh terbiasa gitu ya sama orang? Nggak baik lo, nggak sopan."

"Mulut lo tuh terbiasa gitu ya sama orang? Berisik kayak kaleng rombeng."

"Yaudah aku diem ... maaf." Anindita mengunci mulutnya, tapi baru beberapa menit dia membungkam mulut. Perutnya berguncang, apalagi bus bergoyang-goyang karena menghindari lubang yang dalam. Anindita bukan tipe orang yang mabuk darat, bahkan dia sudah sering tertidur di atas perahu layar tiap kali menemani ibunya melayan. Masalahnya, bus yang dia naiki saat ini kondisinya benar-benar tidak layak. Ditambah lagi aroma Stela jeruk menggantung tepat di atas kepalanya. Suer deh, Anindita jauh lebih memilih aroma ikan asin atau aroma belerang daripada perpaduan keringat dengan Stela jeruk. Dua combo mematikan untuk indera penciuman manusia.

Sampai akhirnya, dia tidak tahan lagi. Dia butuh pikirannya terdistraksi, Anindita memberanikan diri mengajak cowok di sebelahnya mengobrol. "Plis biarin aku ngomong, kalau aku diem, aku mual. Kamu nggak mau kan liat aku muntah di sini?"

****

Sepertinya ini bukan lagi hari tersial, tapi juga kutukan untuk Caraka. Dia berusaha mengingat dosa berat apa yang pernah dia perbuat sampai balasannya tunai secara nyata dihadapkan untuknya.

Caraka berusaha mengingat-ingat, apa ini karma karena dia pernah memperkenalkan bolu kukus ke teman pertukaran pelajarnya yang seharusnya disebut bolu kukus dia malah memperkenalkan dengan sebutan 'Yati mulus'. Padahal itu nama penjaganya. Jadi tiap kali si bule mau membeli bolu dia pasti bilang "Aku mau Yati mulus ..." dan berakhirlah si bule itu jadi musuh bebuyutan penjaga kantin selama dia menjadi mahasiswa di Indonesia sebelum akhirnya kembali ke Korea beberapa bulan lalu.

Tapi sepertinya itu bukan jenis dosa besar, kan dia hanya usil saja, tapi kenapa karma yang dia dapatkan sekarang seolah dia melakukan sebuah tindakan sangat berdosa? Bayangkan dia harus duduk di sebuah bangku bus ekonomi, bersama dengan seorang gadis berisik yang tak henti-hentinya bercerita. Caraka tahu ada banyak kepribadian manusia di dunia, tapi gadis di hadapannya ini terlalu berisik.

"Aku harus buat pikiranku terdistraksi, jadi kamu harus bikin aku mikir terus biar nggak mual. Aku mau cerita pengalaman aku kecil. Kamu pernah nggak ngerasain tai kebo yang masih anget nempel di kaki kamu?"

Ewh. Caraka meringis. Melihat tahi kebo secara langsung di depan matanya saja dia tidak pernah. "Nggak," jawabnya dingin. Terkesan tidak mau tahu.

Lalu meluncurlah berbagai cerita. Bahkan beberapa jam duduk bersamanya, Caraka jadi mengenal beberapa hal tentangnya. Mengenai masa kecil gadis itu yang aneh; dia punya teman lumba-lumba bernama Ulin. Tiap kali sunset, gadis akan duduk di atas karang dan melihat Ulin melompat girang mengelilingi batu karang. Gadis itu juga bercerita betapa menyenangkan main layang-layangan di pinggir laut, minum air degan sambil melihat ombak, atau bagaimana dia memiliki seorang Ibu yang suka sekali berdongeng. Masa kecilnya tidak punya banyak mainan tapi dia terhibur karena dongeng-dongeng ibunya.

Dan yang paling aneh, gadis itu bertanya, "Kamu pernah nggak mimpi jadi beras di toko kelontong, ikan asin, atau mimpi jadi kacang polong?"

Caraka cuma bisa melongok, membayangkan, mana ada manusia yang bermimpi seaneh itu?

"Mimpi jadi beras di toko kelontong maksudnya gimana, sih?"

"Ya pokoknya dalam mimpi itu aku marah banget sama orang-orang yang dateng ke toko kelontong tapi tangannya suka main-mainin beras."

Bibir Caraka ternganga, sambil matanya menatap Anindita seolah ingin bilang "serius nih ada orang kayak begini?"

Hingga akhirnya mereka naik kapal. Caraka bisa beristirahat dengan tenang karena dia akhirnya bisa berjauhan dari si gadis norak itu sejenak.

Bus sampai di kapal malam hari, untungnya ombak pun tidak sedang pasang. Namun anginnya begitu besar sampai dia harus mengeluarkan jaket dari dalam tasnya karena kedinginan.

Sejenak, Caraka merasa merdeka. Dia bisa tertidur nyenyak selama perjalanan di kapal, sampai akhirnya kutukan itu muncul lagi ketika kapal akan merapat ke dermaga dan penumpang diwajibkan masuk ke dalam bus. Satu-satunya penumpang yang tertinggal adalah si cewek norak itu. "Mas, temannya mana?" tanya sang kernet.

"Nggak tahu, bukan teman saya itu, Mas." Caraka menjawab malas.

"Waduh tolong bantu cari, Mas, ini kalau dia nggak ketemu, nggak jalan lho mobilnya."

"Ck, ah!"

Dia bekerja sebagai manajer sebuah band kampus bernama Aspire, sudah terbiasa kerjaannya mengurusi anak-anak bandel, tapi sepertinya mereka semua jauh lebih mudah diatur daripada seorang gadis dari kampung bermulut berisik seperti Anindita.

Caraka akhirnya mau tidak mau keluar lagi dari bus. Mencari di mana sosok gadis menyebalkan itu. Dia berkeliling ke kursi semula, dari satu ruangan ke ruangan lain. Lalu dia mengintip ke jendela. Dermaga sudah semakin dekat. Matanya akhirnya menemukan Anindita malah masih tertidur dengan nyenyak di salah satu kursi.

"Mati kali ya tu cewek?" tanyanya heran, bisa-bisanya dia tertidur pulas sementara speaker pemberitahuan bahwa kapal akan segera merapat masih setia terdengar. Sepertinya suara di speaker masih belum keras.

Cowok itu akhirnya mendekat, mengumpulkan segenap amarah yang masih tersisa dalam dirinya, lalu berteriak, "Bangun, bangun, Mbaaak! Bangun woiiii!!!! Kapalnya mau tenggelam!!!! MAU TENGGELAM, NIH!" teriaknya.

Gadis itu terduduk, lalu dia tidak lagi memikirkan tas ranselnya yang semula menjadi bantalan dia tertidur. Gadis itu ikut berlari bersama dengan para pengunjung yang berdesakan ingin turun. "Bapaaak, Ibuuu, kapalnya mau tenggelam?" suaranya bergetar.

"Apaan, Mbak, orang ini pada mau turun kapal. Udah mau sampe!" seorang bapak tua merasa terganggu dengan teriakan dan wajah paniknya.

Anindita berbalik, melihat tasnya sudah dibawa oleh Caraka. Caraka menyeret lengan gadis aneh itu—yang kesadarannya masih belum benar-benar menyatu dengan sukma 100 persen—agar segera turun dan dia bisa segera sampai di rumah untuk beristirahat. "Stop ya nyusahin gue, sekarang buruan turun biar gue segera terbebas dari kutukan ini dan tidur di rumah dengan nyaman, ngerti nggak?!"

A/N: Haiii selamat malam!

Terima kasih ya untuk antusiasnya, semoga kalian suka.

Fun fact waktu nulis cerita ini sebenarnya aku udah nulis hampir sampai part ending, terus tiba-tiba jam 1 malam dapat inspirasi baru. Ya udah aku buru-buru ngetik. Selamat menunggu part selanjutnya!

Kalau suka jangan lupa dibagikan, baca juga ke-6 cerita lainnya dari anak-anak Aspire, yaaa!

Follow juga instagram ini:

@carakamahawira @aspire.band @reijiro.damastara @birulangit.bumi @matteo.tenggara @kajev.nabastala @semesta.auriga

Sampai jumpa di part berikutnya. 

Continue Reading

You'll Also Like

RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.7M 228K 69
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
1.1M 109K 58
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
413K 43.2K 19
*Spin off Kiblat Cinta. Disarankan untuk membaca cerita Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengetahui alur dan karakter tokoh di dalam cerita Muara Kibla...
509K 25.4K 73
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...