Playlist ⏯️ Loneliness (Putri Ariani)
Woiii tatanggaa (pake nada rafael) ayo cekot new mowteaslim sekarang! Lebih halussss ga perlu disaring! Dan yg ditunggu2 udah ada label izin di kemasannya😘
__________
Budayakan vote sebelum membaca, bukan hanya untuk menghargai penulis, tapi juga nunjukkin integritasmu sebagai pembaca yang baik
Masa iya masuk rumah orang nyelonong gt aja ga permisi? Ga ninggalin jejak apa2?
__________
"Tsania!" Suara perempuan yang agak berat terdengar di sepanjang lorong tersebut. Kali ini Naqiya mengetahui siapa gerangan yang memanggil nama itu.
"Khalaty," Gumam Naqiya pelan sembari melihat wajah wanita paruh baya tersebut. Terakhir Naqiya bertemu dengannya, kecantikan dan pesonanya masih sama. Ditambah tuturnya yang begitu lembut.
Maka dari itu, hampir tak ada yang percaya kalau Naqiya bilang Ali berusaha sekeras tenaga untuk membunuhnya karena pria itu berasal dari keluarga yang terkenal baik.
"Beik, Umma!" Sahut Tsania yang seketika menoleh pada ibunya. Matanya melihat keterkejutan sang ibu kala menangkap dirinya berbicara dengan Naqiya.
(*Iya, Umma?)
"A—ahlan, Naqiya," Ucap wanita itu pelan sebelum fokusnya kembali pada sang putri. "Wallahi, Tsania, Umma cari kamu kemana-mana," Tegurnya pada sang putri.
(*Ahlan = Hai; Wallahi= Demi Tuhan)
Perempuan bernama Tsania itu tidak bereaksi, ia hanya menaikkan kedua alisnya dengan wajah tak bersalah. "Afwan, Umma, tadi mau ke toilet eh ketemu Kak Nay," Ujarnya menyindir Naqiya dengan alis sebelah terangkat.
"Ameh nyari kamu itu," Bisiknya pada sang putri.
(*Afwan = maaf ; Ameh = Tante dari ibu)
Gadis itu melebarkan matanya dan menarik pelan tangan sang ibu agar segera pergi dari koridor tersebut. "Ayo, Umma!"
"Duluan, Naqiya," Ucap ibu dari Tsania tersebut pada Naqiya yang diam di sana.
Naqiya yang sudah terlanjur sakit hati dengan perkataan buruk yang tertuju padanya itu tak memberikan senyum sama sekali. Kepalanya hanya mengangguk lesu sebelum mulutnya terbuka untuk berujar sesuatu.
"Fadhol," Ujarnya sebelum menunduk dan masuk ke dalam toilet yang sedari tadi menjadi tempat tujuannya. Tanpa salam, tanpa cipika-cipiki, Naqiya langsung meninggalkan kedua orang itu.
(*Silakan)
Di dalam toilet, Naqiya mengatur napasnya agar dirinya merasa sedikit tenang menghadapi situasi seperti ini. Memang, semua yang dikatakan Tsania benar. Naqiya sudah menikah bahkan sudah mengandung bayi dosennya sendiri saat Ali bahkan belum mengetahuinya.
Tapi, hamil duluan? Darimana Tsania mengetahui berita itu? Keluarganya bahkan Nenek Ainun menutup rapat-rapat aib tersebut.
"Ya dari Ali sendiri lah, Nay," Ucap Naqiya pada pantulan cermin yang menampakkan wajah gelisahnya. "Dan Ali dari Dek Fat."
Ya, semuanya berkesinambungan. Naqiya percaya hubungan darah memang lebih kental dari apapun. Sakitnya seorang Kakak adalah luka untuk adiknya, begitu sebaliknya.
Maka, itu juga berlaku pada Tsania dan Ali. Ali yang mendapat nasib demikian membuat Tsania murka padanya dan tak berat hati memaki dirinya.
Tapi...
Tsania tak menyebarkan aib itu pada siapapun di sini. Seharusnya kalau memang gadis itu dendam padanya, Tsania akan memberitahukan semua tamu yang datang bukan? Agar Naqiya semakin merasa malu dan tertekan karena rundungan mereka.
Tangan Naqiya membuka resleting tasnya untuk mendapatkan ponselnya di sana. Ia tak bisa berlama-lama di sini. Benar kata Bara, sekalipun itu keluarga belum tentu membuat Naqiya merasa aman.
Namun, belum sempat panggilan itu tersambung, ponsel Naqiya dengan cepat raib dari genggamannya. Gadis yang tiba-tiba masuk toilet dan meraih ponselnya itu terkekeh mengejek padanya.
"Afwan, Kak Nay, obrolan kita harus disela sama Umma," Ucapnya tanpa rasa bersalah. "Tapi aku belum selesai."
Naqiya menghela napasnya, rasanya hatinya mulai ciut melihat Tsania dengan keberanian penuh itu. Namun mengapa harus takut? Tak ada alasan Naqiya untuk merasa takut saat ini.
Berbeda saat dirinya masih mengandung Gaza. Naqiya akan merasa khawatir kalau bayinya kenapa-napa. Ia juga merasa takut kalau segalanya terbongkar karena kehamilamnya mulai membesar.
"Mas Bara?" Ejanya pada panggilan paling atas yang tadi hampir ditekan Naqiya. Belum sempat ditekan, ponsel itu sudah raib dari genggamannya. "Mau ngadu sama gadunnya Kak Nay?"
"Tsania jaga mulut kamu ya," Ucap Naqiya memberikan peringatan. "Balikin HP ku."
Tsania buru-buru menyembunyikan ponsel itu ke belakang badannya. Tentu Naqiya kesulitan menggapai ponsel miliknya.
Dengan langkah pasti, Tsania mendekat. Tatapannya penuh intimidasi. Kalau mata Tsania adalah sebilah pisau, percayalah itu sudah bisa menjadi modal untuk menumpahkan darah Naqiya sekarang.
"Kenapa Kak Nay tega?" Tanyanya pada Naqiya, kali ini sorot matanya melunak. Naqiya melihat kepedihan di dalamnya. "Apa keluarga kami ada salah ke Kak Nay?"
"Tsania," Panggil Naqiya lagi dengan gelengan.
Tsania masih kekeuh dengan pendiriannya. Ia masih tak terima Abangnya diperlakukan demikian. "Dosen itu bisa ngasih Kak Nay apa? Bahkan ngasih marga buat bayi Kak Nay aja nggak bisa."
Kilatan amarah dalam diri Naqiya kembali mencuat. Demi Tuhan, bukan hanya Bara yang sakit hati kala istrinya dihina. Naqiya pun merasakan hal serupa. Baginya, Bara adalah raja di rumah yang kehormatannya di luar harus ia lindungi.
Dan, tak ada kerajaan yang rela rajanya diinjak-injak di luar bukan?
"Suami Kak Nay itu pecundang," Tsania memicingkan mata penuh intimidasi pada Naqiya sekarang. "Selain nggak bisa ngasih marga anaknya, dia juga mutus nasab mulia kamu, Kak."
"Cukup, Tsania," Ucap Naqiya dengan tegas. "Aku nggak ada masalah sama kamu," Kilatan emosi di matanya. "Sekali lagi aku peringatin kamu buat jaga mulut kamu itu."
"Hahaha... Raksye..." Tsania tertawa lagi. Kebencian pada Naqiya membuatnya tak mengenal rasa takut sama sekali. "Aku jaga mulut, Kak Nay jaga diri bisa nggak?"
"Aku kira perempuan perempuan Saqqaf itu mahal loh," Ucapnya lagi-lagi menohok hati Naqiya. "Kalo mau menikah, dari rahatan sampe resepsi aja gila-gilaan mewahnya, jangan tanya mahar berapa. Cowok-cowok yang mau nikahin Saqqaf juga tau minimal harus bawa berapa."
"Dan Bang Ali paham betul soal itu," Timpalnya lagi. "Pagi, siang, sore, Bang Ali banting tulang buat halalin kamu, Kak. Aku sendiri saksinya seberapa dia niat minang kamu."
Gadis itu terkekeh lagi sebelum memutar bola matanya, "Ternyata yang mau dinikahin malah jadi pemuas nafsu pribadi..." Ia memajukan wajahnya untuk menekankan kata selanjutnya, "...dosennya sendiri."
Gemuruh dalam dada Naqiya terlalu besar. Rasanya badai itu mengguncangnya dari dalam. Saking beratnya, Naqiya tak bisa membuka mulut sama sekali. Apabila ia membuka mulutnya, mungkin akan menjadi perang di dalam kamar mandi ini.
"Oops," Timpalnya sebelum menutup mulut dengan gerakan mengejek Naqiya. "Nggak tau sih, pemuas pribadi apa ganti-ganti pake aplikasi."
Demi Tuhan, Naqiya menahan tangannya sekeras mungkin agar tak menampar gadis muda tak tahu diri ini. Kalau Bara mendengar ini semua, pasti pria itu tak akan terima. Percayalah, tak ada suami manapun yang rela istrinya diinjak-injak dan dihina.
Wajah Naqiya menegang. Urat-urat biru kehijauan di pipinya terlihat. Matanya berair dengan kelopak yang melebar. Amarah wanita itu memuncak, namun keyakinannya memaksa Naqiya untuk menahan amarah tersebut.
"Enak ya, Kak?" Tanya Tsania. "Katanya sih kalo zina di luar nikah emang cepet jadinya. Eh bener 'kan jadi duluan," Ejeknya lagi.
Kalau di kampus, mungkin wanita itu persis seperti Rasel yang mempunya jiwa mendominasi tanpa adanya kegetiran sama sekali. Namun bedanya, Rasel menyerang Naqiya hanya karena uang. Sementara Tsania?
Gadis itu punya alasan kuat untuk menyerang Naqiya sekarang. Setelah sekian lama tak bertemu dengannya.
"Pantesan ya orang-orang pada nanya," Tsania lagi-lagi mengatur intonasi suaranya agar terdengar begitu mengintimidasi. "Kok Argaza Aqsabian nggak ada marga bapaknya?"
Plak!
Detik itu juga Naqiya sudah tak bisa menahan amarahnya lagi. Ubun-ubun ibu satu anak itu sudah terlalu terbakar mendengar putra semata wayangnya dihina seperti ini.
Dengan cepat Naqiya mengambil ponselnya di tangan Tsania yang mengusap pipi merasakan panas di sana. Napas Naqiya bergemuruh sebelum ia menutup tasnya dan beranjak pergi.
Namun, sebelum beranjak pergi, Naqiya merogoh undangan pernikahan yang diberikan calon pengantin itu. "Bilang Alma, selama kamu ada di pernikahannya nanti," Naqiya meletakkan undangan tersebut di meja wastafel. "Naqiya nggak akan dateng."
"Yaudah!" Pekik Tsania yang merasa tidak terima dengan tamparan perempuan sialan barusan. Ia begitu marah pada Naqiya selama ini. Bukannya hancur, saat bertemu dengannya justru Naqiya tampak sangat bahagia.
Wanita itu sama sekali tidak berhak atas kebahagiaannya.
Bisa-bisanya Salwa Saqqaf masih memiliki hati untuk sepupunya ini? Apakah dia tidak takut bernasib sama seperti Fat yang membusuk di penjara?
"Nggak ada yang butuh pelacur kaya kamu di pestanya piuh!" Ucap Tsania sembari meludah di sisi kanannya untuk menghina Naqiya. "Galil adab!"
(* Kurang ajar)
Naqiya yang emosi luar biasa ditambah hatinya terasa sakit sekali itu mengangguk. "Oke," Ucapnya sebelum membalikkan badan. "Dan satu lagi... gaun resepsinya di butik suamiku juga terpaksa dibatalkan."
[ B A Y I D O S E N K U 2 ]
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
"Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan karenanya dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat." (HR. Muslim no. 2988).
Hayoooo siapa yang kmrn udah ngatain nay lemah🤣🤣 dia mah diem2 menghanyutkan weh, jangan cari masalah sm mm gaza
FRESH BARU UPDATE! TOPIK DEWASA SUDAH DIMULAIII
KARYAKARSA = fridayukht
WhatsApp = 0896032104731