We Start With The End [TAMAT]

By Qomichi

245K 22.7K 1K

[WATTYS 2023 SHORTLIST] Ruby Moonstone melarikan diri ke Indonesia karena perceraian menyakitkan dengan manta... More

Pengantar🌟
Bab 1 : McD
Bab 2 : Keberadaan Ibu
Bab 3 : Kabur
Bab 4 : Terlambat
Bab 5 : Batasan
Bab 6 : Trans Musi
Bab 7 : Pertemuan Ketiga
Bab 8 : Pengawasan
Bab 9 : Namira/Ruby
Bab 10 : Suami
Bab 11 : Lampu Hijau
Bab 12 : Hal Lalu
Bab 13 : Bercerai
Bab 14 : Thomas
Bab 15 : Hal Sensitif
Bab 16 : Keputusan Tepat
Bab 17 : Kebenaran Satu Arah
Bab 18 : Chek
Bab 19 : Naskah
Bab 20 : Tamparan & Pelukan
Bab 21 : Kepala Empat
Bab 22 : Kenangan Tanglong
Bab 23 : Cerita Kunci
Bab 24 : Mulai dari Akhir
Bab 25 : Banting Setir
Bab 26 : Rahim
Bab 27 : Humiliating
Bab 28 : Lampu Merah
Bab 29 : Infertilitas
Bab 31 : Adopsi
Bab 32 : Kesempatan
Bab 33 : Bahagia
Bab 34 : We End From The Start
Bab 35 : Kesalahan
Bab 36 : Sally dan Gedung Pernikahan
Bab 37 : Finally, I Love You!
Epilog 🎇

Bab 30 : Pulang

4.3K 468 24
By Qomichi

🍟🍟🍟

"Biasanya kami pergi bersama Decan." Onyx bercerita seraya mengikuti laju troli belanja yang didorong Ruby. Laki-laki itu kemudian menawarkan diri untuk mengambil alih troli. "Aku sebenarnya tidak tega. Yeah, selain Decan merepotkan, dia juga pelupa. Kadang dia berjalan memutari lorong untuk kembali ke tempat sayuran dan mengambil kubis dua kali."

"Wah kasihan dia." Ruby melirik Onyx prihatin. "Kalian pernah mengajaknya periksa kesehatan?"

"Tidak mau," jawab Onyx langsung dengan decak sebal, persis seperti penolakan Decan setiap kali hendak diajak medical check up. "Dianya tidak pernah mau. Secaralah orang tua."

"Yeah, mereka lebih percaya jika tubuh mereka bisa bertahan seratus tahun lagi." Ruby menghela napas panjang.

Decan sudah seperti orang tua bagi mereka. Tidak hanya mengurusi Onyx saja, dia juga berperan besar dalam tumbuh kembang Ruby. Sejak kecil mereka selalu merepotkan Decan dengan mainan yang berserakan, dapur seperti kapal pecah, dan sering meminta Decan melakukan hal-hal aneh seperti memanjat pohon mangga bersama. Tak ayal, keduanya memiliki kekhawatiran yang serupa.

Kesehatan Decan semakin memburuk sekarang ini. Matanya semakin rabun sampai-sampai Becky sempat menyebutnya katarak. Decan juga kerap melupakan sesuatu dengan mudah, hanya jeda beberapa jalan atau bahkan beberapa detik. Kadang dia tiba-tiba membuka kamar Onyx begitu saja dan termenung lama di ambang pintu. Ketika Onyx menanyakan ada keperluan apa, Decan tidak tahu.

"Aku tak dapat membayangkan kehidupan anak-anak tanpa adanya Decan," ucap Ruby lemah.

Onyx tahu Ruby tak bermaksud mengatakan hal sedemikian rupa, dia hanya asal bicara secara naluriah. Ruby bahkan tak nampak berpikir, wanita itu mengatakannya dengan fokus tertuju pada warna merah daging sapi.

"Tak ada maksud khusus." Ruby memasukkan daging yang ia pilih ke troli belanja. "Kita dulu juga bergantung banyak pada Decan."

Bahkan perlu diakui jika Onyx pun masih bergantung pada pengasuh yang sudah lansia itu. Selepas kepergian Emma, kebanyakan urusan domestik dipegang oleh Decan.

"Kau harus mulai membiasakan diri mengambil peran ganda." Ruby mengatakannya dengan hati-hati sambil tetap menatap intens mata gelap Onyx. "Aku tidak bisa memberi wejangan apa pun karena aku belum pernah menjadi orang tua. Tapi kalau boleh menyampaikan sesuatu, kau harus tegar menghadapi kenyataan yang ada."

Genggaman tangan Onyx mengerat pada dorongan troli. Dia mengeraskan rahang dengan bibir terkatup. "Kenyataan seperti?"

Kini Ruby meremas ujung troli dan mereka menatap satu sama lain, lekat. "Kalau kau sendirian... maksudnya kalau kau mungkin sendirian." Ruby meralat. "Emma mungkin sudah pergi, tapi itu tak berarti tanggung jawabmu sebagai suami lepas begitu saja. Kau juga perlu mengambil peran istri."

Terdengar berat bagi Onyx. Mau tak mau. "Aku tak tahu harus mulai dari mana."

"Sederhana saja. Mulai dari pulang setiap malam." Ruby mengulum senyum selagi kepala Onyx tertunduk perlahan. Tanpa aba-aba atau kesengajaan, jemari Ruby merayap begitu saja, pelan memanjati lengan Onyx hingga menyentuh bahu laki-laki itu pelan. "Jangan tidur di kantor lagi. Anak-anak mengkhawatirkanmu."

Onyx melirik sejenak tangan Ruby yang menumpuk di bahunya. Kemudian dia menoleh pada putri kembarnya yang tertawa lepas di stan buah-buahan.

"Wah, sampel gratis buah lengkeng!" Ruby berseru riang lantas berlari menuju kerumunan. Membiarkan Onyx terpaku bersama troli yang setengah penuh.

"Tante, lengkengnya gratis!" Becky melambaikan tangan, tak henti mencomoti lengkeng.

"Dulu aku dan Onyx selalu memakan sampel gratis. Pernah sekali ada sampel anggur dan stroberi." Ruby tersenyum lebar mengupas kulit lengkeng.

"Tapi katanya tetap harus membeli?" Violet merusak kesenangan.

"Benarkah?"

"Setidaknya kita mendapat bonus beberapa butir." Ruby tetap bersemangat.

"Becky sudah makan dua puluh!" tuding Violet yang sama sekali tidak salah melihat sampah di wilayah Becky yang berserakan. Becky berdalih meski keduanya tetap tertawa.

"Nix, sini!" Ruby melambaikan tangan pada Onyx yang sudah melajukan troli menuju ketiganya. Kemudian lambaian itu memelan dan senyuman Ruby perlahan pudar.

"Di situ kau rupanya." Suara berat laki-laki tepat di belakang Onyx membuat semuanya menoleh.

Jason berjalan mendahului Onyx, kemudian berdiri santai di samping Ruby. "Masih suka memburu sampel, Bi?" Dia tersenyum lebar, membuat Ruby langsung membalas seringainya.

Si kembar yang tadi bersemangat, langsung menghentikan makannya.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Ruby mengerjap beberapa kali sebelum menjawab, "anu... aku menemani Onyx belanja mingguan. Pengasuh anak-anak sedang sakit hari ini."

Jason mengerutkan bibir dengan tangan menyelip ke saku jaketnya. Dia kemudian melirik Onyx sejenak serta troli belanjaan mereka. "Oke, belanja bersama sebelum tiga hari lagi pulang."

Apa yang Jason maksudkan ialah pulang ke Singapura. Laki-laki itu mengatakannya sambil menatap tepat ke manik mata Onyx.

Onyx menghela napas berat kemudian melajukan troli. "Anak-anak, ayo kita lihat makanan laut." Ketiganya berlalu, menyisakan Ruby dan Jason berdua.

"Kita jadi jalan-jalan? Di mana? Pulau Kemaro?"

Ruby mengangguk pelan. Dia mengeratkan tangan pada tali tas dengan bibir mengerucut ke samping. "Apakah Selene tidak apa-apa? Aku belum pernah melihat kau meneleponnya sejak datang ke mari."

Jason menegakkan tubuh dengan sorot menegang. "Aku meneleponnya ketika di hotel."

"Oh...." Ruby mengangguk lagi. "Ngomong-ngomong... bisakah sisa hari di sini aku habiskan dengan anak-anak?"

"Dengan anak-anak atau dengan ayah anak-anak?" seloroh Jason membuat Ruby bergeming. Laki-laki itu tersenyum setelahnya dan mengusap kepala Ruby dengan tangan lebarnya. "Bercanda. Kau boleh menghabiskan waktu tiga hari ini semaumu."

Ruby berterima kasih setelahnya. Jason kemudian pergi ke stan es krim untuk membelikan Ruby sundae.

Lima menit waktu yang Ruby butuhkan untuk menemukan anak-anak kembali. Mereka berdua nampak serius meneliti lobster dan kepiting yang tampaknya hanya bisa dipilih salah satunya. Wajah keduanya tak seceria tadi.

Becky dan Violet sendiri sadar jika semuanya sudah berakhir. Tidak ada lagi peluang bagi mereka. Namun, keduanya masih jengkel setiap melihat kenyataan mengenai Ruby yang akan kembali lagi pada mantan suaminya.

Untuk itu, keduanya saling bertukar pandang, bertelepati satu sama lain, kemudian meninggalkan Ruby di sana yang terjebak bersama ayah mereka.

Onyx menarik napas panjang dan melirik Ruby sekilas. "Jadi... tiga hari lagi?" tanyanya penuh keraguan.

Ruby menegakkan pandang sejenak, lalu kembali menunduk. "Yeah."

"Tidak pernah ke sini lagi?" Kali ini tenggorokan Onyx tercekat.

"Kurasa begitu." Ruby menegakkan kepala. "Mungkin kita bisa ketemu di Singapura. Kau... dan anak-anak."

Itu sebuah konklusi. Onyx mengangguk pelan, kemudian mendorong trolernya lagi. Ada sedikit denyutan aneh di dadanya dan dia merasa tak nyaman.

Semuanya kembali canggung.

"Apakah kau benar-benar akan kembali padanya?"

Ruby mengernyit.

"Maksudku... kau dan Jason rujuk lagi?" Laki-laki itu langsung menggaruk tengkuk ketika menanyakannya.

Ruby mengerjap dan memalingkan pandangan ke lain arah. Dia tak ingin Onyx membaca air wajahnya jika sebenarnya Ruby berbohong. "Yeah," jawabnya lemah. "Dia memintaku untuk memperbaiki pernikahan kami. Jadi kenapa tidak."

"Kau kabur dariku belasan tahun tanpa menengok ke belakang. Sekarang kau justru memaafkannya secara mudah?" Aneh ketika Onyx mengatakannya dengan nada yang terluka. Dia sadar jika dia tak pantas berkata demikian mengingat dirinyalah Jason versi belasan tahun lalu. Namun dia tak dapat membohongi diri mengenai perasaan yang mengganjal di dadanya.

Ruby menautkan alis, mengerling tak percaya. "Nix... ini bukan...," dia menggeleng pelan, "ini bukan sesederhana yang kau pikirkan. Kami berumah tangga sepuluh tahun. Sepuluh tahun menikah. Itu bukan hal remeh temeh." Kini suara Ruby tak kalah seriusnya.

"Apa yang sudah dia perbuat ke kamu juga bukan hal remeh-temeh, Bi."

"Dia teralihkan. Sejenak. Dia teralihkan dengan perempuan lain untuk sesaat, dan dia ingin kembali lagi. Aku juga ingin mempertahankan pernikahan ini." Isak Ruby tertahan. Tidak, dia tidak menangis, hanya sedikit getaran pada nada suaranya.

Ruby kesal, sedih, marah, tak berdaya. Emosinya bercampur aduk dan menggerogoti hatinya. Dia sedih bukan karena terlihat menyedihkan, tapi karena harus kembali berbohong, mempertahankan pernikahan yang tak mungkin kembali.

🍟🍟🍟

Blues biru dongker yang Ruby kenakan nampak nyaman di cuaca mendung seperti ini. Langit tidak panas dan tidak hujan. Hanya mendung-mendung kecil yang kontras dengan riak-riak air Sungai Musi berwarna cokelat tembaga.

Rok satin putih yang Ruby kenakan nampak kurang tepat setelah melihat Jason mengenakan setelan santai dengan kaus putih polo dan celana jeans hitam. Jason ternyata sudah berada di perahu sungai. Itu kendaraan yang nanti membawa mereka ke Pulau Kemaro.

Roknya berkibar seiring jalannya Ruby menuju perahu. Jason sudah duluan di sana, dia mengulurkan tangan dan membantu Ruby turun ke badan sampan. Perahu sedikit bergoyang hingga Ruby perlu menguatkan pegangan di lengan laki-laki itu. Setelahnya mereka duduk bersisian ketika perahu mulai berjalan.

Sungai yang membelah dua pemukiman tersebut disusuri bersama beberapa perahu lain yang lebih berisi. Agak aneh kendaraan yang mereka naiki saat ini hanya berisi dua orang saja.

Biaya perahu yang dikenakan sebanyak seratus dua puluh ribu rupiah. Ruby menghela lega karena dia sempat berpikiran Jason menyewa khusus perahu tersebut. Laki-laki itu pernah melakukannya ketika di Singapore Fire.

Keduanya berjalan bersisian di dermaga, memasuki gerbang dengan ornamen cina yang didominasi warna merah.

Di dalam sana, mereka langsung disambut kios-kios makanan dan merchandise.

Berbelok di jalan setapak yang disemen, mereka mendapati anak-anak dan pengunjung yang cukup ramai. Jason sampai-sampai menggenggam bahu Ruby dan menariknya lebih dekat agar tak tertabrak anak-anak yang lepas dari pantauan.

Sikap protektif Jason yang satu itu masih ada secara naluriah. Ruby bergeming sampai Jason melepasnya sendiri. Dua menit berselang, mereka sudah berdiri di batu besar yang menanamkan ornamen tulisan mengenai legenda Pulau Kemaro. Ruby dan Jason membacanya sedikit, tak sampai habis karena Ruby sudah tahu mengenai kisahnya.

Mereka kemudian berbelok ke kuil-kuil yang dipondasi oleh tiang merah dan atap melengkung khas cina. Patung-patung hewan mitologi nampak di beberapa sisi menyisir langkah mereka dalam diam. Ruby tak percaya belasan menit awal ini tidak ada interaksi apa pun antara dia dan Jason.

Laki-laki itu nampaknya fokus pada bangunan-bangunan sambil memotretnya menggunakan kamera ponsel.

Orang-orang berlalu-lalang, dan banyak pengunjung yang mengabadikan momen bersama.

"Mau foto bareng?" tawar Ruby yang langsung mendapat anggukan dari Jason.

Mereka kemudian mengambil latar belakang undakan yang berbentuk seperti gazebo besar di pinggir sungai. Seorang pengunjung membantu mereka mengambil gambar.

Merasa cukup, keduanya kembali berjalan menuju pusat, menjumpai pagoda sembilan lantai yang selalu menjadi ikon tempat tersebut. Ruby dan Jason sama-sama mendongak beberapa detik, mengagumi puncaknya.

Orang-orang berjubel di depan, antri untuk berfoto dengan latar pagodanya. Kali ini Jason hanya memotretnya beberapa kali saja. Terlalu sesak di sana.

Pagoda tersebut juga tidak diperbolehkan untuk dimasuki, sehingga Ruby dan Jason terus berjalan hingga sampai di jembatan kecil yang menampilkan rumpun tumbuhan dan sungai.

Angin bertiup kecil, menerbangkan anak rambut Ruby. Wanita itu menopangkan sikunya di pegangan jembatan, sementara Jason hanya berdiri sambil memegang pinggirannya.

"Dulu Palembang selalu menjadi tempat yang tidak boleh kita kunjungi," bisik Ruby lirih. "Tapi malah jadi tempat kunjungan terakhir kita berdua." Ruby tertawa pahit seraya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.

Jason menatap mantan istrinya lama. Tangannya mengepal erat dan dia menegakkan bahu yakin. "Aku mengakhirinya."

Ucapannya membuat Ruby menoleh.

"Aku mengakhiri hubunganku dengan Selene."

Ruby terpaku. Bibirnya mengatup rapat dan matanya tak berkedip. Lama, dia menatap Jason sekaan tak sadar jika detak jantungnya berdenyutan. "Ke-kenapa?"

Jason mengedik. "Setelah persidangan hari itu... aku merasa jika keputusanku dan Selene bukan hal yang tepat." Dia menggeleng pelan. "Aku seharusnya tidak melakukan itu."

Ruby tak berkutik. Matanya meredup bingung. Perempuan itu mundur selangkah dengan tangan berkacak pinggang. Menatap ke segala arah, tak tahu harus berkata apa, sampai kemudian Jason bertindak.

"Ruby," panggilnya pelan. "Ayo kita pulang... kita mulai lagi dari akhir."

🍟🍟🍟

.

.

.

.

.

WE START WITH THE END


Nahhh lho!! Yang selalu digembor-gemborin Ruby jadi kenyataanTT

Kabar baikk nggak nieh? Siapa tahu kan baru resmi cerai langsuung pengen rujuk :)



*INTERLUDE :

Haloo semua^^ Nice to see you again setelah satu minggu lamanya!!

Maaf yaa Sabtu kemaren Author nggak sempet update soalnya lagi hectic ngurusin penerbitan:"

Anyway, salah satu naskah BlueBer author di Wattpad dapet kontrak dari Cabaca!! Yeeppy^^

Doain kelancaran penerbitannya yaa! Semoga kita bisa ketemu di cerita-cerita lain, nggak cuma di Wattpad doang!!


See You!!  

Continue Reading

You'll Also Like

282K 33.9K 36
Nina tahu betapa keras kakeknya, H. Rahmat Rasyidin. Pria tua itu hampir bisa menoleransi semua kebrengsekan anak dan cucunya, tapi ada satu pantang...
925K 69.3K 46
[COMPLETED] One fraction of a moment you can fall in love, a love that takes a lifetime to get over | #26 in Teen Fiction, November 17th 2016. (p.s...
78.6K 3.3K 22
Bagaimana kalau dibalik senyumku ada berjuta rasa lelah yang tak mampu terucap ? Bagaimana jika suatu saat, aku memilih untuk tak lagi peduli ? Pergi...
1.6M 78.4K 53
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...