The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

256K 22.5K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
26
27
28
29
30
31

25

7.4K 622 226
By jaeandje

20.55

ehehehehehe maaf telat update😁🙏🏻

ada beberapa hal yang gabisa gue jelasin kenapa gue bisa telat update tapi dimohon bgt maaf yaa makin kesini malah makin lama😭😭

bukan lupaa kok tp belum ada waktunya ajaa hiks, once again sorry.

bisi lupa alurnya boleh dibaca dulu part sebelumnya yaa, thanks.

enjoy, loves!

Perasaan bahagia atau semangat yang biasanya selalu menyerta setiap kali bangun namun kali ini tidak seperti itu. Meskipun cuaca cerah dan sejuk tetapi atmosfernya terasa sangat berbeda.

Helaan nafas keluar dari hidung mancung Rasel. Bangun di pagi ini ia merasa begitu hampa. Hati kecilnya benar-benar sakit sekali saat mengingat ia tidur sendirian kemarin malam. Tanpa ucapan selamat malam, pelukan hangat dan juga kecupan malam yang menjadi kenyamanannya setiap malam.

Di malam kemarin tidak ada sosok suami yang selalu melakukan rutinitas itu seperti biasanya. Pada saat bangun pun tidak ada siapa-siapa disampingnya, karena itu Rasel merasa sangat hampa sekarang.

Dia tidak memiliki semangat untuk melakukan aktivitas apapun bahkan untuk sekedar mengganti baju tidurnya. Namun setelah Rasel memaksakan diri hingga kini dirinya sudah rapih dengan baju seragam hijau tua ciri khas dokter, lalu ia pun pergi keluar kamar dan menuju dapur.

Jika Jehan masih enggan berbicara kepadanya, setidaknya Rasel masih memiliki Mbu Lami yang bisa ia ajak berbicara. Rasel menuruni tangga dengan ekspresi tidak bersemangat sambil mengikat rambutnya.

Pada beberapa tangga terakhir, indra pendengarannya menangkap suara-suara yang cukup aneh dari area ruang makan. Karena rasa  penasaran Rasel yang begitu tinggi alhasil dia mencoba mengintip dari balik tembok sebelum ke dapur.

Kebetulan jika ingin menuju dapur maka harus melewati area ruang makan sehingga jika Rasel ketauan nantinya, dia memiliki alibi yang masuk akal.

Ketika mengintip, Rasel heran melihat Jehan, Marven serta beberapa karyawan yang terlihat sedang fokus pada laptop serta berkas-berkas yang menumpuk di samping laptop mereka.

Apakah mereka sedang rapat? Aneh sekali kegiatan resmi dan penting seperti rapat itu dilakukan di dalam rumah.

Tidak ingin berlama-lama, Rasel pun melanjutkan jalannya menuju dapur tanpa menghiraukan area ruang makan yang dimana beberapa karyawan di situ tengah memandanginya.

"Itu Bu Rasel kan?"

"Dari perawakannya sih iya--"

"Fokus. Kerjaan kalian ada di atas meja jangan liat ke arah lain,"

"Maaf, Pak"

Marven yang sedang menandai beberapa hal pada berkas tertentu sesuai pembahasan rapat sebelumnya hanya menggelengkan kepalanya sambil mencibir ucapan temannya itu.

"Pak Jehan, untuk karyawan baru kita sudah ada lebih dari tiga puluh pendaftar yang lolos seleksi tahap awal. Selanjutnya sesi interview, apakah bapak sendiri yang akan mewawancarai mereka?"

"Sepenuhnya saya serahkan ke divisi HRD dengan catatan jangan lupakan standar dan kompetensi apa saja yang harus dimiliki untuk menjadi karyawan saya, jadi kalian harus jadikan itu bahan pertimbangan sebelum memilih"

"Baik, pak."

"Sudah tidak ada artikel yang membahas tentang istri saya kan?"

"Sesuai perintah bapak, divisi public relation sudah men-takedown artikel yang menggiring opini tapi tidak semua, pak"

"Dan pernyataan resmi kita juga belum mendapat respon positif dari masyarakat karena dianggap belum cukup untuk memperkuat fakta bahwa Bu Rasel bukan anak dari pembunuh seperti rumor yang beredar,"

"Tentang itu nanti saya yang akan mencari solusinya karena ada beberapa hal yang harus saya diskusikan dulu dengan pimpinan."

"Jadi untuk sementara divisi public relation terus takedown semua artikel atau video yang menyangkut istri dan mendiang ayah saya, selebihnya tunggu intruksi saya."

"Baik, pak"

"Kami, divisi hukum, juga sudah mendata akun-akun yang menyebarkan rumor dan kami bekerja sama dengan tim IT untuk melacak identitas dibalik setiap akun--"

"Tuntut mereka semua dan saya tidak menerima perdamaian."

Di sisi lain, "Selamat pagi, Mbuu" sapa Rasel sedikit berbisik supaya tidak menganggu mereka yang sedang rapat.

Mbu Lami tersenyum merekah melihat Rasel. "Selamat pagi, nyonya--"

Rasel segera membantu Mbu Lami yang sedang menghidangkan sarapan pagi ini. Awalnya Mbu Lami menolak bantuannya namun Rasel tetap ber sikukuh alhasil Mbu Lami pun pasrah.

"Mbu, mereka karyawan kantornya Jehan kan?" tanya Rasel penasaran sementara Mbu Lami terkekeh kecil karena ia tau kalau nyonyanya itu akan bertanya tentang hal tersebut.

"Jehan emang suka ngadain rapat di rumah kayak hari ini ya?"

"Selama Mbu kerja disini ngga pernah ini pertama kalinya, Mbu sendiri juga kaget tapi Mbu ngerti kenapa Tuan ngadain rapat di rumah" jawab Mbu Lami yang membuat Rasel semakin penasaran.

"Kenapa tuh?"

"Ngawasin nyonya disini."

"Loh? Apa urusannya rapat kantor sama aku?" Rasel malah dibuat bingung. Ia betulan tidak mengerti dengan perkataan Mbu Lami barusan.

Mbu Lami hanya tersenyum, "Nyonya udah ilang tanpa kabar dua kali jadi sementara Tuan ngubah tempat rapatnya ke rumah biar sekalian ngawasin nyonya ngga ngilang lagi"

"Yaampun masa segitunya sih?" gumam Rasel cukup terkejut dengan alasannya.

"Nyonya--"

"Mbu ih! Panggil aku Rasel aja jangan nyonya-nyonyaan apaan sih.." delik Rasel sangat tidak menyukai panggilan tersebut.

"Iya-iya maaf Mbu belum terbiasa, Sel. Yaudah sarapan buat kamu udah Mbu siapin, dimakan dulu sebelum berangkat kerja--"

"Aku ngga ada selera buat sarapan, Mbu" cela Rasel mengubah ekspresinya.

"Loh kenapa? Jangan gitu, nanti Tuan marah loh"

"Udah marah juga" Rasel menimpali ucapan Mbu Lami sambil memanyunkan bibirnya.

Mbu Lami mengernyit, "Kalian lagi marahan toh? Pantesan. Ya kalo gitu jangan bikin Tuan tambah marah dong, Sel"

Rasel menggidikkan bahunya sambil menuangkn susu ke dalam gelas kaca. "Nanti aja deh, Mbu. Aku beneran lagi ngga selera makan"

"Yaudah tapi kalo kamu mau apa-apa langsung bilang ke Mbu ya" ujar Mbu Lami tersenyum tulus sedangkan Rasel hanya memangguk saja.

Setelah itu Rasel berniat kembali ke kamar tetapi dia lupa bahwa dirinya harus melewati ruang makan yang dimana Jehan sedang melangsungkan rapat dengan karyawan kantornya disana.

Kelupaan akan hal tersebut Rasel dikejutkan dengan sapaan selamat pagi yang dilontarkan oleh setiap karyawan.

"Selamat pagi, Bu Rasel"

Rasel yang hendak meneguk susunya pun agak tersentak saat menerima sapaan-sapaan itu. Ia juga terheran ketika melihat mereka yang begitu rapih seakan sapaan barusan sama saja dengan salam pamit juga. Sudah selesaikah rapatnya?

"Eh? S-selamat pagi juga" Rasel tersenyum manis membalas sapaan per sapaan. Kemudian mereka melenggang pergi sambil memeluk berkas-berkas dan laptop setelah berpamitan.

Sepertinya rapat mereka sudah selesai karena hampir semua karyawan yang datang mulai meninggalkan area rumah dengan barang bawaan mereka masing-masing.

Rasel berencana mengantarkan mereka keluar namun ia mengurungkan niatnya dan berhenti melangkah saat melihat suami bersama asisten pribadinya sedang berjalan menuju sofa besar di ruang keluarga.

Tentunya menimbulkan sedikit rasa takut pada benak Rasel sehingga lagaknya pun berubah. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena tak tau mau melakukan apa sekarang. Canggung, bingung dan takut yang bercampur menjadi satu kini memenuhinya.

Netra coklat Rasel tidak sengaja bertemu dengan Marven yang sedang menatapnya sambil tersenyum kecil. Namun Rasel hanya membalas dengan ekspresi cemberut, menandakan moodnya tidak begitu bagus pagi ini.

Dirasa tidak ada gunanya diam berdiri di posisi ini, toh Jehan juga tidak akan menghiraukannya jadi lebih baik dirinya bersiap-siap sebelum jam kerjanya dimulai.

"Sini dulu. Ada yang mau gue omongin,"

Detik itu juga bulu kuduk Rasel berdiri tatkala suara berat nan tegas itu masuk ke dalam indra pendengarannya. Rasel mencengkram gelas yg belum ia teguk sama sekali di tangannya, dan ia menggigit bibir bawahnya ragu.

Pandangan Jehan tidak beralih dari layar tab di tangannya. Dari samping saja terlihat sekali pria itu sedang serius. Entah serius pada kerjaannya atau serius tentang bahasan apa yang akan dia bicarakan yang jelas Rasek bergidik ngeri.

"Sini, Raselia." Intonasi dari suara Jehan saat ini benar-benar membuat Rasel ketakutan setengah mati.

Rasel sempat melihat ke arah Marven, lelaki itu memberikan tanda dengan mengangguk kecil yang artinya 'tidak akan apa-apa' melalui sorot mata dan raut wajahnya. Sehingga Rasel pun menghampiri mereka dengan langkah yang sangat kecil dan pelan-pelan.

Terlihat sekali keraguan saat Rasel berjalan. Tangannya yang bebas memainkan ujung baju sambil menundukkan kepalanya. Hal ini tentunya membuat Marven semakin tersenyum lebar bahkan sempat terkekeh. Ia tau betul perasaan wanita itu bagaimana.

"A-apa?" tanya Rasel memberanikan diri setelah berdiri di dekat sofa.

"Duduk." Rasel sontak menggelengkan kepalanya, bermaksud menolak perintah sang suami.

Merasa tak kunjung duduk juga, akhirnya Jehan menoleh dan menatap Rasel dengan tatapan yang masih sama datarnya seperti semalam.

"Gue bilang duduk," Rasel tetap menggeleng.

"Ya lo jangan terlalu galak lah, Je--"

"Lo diem." potong Jehan kepada Marven sehingga temannya itu terpaksa bungkam.

Jehan berdecak kesal, "Duduk cepetan."

Meskipun takut tetapi Rasel memutuskan untuk menuruti perintah Jehan dan mendudukkan diri pada sofa yang berjarak tujuh jengkal jari dengan sang suami. Hingga detik ini Rasel belum berani menatap wajah Jehan yang rasanya terlalu mengintimidasi.

Marven menyerahkan sebuah map coklat kepada Jehan dan lelaki itu langsung melontarkan map tersebut ke hadapan Rasel sehingga wanita itu sedikit tersentak.

"Lo serius tentang gugatan ini?" tanya Jehan.

Rasel menatap map coklat di atas meja, dirinya tau betul apa isi di dalamnya namun jujur saja ia lupa kalau dia membuat surat itu. Masih memegangi gelas berisi susunya, Rasel bergulat dengan ujung kuku jemarinya dan dirinya tidak tau harus menjawab apa sekarang.

Kalau dibilang tidak serius ya tidak mungkin Rasel mendatangi pengadilan negeri dan jika dibilang serius juga sebenarnya Rasel tidak yakin.

"Gue ngga bakal maksa lo buat tarik gugatan ini dan gue pasti tanda tangan suratnya sesuai yang lo mau tapi gue penasaran, apa sih yang bikin lo ngambil keputusan ini?"

Rasel sontak menoleh ke arah Jehan karena ia terkejut dengan kalimat itu yang merupakan kalimat terpanjang selama Jehan mendiaminya.

"Je, gue--" Rasel sempat melihat ke arah Marven seakan-akan meminta bantuan kepada lelaki itu tetapi dia hanya menggeleng serta mengucapkan 'It's okay, ngomong aja' tanpa bersuara.

"Like I said, I won't force you to cancel this. But at least explain to me the reason why." ucap Jehan seraya menyimpan tabnya ke permukaan meja.

"Lo ngilang seharian tanpa kabar tapi tiba-tiba lo ngirim gugatan cerai ke gue, apa maksudnya?"

"Gue ngga enak, Jehan"

"Alasan itu lagi?" Jehan berdecih, dia tidak habis pikir dengan istrinya yang sudah ratusan kali dia jelaskan tentang persoalan itu.

Rasel menyimpan gelas berisi susunya ke atas meja cukup kasar, "Lo gampang ngomong kayak gitu karena lo ngga ngerasain gimana ngga enak nya di posisi gue."

"Apa aja yang udah lo lakuin buat gue, hah? Udah terlalu banyak, Jehan. Mau berapa kalipun lo bilang gue ngga perlu sungkan tapi kenyataannya gue tetep ngga enak sama lo dan keluarga lo, gue ngga bisa nyangkal perasaan gue sendiri, Je"

"Gue udah coba membiasakan diri tapi masalah baru terus aja muncul dan masalah itu selalu tentang gue yang menyangkut keluarga lo dan gue ngga bisa apa-apa karena setiap masalah yg muncul pasti diluar kendali gue akhirnya lo sama keluarga lo lagi yang nanggung,"

Dengan mata yang sudah berkaca-kaca, Rasel bertahan untuk terus menatap Jehan yang tengah memandangi meja. Dirinya melupakan rasa takut yang menyelimutinya sebelumnya. Perlu diketahui bahwa Rasel tidak sadar kalau dia mengutarakan isi hatinya kepada Jehan yang sudah lama dipendam.

"Setelah gue pikir-pikir, gue terlalu nyusahin. Gue cuma beban buat lo sama keluarga lo--"

Jehan berdecak, "Beban apaan? Lo itu disayang banget sama keluarga gue terutama mamah," celanya tak tahan lagi mendengar ucapan Rasel yang terdengar menyalahkan dirinya sendiri.

"Lo sebut diri lo selama ini nyusahin gue sama keluarga gue? Asal lo tau di pandangan keluarga gue khususnya mamah, ngga ada yang lebih penting dari pada lo,"

Marven mengulum bibirnya lalu berdeham untuk menginterupsi pembicaraan pasangan suami istri di depannya.

"Sel, kalau masalah yang lo maksud tadi itu tentang rumor ngga jelas kemarin atau berita tentang saham perusahaan yang turun anjlok, lo ngga perlu khawatir" ujar Marven.

Marven menunjukkan layar tab milik Jehan yang ia ambil alih tadi ke hadapan Rasel. "Urusan saham, perusahaan punya Jendra. Dia ahlinya."

"Lo bisa liat ada kenaikan di grafik harga saham ini, emang belum setinggi yang biasanya tapi diangka segini bisa dibilang aman. Jadi buat masalah saham ngga perlu lo pikirin lagi"

"Lagian naik turunnya harga saham itu hal yang wajar di dunia bisnis, bukan suatu masalah yang besar kok" lanjutnya.

"Bagi gue besar, Ven. Saham perusahaan kalian anjlok kan karena berita tentang gue. Dan gue sadar semenjak gue dateng, banyak hal buruk yang gue, kalian atau perusahaan alamin. Gue ngga bisa ngebiarin itu terus--"

"Dan lo pikir cerai solusinya?" potong Jehan. Pria itu melonggarkan ikatan dasinya disertai ekspresi yang kurang bersahabat menandakan dirinya sedang kesal.

"Jadi karena harga saham perusahaan yang anjlok, lo ambil keputusan ini?"

Rasel diam dan sedikit menundukkan kepalanya, ia bingung jadinya. Tidak tau lagi harus berkata apa karena saat ini dirinya benar-benar bimbang.

Ngomong-ngomong tebakan Marven benar. Hal yang membuat Rasel mengambil keputusan ini salah satunya adalah berita mengenai turunnya harga pasar saham perusahaan milik Jehan.

Dia tau bahwa persahaman adalah aset penting dalam dunia bisnis apapun. Ibaratkan saham itu jantungnya sebuah perusahaan. Itulah mengapa Rasel berpikir saham anjlok merupakan masalah yang besar.

"Lo ngga tau gimana perasaan gue disaat gue tau reputasi perusahaan suami gue tercoreng karena gue."

Jehan mengusap wajahnya seraya helaan nafas keluar dari lubang hidungnya. "Gue ngga peduli masalah reputasi perusahaan, satu-satunya hal yang gue peduliin sekarang itu reputasi lo, Sel."

"Seseorang ngefitnah istri gue, lebih parahnya nyinggung bokap gue yang udah ngga ada. Lo pikir mana yang lebih penting diantara reputasi perusahaan sama keluarga gue?" pertanyaan Jehan yang satu ini berhasil membuat Rasel terbungkam.

Marven yang hanya mendengar tiba-tiba berandai jika Rasel tau salah satu usaha Jehan untuk melindungi reputasi keluarganya adalah dengan memecat para karyawan yang menggunjing tidak berdasar dan menyebarkan informasi palsu.

Sebanyak 20 orang yang Marven pecat dan ada juga beberapa yang dipindah tugaskan ke kantor cabang.

Jehan tidak peduli jika harus kehilangan karyawan-karyawan berpengalamannya. Dia tidak suka dengan karyawan yang tidak menghormati, menghargai serta memercayai dirinya dan keluarganya yang sudah menerima bahkan menggaji mereka semua.

Dan Jehan mengakui keterampilan setiap karyawannya tetapi kehilangan dua puluh karyawan tidak akan membuat kualitas perusahaannya menurun.

Lagipula banyak sekali orang hebat lainnya diluar sana yang ingin bekerja di perusahaannya jadi Jehan tidak perlu takut kantornya akan kekurangan orang. Buktinya lebih dari tujuh puluh orang yang mendaftarkan diri untuk mengisi lowongan staf yang ditawarkan.

"Gue malah khawatir kalau masalah rumor itu berpengaruh besar ke kehidupan sehari-hari lo nanti. Jadi kali ini gue mau lo mikirin diri lo sendiri dulu sebelum lo mikirin yang lain."

Rasel mengulum bibirnya sambil bergulat di dalam kepalanya. Pikirannya sedang tidak jernih untuk mengambil keputusan atau bahkan mengucapkan sesuatu. Saat ini perasaannya sungguh campur aduk.

"Tapi kalau itu keputusan tetap lo, gue ngga bakal maksa--" Jehan meraih map coklat di atas meja dan mengeluarkan kertas di dalamnya. "Pulpen, Ven.."

Marven menatap Jehan dengan ragu. Dirinya tak memberikan apa yang lelaki itu minta sebegitu mudahnya. Raut wajah Marven seolah bertanya 'apakah dia sungguh akan menandatangani surt gugatan tersebut?'.

Jehan mendongak dan menunjukkan ekspresi bahwa ia tidak main-main. "Buruan," Alhasil Marven pun pasrah. Ia memberikan pulpen yang selalu dibawa kemanapun kepada Jehan dengan harapan ada yang menahannya.

"Lo ngga usah repot-repot biar pengacara gue yang ngurus prosesnya di pengadilan nanti--"

Jangan berpikir kalau Jehan bermain-main saat ini, karena kenyataannya adalah lelaki itu sedang dalam mode serius. Lagipula untuk persoalan ini Jehan memang tidak ingin terlalu memaksa, meski harus berat hati rasanya.

Marven memegang rahangnya sambil memandangi setiap gerakan Jehan yang terlihat benar-benar serius akan ucapannya. Bukan dirinya yang akan bercerai tetapi ia merasa tidak rela. Dia bahkan mencuri pandang ke arah Rasel, berharap wanita itu menghentikan Jehan.

Namun harapannya pupus ketika melihat Rasel yang hanya diam saja seolah-olah dia sungguh menginginkan Jehan menandatangani gugatan tersebut.

Sudah? Bukankah perceraian mereka merupakan skenario yang diinginkan oleh Jeksa sebagaimana yang Jehan katakan?

Tetapi pagi ini mereka memutuskan berakhir begitu saja tanpa mempertimbangkan hal apa yang kemungkinan akan terjadi kedepannya setelah mereka berpisah.

Dilihat dari ekpresi wajah Jehan yang kelewat datar itu Marven masih bisa membaca pikiran dan juga perasaannya. Jehan berat hati untuk menuruti kemauan Rasel, Marven bisa merasakan hal itu.

Disatu sisi Marven tau Jehan tidak ingin terlalu memaksa namun disisi lain Marven juga kesal karena temannya itu tidak berusaha maksimal untuk membujuk wanita di sampingnya yang masih menyandang status sebagai istrinya.

Ah iya, hal lain yang membuat Marven gelisah saat ini yaitu Tania belum mengetahui apa-apa tentang gugatan cerai ini. Tentunya Marven sudah mengingatkan Jehan untuk membicarakan hal yang tidak sepele ini bersama Tania beserta yang lainnya dan jawabannya hanya seperti ini,

'Ini masalah rumah tangga gue, biar gue yang urus. Sekeras apapun usaha gue buat ngebujuk Rasel tapi kalau keputusan dia tetap gue bisa apa, Ven?'

Benar. Memang bebar ini masalah rumah tangga mereka. Tidak ada yang berhak untuk memutuskan keputusan akhirnya bagaimana tidak terkecuali Tania selaku ibunya. Mereka berdua yang memutuskan dan mereka berdua yang menghadapinya. Lagipula keduanya sama-sama sudah dewasa.

Hanya saja, Jehan melupakan status Rasel di mata keluarganya terutama di mata Tania. Raselia Emmera merupakan sosok penting yang seberapa besar pentingnya tidak dapat dijelaskan menggunakan kata-kata bagi keluarga Kanagara. Iya, sepenting dan seberarti itu.

"Ih apaan sih, tunggu dulu.." Rasel menahan tangan Jehan yang hendak menandatangani gugatan cerai yang ia buat.

Setelah bergulat dengan pikirannya sendiri, labil antara tetap atau menarik kembali keputusannya, akhirnya Rasel pun mengalah terhadap perasaannya.

Perasaan dihatinya kepada Jehan yang semakin lama semakin membesar membuat Rasel merasa berat hati. Sejujurnya ia tidak mau berpisah tapi ia malu untuk mengatakannya disaat dirinya sudah membuat surat gugatan begini.

"Yaudah ngga jadi, jangan ditanda tangan--" cicit Rasel bersuara kecil namun tetap terdengar oleh telinga Jehan maupun Marven.

Rasel merebut kertas tersebut lalu merobeknya hingga menjadi potongan kecil-kecil. Melihat itu Jehan tersenyum kecil dalam diam, sementara Marven menghela lega nafasnya di sebelah sana.

Percayalah penjelasan Jehan sebelumnya bukanlah sebatas penjelasan. Pria itu memang sengaja karena dia merasa dengan penjelasan langsung seperti ini merupakan cara yang tepat untuk membujuk Rasel.

Dari awal Jehan tau alasan yang membuat Rasel menghindar. Namun ia tetap tidak menduga jika dirinya malah mendapat gugatan seperti ini. Maka Jehan berani mendiamkan Rasel setelah membawanya pulang supaya istrinya itu merenungi keputusannya. Dan juga Jehan tidak benar-benar ingin menanda tangani surat tersebut.

"Maaf gue ngga mikir panjang--" lirih Rasel dengan suara bergetar sambil memiringkan wajahnya untuk menatap Jehan.

Aksi itupun membuat Jehan sontak menarik senyumnya dan kembali berekspresi datar. Ia tidak ingin menunjukkan ekspresi apapun kepada wanita itu.

"Je, maaf ya?" Rasel menyunggingkan senyum tulusnya. Ia bahkan merubah posisinya menjadi setengah berdiri alias bertekuk lutut di hadapan Jehan.

"Gue sadar gue yang salah. Jangan ngediemin gue lagi, hm?"

Rasel mengalungkan kedua tangannya pada leher sang suami namun sebelumnya ia menarik dagu runcing Jehan supaya pria itu menatapnya.

"Anggap gue ngga pernah buat surat itu jadi udahan marahnya, please?"

Mereka saling menukar tatap dengan sorot yang berbeda sekarang. Hati Jehan tertohok begitu ia melihat bagaimana Rasel tersenyum tulus dgan mata yang berkaca-kaca.

"Jehan, udahan marahnya yuk? Ngga bakal ada kata cerai-cerai lagi kok--" Rasel merengek manja sambil cemberut.

"Janji?"

Rasel sontak tersenyum merekah lalu mengangguk cepat, "Janji!"

Jehan pun tersenyum lalu menarik tubuh Rasel masuk ke dalam dekapannya, "Sini peluk--"

Pada dasarnya, Jehan memang tidak bisa marah lama-lama apalagi mendiami istrinya. Padahal ia berencana diam terus sampai Rasel menyadari status sosialnya tetapi Jehan tidak tega. Apalagi jika Rasel sudah merengek manja seperti tadi.

Sungguh menggemaskan.

"Kangen, Je" ucap Rasel samar-samar karena wanita itu sedang menenggelamkan wajahnya diceruk leher Jehan.

"Lo kalo marah serem.." katanya samar lagi tetapi yang ini berhasil membuat Jehan terkekeh.

Marven tersenyum melihat pemandangan yang menurutnya manis serta menenangkan itu. Dia membalikkan tubuhnya lalu meninggalkan pasangan itu dan memilih untuk menunggu di luar.

Rasel mengeratkan pelukannya hingga deru nafasnya menyapu leher Jehan karena jarak wajahnya terlalu dekat bahkan bibir ranumnya hampir mengenai kulit leher Jehan.

"Maaf ya, Je. Waktu itu gue bingung gue harus apa, tiba-tiba mikir gitu aja.."

"Sst, ngga usah dibahas lagi. Hari ini sif jam berapa, hm?"

"Jam 10"

Jehan memeriksa jam tangannya lalu perlahan ia melepaskan pelukannya, "Ngga akan siap-siap? Ini hampir jam setengah sepuluh loh,"

Mata Rasel membelalak, "SERIUS?!" pekiknya.

"Lo sih ah! Ngajak ngobrol ngga liat waktu!" cetus Rasel langsung berlari terburu-buru menuju kamar sementara Jehan terkekeh melihatnya.

"Ngga mau tau lo harus anterin gue, Jehan!" teriak Rasel dari lantai atas.

Jehan menggelengkan kepalanya seraya berdiri lalu mengambil ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku dalam jas hitamnya. Setelah itu, ia beranjak menuju mobilnya yang sudah terparkir di pekarangan.

"Pagi-pagi udah ngerokok aja lo--" Jehan menepuk bahu Marven yang sedang memantik alat pemantik apinya untuk menyalakan sebatang rokok di mulutnya.

"Buruan."

Marven tersentak dan ia mengurungkan rencana merokoknya. "Buruan ngapain? Meeting lo masih ada dua jam lagi,"

"Jadwal sif ibu negara jam 10." ucap Jehan yang tak lama menutup pintu mobil.

"Cih udah baikan lo berdua?" Marven berdecih seraya berjalan masuk ke dalam rumah untuk mengambil beberapa berkas yang ditinggalkan Jehan di dalam.

-

Di seperjalanan, Rasel fokus pada berkas rekap pasien yang akan dioperasi hari ini. Tadi malam ia diperintah untuk membantu operasi penting yang dimana kakak iparnya sebagai dokter bedah utama.

Awalnya Rasel menolak halus perintah tersebut karena permasalahan yang sedang ramai. Berita tentangnya kemarin sungguh berdampak besar dirumah sakit. Tak sedikit pasien yang menolak bahkan membatalkan janji konsultasinya.

Namun ketika Rasel mengetahui bahwa Ketua Dewan langsung yang memberi perintah, ia tak lagi berani menolak.

Operasi itu merupakan langkah yang baru bagi Rasel dan sepengetahuannya operasi ini masuk ke dalam golongan operasi yang sulit maka dari itu dirinya perlu mempelajarinya lebih dulu. Dia bahkan meminjam tab milik Jehan.

Rasel begitu fokus menonton video yang terputar di layar tab. Dia bahkan tidak membuka suaranya padahal Jehan dan Marven sesekali mencuri pandang ke arahnya.

“Nonton apa sih? Serius amat–” sahut Jehan penasaran tetapi Rasel tidak menjawab. “Sel?’

Rasel menggeram frustasi yang berhasil membuat Jehan dan Marven sedikit tersentak, “Gue ngga bisaaa..”

“Ngga bisa apanya?” tanya Jehan. Ia sempat melihat ke arah layar tab yang menampakkan sebuah video prosedur pengoperasian pasien namun ia tidak mengerti apa yang membuat istrinya terlihat frustasi begitu.

“Je, semalem gue dapet perintah buat jadi asisten pertama operasi penting gitu tapi operasi ini pertama kalinya buat gue jadinya gue harus belajar dulu tapi prosedurnya susah banget gue ngga bisa kayaknya,” rengek Rasel setelah menyimpan tab dan menutup berkas rekapan pasien.

Jehan tersenyum tipis mendengar ocehan istrinya itu. “Tau dari mana ngga bisa? Belum juga dicoba,”

“Dari video tadi keliatannya rumit banget, gue takut kalau gue ngelakuin kesalahan. Jehann, gimana dong??” Rasel merengek sambil menutup wajahnya.

"Ngelakuin kesalahan itu wajar bahkan dokter pun gapapa karena dokter juga manusia cuma emang tanggung jawabnya besar. Tapi lo harus liat positifnya dari kesalahan yang lo buat, ambil pelajarannya supaya lo bisa lebih baik" ucap Jehan sambil tersenyum berusaha untuk menenangkan.

Rasel menatap suaminya dengan mata yang berkaca-kaca dan mengerucutkan bibirnya. "Tapi takut, ketua dewan yang ngasih perintah langsung soalnya—"

"Mamah?" Rasel mengangguk kikuk kemudian tangisnya pun pecah.

"Loh kok nangis?" Jehan dan Marven yang sedang fokus menyetir pun terkejut sekaligus panik mendengar tangisan Rasel.

"Takut banget," isak Rasel.

Jehan menghapus air mata yang berjatuhan di sekujur pipi tembam istrinya. "Hei.."

"Ngga usah mikir yang engga-engga, jalanin aja dulu. Kesempatan bagus ngga akan dateng dua kali loh, jadiin kesempatan ini sebagai pengalaman dan bahan buat lo belajar." katanya menyemangati.

"Gue yakin lo bisa."

Rasel mengambil selembar tisu yang ada disana lalu menyeka jejak air matanya. "Gue bisa!"

Senyum manis tercipta di wajah tampan Jehan. Ia mengelus lembut puncak kepala wanita itu, menyalurkan ketenangan supaya perasaannya jauh lebih baik dan menghapus asumsi buruk yang ada dipikiran Rasel.

"Jangan mikirin hal yang lain, fokus aja ke operasinya."

Kepala Rasel menoleh dan menatap lekat Jehan lalu mengulas senyum tipis. Sikap dan ucapan pria itu mengingatkannya kepada mendiang ayahnya. Bagaimana cara menenangkan atau memerlakukannya benar-benar persis sekali.

"Gue ngeliat ayah di dalam diri lo, Je.." gumam Rasel.

"Hm?"

"Ucapan lo, perhatian lo, bahkan cara lo bikin gue tenang persis banget kayak ayah," ucap Rasel tersenyum kecut, seketika dirinya teringat oleh kehidupannya masa lampau.

"Gue jadi kangen ayah sama bunda–" lirihnya terdengar sedih. Kedua mata Rasel menyorot pilu dan rindu bercampur menjadi satu.

Bagaikan jutaan jarum yang menghantam, seperti itulah apa yang Jehan rasakan saat ia melihat sorot tersebut. Tangan kekar lelaki itu bergerak mengelus lembut punggung tangan Rasel yang seputih susu.

"Besok kita ziarah, mau?"

"Ngga bisa,"

Alis Jehan bertaut bingung, "Ngga bisa kenapa?"

"Disaat gue kangen ayah sama bunda, gue selalu pengen ziarah tapi gue ngga pernah tau makam orang tua gue dimana, miris banget kan?" Rasel menghembuskan nafasnya.

Penjelasan Rasel berhasil membuat Jehan terkejut bukan main. Bahkan Marven di depan pun terkejut dengan satu fakta tersebut. 

"Tunggu–"

"Nanti lagi ya, gue udah telat. Dadah!" cela Rasel terburu-buru keluar setelah Marven memarkir mobil di area pekarangan pintu masuk.

"Kabarin gue setelah lo selesai, biar gue jemput tapi kalo gue ngga jawab hubungin Marven aja"

"Eh bentar," Rasel berhenti sejenak ketika ia melupakan sesuatu. Dirinya menoleh, melihat suaminya sedang memandanginya.

"Ngga ada penolakan, pokoknya gue jemput"

"Bukan itu, Jehan"

"Terus ap–"

Cup

Rasel memajukan wajahnya untuk mengecup singkat bibir Jehan sebagai tanda perpisahan di pagi ini. Perilakunya barusan berhasil membuat yang dikecup, Jehan, terdiam membeku.

Melihat ekspresi suaminya, Rasel tersenyum dan terkekeh kecil.

"That was for my morning kiss," katanya menyerupai Jehan sewaktu lelaki itu menyosor kecupan paginya.

Jehan menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum miring, "Udah berani nyosor duluan ya?"

Marven merotasikan bola matanya. Ia senang melihat kemanisan mereka berdua, tetapi disatu sisi ia cukup jengah dengan pasangan yang sedang berkasmaran di belakangnya ini.

Karena tidak ingin terus membuat hatinya iri dengan menyaksikan mereka, Marven mengubah arah kaca spion dalam mobil lalu ia mengambil ponselnya untuk memeriksa beberapa hal penting.

"Gue belajar dari ahlinya," Rasel menjulurkan lidahnya lalu membuka pintu mobil dan segera beranjak sebelum Jehan menggodanya. "Thanks ya, Ven!"

"Jangan lupa jemput gue nanti, Je!"

Jehan tertawa melihat kepergian istrinya tetapi tak lama ia kembali mendatarkan ekspresi wajahnya ketika ia tersadar akan sesuatu. "Lo selalu rutin periksa makam bokap gue kan, Ven?"

"Iya–"

"Makam mertua gue gimana?"

"Persis kayak makam bokap lo, bersih. Bu Tania minta gue jaga makam orang tua Rasel juga, lo tau itu kan?" jawab Marven.

"Jadi selama ini Rasel ngga pernah tau orang tuanya dimakamin di pemakaman terhormat keluarga besar Kanagara tepatnya di samping makam bokap lo?" Marven masih belum bisa menerima satu fakta itu.

Pasalnya siapa sih yang akan bertahan tanpa mengetahui makam orang tuanya sendiri? Tidak pernah bisa berziarah untuk melepas rasa rindu, bahkan tidak pernah bertemu sepeninggalnya, Rasel mengalami itu.

"Gue juga baru tau tentang ini," ujar Jehan. Ia belum bisa mengatakan apapun selain ini karena dirinya terlalu kaget.

Jehan tidak bisa membayangkan perasaan dan bagaimana cara wanita itu menghadapi semua derita yang dialaminya dulu. Namun yang lebih menyakitkan adalah Rasel tidak pernah tau dimana keberadaan makam kedua orang tuanya yang sudah meninggal duabelas tahun yang lalu.

Matanya terpejam. Mencoba membayangkan jika dirinya berada di posisi Rasel. Dirinya sangat menyayangkan wanita baik itu harus merasakan penderitaan yang sangat menyiksa disaat dia masih dibawah umur.

"Kosongin jadwal gue besok pagi." ucap Jehan dengan suara beratnya.

Marven mengembalikan posisi kaca spion yang diubah ke posisi semula, "Lo mau ngajak Rasel ziarah besok? Biar gue hubungin orang yang ngejaga disana–"

"Iya" Jehan memotong ucapan temannya sambil mengeluarkan ponselnya.

"Oke. Oh iya beberapa hari yang lalu Rasel minta bantuan gue buat cari keberadaan Lola," lapor Marven, dirinya belum sempat memberitahu Jehan tentang ini jadi ia berhati-hati.

"Terus lo kasih tau dia?" Jehan bertanya dengan nada yang tidak santai.

"Ya engga lah gila! Gue ngga seberani itu,"

"Lo baru aja nyebut bos lo gila?"

Marven menyengir, menampakkan deretan gigi putihnya yang rapih. "Keceplosan, bos. Maksudnya gue ngga segila itu buat ngasih tau istri lo tentang kebenarannya tanpa ngomong dulu ke lo"

Jehan merotasikan bola matanya dan mulutnya diam tidak menanggapi lagi yang kemudian ia menyandarkan punggungnya.

"Masalah rumor kemarin, gue minta bantuan Ezzra. Nanti kepolisian bakal ambil alih, lo sama tim kuasa hukum perusahaan bantu mereka" Marven mengangguk tanpa mengucap sepatah kata.

"Tapi, Je, mau sampe kapan lo nutupin ini dari Rasel? Lo ngga takut sama kemungkinan yang bakal terjadi nanti?"

"Gue takut dan gue selalu pengen ngasih tau dia tentang ini tapi gue belum nemu waktu yang tepat," balas Jehan.

Dia tidak berbohong. Keinginannya untuk memberitahu Rasel bahwa teman dekatnya itu merupakan dalang dari semua ini, selalu ada. Tetapi Jehan kesulitan menentukan bagaimana serta kapannya.

Namun tunggu saja. Secepatnya Jehan pasti mengatakan kebenaran semua ini.

°°°

"Dari mana aja lo, hah?!"

Rasel menyengir lebar seraya membawa sahabatnya itu ke dalam rangkulannya, "Pasti gue bikin lo khawatir kan? Maaf-maaf.."

"Bukan cuma gue aja, gila lo ya!" cetusnya.

"Kangen Jisya.." Rasel memeluk tubuh Jisya yang dirangkulnya dari samping. Menyalurkan rasa rindu setelah dua hari tidak bertemu.

"Gue ngga kangen tapi gue kesel banget sama lo! Apa-apaan coba ngilang tanpa kabar? Lo ngga mikirin suami lo? Mertua lo? Lo ngga mikirin gue?!" Jisya mengeluarkan kekesalan yang dirasa selama Rasel menghindar tanpa jejak kemarin.

"Dan ternyata dua hari yang lalu lo ke pengadilan negeri buat bikin surat gugatan cerai?! Are you lost your mind, Raselia?" Jisya meninggikan suaranya pertanda bahwa wanita itu terbawa emosi.

"Sst!" Rasel langsung membekap mulut Jisya dengan tangan kirinya. "Jangan kenceng-kenceng ngomongnya! Lo tau dari mana?"

"Lo pikir aja gue tau dari mana," cetus Jisya sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

"Marven," dengus Rasel sebal.

Jisya melepas paksa rangkulan Rasel dan memukul bahu sahabatnya itu, "Lo bener-bener gila. Apa yang bikin lo ngambil langkah itu, hah?! Lo pikir cerai solusinya? Engga, Sel!"

"Iya, ngga jadi cerai kok" cicit Rasel yang berhasil membuat Jisya sedikit lebih tenang.

"Udah ketemu sama Jehan? Dia marah banget karena lo tiba-tiba ngirimin dia surat gugatan,"

Rasel tersenyum dan mengangguk, "Udah kok tadi aja gue dianter sama dia. Jehan kalo lagi marah serem banget tau, Sya"

"Ya lo juga ngapain ngide cerai coba? Lo lupa kalau lo itu spesial banget bagi keluarga Kanagara?" Jisya merotasikan bola matanya.

"Tapi gimana sekarang? Udah selesai belum masalah lo berdua?"

Lagi-lagi Rasel mengangguk. "Udah dong! Jehan mana bisa marah lama-lama sama gue"

Jisya berdecih sambil menoyor kening Rasel, "Dasar lo mah. Lain kali sebelum lo ambil langkah coba dipikir dulu"

"Iyaa, Jisya Amefta Haranarati" Rasel tersenyum senang ke arah Jisya. Ia merasa amat beruntung memiliki teman yang peduli dan penuh perhatian sepertinya.

"Ngomong-ngomong, udah ada kabar dari Lola?" tanya Rasel penuh harapan tetapi Jisya malah menggeleng. "Jahat banget. Temennya baru kena rumor masa ngga peduli?"

"Udah ngga nganggap kita temennya kali," ceplos Jisya dengan nada kesal.

Rasel mengernyit, "Maksud lo?"

Jisya merutuki dirinya sendiri. Ia sempat lupa bahwa Rasel belum mengetahui tentang Lola yang sebenarnya. "M-maksud gue, si Lola tega banget ngilang tanpa kabar. Masa kita dilupain gitu aja? Hiks,"

"Nanti lagi deh, setau gue lo ada operasi penting pagi ini?" Jisya berusaha mengalihkan Rasel dari pembahasan Lola yang hanya membuatnya semakin sakit hati.

"IYA ASTAGA!" Rasel menepuk dahinya. Bisa-bisanya ia melupakan agenda yang membuatnya jantungan setengah mati. "Gue cabut dulu!"

"Kalo ada yang macem-macem sama lo, bilang ke gue!" teriak Jisya berhasil menarik perhatian orang-orang di sekitar.

Andai saja Rasel tau bahwa penyebaran rumor tidak benar tentangnya kemarin, kemungkinan besar pelakunya adalah Lola, sahabatnya sendiri. Jisya yang mendengar hal itu juga rasanya sakit sekali, tidak sekali dia menyangkalnya tetapi ada banyak alasan yang membuatnya percaya.

-

Rasel melepaskan masker medis yang dipakai lalu ia membuangnya pada tempat pembuangan khusus sampah perlengkapan medis. Hembusan nafas keluar dari hidungnya sambil menyeka air keringat yang memenuhi dahi dan pelipisnya.

"Kerja bagus hari ini, Dokter Rasel" puji beberapa perawat yang baru saja keluar dari ruang operasi.

"T-terimakasih, kamu juga." balas Rasel agak terbata-bata. Sejujurnya ia belum percaya diri untuk kembali beraktivitas setelah rumor yang beredar kemarin. Dan Ia merasa canggung kepada semua pekerja di rumah sakit ini, kecuali Jisya, Kanara dan Ibu mertuanya, Tania.

Entahlah. Rasel merasa orang-orang terpaksa berbicara dan berbaik kata kepadanya karena dirinya besanan dengan ketua dewan rumah sakit. Mulut mereka berkata lembut atau baik tetapi mata mereka berkata lain itu yang Rasel perhatikan hari ini. Mungkin orang-orang itu berpikir bahwa rumor tidak benar tentangnya yang beredar sangat merusak citra Keluarga Kanagara dan Rasel pun memiliki pola pikir yang sama. Hal itu yang membuatnya merasa bersalah meskipun rumor itu palsu.

Tetapi kali ini Rasel sudah memantapkan semua perkataan Jehan di rumah tadi pagi kepada dirinya sendiri. Dirinya tidak akan lagi memedulikan asumsi orang-orang seperti apa. Yang jelas kata suaminya, Rasel itu disayang banget sama Keluarga Kanagara dan suatu saat nanti Rasel ingin menunjukkan itu kepada semua orang.

Rasel memandangi kedua tangannya dengan senyuman bangga terlukis jelas di wajahnya seraya menyandarkan diri pada tembok. Perasaan senang kini menyelimuti hatinya.

"Gue udah bilang lo pasti bisa," sahut Kanara yang entah sejak kapan berdiri didepan pintu ruang operasi. "Bahkan gue harus bilang di pengalaman pertama lo ini, you did really well, Sel"

"Ngga usah khawatir, lo udah ngikutin setiap prosedur yang ada jadi pasien bakalan baik-baik aja" katanya lagi.

"Eh Dok.." Rasel menggaruk tengkuknya sambil tersenyum kaku.

"Ck! Udah berapa lama lo jadi adik ipar gue hah? Kaku amat sih, Sel" decak Kanara tidak suka.

Rasel terkekeh seraya menggandeng lengan Kanara, "Ini kan di rumah sakit, jabatan Mbak lebih tinggi dari pada aku"

"Jabatan, jabatan apalah" cibir Kanara kesal. "Di mata gue, lo tetep adik ipar gue apapun situasinya."

"Tapi kan–"

Kanara mendelik, "Sst. Ngga ada tapi-tapian. Yuk, mamah minta gue ajak lo makan siang bareng"

"Boleh, aku udah lama juga ngga ketemu mamah" Rasel tersenyum senang serta antusias sembari mengeratkan gandengannya.

Kanara mengetahui situasi yang Rasel hadapi di rumah sakit. Dia juga mendengar orang-orang yang menggunjing adik iparnya semenjak rumor itu beredar. Karena membawa nama baik Hadvent, tentunya anggota dewan mempermasalahkan perihal ini. Mereka dengan kompak berencana untuk memecat Rasel namun tertahan karena Tania selaku ketua dewan memilih turun tangan langsung dan berhasil mencegah pemecatan Rasel.

"Kenapa ya manusia gampang banget kemakan rumor?" ujar Kanara tiba-tiba. Dari nadanya terdengar ia merasa miris dengan orang-orang zaman sekarang yang mudah sekali percaya oleh apa yang mereka lihat atau dengar.

Satu sisi Kanara juga merasa tidak enak, kasihan, iba  bercampur menjadi satu kepada Rasel yang harus mengalami situasi ini. Ada keinginan pada benaknya untuk mendatamgi setiap oeang yang berkata tidak-tidak kepada adik iparnyap tetapi ia menahan diri. Cuma ya suatu waktu emosi Kanara benar-benar terpancing, saat itu juga dia akan memberi siapapun itu pelajaran.

"Omongan orang-orang tentang lo jangan didengerin, biar–"

"Ini kesekian kalinya Mbak ngomong gitu ke aku, ngga bosen?" cela Rasel disertai kekehan. "Ngga adik, ngga kakaknya ngocehnya sama ya.."

"Tadi pagi Jehan marah ke aku gara-gara ini juga. Dia minta aku jangan terlalu mikirin asumsi orang lain dan aku mau usahain itu sekarang jadi tenang aja ya, Mbak."

Tentunya Rasel tak akan menceritakan masalah perceraian yang hampir saja terjadi diantara mereka berdua.

Kanara menatap Rasel lalu mengangguk seraya helaan nafas keluar dari hidungnya, "Akhirnya si Jehan ngelakuin sesuatu yang bener.." Rasel yang baru saja menekan tombol angka 12 pada lift tertawa mendengar itu.

-

Tania menatap fokus layar laptopnya, ia sedang membaca sebuah email yang diterimanya beberapa menit yang lalu.

"Bu, pesanan makan siang Ibu sudah datang–"

"Simpan aja di meja, saya masih nunggu Rasel sama Kana." jawab Tania tanpa mengalihkan pandangannya. "Nanti kalau mereka sudah datang suruh langsung masuk aja,"

"Baik, Bu."

"Oh ya. Bagaimana anggora dewan akhir-akhir ini?" tanya Tania menghentikan sementara aktivitas sebelumnya dan menatap asisten pribadinya itu.

"Sepengawasan saya tidak ada yang macam-macam dengan Nyonya Rasel, Bu. Tapi saya dengar beberapa pekerja di rumah sakit ini masih menyebarkan rumor-rumor palsu," jawabnya.

Tania menghembuskan nafasnya, "Buat surat keputusan pemindahan tugas dengan nama mereka. Mulai besok mereka semua dipindah tugaskan ke klinik masyarakat cabang kita yang di pelosok-pelosok."

"Baik, Bu"

"Masalah rumor Rasel kemarin, Jehan bilang kepolisian yang bakal ambil alih. Kalo gitu kamu hubungin pengacara rumah sakit dan bilang mulai saat ini Hadvent akan bekerja sama untuk seluruh prosedur"

"Baik, saya hubungi mereka sekarang juga"

Tok tok tok

Mendengar ketukan pintu, asisten peribadi Tania langsung membuka pintu dan memeriksa siapa yang datang bertamu. "Silakan masuk, Nyonya" ucapnya setelah melihat anak sulung bersama menantu kesayangan Tania lah nyatanya.

Mata Tania langsung berbinar, "Eh menantu kesayangan mamah!"

"Anaknya sendiri kok ngga disapa," sindir Kanara sebal. Ia memilih duduk di sofa besar yang tersedia sementara Ibunya sibuk berpelukan dengan menantu kesayangannya.

"Jendra udah cerita semuanya ke mamah. Tapi kamu kemana aja sih, hm? Mamah jadi ikutan khawatir loh,"

Rasel menyengir, "Maaf ya, Mah. Aku ngga maksud bikin mamah khawatir cuma butuh waktu sendiri aja"

Tania mengangguk paham sambil mengelus lembut bahu Rasel, "Selama kamu baik-baik aja dan kamu juga ada di hadapan mamah sekarang jadi yaudah pas banget makanannya baru dateng nih,"

"Yuk kita makan" Tania, Kanara dan Rasel sama-sama menyajikan makanan dengan menu yang beragam di atas meja.

Rasel sedikit tercekat melihat banyaknya makanan di depan mata ditambah ia mengetahui bahwa makanan yang disiapkan oleh mertuanya itu merupakan makanan mewah yang biasanya menjadi santapan orang kaya. Ia mengingat perkataannya akan membiasakan diri jadi Rasel mencoba itu sekarang.

"Mamah ngga tau persis kamu sukanya apa jadi mamah pesen semua ini," kekeh Tania.

"Aku makan semua kok, Mah" balas Rasel yang mengundang tawa.

Kanara tidak terlalu memedulikan ibu dan adik iparnya yang sibuk bercengkrama. Dirinya terlalu lapar untuk berlama-lama menyantap semua makanan disitu.

"Mamah denger operasinya lancar, gimana, Kana?"

"Udah sadar sekarang aku ada disini?" desis Kanara tanpa melihat ke arah Tania. Sementara ibunya hanya terkekeh. "Lancar kok, berkat bantuan menantu kesayangan mamah juga nih"

"Pertama kali tapi udah kayak orang yang berpengalaman, mamah bisa liat sendiri rekamannya nanti"

"Mbak–" Rasel memberikan tatapan meminta untuk menyudahi karena ia malu jika dipuji yang menurutnya berlebihan itu.

"Tapi, Mah, aku penasaran. Diantara banyaknya dokter kenapa mamah pilih aku buat ambil operasi penting itu? Ngga mungkin karena aku menantu mamah kan?"

Tania dan Kanara tertawa mendengar tuturan kata Rasel barusan. "Bisa dibilang itu salah satunya ya kan, Mah?"

"Iya itu salah satunya. Ini rumah sakit mamah jadi mamah bebas dong mau milih siapa aja termasuk menantu mamah" kata Tania masih dengan tawaan kecilnya.

"Cuma alasan utamanya, mamah perlu argumen kuat buat ngelawan anggota dewan. Rekaman operasi kamu tadi lah argumennya, jadi manah yakin mereka ngga akan bisa ngelawan mamah lagi"

Rasel menghela nafasnya lalu tersenyum manis ke arah Tania saat mereka bertatapan, "Ini masalah pemecatan aku ya?"

"Mah.."

"Aku makasih banget karena mamah berusaha keras buat ngebela aku tapi lain kali jangan pake cara itu ya? Resikonya terlalu besar, Mah. Hari ini aku beruntung operasinya berjalan lancar coba kalau engga, karir mamah juga yang bakal kena"

Tania mengulas senyumnya. Tangan kanannya mengambil tangan Rasel untuk ia genggam. "Sayang, mamah ngelakuin ini bukan sekedar karena kamu menantu mamah"

"Dan kelancaran hari ini bukan karena kamu beruntung tapi karena kamu dokter yang terampil."

"Jadi mamah milih kamu jadi asisten utama Kana karena mamah mau ngebuktiin ke semua anggota dewan yang ngeraguin kamu karena rumor yang lagi rame kalau kamu itu dokter yang hebat"

"Disini mamah sebagai ketua dewan juga mau nunjukkin kalau Rumah Sakit Hadvent yang mamah bangun ini bukan melihat popularitas tapi kualitas" Tania membelai lembut rambut Rasel yang terurai. "Oke?"

"Sekarang makan dulu ya.." Rasel tersenyum sembari menerima pemberian makanan yang sudah disiapkan oleh ibu mertuanya.

Entahlah. Rasel tak pernah merasa seberuntung ini mendapatkan keluarga baru yang sangat menerima bahkan menyayanginya seperti Tania beserta keluarga Kanagara yang lain.

-

Jehan melangkahkan kaki panjangnya setelah keluar dari lift menuju ruang kerja ibunya yang berada di lantai 12. Karyawan administratif disitu langsung menyapanya sambil tersenyum dan Jehan membalasnya dengan senyuman tipis sekilas.

"Silakan masuk saja, Tuan" ucap asisten pribadi ibunya.

Tangan kekar Jehan menekan knop pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Di dalam sana ia melihat ibunya sedang berbincang melalui telepon dengan seseorang sambil menghadap jendela.

"Mah?"

Tania sontak membalikkan tubuhnya tersenyum melihat putranya. Ia menutup speaker ponselnya,

"Hai, sayang. Tuh istri kamu lagi tidur–" Jehan menoleh ke arah sofa dan melihat istrinya sedang terlelap disana.

Tanpa berlama-lama pun ia menghampirinya seraya melepas jas hitam yang dikenakannya. Melihat betapa nyenyaknya sang istri tertidur, Jehan jadi tidak tega membangunkannya tetapi dia duduk tepat di samping baringan tubuh Rasel.

"Nyenyak banget tidurnya.." gumam Jehan sambil mengelus kepala Rasel bagian samping secara lembut, tidak ingin mengusik tidurnya.

"Jangan diganggu dong, Je. Dia baru sebentar tidurnya," ujar Tania yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekat Jehan.

Tania menyaksikan bagaimana putra sulungnya itu memandangi wanita yang sudah hampir satu tahun menyandang status sebagai istrinya. Ada sesuatu dari sorot mata lelaki itu yang membuat Tania tersenyum hangat.

Dia jadi teringat dengan mendiang suaminya yang pernah memandanginya persis seperti Jehan saat ini.

Awalnya Tania sempat merasa bersalah karena dia tidak memberikan kesempatan kepada sang putra untuk memilih sendiri pasangan hidupnya. Tetapi akhir-akhir ini, rasa bersalah tersebut perlahan memudar terlebih apabila dia melihat pemandangan ini.

Sekalipun Tania tidak pernah melihat Jehan menyoroti penuh kasih sayang dan memberikan senyuman manisnya kepada perempuan lain selain dirinya dan Kanara.

Putranya yang satu ini terlihat jatuh cinta sekali kepada dokter wanita yang sedang terlelap pilihannya itu. Tania jadi memantapkan dirinya sendiri bahwa keputusannya menjadikan Rasel sebagai pasangan hidup Jehan merupakan hal yang tepat.

"Karna kamu udah disini, mamah pergi duluan ya soalnya mamah ada janji penting" Tania mengambil blazer berwarna creamnya yang tersimpan di pinggiran sofa tunggalnya.

Jehan mengangguk tanpa mengalihkan arah pandangnya dari Rasel. Hal itu membuat Tania menggelengkan kepalanya. Tidak menduga jika Jehan sedang kasmaran akan berakhir seperti ini.

"Jehan," panggil Tania di ambang pintu.

"Hm?"

"You're so in love with her." Tania tersenyum geli saat mengatakan itu lalu setelahnya ia pergi dan menutup pintunya. Sementara Jehan hanya terkekeh kecil saat mendengar perkataan ibunya.

"I really am–"

Saat itu juga Rasel terusik dan perlahan wanita itu membuka matanya sehingga pemandangan pertama adalah Jehan yang menatapnya dengan tatapan yang seumur hidup belum pernah Rasel dapat dari seorang lelaki.

Rasel bangun dari posisinya menjadi duduk di hadapan Jehan yang masih setia menatapnya. Ia mengucek kedua matanya, mengembalikan seluruh kesadarannya.

"Selamat sore, Tuan Putri" Jehan melebarkan senyumnya sambil merapihkan rambut istrinya yang sedikit berantakan.

"Mimpi apa sampe nyenyak banget tidurnya?"

"Engga mimpi.." jawab Rasel dengan suara purau, ciri khas orang yang baru bangun tidur.

Jehan masih tersenyum kali ini dia sembari menyelipkan rambut panjang Rasel ke belakang telinga wanita itu, "Gimana operasinya hari ini?"

Rasel mengangguk lucu karena dia masih setengah sadar. "Lancar banget, yeay!"

"Gue bilang juga apa, lo pasti bisa. Good job, wifey" Jehan mengelus lembut puncak kepala Rasel.

"Apa?" Dahi Jehan mengernyit ketika melihat tindakan Rasel yang malah mengetuk-ngetuk pipi kanannya.

"Hadiah aku mana?" Rasel lagi-lagi mengetuk pipinya seolah-olah ia meminta kecupan dari Jehan sebagai hadiah keberhasilannya hari ini.

Namun yang membuat Jehan tertegun adalah Rasel tiba-tiba mengubah kosa kata ucapannya.

Tunggu, 'Aku'?

"Jehan ih! Aku mau hadiah" rengek Rasel lalu menatap suaminya dengan ekspresi cemberut.

"Cukup cium pipi doang masa kamu ngga mau sih?"

Jehan diam bukan tidak mau. Lelaki itu terlalu kaget dan belum terbiasa dengan perubahan penggunaan kosa kata saat bercakapan begini. Apakah dirinya juga harus mulai merubah kosa katanya menjadi aku-kamu?

"Ngga mau ya? Yaudah kalo ngga mau–" Rasel mengerutkan bibir bawahnya kemudian hendak beranjak dari sofa tetapi Jehan menahannya.

"Ngga usah ngambek. Aku kan ngga bilang aku ngga mau," ucap Jehan berubah posisi menjadi jongkok di hadapan Rasel setelah menahan wanita itu untuk tetap duduk.

"Hadiahnya mau cium?" Rasel mengangguk senang dan tersenyum lebar.

Jehan terkekeh gemas sembari bertumpu pada lututnya sementara kedua tangannya disimpan di kedua sisi tubuh Rasel, menguncinya supaya tidak kemana-mana.

"Mau dicium dimana, hm?"

"Disini aja" Rasel mengetuk kedua sisi pipinya kali ini.

Entahlah Jehan merasa ada yang berubah dari dalam diri Rasel. Berubah dalam hal baik. Tak pernah ia dihadapi sisi Rasel yang semanja ini, namun ia suka. Ya Tuhan, istrinya ini sungguh menggemaskan.

Rasel mengarahkan pipi kanannya ke depan muka Jehan, menunggu kecupan suaminya itu yang ia inginkan sebagai hadiah.

Cup

Senyum Rasel masih merekah di wajahnya. Dia lamgsung mengarahkan pipi kirinya setelah mendapatkan kecupan pertamanya. "Satu lagi.."

Jehan tertawa kecil melihat sang istri yang begitu semangat. Ia mengikuti kemauan Rasel dengan mengecup pipi tembam bagian kirinya, kali ini cukup lama dibanding sebelumnya.

Cup

"Yeayy, makasih.." Rasel yang bersemangat dan bercampur senang pun tiba-tiba memeluk leher panjang suaminya.

"Eh iya, sejak kapan kamu disini? Perasaan aku belum minta jemput deh"

Jehan mengulum bibirnya, ia belum terbiasa dengan kosa kata aku-kamu antara mereka berdua. Tetapi perubahan itu memiliki uforia tersendiri yang dimana Jehan sangat menyukai hal itu.

Terasa lebih nyaman dan lebih manis.

"Mamah yang nelfon aku buat jemput kamu," jawab Jehan.

"Terus mamah dimana sekarang?" Rasel melepas pelukannya setelah menyadari bahwa ia masih berada di tempat terakhir sebelum ia tertidur yaitu ruang kerja ibu mertuanya.

Tetapi Rasel tidak melihat siapapun disitu selain dirinya dan sang suami.

"Katanya ada janji penting jadi pergi duluan."

"Bisa-bisanya ketiduran disini.." gumam Rasel dengan nada sesal.

"Loh emangnya kenapa?"

"Ngga enak aja. Aku tidur di ruang kerja ketua dewan, apa kata orang-orang coba?" kikik Rasel.

Jehan mengangkup wajah Rasel yang seperti bayi, "Harus berapa kali aku bilang, hm?"

Rasel memanggut saja. "Iya-iya. Ayo ah pulang, cape.." Ia berdiri begitupula Jehan. Sebelum keluar, Rasel merapihkan penampilannya dulu mulai dari rambut hingga pakaian yang tentunya dibantu oleh sang suami.

to be continued~~~

Cerita ini masih panjang banget guys, seriusan. Soo, mau tetep jadi bagian perjalanan Jehan dan Rasel sampe tamat?

oke, gue mau sharing cerita sesuatu dulu. Jadi gue kan udh masuk ke semester 4 ya yang kalau diliat dari jumlah mata kuliah & sksnya ga akan terlalu berat. Tapi oh tapi tidak seperti itu bund😭

Semester ini gue ada 3 mata kuliah yang harus kunjungan industri yg beda-beda. Ditambah kegiatan himpunan, gimana ga stress tuh😩 Tapi yauda jalanin aja dlu ya ga? Wkwkw.

Cuma gini guys, takutnya gue kewalahan sama kesibukan gue jadi gue mau bilang dlu untuk updatean cerita The Fate of Us ini akan sedikit tertunda, gapapa? Gue bakal tetep berusaha finishing part baru di waktu luang kok, tenang aja. Yang jelas gue ga akan ngegantungin kalian sampe bertahun-tahun😭🙏🏻

Maaf banget ya, gue ngomong gini karna gue mau konfirmasi juga ke kalian yang udah dm/nanya di profil gue kelanjutan cerita ini, sorry ga bisa bales satu-satu ya sayang-sayangku. Gue tetep baca kok, terima kasih sudah menunggu dengan sangat amat sabar💓

Btw kalian mahasiswa juga kah? Atau SMA? SMP?

Pada masih setia sama kapal Jaerose kan?

Big loovee untuk teman-teman yang membaca cerita ini❤️ See u di part selanjutnya!

Continue Reading

You'll Also Like

298K 22.9K 104
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
103K 11K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
94.2K 13.3K 29
Renjun mengalami sebuah insiden kecelakaan yang membawa raganya terjebak di dalam mobil, terjun bebas ke dalam laut karena kehilangan kendali. Sialny...
609K 60.8K 48
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...