Voice of The Sky

Galing kay TerribleTerrors13

44.4K 1K 247

Malaikat itu nyata. Mereka bekerja pada sebuah perusahaan bernama surga yang memperkerjakan malaikat sebagai... Higit pa

Prolog
Chapter 1: Voice of the Wings
Chapter 2: Heart's Voice
Chapter 3: When the Heart Says
Chapter 4: I'm Happy If He's Happy Too
Chapter 5: Hollow
Chapter 6: The One Will Hurted
Chapter 7: Death
Chapter 8: Consequence
Chapter 9: The Level S
Chapter 10: Painfull Time
Chapter 11: Frienship
Chapter 12: Mystery
Chapter 13: Unending Story
Chapter 14: The Angle
Chapter 15: Untitled
Chapter 16: The Beginning of the End
Chapter 18: Paradise You Are Belong
Chapter 19: Voice of the Sky
Epilog [Yuka's POV]
Epilog [Harry's POV]
AUTHOR'S NOTE - IMPORTANT
OMAKE I - Harry's Diary: Black Ribbon on the Head

Chapter 17: (Not) The Last Day

1.4K 50 18
Galing kay TerribleTerrors13

Yuka’s POV

            Aku berjalan berdampingan dengan Niall di sebelah kananku dan Harry di sebelah kiriku tepat ketika Niall baru saja meminta kami berdua untuk menghabiskan sore ini dengan dirinya. Aku hanya berharap hari ini bukanlah hari terakhir bagi kami bertiga.

“Jadi, kau mau menculik kami kemana, Niall?” tanya Harry di sebelah kiriku.

“Kemana saja yang aku inginkan,” Niall tertawa puas membuat Harry memutar kedua bola matanya. Aku hanya tertawa pelan.

“Yuka, pacamu gila,” ucap Harry sambil melipat kedua tangannya.

“Hei, aku nggak gila!” sahut Niall meletakkan kedua tangannya di pinggangnya sambil memasang ekspresi sok marah.

“Kurasa aku setuju dengan Harry,” lanjutku meraih tangan Harry dan merangkulnya sambil menjulurkan lidahku pada Niall.

 “Harry! Kau menculik gadisku!” seru Niall semakin bertingkah seperti anak kecil yang kehilangan permennya. Aku hanya menahan tawaku.

“Dia yang datang padaku! Tata bahasamu benar-benar hancur, pirang!” Harry menanggapi perkataan Niall dengan jawaban yang seolah-olah dibuat menjadi sebuah kalimat serius. Aku bisa melihat wajahnya yang tidak bisa menahan tawa.

“Ah, sudahlah kalian berdua. Apa yang kalian rencanakan padaku, hah?” seru Niall sambil melipat kedua tangannya di dadanya ketika akmi melewati pinggir sungai besar dengan burung-burung camar terbang menuju laut lepas.

“Pertanyaanmu bisa juga. Tapi bagaimana jika kau jawab pertanyaanku dulu?” balas Harry masih terus memegang lenganku.

Niall terlihat berfikir sejenak. “Pertanyaan? Pertanyaan apa?”

“Pertanyaan ‘kemana kau akan menculik kami berdua’, Niall James Horan. Kau harus sekali-kali membenahi isi otakmu,”

“Bagaimana kalau aku nggak mau menjawabnya sekarang?” Niall terlihat menjulurkan lidahnya pada Harry. Aku hanya tertawa kecil melihat mereka berdua bercek-cok mulut.

“Kalau begitu, aku nggak akan memberikan Yuka padamu sekarang,” balas Harry menaikkan sebelas alisnya. Hentikan wajahmu yang terlihat sangat licik itu, Styles.

“HAAAA! Mengapa aku selalu kalah dalam berdebat?!” Niall terlihat sangat frustasi menanggapi jawaban Harry. Kedua tangannya hanya terus mengacak-acak rambutnya sambil menampakkan wajah anehnya.

“Kau lihat? Aku akan selalu menang darimu, tuan pujaan para gadis di sekolah,” Harry melepas tanganku dan berjalan mendekati Niall dengan wajah yang lagi-lagi terasa ingin dipukul jika kau melihatnya.

Niall mulai menaikkan sebelah alisnya. Kurasa dia mulai menemukan sebuah cara untuk melawan Harry. “Tapi aku selalu menang dalam masalah gadis, tuan yang jarang digandrungi para gadis,” balas Niall kembali melipat kedua tangannya di dadanya dan memberikan tatapan lebih licik dari yang Harry berikan padanya.

Harry mulai terdiam dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu meletakkan kepalanya di pundakku. “Yuka, kau dengar apa yang dikatakan orang itu? Aku merasa kotor…” ucap Harry diikuti suara tangisan bohongan yang keluar dari mulutnya.

“Hei, pirang! Kau menyakitinya!” seruku menunjuk wajah Niall. Pura-pura marah tentunya.

“Oh jadi kau lebih memilih Harry daripada aku, Yuka?” tanya Niall masih dengan muka liciknya. Ugh sial, banyak sekali wajah-wajah licik bertebaran.

“Um uh aa…”

“HA! Lehernya panas! Dia malu! Kau lihat itu, Niall? Yuka malu!” teriak Harry histeris sambil merangkul Niall yang terus tersenyum. Aku hanya menenggelamkan kepalaku di dalam telapak tanganku tanpa suara.

“Niall! Kau lihat, kan? Yuka – AW!” suara melengking Harry terdengar sangat jelas ketika aku mencubit tangan kirinya hingga memerah.

“Diam kau, tuan sendirian!”

“Yuka….” Ucap Harry memelas.

“Kau yang duluan, huh,”

“Sudahlah kalian berdua. Hentikan kegaduhan seperti ini. Aku nggak mau dianggap gila karena berteman dengan orang-orang gila,” ucap Niall tersenyum dengan muka innocent nya.

“Yuka, kalau begini kau lebih memilih siapa sekarang?” tanya Harry menunjuk-nunjuk Niall yang ada di belakangnya dengan jempolnya.

“Um, aku memilih –“

“Hei, kalian! Kita sampai!” seru Niall membuat kami melihat ke arahnya. ‘Autumn Festival’. Aku ingat tahun lalu aku kemari bersama Harry.

“Autumn Festival? Untuk apa kita kemari?” tanya Harry pada Niall yang terlihat sumringah.

“Ini festival pertamaku. Jadi, kurasa jika festival pertamaku kuhabiskan bersama sahabat-sahabat terbaikku, ini akan menjadi festival pertama terindah bagiku,” Niall tersenyum lebar membelekangi pintu masuk festival itu. Menghadap aku dan Harry yang hanya bisa terdiam. Festival pertamamu akan menjadi festival terakhirmu, Niall.

Kutundukkan kepalaku dan berkata setengah berbisik pada diriku sendiri, “festival pertama, ya.” Kurasa Harry dapat mendengarnya.

“Hei, ayo! Kalian jangan bengong! Akan aku traktir kalian!” seru Niall lalu berlari menuju loket yang tidak jauh dari pintu masuk.

Harry berjalan dan kini berdiri di sampingku. “Aku tahu apa yang tadi kau ucapkan, Yuka. Pasanglah senyum di wajahmu. Jangan kau buat hari ini menjadi sebuah kenangan buruk,” ucap Harry menaruh satu tangannya di pundakku.

Kuhela nafas panjang dan memperhatikan Niall yang sedang membayar tiga tiket untuk kami bertiga. “Aku mengerti, Styles…”

“Hei, Yuka! Harry! Ayo kemari!” teriak Niall dari kejauhan.

“Ayo kita pergi,” Harry berjalan terlebih dahulu dariku. Kuikuti langkahnya menuju Niall dan mulai membuat sebuah lengkungan Indah di wajahku. Senyum.

“Tumben sekali kau mau mentraktir aku dan Yuka. Dari mana kau dapatkan uang-uang itu?” tanya Harry terdengar menyindir.

“Ayolah, Harry. Aku terus menabung untuk menyiapkan hari ini. Dan lain lagi, aku bukan pelajar yang senang menghabiskan uang sakunya setiap hari, oke?” balas Niall memberikan kami tiket yang dia belikan. Sebuah tanda kenangan mulai datang.

“Kau menyiapkan hari ini? Aw, kau manis sekali,” godaku sambil menyikut tangannya.

“Semua akan aku lakukan untuk gadis dan sahabat kesayanganku,” Niall tersenyum manis lalu mencium pipi kiriku. Seketika aku merasa wajahku memanas dan tidak dapat kuduga semerah apa wajahku saat ini.

“Oh kumohon, kawan. Jangan jadikan aku seperti anak laki-laki terbuang dan menunggu seorang gadis menyapaku ‘hei, aku suka kamu. Kamu tampan, baik, dan aku suka keritingmu. Mau jadi pacarku?’ Realita itu menyedihkan,” Harry terdengar mengoceh sendiri tentang nasibnya saat ini. Aku. Hanya tertawa.

“Ayolah, Haz. Jangan kau anggap dirimu terbuang. Kau kan bagian dari hidupku juga,” Niall menanggapi ocehan Harry yang hanya dapat membuat Harry membuka lebar mulutnya dan sedikit warna merah di pipinya.

“Err, kau menjijikkan, Horan. Lagi pula – hei! Menembak balon! Ayo kita ke sana!” seru Harry mengganti topik kalimatnya dan langsung berlari ke sebuah stand tempat permainan menembak balon air menggunakan panah kecil terdapat.

Aku tertawa kecil. “Dasar, anak itu nggak pernah berubah,” ucapku yang lalu berjalan bersama Niall menuju Harry.

“Anak bodoh itu akan tetap bodoh semasa hidupnya,” lanjut Niall diikuti tawa menggemaskannya. “Jadi, apa jawabanmu?” tanyanya.

“Jawaban?”

“Pertanyaanku tadi,” Niall tersenyum melihatku yang masih terlihat bingung memikirkan pertanyaan apa yang dia maksud. “Pertanyaan mengenai siapa yang kau pilih. Harry atau aku?” Niall bertanya padaku dengan senyumnya.

Aku merasa wajahku kembali memanas. “Uh, a-aku memilihmu,” jawabku malu-malu. Tiba-tiba Niall mencium kepalaku dan tersenyum lebar ketika aku melihat wajahnya.

“Terima kasih, nona,” balas Niall merangkai jari-jari tangannya dengan tanganku.

“Hei! Aku dapat sebuah boneka beruang besar!” seru Harry mengangkat-angkat sebuah boneka beruang berwarna coklat muda dengan pita di lehernya. Sehebat apa dia hingga bisa mendapatkan boneka sebesar itu.

“Nggak kusangka kau hebat juga, Harry,” ucap Niall merendahkan Harry.

“Ya ya ya, terserah apa katamu lah, Horan,” jawab Harry sambil memutar kedua bola matanya. “Oh, begitu. Jadi kalian bergandengan tangan?”

Aku sedikit menundukkan kepalaku malu-malu ketika Niall berkata, “tentu saja. Mengapa? Kau iri?”

“Baiklah, tuan dan nyonya Horan. Aku sudah lelah dengan semua godaan hidupku. Perkenalkan, dia bernama Lucy. Pacar baruku,” Harry menaikkan sebelah tangan sebelah kanan boneka beruang barunya. Dia benar-benar sudah gila.

“Oh, jadi kalian nggak mau menjabat tangan pacar baruku? Nggak kusangka,” ucapnya bertingkah seolah-olah dirinya memang terbuang. Niall hanya tertawa keras di sebelahku.

“Dasar, kau benar-benar gila, Harry. Ayo kita berkeliling. Festival ini masih sangat luas,” Niall menarik tanganku dan menarik baju Harry untuk membuatnya berjalan (bergandengan) dengan pacar barunya, Lucy. Gadis yang cantik.

‘Hei hei, aku tahu kau senang, kan? Kau sangat senang, kan, bergandengan tangan dengan Niall?’

Sebuah suara tiba-tiba terdengar di telingaku. Aku melihat ke arah Harry yang tengah menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum picik padaku. Sialan. Apa maksudnya memberikan pesan seperti itu ke otakku. Aku hanya memutar kedua bola mataku.

“Niall, mau ke mana kita?” tanyaku padanya setelah lima menit kami bertiga (+ satu pacar Harry) berjalan menelusuri festival di sepanjang sungai ini.

“MAKAN!” seru Niall dengan sangat girang. Aku hanya menghela nafas panjang.

“Kau yang traktir, kan?” tanya Harry dengan puppy eyes miliknya. Dasar, dia memang cinta pada hal-hal gratis.

“Tenang saja. Kalian nggak akan mengeluarkan uang hari ini,” senyum Niall yang membuat Harry menampakkan barisan gigi putihnya. Kami duduk di sebuah stand makanan di dekat sungai.

“Sudah siap untuk memesan?” seorang pelayan datang memberikan tiga buah buku menu.

“Hei, kalian mau pesan apa?” tanya Niall menutup buku menu. Yap, dia pasti sudah menemukan apa yang dia inginkan.

“Tacos!”

“Aku puding coklat,” ucapku lalu mengikuti Niall menutup buku menu.

“Kau nggak makan? Kau nggak lapar?” wajah Niall terlihat khawatir melihatku. Aku hanya menggeleng

“Aku nggak lapar, Niall,”

“Hah, ya sudahlah. Satu tacos, satu puding coklat, dan satu burger dengan keju double,” Niall mengumpulkan ketiga buku menu yang ada di atas meja dan memberikannya pada pelayan tersebut. Pelayan tersebut pergi setelah memberikan senyumnya pada kami.

“Mengapa kau nggak makan, Yuka?” tanya Harry sambil membetulkan rambutnya yang tertiup angin besar.

“Aku hanya sedang nggak dalam nafsu makan,” balasku meletakkan daguku di atas meja. Harry terlihat mengerti mengapa aku begini.

“Tapi setidaknya kau harus makan,” lanjut Niall mengusap-usap punggungku.

“Semangkok puding itu mengenyangkan bagi perutku. Nggak seperti perutmu,” aku tersenyum sambil menatap Niall. Dia hanya tersenyum balik padaku.

“Ya ya ya, Lucy, kita harus bisa seperti mereka, oke?” oceh Harry kembali dengan boneka beruang tercintanya.

Tak berapa lama, pelayan itu tadi datang dengan sebuah nampan yang berisikan seluruh makan kami. Aku benar-benar tidak nafsu makan dan hanya menyendok pudding coklatku dengan perlahan-lahan.

‘Ayolah, sudah kubilang kau harus tersenyum. Jangan pikirkan hal itu dulu. Setidaknya hingga masa-masa seperti ini berakhir.’

Suara Harry terdengar lagi di telingaku. Aku hanya terdiam dan memalingkan mataku pada Harry yang sedang menikmati sepotong tacos miliknya. Bertingkah seperti tidak ada apa-apa yang barusan terjadi.

            Dua puluh menit merupakan waktu yang pas untuk kami menghabiskan makanan kami dan ditambah sedikit obrolan tidak jelas. Yeah, seperti biasa. Kami semua memang tidak jelas. Setelah itu kami benar-benar menikmati hari ini. menikmati festival gila sore ini. Mengukir sebuah kenangan indah dibuku milikku mengenai Niall. Ya, karena setelah ini hanya ada sebuah kenangan menyedihkan tertulis di sana.

Jarum jam di tanganku telah menunjukkan pukul enam sore. Waktu terlalu cepat berlalu. Aku benci ketika waktu melayang terlalu cepat dan merusak momen-momen indahku dengan seseorang. Aku benci ketika waktu menjadi penentu ketika sesuatu akan terasa berakhir dengan cepat.

“Hei, sebelum pulang aku ingin mengajak kalian berdua ke jembatan untuk melihat matahari terbenam,” ucap Niall tersenyum lebar. Entah mengapa kali ini aku merasa dadaku terasa sangat sakit melihat senyuman Niall.

“Ide bagus!” seru Harry dengan gembira. Kurasa Harry sudah tahu apa yang ada di hati dan pikiranku saat ini. Kami berjalan perlahan menuju sebuah jembatan merah yang membentang sepanjang kurang lebih lima belas meter. Jembatan kayu yang hanya bisa dilewati manusia. Berdiri di tengah-tengahnya dan memperhatikan langi berwarnya orang dengan matahari yang telah berbentuk setengah lingkarang.

“Indah ya,” Niall memecah keheningan. “Aku harap aku bisa merasakan keindahan seperti ini dengan kalian suatu saat nanti,” lanjutnya yang hanya bisa membuatku dan harry terdiam. Aku terus menahan air mataku ketika aku melihat tangan Harry meremas pinggiran jembatan dengan sangat keras.

“Ya, aku juga berharap seperti itu,” balasku dan membuat Harry memperhatikanku. Aku tidak boleh menangis. Aku bukan gadis seperti itu. Aku harus bisa menerima sebuah kehilangan.

“Janji?” Niall tersenyum lebar mengacungkan jari kelingkingnya padaku dan Harry. Untuk beberapa saat aku dan Harry hanya bisa diam membatu. Janji. Aku tidak bisa menjanjikan hal seperti itu. Dia… dia akan pergi. Malam ini. Tidak ada waktu lagi untuk mewujudkan janji tersebut.

Tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan lewat di sampingku dan menuju tangan Niall. Harry melilitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Niall. Aku melihat Harry dengan wajah terkejut.

“Aku janji, Niall. Ini janjiku,” Harry berkata pada Niall dengan wajah yang sangat yakin. Nadanya terdengar sangat meyakinkan dan itu semua membuatku kembali semakin bergetar.

“Yuka?” tanya Niall memintaku memilih untuk berjanji atau tidak. Harry memutar kepalanya dan mentapku lembut dengan senyuman di wajahnya. Aku bisa melihatnya, Harry. Aku dapat melihat matamu yang menahan semua rasa sakit yang kau tanggung. Aku bisa merasakan hatimu yang terluka di dalam sana.

Kuangkat tangan kananku yang gemetaran dengan perlahan. Melipat keempat jariku lainnya dan menyisakan jari kelingkingku. Perlahan aku melilitkan jari kecilku dengan dua jari besar di sana. “Aku janji. Aku janji. Ini janjiku seumur hidup,” ucapku sambil menggigit bibir bawahku untuk menahan air mataku.

“Terima kasih, Yuka, Harry. Kalian memang hal terbaik yang aku punya,” lanjut Niall dan tiba-tiba dia memeluk kami berdua. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Membiarkan setetes demi setetes butiran air jatuh dari mataku.

“Kau kenapa Yuka?” tanya Niall  melepas pelukannya.

Aku menggeleng. “Aku…. Hanya terharu,” jawabku berbohong sambil menghapus air mataku. Harry tersenyum lemah menahan air matanya.

“Terima kasih kalian berdua,” senyum Niall menunjukkan kawat gigi miliknya. Aku menarik nafas panjang dan memelukknya sekuat yang aku bisa.

“Yu-Yuka? Ada apa?” Niall terlihat bingung ketika tiba-tiba aku memeluknya. Aku menenggelamkan kepalaku di dadanya dan kedua tangannya saling bertemu di punggungnya.

“Aku hanya ingin memelukmu,” jawabku. Kurasakan kedua tangan Niall berada di punggungku dan memelukku seerat yang aku lakukan. Aku bisa merasakan kepalanya menempel dengan kepalaku.

“Aku mencintaimu,” dua buah kata yang keluar dari mulut Niall membuatku merenggangkan pelukanku untuk sesaat. Tetapi kueratkan kembali pelukanku karena aku tidak ingin melemahkan diriku sendiri.

“Aku mencintaimu juga,” balasku ketika Niall tersenyum padaku dengan kedua mata birunya menusuk kedua mata coklatku. Bibir hangatnya mendarat lembut di keningku.

“Terima kasih untuk segalanya,” lanjutnya masih dengan senyuman hangatnya.

“Terima kasih kembali untuk segalanya juga,” kubalas senyumannya dengan senyumanku lalu kucium pipinya. Kulihat pipinya memerah.

“Aku suka pasangan seperti kalian,” Harry mendekati kami berdua dan merangkulkan kedua tangannya di bahuku dan bahu Niall.

“Sepertinya kau iri, Haz,” goda Niall menyikut sisi samping perut Harry.

“Ohh, tentu tidak, Niall Horan. Aku sudah punya Lucy, oke?” aku hanya terus tertawa mendengar semua ucapan mereka berdua. Andaikan aku Tuhan. Ya, andaikan.

“Yuka, kau nggak apa-apa?” tanya Niall ketika dia mendapatiku terus bersin. Aku mengangguk.

“Alergiku dengan angin sebesar ini mulai datang,” ucapku mengusap-usap hidungku.

“Gunakanlah jaketku. Kau bisa sakit,”

“Eh ah, nggak usah. Nanti kau yang sakit,”

“Gunakanlah jaket itu, Yuka,” Harry tersenyum padaku. Aku tidak mengerti maksud dari ucapannya untuk memintaku mengenakan jaket milik Niall. Akhirnya aku mengangguk pada Niall. Dia memberikanya jaketnya padaku dan kugunakan jaket yang kebesaran miliknya. Bau khas Niall.

“Um, uh, maaf Yuka, Harry. Aku harus pulang sekarang. Aku nggak boleh terlalu lama terkena angin malam,” Niall mulai mengusap-usap leher belakangnya sedikit menyembunyikan rasa malunya pada kami.

“Untuk apa kau minta maaf, Niall? Itu, kan, memang sudah menjadi bagian dari kesehatanku,” ucap Harry berdiri di sebelahku menatap Niall

“Uhh, baiklah kalau begitu. Aku pulang dulu, ya,” senyumnya masih dengan wajah memerah. “Sampai ketemu besok, semua! Terima kasih untuk hari ini!” serunya lalu memberikan kami pelukan terakhir dan mulai berjalan meninggalkan kami berdua ditelapan kegelapan malam yang mulai terlihat menyeluruh. Aku dan Harry hanya terdiam melihat sosok Niall berjalan menjauh dari kami berdua.

“Sampai bertemu besok, ya,” ucapku dan membuat Harry memperhatikanku. Kedua mataku masih terus tertuju pada jalan lurus di mana Niall melangkah meninggalkan kami berdua.

“Andaikan aku benar-benar Tuhan,” lanjutku tanpa ekspresi. Membiarkan setetes demi setetes air mata jatuh dari pelupuk mataku. Aku berdiri membatu. Tanpa ekspresi.

.

.

2 chapter lagi sebelum prolog!!! Siapa yang bener-bener penasaran?! Yang penasaran vote ya vote! .-.

Aduh, kok sedih ya ini. Harry sama Yuka kasian. Sebenernya gak tega nulis cerita mereka berdua gini. Apa lagi sama yang bakal terjadi di chapter 18 sama 19. Jadi, siap-siap aja ya buat 2 chapter terakhir. Bakal banyak sureprises (‘: *sobbing*

Oh iya, janjinya udah aku tepatin, kan? Di chapter ini bakal panjang sebagai ganti chapter 17 yang pendek banget -.- :b

Jangan lupa vote dan comment!

-Jasmin

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

226M 6.9M 92
When billionaire bad boy Eros meets shy, nerdy Jade, he doesn't recognize her from his past. Will they be able to look past their secrets and fall in...
4.8M 255K 34
Those who were taken... They never came back, dragged beneath the waves never to return. Their haunting screams were a symbol of their horrific death...
136K 3.7K 25
Warning: 18+ ABO worldကို အခြေခံရေးသားထားပါသည်။ စိတ်ကူးယဉ် ficလေးမို့ အပြင်လောကနှင့် များစွာ ကွာခြားနိုင်ပါသည်။
120K 449 33
Smut 18+ ONLY! ⚠️WARNING⚠️ ⚠️CONTAINS MUTURE CONTENT⚠️ ⚠️VERY SEXUAL 18+⚠️ 22 year old Raven Johnson is just going to her yearly doctors appointment...