The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

270K 22.9K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
25
26
27
28
29
30
31

24

5.9K 511 169
By jaeandje

17.10

asik update lagi xixixixi

pasangan kesayangan kalian ini dapet ujian banyak sekali jadi harap sabar🙏🏻

enjooyy!

Marven berjalan sambil membenarkan jasnya. Dia belum menyadari adanya kericuhan diantara pegawai-pegawai yang ia lewati. Kericuhan yang terjadi disebabkan oleh sebuah informasi yang tersebar di internet.

Sampai detik indera pendengaran Marven tidak sengaja mendengar berbagai bisikan menyebut nama Rasel, dia menghentikan langkahnya dan melihat ke arah sekumpulan pegawai yang saling berbisik itu.

Kening Marven mengerut begitu menangkap beberapa dari mereka yang ketauan mencuri pandang kepadanya langsung membuang arah muka mereka.

"Pak Marven, saya rasa bapak harus melihat ini" sahut seorang pegawai wanita yang memberanikan diri dengan menghampiri Marven sembari menyerahkan tab.

"Apa--" Marven tertegun membaca sebuah artikel yang terpampang di layar tab tersebut. "Jadi ini yang bikin kalian gosip pagi-pagi,"

"Sudah berapa lama artikel ini dirilis?"

"Mungkin sekitar duapuluh menit yang lalu, Pak" jawab ragu pegawai wanita itu.

"Selama duapuluh menit itu, sudah ada dampak apa saja?" Marven berjalan sedikit terburu-buru ke ruangan atasannya.

Tentunya si pegawai yang memberitahu kabar ini mengikuti jejak Marven di sampingnya. "Saham KNG's Group turun anjlok, beberapa investor ingin menunda proyek kontruksi bulan Desember dan saya yakin akan ada lebih banyak dan lebih parah dampaknya,"

"Pak Marven, para reporter menunggu Pak Jehan di lobby bawah--"

"Jadwal Pak Jehan sudah penuh hari ini, tidak ada waktu untuk bertemu para media jadi usir mereka."

"Baik, Pak."

"Saya akan membicarakan ini dengan Pak Jehan, untuk sementara kamu dan tim hukum cari orang yang membuat berita tidak masuk akal ini" titah Marven tepat di depan pintu ruangan atasannya.

"Baik, Pak. Tapi kalau boleh tau apa berita ini benar?"

Dengan ekspresi datar, Marven menatap pegawai wanita itu. "Kamu meragukan orang yang dipilih langsung sama keluarga Kanagara?"

"B-bukan itu maksud saya--"

"Kerjakan saja tugasmu sekarang." ucap Marven yang ketegasannya sukses membuat pegawai itu bergidik ngeri.

Marven mengetuk pintu sebentar dan tanpa menunggu respon Jehan di dalamnya, lalu masuk ke dalam ruangan dengan tergesa-gesa. Ia melihat Jehan sedang sibuk berkutik dengan komputer sehingga dapat Marven tebak bahwa lelaki itu belum mengetahui perihal berita yang sedang ramai diperbincangkan.

"Berhubung lo disini, gue mau minta lo--"

"Sebelum itu gue rasa lo harus liat ini, Je" potong Marven dengan intonasi serius. Keseriusannya berhasil membuat Jehan menghentikan aktivitasnya.

Marven memberikan tab yang layarnya sudah menampakkan artikel yang ia lihat tadi ke hadapan Jehan. "Dirilis duapuluh menit yang lalu. Gue udah nyuruh orang sama tim hukum buat cari siapa yang bikin artikel ngga jelas kayak gini"

"No need to waste time, it must be them" ujar Jehan dengan suara beratnya.

"Mereka? Jeksa sama Lola maksud lo?"

"Yang pengen banget perpisahaan gue sama Rasel siapa lagi kalau bukan mereka coba?"

"Tapi gue ngga ngira mereka bakal pake cara norak kayak gini" lanjutnya.

Jehan mengepalkan kedua tangannya ketika membaca judul dari artikel itu. Mata elangnya langsung memancar sorot kelam dan marah bercampur menjadi satu.

"Beberapa investor minta tunda proyek kontruksi bulan depan sama saham turun anjlok sekarang. Kalau satu jam kedepan masih turun juga, gue rasa para pemegang saham ngga akan diem aja"

Hendak menjawab perkataan Marven, deringan telfon di meja menginterupsi Jehan dan tanpa berpikir panjang dia menekan salah satu tombol disitu, menerima panggilan masuk tersebut dengan mode pengeras suara.

"Ada apa?"

'Lo dimana?'

Jehan menautkan alisnya, "Jendra? Ngapain lo nelfon lewat sini?"

'Is this the right time to asking me that? Lo udah liat internet?'

"Marven baru aja ngasih tau gue--"

'Kakek nyuruh lo ke rumah utama sekarang juga'

Hembusan nafas keluar dari hidung Jehan saat itu juga. Dirinya sudah tau apa yang akan dibahas oleh kakeknya nanti. Pasti perihal masalah yang sedang ramai dimedia sosial.

Masalah lalu belum sepenuhnya selesai dan kini masalah baru muncul?

Sepertinya kehidupan Jehan dan istrinya memng tidak ditakdirkan untuk damai bahagia meskipun hanya sejenak.

"Yaudah kasih tau kakek gue kesana sekarang." kata Jehan tegas.

'Semua pemegang saham marah minta kejelasan--'

"Bukan itu yang gue khawatirin sekarang, Jen"

'Gue tau. Tadi gue nanya mamah tentang situasi di rumah sakit dan istri lo lagi operasi pasien sama Mbak Kana jadi gue ngga yakin dia udah tau tentang ini'

'Kalo gitu masalah pemegang saham biar gue yang urus. Lo fokus cari solusi buat ngatasin berita ngga bener tentang kakak ipar gue ini. Tapi lo harus buruan kesini deh, bang. Kakek marah besar'

Jehan tidak berminat menanggapi apa-apa lagi dan ia memutuskan sambungan telfon adiknya secara sepihak.

"Batalin semua jadwal gue hari ini, Ven"

"Oke. Mobil lo udah siap dibawah. Gue yang jemput Rasel apa gimana?" Jehan langsung mengangguk.

"Selama gue urus masalah ini sama kakek, gue titip Rasel ke lo"

Marven memanggut paham. Masalah yang terjadi saat ini bukanlah hal yang semudah membalikan tangan. Sudah ada tiga dampak yang merugikan padahal baru duapuluh menit artikel tak berdasar ini rilis.

Dan sebagai Direktur Utama KNG's, Jehan harus membagi kedua fokusnya kepada perusahaan dan istrinya. Tentunya hal ini bukanlah hal yang mudah untuknya.

'Terungkap! Raselia Emmera, istri dari Direktur KNG' Group Corporation merupakan anak dari pembunuh Reygan Kanagara 12 tahun lalu silam'

Kakek Jehan menyuruhnya datang ke rumah utama yang artinya pimpinan sudah tau tentang masalah ini dan harus segera bertindak.

Terlebih berita itu menyebarkan rumor tidak masuk akal yang lebih parahnya menyinggung mendiang salah satu anggota Kanagara, putra pertamanya yakni Reygan sudah pasti mengundang emosi pimpinan.

Namun Marven seratus persen yakin kalau pimpinan marah besar bukan karena saham anjlok atau perusahaan yang terkena dampak tetapi karena anonim yang dengan beraninya menyinggung mendiang Reygan dan memberi tuduhan kepada menantu kesayangan keluarga Kanagara.

"Nama Hadvent kebawa juga diartikel itu nanti gue suruh tim hukum KNG--"

"Masalah Hadvent biar nyokap gue aja yang urus. Gue ke rumah utama dulu," Jehan mengambil jas biru gelapnya lalu melangkah ke luar bersama Marven disampingnya tergesa-gesa.

"Bu Rasel anak dari pembunuh Pak Reygan?"

"Loh bukannya Pak Reygan meninggal karena sakit?"

"Pak Jehan sama keluarganya tau tentang ini ngga sih?"

"Ya engga lah! Kalo tau pernikahan Pak Jehan sama Bu Rasel ngga akan direstuin"

"Iya juga.."

"Jadi selama ini Bu Rasel nikah sama Pak Jehan maksudnya apa?"

"Apalagi kalau bukan menipu? Keluarga Pak Jehan kan kaya raya, zaman sekarang banyak yang mengincar harta"

"Kalo berita ini bener kira-kira keluarga Pak Jehan gimana ya?"

"Pak Jehan pasti langsung gugat cerai lah!"

"Tuh liat! Pak Jehan keliatan marah banget"

"Lebih kecewa ngga sih ketimbang marah? Ya lagian siapa yang ngga kecewa ditipu istrinya sendiri?"

"Keren banget topengnya Bu Rasel. Dia berhasil ngebodohin keluarga Kanagara"

"Dipikir nikahin anaknya Pak Reygan bakalan ketutup kebenarannya?"

Mendengar semua gunjingan itu berhasil membuat Marven menggertak sambil mengepalkan kedua tangannya. Sementara Jehan hanya diam sambil terus berjalan.

"Banyak reporter nungguin lo dibawah, Je" ucap Marven yang teringat situasi lobby perusahaan saat ini. "Tapi gue udah minta keamanan siaga dan mereka udah siap dilobby"

Sampai masuk ke dalam lift, Jehan masih saja tidak menghiraukan semua karyawan yang sibuk menggunjing istrinya sendiri alih-alih menghadapi masalah ini.

"Bisa-bisanya mereka pake cara sampah kayak gini? Rasel anak dari pembunuh bokap lo?!"

"What kind of bullshit is that?!" oceh Marven di dalam lift yang dimana hanya ada dirinya dan Jehan.

Ekspresi wajah Jehan sangat masam. Pertanda bahwa dirinya tidak menerima tuduhan konyol itu menjadi topik hangat di internet dan masyarakat yang dimana dirinya tau kebenarannya seperti apa.

Jehan menduga Jeksa dan Lola akan melakukan sesuatu tetapi Jehan sama sekali tidak berpikir bahwa memutarbalikkan fakta adalah pilihannya.

Beginilah cara sampah yang sesungguhnya.

Jehan berdecih lalu menyeringai. "You think this kind of thing will affect me?" gumamnya dengan intonasi tidak takut.

Justru Jehan tertantang dengan pancingan pasangan itu. Tapi Jehan tiba-tiba memikirkan bagaimana perasaan Rasel melihat artikel itu.

Ting!

Ketika pintu lift terbuka, lebih dari tujuh karyawan tim keamanan sudah bersiaga di lorong menuju lobby. Jehan memakai jas biru gelapnya lalu melanjutkan langkahnya diiringi para keryawan keamanan di depan, samping kanan dan kiri serta belakangnya.

"Jendra bilang Rasel lagi operasi pasien jadi kemungkinan dia belum tau tentang berita ini, lo harus cari cara buat takedown semua artikel itu. Hubungin Alaya sama Ezzra, biar cepet minta bantuan mereka. Gue ngga mau Rasel tau tentang ini"

"Oke."

Tepat keluar pintu masuk gedung utama KNG's Group Corporation, Jehan disambut oleh jepretan dan cahaya kilat kamera serta ribuan pertanyaan bahkan meminta klarifikasi mengenai berita yang sedang menjadi topik hangat saat ini.

"Bagaimana tanggapan anda tentang berita yang tersebar?"

"Apakah anda dan keluarga mengetahui tentang ini?"

"Apa mungkin anda tau tapi sengaja menutupi karena hubungan percintaan kalian?"

"Bukankah kematian Pak Reygan karena beliau sakit? Atau kalian memberikan pernyataan palsu tentang kematiannya?"

"Saham KNG's Group juga turun drastis semenjak berita ini dirilis. Anda diminta untuk memberikan klarifikasi, tolong katakan sesuatu"

Marven maju dua langkah dan berdiri di depan Jehan yang tidak berminat menjawab semua pertanyaan itu.

"Mohon maaf, kami tidak menerima wawancara hari ini." Setelah mengatakan itu, Marven berusah menghalangi para reporter yang terus mendekat kepada Jehan.

"Tidak ada wawancara hari ini, beri jalan!" ucap para tim keamanan dengan kompak mengatakan hal yang sama sambil mengawal Jehan sampai ke mobilnya.

"Katakan sesuatu tentang tuduhan istri anda!"

"Tolong beri komentar!"

Beberapa langkah setelahnya, Marven beserta tim keamanan berhasil membawa Jehan keluar dari kerumunan reporter sampai kini atasannya itu sudah membuka pintu mobilnya.

"Istri lo gue bawa ke rumah utama langsung?" Jehan mengangguk sebagai jawaban.

"Ah satu lagi, Ven--" Jehan berhenti melangkah sejenak dan menoleh ke arah Marven yang sedang menatapnya.

"Pecat semua karyawan yang ngomong engga-engga tentang Rasel tadi." katanya tegas dan tanpa ekspresi. Menandakan bahwa lelaki itu tidak main-main dengan perkataannya.

°°°

Sesampainya di rumah utama, Jehan langsung menuju ruangan kakeknya dimana sang kakek sudah nenunggu dengan emosi yang memenuhi benaknya.

Di dalam ruangan terdapat Jendra, ibunya dan kakeknya yang terdengar sedikit berseteru. Belum terlalu jelas ditelinga Jehan, tetapi ia yakin perseteruan itu terjadi karena artikel yang sedang ramai di perbincangkan.

"Loh mamah udah disini?" tanya Jehan sedikit kaget dengan kehadirannya sang ibu karena ia mengira ibunya masih berada di rumah sakit.

Tania melemparkan senyum tipisnya ke arah putra sulungnya, "Mamah baru aja dateng beberapa menit yang lalu," dan wanita paruh baya itu pun kembali fokus kepada tab di tangannya.

"Lo udah urus pemegang saham?" tanya Jehan kepada adiknya yang duduk tepat di samping Tania untuk memastikan.

"Untuk sementara aman tapi kalo saham masih turun, gue ngga bisa taham mereka lama-lama" jawab Jendra.

Jehan duduk di sebelah Jendra, di hadapan ibunya dan di seberang kakeknya. Ia bisa melihat ekspresi tak bersahabat di wajah sang kakek, raut wajah yang sudah lama sekali tak Jehan lihat.

"Yang buat berita ngga jelas ini, mereka main-main sama Kanagara" dengus Tania. Ia dibuat sangat kesal dengan isi dari artikel yang sedang ia baca.

"Anggota direksi Hadvent gimana, Mah?"

"Ngga usah khawatir, biar mamah yang urus mereka." jawab Tania sambil melipat kedua tangannya di depan dada percaya diri.

"Rasel dimana sekarang?" celetuk kakek dengan suara beratnya. Jehan, Tania dan Jendra sontak menoleh ke arah kakek yang masih sama ekspresinya.

"Di rumah sakit, tapi aku udah minta Marven jemput dia" balas Jehan menggenggam tangannya sendiri.

"Cari orang yang berani membuat berita bodoh ini." ucap kakek kepada asistennya.

"Kayaknya aku tau ini ulah siapa, Kek--" ujar Jehan. "Kamu cari tau juga hubungan Lorenza sama jurnalis artikel ini" titahnya kepada asisten pribadi sang kakek yang langsung diangguki.

"Baik, tuan"

"Lorenza? Kamu berasumsi dia dalang dari rilisan berita ini?" tanya Kakek heran.

Jehan mengangguk, "Ada banyak alesan kenapa dia, Kek"

"Tapi Lorenza bukan tipe orang yang pake cara sampah kayak gini, Jehan--"

Jehan tersenyum miring, "Aku juga sempet mikir gitu, tapi sesuai apa yang kakek bilang perpisahan aku sama Rasel itu tujuan mereka sekarang"

"Kita ngasih penjagaan ketat karena kejadian kemarin bikin mereka putus asa, so she will do everything." jelasnya yang cukup masuk akal di telinga sang kakek, ibu dan adiknya.

"Jadi bener dugaan kakek kan? Coba bayangin kalo kamu beneran cerai sama Rasel, Je. Semuanya bakal lebih gampang dari ini--"

"Cerai apaan?" potong Tania terkejut setelah ayah mertuanya menyinggung sesuatu yang tidak ia ketahui. Tak hanya Tania, adiknya pun sama terkejut.

Memang, tidak ada yang mengetahui Jehan yang berniat menceraikan Rasel selain kakeknya, Marven dan Rasel sendiri.

"Lo ada rencana cerai tapi lo ngga bilang apa-apa ke gue atau mamah?!" pekik Jendra. Ia dan Tania menatap Jehan dengan tatapan minta penjelasan yang bercampur emosi.

Jehan menghela nafasnya. "Baru kepikiran aja makanya gue belum ngomong apa-apa--"

"Terus kamu bakal bilang ke mamah kapan, hm? Gila ya kamu, Jehan" cetus Tania dengan nada kecewa. Kecewa karena dirinya merasa dibohongi oleh sang putra.

"Apa yang bikin lo mikir kayak gitu hah?!" tanya Jendra yang terdengar emosi. Kalian pikir Jendra akan menyetujui perceraian yang diniatkan abangnya?

"Gue terlalu takut--"

"Ini bukan waktunya ngebahas yang udah lewat" cela kakek dengan maksud mengalihkan pembahasan. "Ada yang lebih penting jadi fokus ke masalah ini"

"Buat sekarang kamu rilis pernyataan resmi aja, Je. Klarifikasi kalau berita ini ngga bener dan tegasin tentang kematian Reygan karena penyakit bukan dibunuh"

Benar. Keluarga ini membuat pernyataan palsu mengenai kematian Reygan Kanagara supaya identitasnya sebagai agen intelijen negara tidak terbongkar.

Memang terdengar aneh dan tidak masuk akal, namun untuk merahasiakan hal tersebut mereka hanya terpikirkan satu cara itu.

Jehan mengangguk paham tetapi hatinya tetap tidak tenang. Ada hal lain yang sedang ia pikirkan saat ini yaitu bagaimana mengembalikan image Rasel di mata para pemegang saham KNG's dan dewan direksi Hadvent.

Taukah konsep 'Tidak ada persaingan sehat di dunia bisnis?' Itu juga terjadi di dalam KNG's Group terutama diantara mereka yang memperebutkan posisi Pimpinan selanjutnya.

Banyak sekali yang menginginkan posisi dengan kekuasaan tinggi itu. Jehan yakin mereka akan memanfaatkan keadaan ini untuk menyingkirkannya sebagai calon pasti Pimpinan KNG's Group selanjutnya.

Jehan tidak masalah apabila dirinya tidak menjadi Pimpinan KNG's Group yang baru, toh dia memang tidak begitu tertarik dengan jabatan tersebut karena menurutnya tugas, tanggung jawab serta waktunya berkali lipat dari jabatannya sekarang.

Namun disatu sisi, ia juga tidak bisa membiarkan posisi penting tersebut jatuh ke tangan yang salah.

"Menurut aku klarifikasi aja ngga bakal cukup, Kek. Pemegang saham sama anggota dewan pasti ngemanfaatin momen ini karena aku.."

"Mereka pengen posisi Pimpinan yang nantinya bakalan jatuh ke tangan lo kan?" ujar Jendra menyeringai.

"Untuk itu sebenernya ada satu cara, tapi kakek ngga bisa sembarangan"

"Kamu pegang daftar nama pemegang saham kan, Jen?" tanya Kakek kepada Jendra. Melihat cucunya mengangguk lantas ia berkata, "Kakek butuh itu nanti.."

"Udah saatnya kita pake daftar nama itu, Tan"

Tania dan Kakek saling bertukar pandang. Sorot ragu yang terpancar di mata Tania berhasil diyakini oleh tatapan mertuanya itu.

"Daftar nama pemegang saham? Ada apa sama daftar itu? Cara apa yang kakek maksud disini?" tanya Jehan penasaran.

"Pokoknya posisi kakek sekarang harus jatuh ke tangan kamu, Jehan"

Jehan merotasikan bola matanya, merasa malas membahas ini untuk kesekian kalinya. "Aku harus bilang berapa kali kalau aku ngga tertarik, Jendra aja"

"No, thank you. Jabatan gue sekarang udah lebih dari cukup--"

Tania menatap kedua putranya bergantian, tidak memahami isi pikiran anak-anaknya yang menolak mentah tawaran warisan kakeknya sendiri. Kalau dirinya yang berada diposisi mereka sepertinya ia akan mempertimbangkannya.

Lalu mengapa tidak Kanara? Karena putri sulungnya itu sudah ditetapkan menjadi pewaris Hadvent nanti ketika Tania sudah pensiun secara resmi.

Kakeknya menghela nafas, "Kalian ini aneh. Warisan kakeknya sendiri malah ditolak."

Jehan merogoh ponselnya yang berdering di saku dalam jasnya. Melihat nama familiar yang tertera di layar ponselnya, ia langsung menekan tombol hijau untuk menerima panggilan tersebut.

"Kenapa, Ven?"

'Rasel ngga ada di rumah sakit,'

"Ngga ada gimana maksud lo?!" pekik Jehan panik.

Respon Jehan barusan sukses membuat Tania, Jendra dan kakeknya menoleh ke arahnya dengan rasa penasaran apa yang membuat Jehan memekik seperti itu.

'Operasi Rasel udah selesai setengah jam yang lalu, gue sama kakak lo udah cari ke semua tempat tapi kita sama sekali ngga liat Rasel disini'

"Lo udah ngecek rekaman CCTV?" Jehan menghembuskan nafas panjang sambil memijat pelipisnya.

'Mbak Kana lagi ngecek di ruang keamanan'

"Keep looking for her. Gue kesana sekarang," ucap Jehan seraya berdiri dan hendak pergi setelah ia mematikan telfonnya namun terhenti karena ibunya menyahuti.

"Rasel kenapa, Je?" sahut Tania ikut khawatir selepas mendengar intonasi panik ketika Jehan berbicara.

"Rasel ngga ada di rumah sakit. Aku pergi cari dia dulu ya," jawab Jehan sambil berpikir keras kemana istrinya itu pergi.

Tangan kekarnya mengeluarkan ponselnya lagi untuk menghubungi Rasel dengan harapan besar untuk sang istri mengangkatnya.

"Angkat, Sel.." gumam Jehan sangat berharap sembari memejamkan matanya.

'Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif--'

Jehan mengumpat kesar tatkala mendapat jawaban yang tidak ia harapkan. "Damn it!"

°°°

Alaya berkutik dengan laptopnya sangat serius. Sebagaimana permintaan Jehan, ia sedang mencari keberadaan istri lelaki itu yang menghilang untuk kedua kalinya.

Tapi sekeras apapun dirinya mencari, Alaya tidak menemukan satupun jejak Rasel pergi dari rumah sakit ataupun jejak seseorang yang mencurigakan itu artinya Rasel belum meninggalkan Hadvent.

Namun saat itu yang Marven dan Kanara temukan hanya tas serta perlengkapannya. Dan sayang sekali kalung khusus yang terdapat alat pelacak di dalamnya tertinggal di loker Rasel sehingga Jehan tidak dapat mengandalkan kalung tersebut.

Bahkan setelah mengerahkan banyak orang sampai detik ini pun mereka masih belum menemukan sosok Rasel.

"Gue sama sekali ngga liat jejak Lola atau Jeksa di rumah sakit, Je.."

"Lo udah pastiin Rasel ngga pulang ke rumah?" tanya Ezzra yang sedari tadi hanya memandangi layar laptop yang memutarkan rekaman CCTV Hadvent yang Marven dapatkan.

Jehan menggeleng lesu. Wajahnya menunduk, mengabaikan rasa sakit di kepalanya yang timbul karena dirinya tidak tidur semalaman.

"Dia ngga pulang.." ujar Jehan dengan nada lemah.

"Feeling gue, Rasel ngehindar karena berita itu. Ya lo bayangin aja lagi sibuk operasi pasien pas selesai tiba-tiba digosipin banyak orang," timpal Natalie di samping Alaya.

"Billy sama Yaslan juga belum ngabarin gue" lanjut Natalie setelah memeriksa ponselnya.

"Zra, cari daftar data jejak riwayat kartu kredit Rasel seharian kemarin" ucap Jehan dengan suara beratnya.

"Gue udah minta itu ke anak buah gue tapi perlu waktu."

Ezzra berdiri dan menghampiri Jehan yang duduk di tepian meja kerjanya sambil menundukkan ke palanya. Lelaki itu tidak berhenti mencoba untuk menghubungi istrinya. Mungkin ada puluhan kali percobaan.

Katanya setiap detik itu berharga. Di menit pertama memang tidak ada jawaban tapi siapa tau di menit selanjutnya jawaban itu ada, benar bukan?

"Tenang aja, gue udah minta bantuan ke semua tim bawahan gue" ucap Ezzra menepuk-nepuk bahu kerabatnya.

"Tapi gue sepemikiran sama Natalie. Istri lo kayaknya lagi pengen sendiri jadi kasih dia waktu, gue yakin Rasel ngga kenapa-kenapa" tambahnya yang berusaha meyakini Jehan.

Alaya, Natalie, Ezzra dan Marven sedang berkmpl kompak mencari Rasel di ruang kantor Jehan. Dan kini sudah hampir dua hari semenjak berita bodoh itu rilis namun Rasel tak kunjung memberi kabar.

Ponsel dimatikan, kalung tertinggal di dalam loker miliknya bahkan anehnya adalah sama sekali tidak ada jejak wanita itu keluar dari rumah sakit. Bagaimana Jehan tidak frustasi?

Ini kedua kalinya Rasel menghilang tanpa jejak seperti ini.

Brak!

Pintu yang terbuka secara tiba-tiba itu sedikit mengejutkan Ezzra, Natalie, Alaya dan Jehan. Mereka berempat juga tersentak saat mendengar seseorang menyeru tidak santai.

"Jehan, sini ngga lo?!"

"Bu, ibu tidak bisa masuk seperti ini. Pak Jehan sedang ada tamu--"

Setelah melihat dan mengenal siapa orang itu, Jehan memberi isyarat kepada karyawannya yang berusaha menarik orang itu keluar untuk berhenti.

"Tidak apa-apa, dia tamu saya juga" kata Jehan tidak berintonasi.

"Terungkap! Raselia Emmera, istri dari Direktur KNG' Group Corporation merupakan anak dari pembunuh Reygan Kanagara 12 tahun lalu silam' What the hell is that, Je?!"

"Lo tau? Gara-gara artikel sialan ini, satu rumah sakit gosipin Rasel yang engga-engga. Parahnya banyak pasien yang ngga mau dirawat sama dia!"

Mendengar hal itu, Jehan, Ezzra, Natalie dan Alaya langsung mengetahui mengapa Rasel betah menghindar selama sehari ini.

"Siapa yang bikin artikel bodoh kayak gini, hah?!"

"Kalo tebakan gue bener, Jeksa sama Lola" jawab Jehan.

"Brengsek, mau mereka apa sih?!" geram orang itu. "Terus lo diem aja meskipun lo tau kebenarannya?!"

"Gue udah berusaha semampu gue buat takedown artikel-artikel itu, Jisya" Jehan menatap wanita yang datang tiba-tiba itu nyatanya Jisya, sahabat Rasel.

Ketika membaca artikel tersebut, Jisya kelewat emosi dari kemarin. Saat itu juga dia berniat mendatangi Jehan tetapi keadaannya tidak mendukung. Seperti yang ia katakan, banyak pasien yang menolak untuk dirawat oleh Rasel padahal dialah dokter utamanya karena itu pasien-pasien tersebut dilimpahkan kepada dokter lain termasuk Jisya.

Jisya menghembuskan nafasnya seraya menyandarkan dirinya pada tembok di dekatnya. "Rasel gimana?"

"Justru gue yang mau nanya sama lo, gue ngga bisa ngehubungin dia dari kemarin sampe sekarang--"

"HAH?!" Jisya memekik kaget. "Gue kira dia lagi bareng sama lo karena gue juga belum liat Rasel dari kemarin sampe sekarang, Je"

Jehan menggeleng kecil, "Gue udah minta Marven jemput tapi dia ngga ada di rumah sakit bahkan semaleman ngga pulang," ucapnya yang terdengar frustasi.

"Astaga, tuh anak kabur kemana lagi?" Jisya menggeram kesal. Dari masa kuliah, ia memang tidak menyukai sifat Rasel yang suka kabur seperti ini.

Ketukan dan suara pintu terbuka berhasil menginterupsi mereka semua dan melihat Marven masuk ke dalam ruangan.

"Tim publikasi udah rilis pernyataan kalau kita ngebantah berita ini--" kata Marven seraya mengarahkan layar tab yang menampakkan sebuah artikel.

"Divisi hukum juga udah kolektifin semua media yang nyebarin. Mau tuntut sekarang?"

Jehan menggeleng, "Jangan. Tunggu sampe semuanya reda dulu. Gue sama kakek gua ada rencana buat ngungkapin bukti kuat tentang hubungan bokap gue sama Rasel"

"Bukti kuat?" Marven, Ezzra, Natalie, Alaya dan juga Jisya sama-sama menatap Jehan dengan tatapan penasaran.

"Liat nanti aja. Bokap gue sama nyokapnya Rasel punya persiapan yang jauh lebih mateng dari yang gue bayangin"

Marven hanya memanggut saja, "Oh iya. Sesuai perintah lo, karyawan-karyawan yang bilang engga-engga tentang Rasel udah gue pecat semuanya"

Natalie, Ezzra, Alaya dan Jisya melongo mendengar itu. Semudah itukah untuk memecat pekerjanya?

"Pewaris mah bebas--" gumam Natalie dan Alaya.

Ezzra merogoh ponselnya dari saku celana saat merasakan benda itu bergetar. Ia buru-buru membuka setelah membaca notifikasi yang sudah ia tunggu-tunggu.

"Gue udah pegang data riwayat kartu kredit Rasel, terakhir dipake--" Ezzra membaca sebuah data di layar ponselnya dengan seksama supaya tidak ada kesalahan.

"8 menit yang lalu??"

"Hape Rasel nyala, Je" sahut Alaya yang dari tadi tidak berhenti memantau. "Lokasinya ngga jauh dari sini, gue kirim titik lokasinya ke lo, Ven"

"Kalo gitu gue suruh orang buat periksa apa itu bener Rasel atau bukan--"

Tok tok tok

"Permisi, Pak. Saya tidak bermaksud mengganggu tapi ini ada kiriman buat Pak Jehan" ujar seorang karyawan wanita yang masuk sambil membawa sebuah map coklat besar.

Jehan mengerutkan dahinya, "Kiriman dari siapa?"

"Em-- Disini tertulis nama pengirimnya, Bu Rasel" jawab karyawan itu dengan ragu.

Marven menghampirinya untuk mengambil map coklat tersebut lalu memberikannya pada Jehan sementara karyawan wanita yang mengantarkan mapnya sudah kembali ke tempatnya.

Natalie, Alaya, Jisya, dan Ezzra sedikit mendekat karena cukup penasaran selagi Jehan membuka apa isi dari map coklat yang dikirim Rasel. Kalau dilihat dari tebal atau tipisnya, tebakan mereka sama. Sepertinya isi di dalam hanya sebuah kertas.

Jehan tidak dulu membiarkan kelima orang yang ada di sekitarnya melihat isinya. Benar, selembar kertas. Ia membaca tulisan yang tertulis disana.

"Itu apa, Je?" tanya Jisya memecahkan suasana hening semenjak map itu datang.

Jehan merubah drastis ekspresinya tatkala selesai membaca kertas tersebut. Rahangnya juga mengeras pertanda ia emosi dengan apa yang ia baca. Sementara tangannya memasukkan kembali kertas tersebut ke dalam map supaya yang lain tidak melihat.

"Tahan semua orang yang lo kerahin sekarang, Ven. Gue mau lo hubungin bank dan minta mereka blokir sementara semua kartu kredit yang Rasel pegang termasuk yang punya gue"

"Maksud lo--"

"Rencana lo apa, Je?" tanya Ezzra tidak paham.

"Just do it without asking." ucap Jehan datar dan sorot matanya pun mengintimidasi semua orang.

°°°

Di tempat lain, sebuah cafe yang cukup ramai karena masih jam makan siang, wanita yang sukses menghebohkan masyarakat sekaligus membuat banyak orang khawatir, khususnya sang suami sedang berkutik dengan laptopnya.

Dia sengaja memakai masker hitam untuk menutupi wajahnya supaya orang-orang sekitar tidak mengenalinya. Terima kasih kepada orang yang menyebarkan berita konyol itu sehingga ia kesulitan seperti ini.

Layar laptopnya menampakkan kolom komentar dari sebuah artikel yang tidak henti bertambah setiap detiknya. Matanya memanas membaca satu per satu dari ratusan ribu komentar pedas terhadap dirinya.

Namun itu tidak menghentikannya. Ia justru terus scrolling kolom komentar hingga terbawah. Rasa penasarannya begitu tinggi sampai dia tak sadar bahwa rasa tersebut menyakiti hatinya sendiri.

"Ice caramel coffee latte, Kak Raselia.."

Mendengar panggilan itu, Rasel berdiri untuk mengambil pesanan terakhirnya di tempat pengambilan pesanan samping kasir. Disana Rasel memberikan salah satu kartu kreditnya kepada barista yang melayani tanpa melepaskan maskernya.

"Maaf kak, kartunya ditolak"

"Hah?" Rasel terkejut bukan main. Ia mengambil kembali kartu yang dirasa miliknya pribadi. "Ini bener kartu gue kok.." gumamnya.

"Coba yang ini deh mbak--" Rasel terpaksa menyerahkan salah satu kartu milik Jehan yang lelaki itu beri diawal pernikahan.

"Ditolak juga kak,"

"Perasaan sebelumnya ngga ada masalah apa-apa..." gumam Rasel bingung.

Tidak hanya dua namun empat kartu yang sudah Rasel coba namun keempatnya ditolak. Artinya ada yang memblokir penggunaan kartu kreditnya. Untung saja Rasel masih memilih selembar uang tunai untuk membayar pesanan kopinya.

Ting!

Rasel mendengus setelah membaca notifikasi yang muncul selepas ia matikan ponselnya seharian dengan sengaja. Tebakannya benar bahwa diblokirnya semua kartu yang ia pegang merupakan ulah suaminya.

Tunggu. Apakah surat yang ia kirim sudah sampai ke tangan Jehan?

Gawat. Rasel belum sempat mengambil uang sehingga ia tidak memegang uang tunai lagi dan apabila semua kartunya diblokir seperti ini, bagaimana caranya untuk memenuhi kebutuhannya?

Apa mungkin Rasel menghubungi Jisya dan meminjam sejumlah uangnya sementara? Tapi ada kemungkinan temannya itu berhubungan dengan Jehan dan yang lainnya bukan?

Sebentar, bagaimana jika ia meminta bantuan Lola?

Rasel benar-benar tidak ingin bertemu dengan Jehan, Tania, dan yang lainnya dulu. Entahlah apa yang membuatnya seperti ini, yang jelas Rasel merasa bersalah.

Terlebih saat ia mengetahui dampak apa saja yang terjadi semenjak artikel tak berdasar itu rilis, ia menjadi merasa sangat bersalah. Terutama kepada Jehan dan keluarga suaminya itu.

Rasel menggigit bibir bawahnya seraya membaca notifikasi baru yang satu itu. Jangan tanya apakah dirinya tidak tau sudah berapa kali Jehan menelfon dan sudah berapa banyak pesan yang masuk.

Disatu sisi Rasel ingin pulang namun di sisi lain Rasel merasa dirinya selalu memberikan dampak buruk kepada Jehan ataupun keluarganya, dan itu membuatnya merasa tidak enak.

Meskipun berita ini sepenuhnya tidak benar tapi reputasi Kanagara menjadi diragukan karenanya bukan? Rasel tau loh sepengaruh apa Kanagara di mata masyarakat.

"Gue ngga bisa natap muka lo karena berita ini, Je.." lirihnya tanpa sadar air matanya mulai menetes.

Tapi taukah kalian seberapa besar rasa keinginan Rasel memeluk Jehan?

-

Siang sudah berganti malam sekarang. Jehan, Jendra dan Marven masih disibukkan mengurus perusahaan yang terkena dampak karena berita yang muncul kemarin.

Mereka sudah melakukan segalanya untuk menghapus artikel-artikel itu, namun tetap saja bermunculan.

Meskipun posisi Rasel telah diketahui, Natalie dan Alaya masih betah disini padahal mereka berdua memiliki misi yang belum terselesaikan bersama Billy dan Yaslan. Misi pencarian jejak Jeksa dan Lola serta tempat persembunyian mereka, sementara Ezzra dan Jisya sudah kembali ke tempat kerjanya.

Merilis pernyataan resmi bahwa Kanagara menyanggah nyatanya tidak membuat orang luar puas. Nilai saham masih turun sampai detik ini sehingga para pemegang saham mengajukan rapat untuk berunding mengenai hal ini.

"Bang, pemegang saham misuh-misuh adain rapat. Gue nanya ke Kakek kapan waktunya tapi gue malah disuruh nanya ke lo--"

"Pokoknya atur jadwal rapat pemegang saham kalau Rasel udah pulang. Di rapat nanti Kakek bakal ngelibatin dia soalnya," cela Jehan tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan kerta yang sedang ia periksa.

"Ngelibatin dia? Masalah kepemilikan saham yang kemarin Kakek bahas maksud lo?" tanya Jendra yang diangguki singkat oleh kakaknya.

"Lo udah tau Rasel dimana ngga ada niat datengin dia langsung? Yakin lo dia bakal pulang cuma karena lo ngeblokir semua kartu kredit yang dia pegang?" tanya Marven yang merasa sedikit ganjal.

"Gue ngga ngerti sama pikiran lo deh, Je"

Marven menatap Jehan dengan tatapan aneh. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran temannya untuk persoalan ini.

"Tunggu aja" balas Jehan. Dari intonasinya terdengar lelaki itu seperti acuh tak acuh. Dia memang sedang merasa kesal kepada Rasel karena map coklat yang dikirim oleh istrinya siang tadi.

Belum ada yang mengetahui isinya karena Jehan memang sengaja merahasiakan itu. Namun ada asumsi buruk di benak Jendra, Marven, Natalie, dan Alaya setelah melihat sikap Jehan saat ini.

"Dih ngga usah sok ngga peduli gitu lah! Gue tau hati lo lagi ngga tenang karena Rasel," sahut Natalie merotasikan bola matanya.

Alaya melihat sorot tak biasa di mata tajam Jehan. Untuk masalah Rasel, Jehan sangat tidak mungkin bersikap setidak acuh begini. Lelaki itu tampak sedang marah.

"Lagak lo tiba-tiba berubah sok ngga peduli kayak gini semenjak dapet kiriman dari Rasel. Dia ngirim apa emang?" tanya Alaya penasaran.

"Surat gugatan cerai" jawab Jehan sangat datar.

"HAH?!" pekik Alaya, Natalie, Marven dan Jendra memekik kaget bersamaan dengan suara tinggi.

"Seriusan lo?"

Marven berjalan menuju meja Jehan dan untuk memastikan ucapan temannya itu ia mengambil map coklat tersebut lalu melihat isinya. Setelah itu, dia sedikit memaklumi sikap tak acuh Jehan.

Gugatan cerai?! Beberapa hari yang lalu, Jehan pertama yang berpikir menggugag cerai lalu sekarang Rasel. Sejujurnga Marven tidak memahami pasangan ini.

"Alasan dia gugat lo apa coba?" tanya Natalie.

"Kenapa lo nanya gue?" cetus Jehan. Dari nada dan ekspresinya ia benar-benar kesal dan tidak biasanya lelaki itu melampiaskan rasa kesalnya kepada orang lain seperti ini.

Entah berapa banyak orang yang menjadi korban keketusan Jehan hari ini.

Jehan menghela nafas, menetralkan rasa campur aduk yang ia rasakan supaya ia dapat berbincang dengan pikiran jernih bersama yang lain.

"Masih belum ada kabar dari Billy sama Yaslan?" tanyanya.

"Ngga ada kabar justru bagus, Je. Artinya mereka udah deket sama tujuan kita selama ini. Jeksa & Lola is really great at hiding" jawab Natalie.

Detik itu juga berderinglah ponsel Jehan di atas meja dengan nomor tak dikenal terpampang di layarnya sehingga yang lain pun dapat melihatnya dengan jelas.

Tanpa berpikir lama, Jehan mengambil ponselnya yang berdering itu untuk menerima panggilan tersebut. "Halo?"

'The gift that I gave you yesterday, how was it? Did you like it?'

"This kind of small gifts will not impress me, Mister Navarez" jawab Jehan terdengar sangat tenang.

Natalie dan Alaya buru-buru memanfaatkan waktu ini untuk melacak posisi orang yang selama ini ia cari menggunakan nomor telepon yang Natalie tak sengaja lihat barusan. Tidak heran, wanita itu memang memiliki daya ingat yang sangat kuat.

Jehan menangkap sebuah kode gestur pertanda ia harus mengulur waktu yang Natalie tunjukkan seraya menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi.

'It is a small gift, but I have the bigger one just wait for that. Ah, anak buah gue ngeliat istri lo ke pengadilan negeri. Udah lo terima surat gugat cerainya?'

Rahang Jehan sontak mengeras dan tangannya pun mengepal kuat tetapi Jehan berusaha tetap tenang. "Lo pengen banget gue pisah? Bukannya pernikahan gue termasuk ke dalam skenario lo?"

'Is that even question? I mean, you know how to play, right?'

"I do. That's why I won't give you what you want, Jeksa. Cara lo kayak gini terlalu sampah, lo pikir dengan berita ngga jelas ini bisa ngehancurin gue sama keluarga gue?"

'Setidaknya gue berhasil buat reputasi istri lo buruk di mata orang lain'

Jehan tersenyum miring meremehkan, "Reputasi? Lo ngga tau apa-apa tentang Rasel, Sa."

'Sayangnya gue tau tentang dia lebih banyak dari yang lo kira, Jehan'

"Oh, really? I doubt that--"

'Gue tau lo lagi berusaha ngulur waktu buat temen lo yang lagi ngelacak gue kan? Gimana dapet?' Jeksa terkekeh meremehkan diseberang sana.

Jehan sontak melirik ke arah Alaya dan Natalie dengan sorot meminta jawaban kepada mereka berdua namun mereka menggeleng yang artinya itu kabar buruk.

'I don't want to say this but be careful, Jehan. You want me to stop hiding? Just wait, we will show you something that will impress you'

Setelah mengatakan itu, Jeksa pun memutuskan sambungan telfon secara sepihak membuat Jehan mendecak kesal.

"Itu nomor dari telefon umum, Je" ujar Alaya.

"Gue ngga liat Jeksa atau siapapun di kamera CCTV, artinya dia nelfon lo pake nomor telefon umum ini dari jarak jauh" timpal Natalie seraya menunjukkan layar laptop ke arah Jehan.

"Ada cara sebenernya dan gue bisa aja ngelacak tempat asalnya tapi gue perlu waktu banyak--"

"Ngga usah, buang-buang tenaga."

"Call Billy and Yaslan, Nat. Tell them to stop looking for Lola and Jeksa"

"Seriusan lo?"

"Lola itu jauh lebih cerdik dari yang lo kira. Gue takut misi pencarian ini salah satu skenario dia dan mereka berdua malah masuk ke jebakan yang Lola buat"

"Trust me, they will show on their own"

Di pertengahan obrolan mereka, ujung mata Marven tak sengaja menangkap seseorang di balik pintu ruangan yang terbuka sedikit. Bibir orang itu mengatakan sesuatu tanpa mengeluarkan suara namun Marven memahami itu dengan cepat.

Alhasil, Marven menghampirinya keluar ruangan supaya orang itu tidak mendengar percakapan tak biasa antara Jehan dengan Jeksa.

"Ada apa sampai kamu berani membuka pintu tanpa mengetuk dulu?"

"Maaf, Pak Marven saya tidak bermaksud. Tapi saya rasa sepertinya bapak harus liat ini--" Orang itu berhasil menarik perhatian Marven.

Dia mengarahkan layar komputer di meja kerjanya kepada Marven dan menampakkan sebuah rekaman CCTV. "Ini Bu Rasel, Pak"

"Udah hampir tiga jam Bu Rasel duduk di dekat pintu masuk--"

Marven memicingkan matanya. Memastikan wanita bertopi yang sedang duduk di pinggiran gedung sambil menatapi ponselnya apakah benar itu Rasel atau bukan. Tetapi dari perawak annya dapat dikatakan wanita itu memang Rasel.

Sorot khawatir namun bercampur lega terlukis jelas di kedua mata Marven. Setelah hampir dua hari menghindar akhirnya wanita itu benar-benar kembali.

"Kamu tau itu Bu Rasel tapi kamu diam aja? Bawa dia masuk!" titah Marven dengan suara yang meninggi.

"Diluar banyak reporter jadi kita ngga bisa terlalu menarik perhatian karena terlalu berisiko dan Bu Rasel juga menolak, Pak. Saya udah coba bujuk tapi Bu Rasel tetap tidak mau,"

"Ngga mau kenapa?"

"Saya tidak tau tapi saya dengar Bu Rasel bilang kalau dia takut--" jawabnya.

Marven menghela nafasnya sambil memejam mata. Ia bisa memaklumi ketakutan yang dirasakan Rasel dibawah sana namun tentunya dia tidak bisa membiarkan wanita itu terus-terusan duduk sendirian disitu.

Sudah berganti menjadi bulan yang menerangi hari alias saat ini sudah malam lebih tepatnya pukul delapan dengan udara dingin menyertakan ditambah ramalan cuaca mengatakan bahwa malam ini akan turun hujan membuat Marven khawatir akan kondisi teman iparnya.

"Rasel ada dibawah, Je" Marven berujar begitu ia kembali ke dalam ruangan.

Jehan tak menghiraukan perkataannya Marven. Lelaki itu berjalan menuju telepon genggam di meja kerjanya dan menekan satu tombol disana, "Siapkan mobil saya."

Setelah mengucapkan hal tersebut dengan suara beratnya, Jehan mengambil jas hitamnya lalu melenggang pergi meninggalkan Marven, Jendra, Alaya dan Natalie yang kebingungan.

"Untung stok sabar gue masih banyak..." guman Marven disertai dengusan nafas kesalnya.

"Rasel beneran ada dibawah, Ven?" tanya Natalie yang diangguki Marven langsung.

Alaya sontak berdiri, "Bukannya Jehan lagi marah sama Rasel? They will be nothing serious, right?"

"That's their business, they can handle it on their own. Our job is to protect them from afar." sahut Jendra tetap tenang.

°°°

Rasel menumpu dagu pada lipatan tangannya diatas lekukan lutut. Ia kini duduk menyandar pada sebuah bangku kecil yang letaknya tepat didekat pintu masuk kantor Jehan.

Cara suaminya dengan memblokir semua kartu yang Rasel pegang berhasil membuatnya pasrah dan memberanikan diri untuk mendatangi kantor Jehan karena pesan serta telfonnya tak kunjung mendapat jawaban dari sang suami.

Rasel berencana menemui suaminya namun ia terlalu takut untuk masuk ke dalam. Bahkan untuk mendekati pintu masuk pun Rasel tidak memiliki kepercayaan diri seperti pada saat pertama kali ia datang kesini.

Berita tidak berdasar yang masih menjadi perbincangan sudah pasti membuat gempar seisi perusahaan bukan?

Ketahuilah banyak awak media yang sedang berkumpul di depan gedung sekarang. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa nyalinya menciut.

Meskipun penampilan Rasel saat ini tidak akan dikenali banyak orang sebenarnya.

Tak hanya itu, karena seharian kemarin dirinya mengabaikan semua pesan dan juga panggilan dari keluarga mertuanya, Marven, Jisya, Alaya, Jendra dan Jehan sehingga Rasel sedikit takut untuk berhadapan dengan suaminya itu.

Hampir tiga jam Rasel duduk disini. Dengan kaos putih tipis dan lengan pendek, topi hitam serta masker yang menutupi wajahnya. Rasel merasa dengan penampilan ini tidak akan ada banyak org yang mengenalinya.

Namun nyatanya dugaan Rasel salah. Dari detik ia menginjak kaki depan kantor, penjaga keamnan yang berdiri di dekat pintu masuk malah menyam butnya bahkan menyapanya dengan baik.

"Selamat sore, Bu Rasel.."

Wah saat itu juga Rasel mengurungkan niat untuk masuk ke dalam gedung. Untungnya sapaan para penjaga pintu masuk itu dengan suara yang kecil sehingga awak media yang sangat setia menggu tidak menyadari keberadaannya.

Alhasil Rasel mengirimkan pesan kepada Jehan untuk memberitahunya bahwa ia menunggu pria itu di depan gedung, tetapi tidak ada balasan apa pun sampai detik ini.

Oh iya. Rasel sedikit melupakan surat gugatan cerai yang ia buat kemarin di pengadilan negeri. Entah apa yang membuatnya berpikir seperti itu namun yang jelas rasa bersalah di benak Rasel kian semakin membesar setelah beredarnya berita ini.

Seharusnya surat gugatan tersebut sudah berada di tangan Jehan bukan? Alasan Rasel mendatangi kantor Jehan adalah dia ingin membahas tentang hal tersebut.

Seketika Rasel berpikir bahwa cerai merupakan cara yang benar untuk menghentikan ini semua.

Helaan nafas panjang keluar dari hidung mancung Rasel saat wanita itu tidak melihat satupun notifikasi apapun yang menunjukkan balasan dari Jehan.

Decakan kesal pun keluar dari mulutnya sehingga pada akhirnya Rasel memutuskan untuk masuk ke dalam gedung meskipun dirinya belum tau bagaimana caranya menghindari para reporter yang berkumpul disana.

Rasel berusaha keras untuk tidak menunjukkan lagak yang menarik perhatian awak media yang kini sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ia menundukkan wajahnya dan sedikit menurunkan topinya.

Tepat di depan pintu masuk, anehnya dua penjaga disitu tidak menarik perhatian sekitar. Keduanya hanya menunjukkan senyum ramah dan memberinya akses masuk sehingga Rasel tidak perlu mengeluarkan kartu akses masuknya.

Indra pendengaran Rasel menangkap sedikit keramaian dari belakangnya. Ia memalingkan kepalanya untuk melirik situasi awak media di belakang sana sekaligus memastikan tak ada yang mengenalinya.

"Tidak perlu khawatir, kami akan melindungi Ibu dari para wartawan itu" ucap salah satu dari mereka dengan suara yang sangat kecil.

Tanpa berlama-lama lagi Rasel masuk ke dalam gedung. Alangkah terkejutnya wanita itu saat melihat suaminya berjalan berlawanan arah dengan ekspresi wajahnya yang tidak terlihat bagus, membuat jantung Rasel berdegup kencang.

Keduanya sama-sama menghentikan langkah dan mata mereka pun saling bertemu.

"J-jehan.."

Rasel menggigit bibir bawahnya dibalik masker sambil mencengkram celananya saat dirinya bertatapan dengan Jehan. Ia menatap pria itu dengan tatapan rindu.

Setelah satu hari penuh tidak bertemu, Rasel ingin memeluknya detik ini juga tetapi ia menahannya karena mengingat tempat. Sungguh, Rasel merindukannya dengan sangat.

Namun anehnya lelaki itu tampak biasa saja. Tidak ada sorot senang atau rindu yang terpancar di kedua mata tajamnya melainkan tatapan dingin yang Rasel dapatkan sekarang. Rasel pernah melihat tatapan semacam ini sebelumnya.

Yang lebih mengejutkannya lagi adalah ketika suaminya itu malah melenggang pergi tanpa mengucapkan sepatah kata.

"Je, tunggu"

Rasel tidak akan diam melihat suaminya yang pergi begitu saja. Ia mengikuti langkah pria itu sambil tak berhenti memanggil namanya. "Je--"

"Jehan, tunggu!" Rasel menahannya dengan berdiri tepat di hadapan Jehan. "Lo kenapa sih?!"

"Lo yang kenapa?" tukas Jehan langsung yang berhasil membuat Rasel tersentak.

"Ngapain kesini?" tanya pria itu tak berintonasi dan tanpa memalingkan pandangannya yang lurus ke depan.

"L-lo minta gue pulang kan?"

Jehan berdecih, "Itu sebelum gue nerima kiriman surat gugatan lo"

"Je.."

"Buat apa lo pulang kalo kepulangan lo cuma mau bahas gugatan itu?"

"Ngga perlu repot-repot dateng kesini, Sel. Gue bakal tanda tangan surat itu kok. Itu kan yang lo mau?" ucap Jehan.

Pria itu sedikit menundukkan kepalanya untuk menatap Rasel dan tatapan itu merupakan satu hal yang Rasel tidak sukai dari suaminya. Rasel memilih untuk tidak bertatapan sekalian daripada dirinya ditatap datar seperti ini.

Apakah lelaki itu marah karena kiriman suratnya?

Ayolah. Beberapa hari yang lalu mereka baru saja mengutarakan perasaannya masing-masing tapi hari ini mereka malah dihadapi satu permasalaha lagi seperti ini.

Sayangnya mereka berdua belum cukup berpengalaman untuk mengatasi situasi perseteruan antara pasangan sehingga keduanya masih bergerumul dengan egonya masing-masing.

"Bukan itu, Jehan--" elak Rasel lembut namun suaranya sedikit bergetar menandakan wanita itu sedang menahan diri untuk tidak menangis.

"Gue ada urusan penting, jadi minggir" ujar Jehan. Dia sengaja menyela karena tidak mau melanjutkan percakap an ini.

Mata Rasel memanas dan hatinya sakit sekali mendengar suaminya begini. Cairan bening sudah yang berkumpul di pelupuk matanya pun menetes sesaat Jehan benar-benar pergi dari pandangannya.

Melihat respon tak terduga seperti ini, seketika membuat Rasel melupakan alasan utama dia datang ke kantor Jehan dengan keberaniannya.

"Gue bingung sekaligus takut, Je.." lirih Rasel mulai terisak. Ia tak memedulikan keadaan sekitar yang memandanginya dengan berbagai macam tatapan.

Perbincangannya dengan Jehan tadi sepertinya menjadi pusat perhatian para karyawan kantor.

Rasel menyeka air matanya lalu meninggalkan tempat dari pintu samping gedung ini. Rasel tau kok banyak dari mereka menggunjingnya karena itu dia tidak mau malah menambah perhatian orang-orang.

Diluar hujan deras namun Rasel tidak peduli, dia berjalan menerobos hujan tanpa payung ataupun jaket. Menurut pepatah, menangis di tengah hujan merupakan waktu yang tepat untuk meluapkan sekaligus menenangkan hati.

Mungkin Rasel akan memanfaatkan itu sekarang. Tak peduli jika tubuhnya basah atau orang-orang memusatkan perhatian kepadanya, yang penting dia ingin menjernihkan hati dan juga pikirannya.

'Ngga perlu repot-repot dateng kesini, gue bakal tanda tangan surat itu kok. Itu kan yang lo mau?'

"Ish, bego! Lo ngapain gugat cerai coba, Sel?!" Rasel memukul kepalanya sendiri. Mengutuki dirinya karena membuat gugatan cerai dengan sebegitu mudah tanpa berpikir panjang.

Bukankah dirinya yang menangis tersedu-sedu karena tak sengaja mendengar Jehan berencana untuk menceraikannya?

Bukankah dirinya yang menolak keras rencana perceraian Jehan?

Bukankah kemarin-kemarin dirinya yang meminta Jehan untuk tetap disisinya?

Rasel berhenti melangkah ketika menyadari betapa bodohnya keputusan yang dirinya ambil kemarin. Tangisannya pun kembali pecah, ia sangat menyesali keputusan tidak jernihnya tersebut.

Kalian pikir Rasel mau bercerai disaat perasaannya kepada Jehan mulai tumbuh?

Bisakah Rasel memutar ulang waktu? Jika bisa, ia tidak akan mendatangi pengadilan negeri ataupun menghindar seperti seharian kemarin.

"Jehan belum tanda tangan gugatannya kan? Iya pasti belum," cemoohnya dengan pikiran positif bahwa suaminya belum menandatangani surat gugatan yang dia kirim.

Rasel merogoh ponselnya dari saku celana. Wanita itu berencana menelfon Jehan untuk meminta suaminya itu tidak memberi tanda tangannya pada surat gugatan yang ia buat ketikaa pikirannya tidak jernih.

Baik. Rasel mengakui tindakannya pergi ke pengadilan negeri merupakan tindakan yang ceroboh. Tapi sialnya, ponselnya mati total sehingga Rasel pun pasrah apabila mereka sungguh bercerai nantinya.

"Lo orang paling bego sih, Sel. Lo yang nolak cerai tapi lo juga yang gugat--" Rasel sungguh mengutuk dirinya sendiri karena telah bertindak bodoh. "Sekarang liat? Lo lagi yang nyesel,"

"Jehan.." rengeknya sambil menangis. Wanita itu tidak peduli dengan kondisi tubuhnya yang sudah basah kuyup akibat guyuran hujan deras.

Rasel berjongkok di tengah-tengah jalan trotoar dimana banyak orang yang berlalu lalang disitu. Ia menumpahkan tangisannya sambil memeluk lekukan lututnya. Penyesalannya yang ia rasakan begitu besar sekarang.

"Maaf.."

Bisa saja Rasel pulang ke rumah dan berbicara baik-baik namun dilihat dari respon suaminya td membuat Rasel menjadi tidak yakin.

Tanpa disadari, seseorang memperhatikannya dari jauh di dalam mobil. Tangan kekar orang itu mencengkram kuat stir mobilnya sementara otak nya bergulat dengan pikirannya sendiri.

"Kenapa harus hujan-hujanan sih, Sel?! Kalau lo sakit gimana?" decaknya kesal melihat Rasel betah dibawah guyuran hujan.

Dia memandangi tangannya, lebih tepatnya jari manisnya yang terpasang benda kecil melingkar berwarna silver disana. Momen dimana benda tersebut dipasangkan oleh wanita yang sedang berdiam dibawah guyuran hujan kembali terlintas

Orang itu adalah Jehan. Urusan penting yang dia maksud adalah menuturi istrinya dari belakang. Memang masih ada rasa kesal di benaknya tapi rasa khawatirnya terlalu tinggi untuk meninggalkan istrinya sendirian di penghujung malam begitu saja.

Dan kalian pikir dirinya akan menandatangani surat gugatan tersebut dengan mudah?

"Ck! Jago banget ya lo bikin gue khawatir--" decaknya lalu setelah itu menancap pedal gas untuk menghampiri istrinya disana.

Sementara Rasel kini sudah berpindah tempat menjadi berdiri di salah satu halte bus sambil menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah karena tangisan tadi.

Rasel tidak tau tujuannya kemana sekarang. Terlalu banyak beban di pikirannya sampai dia tidak bisa berpikir jernih. Ia memandangi aspal jalan dengan tatapan kosong. Kedua matanya tidak berhenti meneteskan buliran bening.

"Ayah, bunda.." lirihnya dengan suara bergetar. Rasel tiba-tiba memikirkan ayah dan bundanya, ia sangat merindukan sosok kedua orang tuanya dan disaat yang seperti ini Rasel tidak memiliki sandaran selain Jehan.

Tapi dia sendiri yang meninggalkan satu-satunya sandaran yang dia punya.

Sampai Rasel merasakan sorotan lampu terang ke arahnya, ia mengangkat kepalanya perlahan lalu dahinya mengerut heran ketika Rasel melihat bukan bus yang datang melainkan sebuah mobil sedan mewah dengan plat nomor yang familiar di matanya.

Tak lama kemudian orang yang di dalam mobil tersebut keluar dan berjalan dengan angkuhnya sambil melepaskan jas hitamnya. Rasel pun sontak membeku setelah ia menyadari siapa orang tersebut.

"Jehan?" gumam Rasel tertahan karena terlalu kaget melihat suaminya datang.

Rasel menatapinya dengan tatapan heran serta kaget. Mata coklatnya pun bertemu dengan mata tajam Jehan yang sedang berjalan mengarah ke posisi ia berdiri.

Pria itu tidak tau sebesar apa keinginan Rasel untuk memeluknya erat.

Ketika jarak mereka hanya tersisa dua langkah saja, Jehan memasangkan jas hitamnya ke tubuh Rasel yang entah sejak kapan sudah mulai menggigil kedingingan. Hal tersebut malah semakin nembuat tubuh Rasel membeku, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Jehan menarik pergelangan tangan Rasel secara paksa menuju mobil tanpa mengucapkan apapun sebelumnya sedangkan Rasel hanya mengikutinya karena wanita itu masih belum bisa mencerna ini semua.

Di dalam mobil pun Rasel masih diam mematung dan mencuri-curi pandang ke arah Jehan yang sedang mengambil sesuatu dari jok belakang. Wajah pria itu masih sama dingin dan tidak berekspresi sehingga sedikit mengintimidasi Rasel disitu.

Jehan mematikan AC mobil lalu memasangkan jaketnya yang ada di mobil ini ke tubuh Rasel. Pria itu merasa hanya jas saja tidak akan cukup untuk menghangatkan badan yang terbalut baju basah kuyup seperti yang istrinya kenakan ini.

Setelah memakaikan dua lapis luaran, jaket dan jas miliknya, Jehan mengambil sapu tangan yang selalu pria itu simpan untuk menjadikannya alat mengeringkan rambut basah Rasel.

Hingga detik ini Rasel masih tidak bergeming. Ia dibuat tak bisa mengeluarkan suaranya karena perlakuan Jehan. Lihat saja sekarang bagaimana suaminya itu memakai sapu tangan layaknya handuk untuk mengeringkan rambutnya yang basah sembari merapihkannya perlahan.

Belum ada perbincangan apapun diantara kedua insan ini. Hanya suara guyuran hujan menemani mereka berdua. Yang satu fokus mengeringkan rambut sedangkan yang satunya lagi sedang mengumpulkan keberaniannya untuk mengajak pria itu berbicara.

Rasel tidak memutuskan tatapannya dari Jehan meskipun lelaki itu belum menggubrisnya sama sekali. Mata coklatnya bergerak setia mengikuti setiap pergerakan Jehan.

Namun dibalik keterkejutannya Rasel tersenyum manis nan tulus. Di dalam hatinya pun Rasel bersorak kegirangan karena disituasi ini Jehan masih bersikap peduli walaupun pria itu sedang marah kepadanya.

"Masih marah? Tadi katanya ada urusan penting," Rasel berucap setelah mengumpulkan keberaniannya.

"Jehan, ngomong ih--" Rasel merengek sambil mengetuk-ngetuk lengan kekarnya, berharap pria itu membalas omongannya.

"L-lo marah banget ya?" Pertanyaan Rasel ini tidak dijawab sepatah katapun. Namun Jehan tetap berupaya mengeringkan rambutnya.

Jehan benar-benar tidak mengeluarkan suaranya, raut wajahnya pun masih datar dan enggan untuk bertatapan dengan Rasel. Hal ini membuat mata Rasel kembali memanas.

"Jehan,"

"Udahan dong marahnya..." ucap Rasel dengan suara bergetar. Dengan begini dirinya berharap sang suami luluh dan mengatakan sesuatu.

Namun nyatanya Jehan tetap diam. Pria itu sama sekali tidak merespon Rasel yang sudah berkata banyak. Meski begitu Jehan tetap bersikap peduli dengan memakaikan seatbelt kepada Rasel lalu setelah itu dia melajukan mobilnya.

Benar-benar tidak mengeluarkan suara, apakah Jehan semarah itu?

-

Setelah saling mendiam selama perjalanan, akhirnya sampai di rumah mereka dan Rasel punmenghela lega karena dia bisa menjauh dulu dari Jehan. Perlakuan diam lelaki itu sungguh menyiksanya.

Rasel langsung berjalan cepat sesudah melewati pintu masuk. Perang dingin bersama Jehan ckup membuatnya tekanan batin dan kesabarannya hampir habis. Dari pada dirinya kelepasan lebih baik Rasel menenangkan diri di dalam kamar.

"Ganti bajunya biar ngga masuk angin terus langsung istirahat." sahut Jehan yang berhasil menghentikan langkah Rasel sejenak.

Mendengar suara berat Jehan yang tidak berintonasi itu justru membuat Rasel berbinar, "Udah ngga marah nih?"

Lagi-lagi Jehan mengabaikannya. Pria itu tidak membalas apapun dan melewatinya begitu saja sehingga raut wajah Rasel pun kembali berubah cemberut.

Hembusan nafas keluar dari hidung Rasel, lalu ia melanjutkan langkahnya menuju kamar di lantai atas tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Namun ia berencana menuruti perkataan suaminya.

Rasel menyerah.

Udara di jam setengah sepuluh malam ini terasa semakin dingin sehingga Rasel pun tidak nyaman memakai baju basah kuyup akibat air hujan.

Sedangkan Jehan memperhatikan Rasel dengan tatapan yang sangat lekat mengikuti setiap gerakan istrinya yang tengah menaiki anak tangga satu per satu.

"Mbu Lami!" panggilnya setelah memastikan Rasel masuk ke dalam kamar.

"Ada apa, Tuan?"

"Tolong bikin teh hangat terus bawa ke kamar aku ya, Mbu. Rasel kehujanan jadi perlu yang hangat-hangat biar dia ngga kedinginan" ucap Jehan sambil membuka kulkas untuk mengambil beberapa bahan masakan.

"Rasel? Nyonya udah pulang?!" seru Mbu Lami kegirangan.

Jehan mengulas senyumnya mendengar asisten rumah tangga yang sudah ia anggap sebagai ibu keduanya itu berseru senang. Dirinya tau persis seberapa besar rasa sayang Mbu Lami kepada Rasel sehingga kabar kepulangan Rasel saja sangat berarti baginya.

"Udah. Tapi aku nyuruh dia langsung istirahat di kamar" jawab Jehan sembari mamakai celemek, membuat Mbu Lami menatapinya heran.

"Tuan belum makan malam? Biar Mbu yang masak--"

"Bukan buat aku, Mbu" elak Jehan dan menolak tawaran Mbu Lami untuk menggantikannya yang berencana memasak sup ayam.

"Buat Nyonya ya?" Mbu Lami tersenyum hangat melihat Jehan yang tengah fokus mulai mengolah bahan-bahan masakan.

Taukah apa yang membuat Mbu Lami memiliki rasa sayang yang begitu besar kepada Rasel? Karena kedatangan Rasel benar-benar memberikan perubahan yang signifikan untuk kehidupan Jehan.

Bertahun-tahun melayani Jehan, ia mengaku tidak pernah melihat Tuannya tersenyum sesering sekarang Mbu Lami juga tidak pernah merasakan Jehan di penuhi kehangatan begini.

to be continued~~

jadi kalian marah ke Jehan yang silent treatment begitu apa ke Rasel yang tbtb gugat cerai?

Gue bisa bilang cerita ini masih cukup panjang yaa, jadi kalau kalian kepo sama endingnya bakal gimana ya you never know ajaa wkwkwk

Di part segini gue masih bisa ngubah yang awalnya happy ending jadi sad ending atau sebaliknya ehehehe, kalian maunya gimana?🌚

Ok let me know, kesan kalian terhadap cerita ini. Simple tapi hal yang ky gini tuh bener-bener bikin gue makin semangat buat ngelanjutnya tauu:))




yg suka dunia pershipperan pasti tau dong kemarin lagi rame tentang rumor apaa wkwkwkw

meskipun rumornya dari sasaeng ya tp mohon maaf saya tetap di kapal ini🙏🏻 karena jeros kapal tahta tertinggi buat gue jadi no oleng-oleng club!

see u di part selanjutnya, muav!🤍

Continue Reading

You'll Also Like

207K 4.8K 19
Warn: boypussy frontal words 18+ "Mau kuajari caranya masturbasi?"
90.8K 9.1K 37
FIKSI
158K 11.8K 86
AREA DILUAR ASTEROID🔞🔞🔞 Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...
807K 59.2K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...