He's My Queen (VegasPete)

By biy_yourmamagula

411K 45.3K 3.1K

Antara melahirkan seorang putra mahkota atau mati, Pete Jakapan harus menentukan pilihannya secepat mungkin... More

Prolog
First Encounter
Who are you? (21+)
Part of Your Memories
Glimpse of Us That You Forgot
A Story Never told
Little Puppy
The Next Crown Prince of Hera
Keep It or Get Rid of It
Miss Me?
The One and Only Bride
Why Me?
Keep Your Distance
Don't You Dare!
A Traitor
You'll Always Need Me
Call My Name (21+)
First Terror
Vegas's Weakness
Forgive Me
Forbidden
Diary
I Miss You, Vegas
Betrayal
Why, Phi Arm?
Misunderstanding (18+)
Another Truth
A Young Man
Poison
Deep Talk
Father's Secret
I'm Hungry
The Coronation
Maledictus
Sad Little Boy
The Unwanted Grandchild
The Day I Left You Alone
Broken Glass
The Beginning
A Tale of Two Best Friends
New Alliance
Pieces of Soul
Pieces of Soul II
Roses of War
The Upcoming Storm
Revenge
Your Majesty, Vegas del Hera
After The Storm
Venice's Little Secret
Del Hera's Crown Prince, Venice
About New Story

Vegas vs Venice

5.7K 741 148
By biy_yourmamagula

"Aku menyerah! aku mau pulang! lihatlah, kantung mataku sudah memiliki kantung mata lain yang juga berkantung!"

Entah sudah berapa kali keluhan dengan orientasi serupa itu memekak telinga Anakinn hingga ia dapat memprediksi beberapa saat sebelum keluhan berikutnya diperdengarkan. Jangan heran dan memiliki pemikiran bercabang, sudah pasti asal-muasalnya adalah si bungsu yang sudah menyandang gelar Marquess.

"Kimhan, ayolah. Aku tahu kau lelah, aku juga. Tapi apa kau akan membiarkanku dimarahi oleh Vegas di rapat mingguan besok? aku juga tak ingin proyek ini diambil alih Viscount Dollores, kau tahu sendiri bagaimana serakahnya pria tua itu." Helaan nafas panjang mengiringi pandangan Anakinn ke arah tumpukan dokumen yang membuat pening seisi kepalanya.

"Tapi ini bukan pekerjaanku! sekarang sudah lewat tengah malam! sudah dua hari pula aku tak pulang demi membantumu. Jangan sampai Chay mengirimkan surat cerai dan aku menjadi duda di usia semuda ini." Kimhan menyandarkan punggungnya yang terasa pegal ke arah kursi dengan bantal empuk berukuran besar di atasnya. Ia tak berbicara omong kosong. Sejak saat kehamilan Porsche terjadi, fokus dan kepribadian Anakinn total berubah menuju arah berlawanan. Bila harus dikatakan, Anakinn memang cukup kerepotan dalam membagi waktu  untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang suami bagi Porsche sekaligus Duke bagi kekaisaran yang tidak memiliki permaisuri. 

"Kali ini, memangnya Kak Porsche mengidam apa?"

"Memelihara kucing," timpal Anakinn.

Jawaban dari yang lebih tua tentu tak memuaskan yang lebih muda. Kucing? cukup minta salah satu pelayan untuk pergi ke pusat peradaban juga sudah pasti dapat, kenapa harus sampai menelantarkan ini dan itu? monolog Kimhan dalam hatinya. "Loh? itu kan gampang? tinggal beli satu di toko atau adopsi saja kucing yang berkeliar-"

"Kucing yang bersedia untuk mengerami telur ayam hingga menetas."

Senyum masam dan ujaran mendayu yang Anakinn utarakan secara sarkas sukses membungkam Kimhan dengan keterkejutan. Lagi-lagi, kakak iparnya itu, oh, ralat. Maksudnya, calon keponakannya itu meminta hal ajaib yang membuat sang ayah kelimpungan nyaris lenyap kewarasannya.

"H-haha, s-sabar. Anakmu kelak akan menjadi anak paling manis, penurut dan berbakti kepada orangtua setelah lahir ke dunia karena seluruh keinginannya dipenuhi dengan baik olehmu," ujar yang lebih muda untuk memberi penghiburan.

Mengesampingkan rasa lelah dan kantuk, Anakinn dan Kimhan kembali bergelut dengan tugas yang nyaris selesai untuk mereka kerjakan. Ada sedikit lega dalam kedua hati kakak-beradik itu setelah memperkirakan bahwa dokumen untuk rapat di esok hari sepertinya akan aman dan proyek pemugaran balai kota yang menjadi incaran pun tidak akan jatuh ke tangan fraksi bangsawan menyebalkan. Meski begitu, pupus sudah target capaian mereka setelah terdengar kehebohan dari arah luar ruangan.

Tok Tok Tok

"Anakinn, Jeff- eh, Kimhan!"

Tok Tok Tok

"Buka pintunya! ada situasi genting!"

Tok Tok Tok Tok Tok

Mengerti akan makna yang diberikan tatapan Anakinn, Kimhan bangkit dari duduk dan membuka pintu untuk mendapati seseorang yang sebelumnya sudah ada dalam tebakan benaknya. "Woah, kepala suku, bukankah kau dapat membenahi dirimu terlebih dahulu sebelum datang kemari? nampaknya kau baru saja melewati sesi panas bersama ibu suri dan ingin memamerkannya pada kami?" ujarnya dengan kekehan di akhir kalimat.

Chan tak menampik ucapan anak muda yang masih betah untuk memanggilnya sebagai 'Kepala Suku' itu. Mengingat bagaimana ia datang hanya dengan menggunakan pakaian tidur berbahan satin yang kerahnya terbuka hingga dada dan jejak percintaan yang menyebar di perpotongan lehernya, siapapun dapat menebak apa yang telah pria alpha itu lakukan beberapa waktu sebelumnya.

"Apakah sebentar lagi kami harus memanggilmu paman?" Anakinn berujar jahil dari dalam ruangannya.

Mencoba untuk kembali fokus terhadap tujuan awalnya, Chan menerobos masuk ke dalam ruangan dengan kepanikan yang terpancar jelas pada wajah tampannya. "Terserah, terserah kalian mau bicara apa dan menggodaku kapan saja, tapi jangan sekarang! kalian harus ikut denganku untuk menghadapi situasi tak masuk akal yang saat ini terjadi!" ujarnya.

Kimhan nampak belum juga jera. "Seperti apa? kau membutuhkan kawan diskusi untuk urusan ranjang? apa ibu suri menendangmu keluar karena kau kurang memuask- AWH! sakit! jangan tarik rambutku, aku bisa botak!" pekiknya seraya berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Chan.

Di tengah kekacauan yang terjadi, Anakinn bangkit dan mendapati bahwa ada eksistensi lain yang mengikuti keadaan Chan dan berjaga di hadapan ruangan saat ini. "Big? ada apa? kenapa kau membawa Phoenix kesini? apa terjadi penyerangan di istana?" tanyanya mendekat ke arah pintu.

Sanjung penghormatan pun diberikan oleh Big sebelum pria alpha itu kembali tegap untuk menatap si lawan bicara. "Mohon maaf kami mengganggu waktu anda, Tuan Anakinn. Tapi saat ini, sesuatu yang genting telah terjadi. Seorang ilmuwan dari akademi yang melakukan ekspedisi tanaman obat di hutan perbatasan tiba-tiba saja dikejutkan dengan adanya pancaran cahaya misterius yang menyilaukan pandangan layaknya mentari. Beberapa saat setelahnya, ia berjalan ke tengah hutan dan mendapati bahwa portal yang telah hilang selama bertahun-tahun kini kembali tersedia," ujarnya.

"Hah?! apa kau bilang?!" Kimhan melarikan dirinya dan mendorong Anakinn untuk berhadapan dengan Big. "Portal itu?! portal perbatasan?! sekarang ada lagi?! apakah bisa digunakan?! apakah benar-benar membawamu ke dunia manusia?!" tanyanya penuh semangat. Ingatlah bahwa alpha muda yang satu ini begitu akrab dengan dunia serba modern yang menyediakan fasilitas bermusik dengan begitu lengkapnya itu. Mendengar bagaimana portal untuk menuju kesana telah terbuka kembali, tentu saja tak ada perasaan lain selain girang yang melingkupi dirinya.

"Ilmuwan itu tidak berani untuk mencoba menyeberangi portal. Ia takut kalau portal itu akan membawanya ke tempat yang berbahaya. Pada akhirnya, ia merusuh dan memohon untuk dipertemukan dengan Paduka Kaisar." Chan berdiri di belakang Anakinn untuk menjawab pertanyaan Kimhan.

"Lalu Vegas ada dimana? dia pasti senang kalau mendengar kabar ini. Jangan bilang kalau dia sudah pergi menyeberangi portal dengan gegabah dan terjadi hal buruk padanya?" tebak Anakinn.

Chan menggeleng. "Aku sudah menghampiri kamar Paduka Kaisar sebelum datang kemari. Dia menghilang dan tidak ditemukan di bagian manapun dari istan-"

"LALU DIMANA SAUDARAKU?! BAGAIMANA KALAU DIA TELAH LEBIH DAHULU MENEMUKAN PORTAL ITU DAN MENYEBERANGINYA TANPA PERTIMBANGAN MATANG?! BAGAIMANA BILA MEMANG PORTAL ITU MEMBAWANYA KE SUATU TEMPAT YANG BERBAHAYA?! KALIAN SEMUA SEBENARNYA BEKERJA APA?! KENAPA TIDAK MENYADARI SAAT KAISAR PERGI MENYELINAP TANPA PENGAWALAN?!" Naik sudah emosi Anakinn hingga ke ubun-ubun kepalanya. Rasa khawatir dalam diri membuatnya dilanda sesak dan tak mampu bahkan untuk sekedar membayangkan bagaimana kemalangan lain harus ditimpakan pada sang saudara.

Kimhan mengulurkan tangan dan memberikan usapan pada punggung Anakinn. "Tenang, kak. Kita semua tahu bagaimana Paduka Kaisar selalu mengambil keputusan atas kehendaknya saja. Kita semua juga tahu bagaimana Paduka Kaisar mengetahui seluk-beluk celah yang dimiliki oleh istana untuk menyelinap keluar tanpa ketahuan." Beralih pandangannya menuju Big. "Apa rencana  kalian saat ini? mana yang akan kalian dahulukan? penyelidikan atas portal atau mencari Paduka Kaisar?" tanyanya kemudian.

Big tak langsung menjawab. Jujur, ia merasa bodoh karena buntu akal di saat mendesak seperti saat ini. Untuk pertama kali setelah baru saja gelar kehormatan dalam memimpin Phoenix diterimanya, ia sudah harus membuat keputusan tanpa komando dari Sang Kaisar yang menghilang. "Saya mohon maaf, tuan. Sebenarnya, saya memiliki dugaan bahwa menghilangnya Paduka Kaisar ada kaitannya dengan kemunculan kembali portal perbatasan. Untuk memastikan keduanya, tak ada pilihan selain melakukan penyeberangan," ujarnya.

"Anakinn, Phoenix memang bergerak atas perintah Big. Tapi, itu semua tidak akan terjadi tanpa persetujuan Paduka Kaisar. Mengingat bagaimana ada dirimu yang berkuasa setelah Paduka Kaisar, kau harus menentukan keputusan atas pergerakan yang dilakukan Phoenix saat ini."

Memahami ucapan Chan, Anakinn menarik nafas dalam-dalam untuk menetralkan amarahnya yang sempat meledak. "Lakukan penyeberangan. Aku, Kimhan dan Chan akan pergi bersamamu dan sekitar 20 Ksatria Phoenix untuk menyeberangi perbatasan. Bawa persenjataan lengkap dan gunakan baju zirah untuk melindungi diri. Kita persiapkan untuk kemungkinan terburuk dari tempat yang akan kita tuju," ujarnya pada Big.

*****

Beberapa raga mencanangkan harap untuk hal paling spektakuler yang nyaris mustahil dalam perwujudannya. Seorang pujangga cinta begitu congkak saat berujar mantap bahwa seisi langit telah sudi untuk tunduk dalam genggamannya bila memang itu yang diinginkan Sang Terkasih. Bagai pungguk merindukan bulan, setiap insan saling menyikut untuk mencipta bunga dalam tidurnya yang kemilau menyaingi emas. Meski begitu, Vegas hanya ingin satu pelukan untuk menukar dunia dan kebahagiaan yang dimilikinya.

"Pete, apa kabar?"

Satu pertanyaan yang telah lama tak memiliki tuan untuk diterima itu akhirnya terbebas dari belenggu Sang Kaisar. Lemas sekujur tubuhnya seakan kerangka tak lagi hadir untuk menopang tegak dan tumpuan kaki. Isi kepalanya begitu sunyi dan nalarnya berhenti untuk beberapa saat. Ingin sekali dirinya berlari menerjang bidadari yang begitu dirindunya dalam sebuah rengkuhan yang begitu erat. Namun, Vegas hanyalah seorang pengecut. Ia takut sosok di hadapannya lebur bersama angan yang ditiup angin dalam dunia imajinasi.

"V-Vegas.. kamu.. Vegas..ku?" Pria cantik yang kalah akan bendungan tangisnya itu mengabaikan fakta bahwa ia bertelanjang kaki dan mulai mencipta langkah demi mempersempit jarak dengan ayah dari anak semata wayangnya. Begitu kuat rindu menghantam dirinya, begitu lama pula penantian yang harus ia lalui untuk menyambut momentum ini.

"TIDAK! jangan, tolong.. jangan mendekat! aku mohon, Pete. Aku ingin melihatmu lebih lama. Diam disitu, sayang. Kalau kamu mendekat, aku takut mimpi indah ini usai." Vegas berjalan mundur. Begitu waspada dan perlahan, ia bahkan tak berani untuk mengedipkan kelopak matanya barang sedetik saja.

"Tapi, Vegas ini ak-"

"Pete, aku mohon diam!"

"JANGAN MEMBENTAK PAPA!"

Haru biru yang menyelimuti sepasang adam dalam balutan kerinduan itu seketika buyar setelah pria kecil yang semula mendekap erat bingkisan sosis bakar kini beralih merentangkan kedua tangan dan berdiri tegap sebagai tameng untuk melindungi Pete. "Jangan berani-berani meninggikan suara paman pada papa! Vee tidak suka! papa tidak boleh disakiti! papa juga tidak boleh dibuat menangis!" Merah pada kedua iris matanya menyerupai darah yang persis seperti milik Vegas. Tatapannya tajam dan udara semakin sesak dalam pengaruh feromon yang ditebarkannya layaknya seekor serigala kecil di zona perburuan. Begitu kentara untuk menyadarkan Vegas akan realita yang tersaji di hadapannya.

"Vee? Ve..Venice? namamu, Venice.. nak?" Sebut saja Vegas mendadak mengalami penurunan kepintaran. Begitu jelas nama anak itu dipanggil beberapa saat sebelumnya, masih saja ia mengajukan pertanyaan yang sudah memiliki jawaban.

"Iya. Namaku Venice, kenapa? paman iri? namaku bagus, kan?" Venice masih mempertahankan sinis dalam nada bicaranya.

Secepat kilat Vegas mengalihkan pandangannya ke arah Pete. Begitu kasar ia menggosok kedua mata berairnya hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang nyata terjadi. Keluarganya, harta dunia miliknya, benar-benar telah dikembalikan Dewi Bulan untuk berkumpul dalam akhir cerita indah. "Jangan bilang ini mimpi, tolong. Saat aku bangun, aku tidak akan sanggup menghadapi rasa sakitnya. Aku benar-benar bisa gila bila itu terjadi" lirihnya dalam gumam.

"Tidak, Vegas. Kamu tidak bermimpi. Jadi.. kemarilah, hm?" Pete merentangkan kedua tangannya sebagai isyarat pengharapan atas sebuah pelukan. Tangisnya semakin deras. Meski tubuhnya cukup menggigil karena ia hanya menggunakan jubah mandi, tapi hatinya begitu hangat dikuasai kebahagiaan.

Satu langkah,

Dua langkah,

Tiga langkah.

Hanya butuh satu langkah lagi sebelum Vegas menggapai sang pengantin. Sayang beribu sayang, Venice telah lebih dulu menahan tubuhnya dan memberikan sebuah dorongan yang cukup kuat sebagai bentuk penolakan. "Jangan mendekat! paman jahat sudah membuat papa menangis!" protesnya.

"Vee, sayang. Tidak boleh seperti itu. Paman ini adalah-"

"Pete, tak apa." Vegas tersenyum lalu berlutut di hadapan Venice hingga keduanya berhadapan dan saling menatap dalam tingkatan sejajar. "Maaf, ya. Paman tidak bermaksud membuat papa kesayangan Vee menangis. Tapi paman bukan orang jahat, paman rindu sekali pada papa dan ingin memeluknya. Paman juga rindu sekali pada Vee dan ingin memeluk Vee kalau diizinkan," ujarnya penuh kelembutan. Tak henti-henti dirinya merasa kagum atas kemiripan diantara mereka berdua. Ia bahkan tak menemukan satupun ciri khas dari Pete dalam diri anaknya itu.

"Tapi Vee tidak mau. Vee bahkan selalu menjadi anak baik agar papa tidak sedih dan menangis. Kenapa paman tiba-tiba datang dan menghancurkan apa yang sudah Vee jaga?"

"Vee. Jangan bicara begitu, sayang." Pete mengusap surai hitam anaknya untuk menenangkan alpha cilik itu.

Kontras dengan kekhawatiran Pete, Vegas mengangguk lalu meneduhkan senyumannya. "Baik. Lalu, agar Vee memberikan izin dan memaafkan paman, Vee ingin apa, nak?" tanyanya.

Venice memutar tubuh dan menoleh ke arah Pete dengan tatapan yang sulit diartikan sebelum akhirnya kembali memasang ekspresi serius saat menghadap Vegas. "Ayo bicara dengan Vee. Vee ingin paman menjawab beberapa pertanyaan yang Vee ajukan sebelum akhirnya Vee pertimbangkan untuk memaafkan paman atau tidak."

*****

"Oh, Tuhan-ku. Cucuku yang malang!" Wanita setengah baya yang nampak cantik dalam balutan mantel berwarna maroon pun memekik cukup keras dan memancing perhatian eksistensi lain yang menemaninya dalam mobil.

"Ada apa, bibi? Vee kenapa?! apa Vee terluka? Valian! lebih cepat mengemudinya!"

"Hah?! Vee terluka?! dimana?! kenapa? Pete membawanya ke rumah sakit mana?! Malvin, tolong hubungi Pete alamat rumah sakitnya, kita langsung menuju kesana saja!"

Malvin tak banyak bertanya. Pria tua itu langsung membuat panggilan pada Pete dengan debaran dalam dadanya karena rasa khawatir pada tuan muda yang begitu ia sayangi layaknya cucu kandung.

"Sayang, Vee kenapa?" Loyd, ayah dari Pete sekaligus suami dari wanita bernama Eli yang beberapa saat mengujarkan kalimat ambigu itu bertanya dengan kepala dingin.

"O-oh, yaampun. Tenang, semua. Vee tidak apa-apa. Tadi pagi saat kita masih di pesawat sepertinya Pete mengirimkan pesan. Lihatlah-" Eli membalik layar ponselnya untuk memamerkan foto menggemaskan sang cucu. "Vee bilang dia sangat merindukan kita. Kasihan sekali, apa Vee masih menunggu di teras rumah? Ah, oma juga merindukanmu sayangku," ujarnya dengan nada sendu.

Mendengar klarifikasi yang diutarakan Eli, semua orang kembali dapat bernafas lega dan melanjutkan perjalanan tanpa gelisah. Venice bagai jantung hati bagi mereka semua. Tingkah manis dan menggemaskan yang dikolaborasikan dengan kedewasaan dalam dirinya tak pernah gagal untuk menghangatkan suasana. Bahkan, satu minggu berpisah demi perjalanan bisnis ke luar negeri pun terasa berat bagi mereka semua untuk lalui tanpa kehadiran Venice.

"Lain kali jangan mengucapkan kalimat yang tidak lengkap, sayang. Lihat Malvin sampai pucat seperti itu," ujar Loyd.

Eli yang merasa bersalah pun menatap ke arah Malvin dengan tatapan menyesal. "Maaf ya, Malvin. Aku benar-benar tidak bermaksud," ujarnya.

"Tak apa, nyonya. Saya bersyukur bila tak ada hal buruk yang menimpa tuan muda," timpalnya.

Valian yang kembali fokus menyetir pun menoleh ke arah kursi penumpang. "Tidak terasa, ya? Vee sudah tumbuh besar dalam sekejap. Anak itu semakin mirip dengan Paduka Kaisar dan menduplikasi segala hal yang ada dalam diri beliau," sebuah kekehan mengikuti akhir kalimatnya.

Velron yang duduk di bangku paling belakang pun mengangguk heboh. "Benar! feromon mereka berdua bahkan sama-sama menyeramkan. Venice memang manis, tapi hal itu akan musnah ketika amarahnya meledak."

*****

Kesan vintage yang berusaha dibangun oleh pemilik rumah nampak cukup hidup melalui eksistensi dari ruang bersantai di dalamnya. Perpaduan antara kayu, batu dan kaca digunakan nampak begitu serasi dengan penerangan yang dibuat benderang namun tetap terasa hangat. Meski dihias dengan asri oleh tanaman hias, entah mengapa, saat ini suasana yang dibangun di dalamnya lebih lekat menjelma sendat yang cukup membuat sesak. Mungkin karena ventilasi udara sengaja ditutup rapat, mungkin juga karena kehadiran dari seorang pria alpha yang duduk di atas sebuah kursi hitam menghadap sofa yang dihuni oleh seorang alpha cilik yang bersiap untuk memberondongnya dengan beberapa pertanyaan serius.

"Mau apa paman berkunjung ke rumahku?"

Tenang, anakmu begitu pintar dan ingin memastikan keadaan semaksimal mungkin, kau harus memberikan jawaban terbaik, pikir Vegas sebelum membuka suara. "Tadi paman sudah memberitahu Vee, kan? paman bertemu dengan Ta di jalan lalu Ta meminta bantuan paman untuk menghantarkan bingkisan sosis bakar yang dibuat oleh papi dan mami-nya untuk Vee," jawabnya.

"Darimana paman kenal Ta?"

Vegas terdiam untuk beberapa saat. Haruskah aku memberitahunya siapa Ta? akankah anakku menganggapku gila jika aku katakan kalau teman mainnya itu merupakan paman kandungnya yang terlahir kembali? pikirnya sebelum menggelengkan kepalanya dengan perlahan. "Hm.. paman kenal dengan papi dan mami-nya Ta. Jadi ya begitu, paman pun mengenal Ta," ujarnya berbohong.

Venice merubah tatapannya dari kesan waspada menjadi curiga. Satu alisnya menukik ke arah atas dan kedua matanya menyipit terlihat menggemaskan."Baiklah, Vee percaya. Besok akan Vee tanyakan pada Ta secara langsung," ujarnya memancing keringat dingin di sekujur tubuh Vegas saat memikirkan bagaimana ia akan semakin dicurigai oleh sang anak setelah ketahuan.

"Kenapa pakaian paman aneh? paman terlihat seperti pemain teater yang berperan sebagai raja di festival."

Vegas melirik ke arah tubuhnya sendiri. Benar saja, ia masih menggunakan pakaian yang ia pilih untuk menghadiri pesta perayaan dari kemenangan Phoenix. Meski ia sudah menanggalkan jubah agung miliknya, tetap saja akan terlihat aneh bagi penghuni dunia modern seperti Venice yang belum pernah sekalipun menapak kehadiran di Kekaisaran Hera. "Oh, ini? hm.. i-iya. Paman pandai sekali bermain peran sebagai seorang raja. Kalau paman tampil, Vee harus menonton, ya?" ujarnya berbohong, lagi.

Pete yang berdiri di samping sofa tempat duduk Venice pun menatap iba ke arah Vegas. Ia tahu betul bahwa pria alpha itu sudah mulai kewalahan menghadapi pertanyaan anak mereka. Ya meskipun, harusnya ia begitu maklum. Semua yang ada dalam diri Venice kan menjiplak elok dirinya dari segi manapun.

"Sesi terakhir, Vee akan mengajukan beberapa pertanyaan. Vee harap, paman ataupun papa tidak memotong ucapan Vee." Pandangan Venice yang semula tak terputus lurus ke arah Vegas pun dialihkan menuju pintu kaca yang ada di samping kanan dirinya. Tanpa jawaban dan protes, dua adam yang menjadi orangtua pun mengangguk mantap sebagai respon yang diberikannya.

"Pertanyaan ke-1, kenapa papa-ku menangis setelah melihat paman?"

"Pertanyaan ke-2, apa paman pernah menyakiti hati papa?"

Baru sampai pertanyaan kedua, nafas Vegas sudah tercekat habis seakan air mengisi penuh setiap relung dalam dada miliknya.

"Senyum papa begitu cantik. Vee selalu berusaha keras agar papa tetap tersenyum dan merasakan kebahagiaan. Vee ingin cepat dewasa dan bertambah kuat untuk melindungi papa dari berbagai macam hal jahat yang menyakiti papa. Bahkan, setitik debu yang akan membuat papa menangis pun akan Vee musnahkan." Kembali tatapan Venice mengarah ke arah Vegas dan sukses untuk memberikan cambuk pada seluruh dirinya setelah mendapati bagaimana kedua netra tanpa dosa itu berusaha kuat membendung hujan. "Vee selalu berusaha untuk menjadi anak baik yang menghangatkan hati papa. Meski papa tidak pernah menuntut apapun pada Vee, tapi Vee benar-benar menyayangi papa dengan segala hal yang Vee miliki. Tapi kenapa? kenapa paman begitu mudah untuk menghancurkan segala hal yang Vee pertahankan? kenapa paman tiba-tiba hadir dan membuat papa menangis dengan begitu mudah?"

"Vee..?" Pete berujar lirih meredam tangisnya yang kian menderas pasca mendengar penuturan penuh luka yang anaknya sampaikan. Anak seceria dan sedewasa Venice nyatanya memiliki ambisi dan rasa sakit yang begitu besar hanya karena kesedihan yang melanda dirinya.

"Pertanyaan ke-3." Beranjak turun dari sofa, Venice berjalan lamban ke arah Vegas yang nampak rapuh dan begitu hancur. Sempat terbesit dalam benak Vegas bahwa mungkin buah hatinya ingin melampiaskan amarah atau menyudutkannya dengan lebih intens. Meskipun, dugaan itu dipatahkan begitu saja setelah tubuhnya direngkuh begitu erat oleh sebuah perawakan kecil yang terasa bergetar dalam tangis yang membasahi perpotongan lehernya. 

"Ayah.. kemana saja selama ini? apa.. ayah tahu kalau Vee rindu sekali pada..ayah?"

Sukma milik Vegas bergegas pergi meninggalkan raga tuannya. Dunia mungkin menjeda perputarannya untuk beberapa saat. Semilir angin yang menggesek daun-daun kering pun nampak hilang memudarkan diri. Venice-nya, janin kuat yang memeluk Pete begitu erat di setiap cobaan hidupnya, bayi yang lahir tanpa dampingan dirinya, juga anak yang begitu didamba dan dirindunya, memanggil dirinya dengan sebutan ayah dalam sebuah pelukan yang sedari tadi ia butuhkan.

"Vee.. Vee panggil apa tadi, nak?"

Melepaskan pelukannya dari sang ayah, Venice menyajikan wajah sembabnya yang masih sibuk untuk meredakan isak tangis. "Ve.. hiks.. Vegas del Hera. A-ayah.. ayahnya Ve.. hiks.. Venice.. del Her-"

Tak membiarkan Venice melanjutkan ucapannya, Vegas menarik sang buah hati dalam pelukan erat sebelum akhirnya ia menggendongnya dan berlari ke arah Pete yang sudah siap untuk menyambut dirinya. "Permata hatiku, jiwa ragaku, terima kasih. Terima kasih sudah begitu kuat untuk bertahan." Lirih ucapannya diiringi kecup yang ia bubuhkan pada masing-masing pucuk kepala keluarga kecilnya. Tak henti hatinya berucap syukur pada keajaiban yang Dewi Bulan hadiahkan padanya setelah badai yang begitu dahsyat. Mulai saat ini, detik ini, dirinya akan mendedikasikan diri sebagai sandaran paling kokoh bagi Pete dan juga Venice.

"Lama sekali! aku kira kamu mati di medan perang!" Pete melepaskan pelukan Vegas dan memukul lengan si pria alpha dalam tangisan yang kian menderu semakin keras. "Harusnya kamu tetap menjadi penguntit yang suka menerobos masuk ke dalam kamarku saja! menjadi seseorang yang menghilang bertahun-tahun tidak cocok untukmu!" omelnya.

Vegas membiarkan Pete untuk meluapkan kekesalannya. Ia justru tertawa untuk memperhatikan bagaimana wajah cantik pengantinnya itu nampak semakin menggemaskan dengan bibir yang mengerucut seakan memanggil untuk dihadiahi sebuah kecupan dan lumatan mesra. Beruntung, Pete sudah tak lagi menggunakan jubah mandi saja untuk membalut tubuhnya.

"Papa~ stop. jangan pukul-pukul ayah, kasihan nanti tangan ayah bengkak dan besar seperti Popeye tapi cuman sebelah." 

Ujaran polos Venice menghentikan Pete yang beralih berpura-pura sedih untuk menjahili sang putra. "Yaampun, belum ada satu hari ayah pulang, papa sudah kamu singkirkan. Jadi begini? cinta Venice pada papa hanya sampai sini? huhu, papa sedih, papa ingin menangis lagi~"

Di luar perkiraan Vegas yang semula menyangka Venice akan panik dan melepaskan diri dari gendongannya, anak manis itu justru menatap Vegas dan berbicara melalui telepati agar mereka berdua secara kompak menangani drama yang dilakukan sang papa. Entahlah mereka melakukannya bagaimana, tiba-tiba saja alpha dalam diri keduanya terkoneksi dan saling berkomunikasi tanpa halangan apapun.

"Ayah yang kanan, Vee yang kiri, okay?"

"Okay, ayah!"

Dengan gerakan gesit, ayah dan anak itu menghujami masing-masing satu lesung pipi milik Pete dengan kecupan basah yang menciptakan bising dari suara kecipak. Sukses untuk merekahkan senyum di wajah cantik milik Pete hingga ia melupakan drama yang ia lakukan beberapa saat sebelumnya. Dirinya tersipu malu, persis seperti remaja yang dimabuk cinta.

"Yaampun, jangan ajarkan anakku menjadi perayu ulung! nanti dia akan selalu meminta maaf pada semua orang lewat kecupan!" Pete menggerutu untuk menutupi semu di kedua pipinya yang merona.

"Loh? bagus, sayang. Nanti Vee kecil kita akan disukai oleh banyak orang dan dimudahkan untuk menemukan mate dalam hidupnya," timpal Vegas dengan nada menggoda.

"Mate itu apa, ayah?"

"VEGAS!"

Raung tangisan yang semula mengisi ruangan berganti dengan gelak tawa yang begitu meriah. Keluarga kecil yang begitu dicintai langit itu melepas rindu mereka sebelum akhirnya deru suara mobil mulai terdengar dari arah pekarangan rumah yang memancing atensi si pria kecil. "Mobil! Oma, Opa, Grandpa Malvin, Uncle Valian dan Uncle Velron sudah pulang!" pekiknya seraya melompat dari gendongan Vegas dan berlari ke arah jendela kaca yang tembus pandang hanya dari bagian dalam.

"Hati-hati, jagoan. Jangan melompat tiba-tiba begitu, nanti kamu tersandung dan jatuh." Vegas beralih menarik Pete ke dalam pelukannya.

"Ih.. itu.. itu siapa? ayah! papa! kenapa ada orang-orang jahat di luar?! kenapa mereka bawa pedang dan pakai kostum?! mereka mau menyakiti Oma, Opa, Grandpa Malvin, Uncle Valian dan Uncle Velron!"

Terlalu gesit pergerakan Venice untuk menggeser pintu kaca hingga terbuka. Vegas yang masih mencerna omongan anak semata wayangnya pun cukup kelabakan dan menarik tangan Pete untuk bergegas menyusul Venice ke arah luar.

"JANGAN SENTUH KELUARGA VEE!!!"

Kejut pada jantung terasa menohok dalam diri Vegas dan juga Pete. Ada beberapa alasan atas hal ini. Boleh jadi karena keterkejutan mereka atas kehadiran ksatria berbaju zirah yang dilengkapi persenjataan lengkap di pekarangan rumah, boleh jadi karena kehadiran Duke, Marquess dan calon suami dari Ibu Suri Kekaisaran, atau, boleh jadi juga karena kemarahan Venice yang disertai dengan mana sihir yang menciptakan elemen es untuk membentengi Loyd, Eli, Malvin, Valian dan Velron. Begitu mirip dengan apa yang dimiliki oleh Anurak, Sang Tetua Adat yang telah tiada ditelan penebusan dosa.





"Vee.. kamu.. bisa menggunakan sihir, nak?"



TBC.

Hi! Ini Biy ^^

Chapter berikutnya Biy upload besok ya, nda akan Biy gantung buat kali ini ^^

Kalian apa kabar? biy mau terima kasih karena kalian udah nunggu dan banyak juga yang kasih doa-doa baik agar biy cepat pulih dan kembali hadir berinteraksi dengan kalian di cerita ini ^^

See you next chapter, selamat beraktivitas kembali untuk hari senin besok! ^^

Continue Reading

You'll Also Like

599K 22.8K 47
Typo bertebaran, harap tandai ❗ Cinta pada pandangan pertama memang sebuah anugrah yang Tuhan berikan bada suatu hambanya. Tetapi tidak semua orang b...
687K 68.4K 49
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
1.8M 87.7K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
2.9M 41.8K 29
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...