TPE : Seven Rivalry (2014)

By steefoy

247K 20.5K 1.2K

Completed ☑ The Penumbra Escapade : Seven Rivalry - Seakan tidak pernah puas, kejahatan selalu menyerang SMA... More

TPE: Seven Rivalry
DEMESNE I : GENESIS
DEMESNE II : DISTRESSED
DEMESNE III : INTRIGUE
DEMESNE IV: FESTIVITY
DEMESNE V: FORBEARANCE
DEMESNE VI : STARTLE
DEMESNE VII : RAPACITY
DEMESNE VIII : GLIMPSE
DEMESNE IX: UNRUFFLED
DEMESNE X : BLACKLIST
DEMESNE XI: CARNATION
DEMESNE XII: EMULATE
DEMESNE XIII: UTTERANCE
DEMESNE XIV: ELUCIDATE
DEMESNE XV: INTELIGIBLE
DEMESNE XVI: DEVASTATION
DEMESNE XVII: LASSITUDE
DEMESNE XVIII: SCRUTINIZE
DEMESNE XIX - I - EXPECT
DEMESNE XX : AMBUSH
DEMESNE XXI : INFLAGRANTEDELICTO
DEMESNE XXII: RANDOM
A SHORT ESCAPE-ADE ( A NOTE FROM ALLEGRA)
DEMESNE XXIII - SCUTTLEBUTT
DEMESNE XXIV : EXPEL
DEMESNE XXV - DIVULGE
DEMESNE XXVI - NARRATIVE
DEMESNE XXVII - VISUALIZE
DEMESNE XXVIII - EATERY
DEMESNE XXIX: CONSCIUSNESS
DEMESNE XXX : REVERSE
DEMESNE XXXI: DISSEMBLE
DEMESNE XXXII : ON - SLAUGHT
DEMESNE XXXIII : DRAWBACK
DEMESNE XXXIV: AGHAST
DEMESNE XXXVI: ULTERIOR
DEMESNE XXXVII: INTELLECTUALIZATION
DEMESNE XXXVIII: PAPYRUS
DEMESNE XXXIX : COUP D'OEIL
DEMESNE XL: AMENITIES
DEMESNE XLI: SUPREMACY
DEMESNE XLII: INAUGURATE
DEMESNE XLIII: PRESUMPTION
DEMESNE XLIV : CONVICTION
DEMESNE XLV - DEMOLITION
DEMESNE XLVI- DISCLOSURE
DEMESNE XLVII- INCONGRUITY
DEMESNE XLVIII - UNMITIGATED
DEMESNE XLIX: SUBJUGATE
DEMESNE L : ULTIMATE
DEMESNE LI: ENTOMB ( FINAL )
E P I L O G U E
UCAPAN TRIMS DARI MARKAS ABAL-ABAL DORMI VORTEX DI PINGGIR DANAU

DEMESNE XXXV : EMOLLIENT

3.9K 311 29
By steefoy

emol·lient

\i-ˈmäl-yənt\

 Making less intense or harsh





ALLEGRA'S POV







Seharusnya aku tidak kaget melihat ketiga temanku dalam keadaan lusuh, apalagi Xander. Rambut gondrong halus cowok itu tampak berantakan, ikatannya sudah tidak sesuai pada tempatnya lagi. Beberapa rambut mencuat keluar, membuatku bertanya-tanya apa yang sudah mereka lakukan hingga mereka tiba di sini dalam kondisi mengenaskan. Di ambang pintu, terlihat wajah kusam Aqua dan Xander, serta wajah Chloe yang entah mengapa penu h dengan kebingungan dan ekspresi sebal. Cewek itu memandangiku dengan tatapan yang tidak dapat kutebak, tapi kurang  lebih dapat kuasumsikan sebagai tatapan biasa-nya Chloe. Aku tidak  menangkap adanya hawa-hawa kemarahan dari matanya, walaupun aku tahu hatinya masih terlampau dingin untuk menyapaku. Dan menurut Vero, aku hanya perlu menunggu sampai Chloe benar-benar sadar kalau ada yang mengadudomba kami, jadi aku diam saja.

Namun, sulit rasanya untuk tidak merasa kuatir melihat darah mengucur dari kaki dan tangan Chloe dan Aqua. Dua cewek itu seperti habis lepas dari pekan pembunuhan berantai rahasia. Kondisiku juga tidak jauh berbeda, hanya saja, secara fisik setidaknya aku dapat berdiri dan duduk tanpa terpatah-patah.

"Kalian bertiga rupanya, sudah lama kita tidak berkumpul bersama. Mari, masuk kemari. Kalian juga pasti ingin membersihkan diri, kan?"

Aku menoleh pada Vero sambil mengangkat sebelah alisku.

"Kita sudah mandi, sih, trims atas perhatiannya." Satu-satunya cowok di ruangan ini buka mulut. "Maksudku, kami mandi di tempat sampah."

Aku langsung menoleh ke arah Xander. Cowok itu menyunggingkan seulas senyuman padaku, lalu masuk dan seketika itu juga bau tidak enak mendominasi seluruh ruangan ini. Aku sampai harus bersusah payah untuk menutup hidungku dengan sapu tangan yang diberi Vero tanpa menyinggung perasaan siapapun.

"Apa aku boleh lebih dulu? Aku yang paling banyak kena sampah tadi," kata Aqua sambil tersenyum padaku dan Vero.

"Tentu saja, Aquaris. Kamar mandi ada di belakang sana, pakaian telah disiapkan juga."

Dalam dua detik, yang tersisa di ruangan hanya aku, Chloe, Xander, dan Vero.

Mungkin Oscar telah kembali, tapi lelaki itu tidak  terlihat, barangkali sedang sibuk mengurusi sesuatu. Xander mengambil tempat duduk di depan meja Vero, dan tidak ada lagi kursi yang tersisa selain sofa yang aku duduki, dan mau tidak mau Chloe duduk di sebelahku, walaupun kentara sekali cewek itu masih menjaga  jarak denganku. Aku hanya bisa menunduk dan membiarkan kecanggungan yang tidak dapat dihilangkan menguasai kami. Sementara itu, Vero berdeham sambil tetap mengetikkan sesuatu di laptopnya.

"Ada kabar apa yang ingin kalian beritahukan pada kami, berkaitan dengan aroma tubuh kalian yang ... kurang sedap?" tanya Vero dengan nada kalem seperti biasanya.

Xander berdeham. "Ada yang menyerang dua anak di sekolah, Mario dan Lissa. Mereka diduga jatuh dari jendela lantai satu. Tak seberapa tinggi memang, tapi mereka sekarat karena ada luka tusukan yang ... cukup dalam."

Vero mendadak memasang wajah serius.

"Lalu bagaimana perkembangan para anggota SDS? Menemukan beberapa kandidat lagi?"

"Sejauh ini, tidak. Ada berapa orang yang tersisa?" tanya Chloe.

Vero mengutak-atik laptopnya sambil sesekali bergumam. "Dari pihak SHV sendiri, kita hanya punya dua orang tersisa. Apa kalian sudah tahu siapa orangnya? Marissa dan Geraldine. Mereka berdua aman-aman saja, kan?"

Aku melirik Xander dan Chloe sambil tetap menundukkan kepala yang mengangguk pada Vero.

"Mereka baik-baik saja. Justru itu, tadi mereka yang menyerang dua anak lainnya, Zefanya dan Sabrina, mereka semacam ... berasumsi kalau Zefanya dan Sabrina yang menyerang kedua korban. Kupikir mereka bakal adu jotos tadi, tapi Marissa dan Geraldine masih dapat menguasi diri."

Vero tersenyum sinis. "Kalau tak sabar, mereka tak bakal masuk ke urutan tertinggi di SHV, Kindness dan Humility," Vero kemudian meminum tehnya, "Dan untuk SDS sendiri, kukira kalian menemukan petunjuk tentang anggota lainnya?"

Xander menggeleng. "Belum. Kita tak sempat mengawasi sekitar karena kasus yang terjadi tadi. Ada beberapa hal yang menganggu kami, seperti Mario dan Lissa yang diserang dan berakhir di tempat sampah sekolah."

"Tempat sampah?" tanya Vero bingung.

Xander dan Chloe mengangguk.

"Awalnya, aku, Aqua, dan Xander habis melerai empat anak yang tadi nyaris jotos-jotosan di lapangan, lalu aku mendengar kalau Geraldine dan Marissa nyebut-nyebut soal korban penyerangan di depan ruang arsip. Karena itu, aku segera bergegas ke sana, dan benar seperti yang dikatakan Geraldine dan Marissa, ada bekas kotoran dan darah di depan ruangan, tapi tubuh korban tak terlihat. Jadi, aku langsung masuk ke ruang arsip dan mulai mencari-cari sesuatu di sana."

Xander mengangguk menyetujui. Beberapa detik kemudian, Aqua keluar dari kamar mandi, sudah lebih bersih dan jauh lebih harum dari sebelumnya. Rambut merah cewek itu dibiarkan tergerai, membuat wajahnya terlihat semakin menonjol. Dia tersenyum ceria padaku lalu bersender di tembok sebelah lemari penyimpanan milik Vero.

"Lalu, Aqua menemukan sesuatu, sebuah jaket." Chloe kemudian mengeluarkan sebuah kantong plastik dari dalam tasnya, menyerahkannya pada Vero. Dengan hati-hati

Vero membuka kantong plastik itu dan mengeluarkan isinya.

"Hmm, kelihatannya seperti jaket mahal."

Aqua mengangguk. "Awalnya, kami berasumsi itu jaket punya anak-anak kayak Natasha, Zefanya dan Sabrina, tapi ternyata milik cewek yang namanya Lissa. Xander dan Chloe pasti sudah memberitahumu soal itu."

Vero mengangguk-angguk saja melihatnya. Setelah memperhatikan detail jaket itu secara merata, dia memasukkannya kembali ke dalam kantong plastik dan memasukkannya lagi ke dalam sebuah plastik transparan. "Aku akan jadikan barang bukti. Akan kuminta Oscar untuk mengusut ini. Bila ini termasuk kesalahan salah satu organisasi, aku akan bungkam kasus ini rapat-rapat. Tapi apabila kami tak terlibat, polisi harus tahu."

"Dan siapa yang akan menghubungi polisi? Kau tahu, kan, pihak sekolah sama sekali tak tahu menahu soal insiden barusan, karena kami mengeluarkan dua anak itu diam-diam." Xander menyahuti Vero ragu.

Vero mengangguk padanya. "Aku yang akan menghubungi polisi. Akan kuurus semuanya, kalian tak perlu khawatir. Nama kalian akan bersih dari panggilan polisi, dan nama sekolah kalian juga akan aman. Biar ini menjadi urusanku dengan mereka."

"Wah, ada keluarga polisi ya?" tanya Xander, membuatku mau tidak mau setuju karena nampaknya Vero santai sekali menanggapinya, seakan-akan dengan sekali dua kali bicara, para polisi itu bakal bungkam dan bukannya menggeledah Visual Angkasa atau melakukan penyelidikan lebih lanjut.

"Yah, paman dari pamanku mantan anggota kepolisian, dan separuh laki-laki di keluarga kami orang kepolisian, jadi, kalian tahu kita aman."

"Tapi, bagaimana kalau itu adalah anggota SDS?" tanya Chloe tiba-tiba, jauh dari topik polisi.  

Di balik rambutku yang menutupi hampir sebagian besar wajahku, aku tersenyum kecil. Ketelitian yang dimiliki Chloe tidak  berubah. Sahabatku itu memang selalu menganalisa sesuatu dengan tajam. Sebenarnya kalau dia mendaftar menjadi anggota FBI atau CIA, dia pasti langsung diterima, atau setidaknya dia membuka kantor detektif swasta, pasti banyak orang yang datang padanya. Hanya saja, mereka harus menyiapkan ekstra biaya bila ingin masalahnya diselesaikan dengan keras.

Pertanyaan Chloe barusan membuat Vero, Xander, dan Aqua bertanya-tanya.

Ekspresi mereka mendadak tidak bisa ditebak.

"Bisa jadi," Vero buka suara, "tapi kalau itu memang anggota SDS, data mereka pasti akan muncul di grafik persaingan, yang telah kujelaskan sebelumnya. Pasti titik biru yang adalah tanda eksistansi anggota milik Nefarious akan mati sendiri alias berkurang. Masalahnya, data di layar tak berubah sedikit pun, yang menandakan kalau masih ada dua anggota SDS yang belum kita temukan, dan kita halangi. Tentu saja, kita masih tetap harus mengawasi anggota kita, SHV."

"Kalau begitu, siapa yang menyerang? Apakah mungkin kalau anggota SDS yang menyerang mereka? Dan bisa jadi, alat agungmu itu rusak atau apa gitu, iya kan?" tanya Chloe penasaran.

Vero tersenyum kecil. "Kau suka sekali berpikir ya, Chloris, teliti sekali. Menurutku, kemungkinan besar yang menyerang adalah anggota SDS, dan asumsi yang paling kuat adalah mereka salah sasaran. Mereka pasti bakal menyesal sudah menyerang dua orang yang sama sekali bukan anggota SHV." Vero memandangi wajah kami satu per satu yang tampaknya bingung dengan penuturannya. "Kalian masih ingat, kan, dengan jalan mainnya persaingan ini?"

Kami semua mengangguk.

"Kalau  begitu, asumsi pertama kita adalah yang menyerang Lissa dan Mario adalah anggota SDS."

"Berarti masalah ini tetap bebas dari campur tangan polisi, kan?" kata Xander sambil menatap Vero serius.

Vero mengangguk-angguk sambil melihat beberapa berkas di atas mejanya. "Bagus, masalah ini jauh dari polisi kalau begitu. Tapi kalau dalam pencariannya terbukti bahwa mereka tak ada sangkut pautnya dengan kedua organisasi, aku tetap akan membawa ini pada pihak berwenang."

Kami semua kemudian terdiam.

"Ehm, tapi," Aqua menaruh handuknya di atas sebuah meja dan mendekati meja Vero, "kita bisa beranggapan lain, kan?" Xander menoleh pada cewek itu, tapi Aqua tetap melanjutkan perkataannya. "Kenapa selalu curiga sama anggota SDS? Seperti yang kau katakan di awal, bisa jadi ini ulah orang lain?"

Vero berpikir sejenak. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, sambil menjawab pertanyaan Aqua.

"Bisa jadi, itu bisa dijadikan opsi kedua, tapi sasaran utama kita tetaplah anggota SDS. Mereka berbahaya. Kemungkinan besar mereka menyerang orang-orang yang salah. Kita akan selidiki ini dulu, apakah benar anggota SDS yang menyerang Lissa dan Mario. Kalau buka, kita beralih ke opsi kedua. Sementara ini, ada baiknya kalau kalian tetap awasi Geraldine dan Marissa. Siapapun yang berada di dekat mereka, kalian pantau. Mereka tetap akan menyebarkan kebaikan yang mereka dominasi, seperti biasa. Tugas kalian hanyalah mengawasi mereka dan sebisa mungkin mencari tahu identitas sisa anggota SDS. Dan berharap aja semoga Nefarious tak lebih dulu mengenali Geraldine dan Marissa sebagai anggota SHV."

"Oh ya, "ujarku ikut nimbrung, terdengar canggung dan aneh karena sejak tadi aku yang paling banyak diam. "Bagaimana dengan semua anggota SHV yang ... tereliminasi, alias KO? 'Kan tiap anggota harus menyebarkan kebaikan yang mereka dominasi, dan begitu pula dengan SDS. Kalau keanggotaan mereka berkurang, bukankah kalian harus mencari orang baru untuk menyebarkan kebaikan dan kejahatan yang ada? Bagaimanapun juga, semua aspek-aspek itu tetap harus berjalan, bukan?"

Vero diam sejenak. "Satu putaran berisi 14 anggota dari kedua kubu. Tak ditambah, tak dikurangi. Sampai putaran selesai, 14 orang itu saja yang akan bergerak. Informasi baru, bisa diingat-ingat."

"Lalu dengan korban-korban dari hari pertama?" Aku bersuara sambil menggigit kukuku dengan ganas. "Maksudku, korban pertama yang aku dan Chloe temukan di kamar Natasha. Terakhir kali dia dibawa ke rumah sakit, lalu Alan Matahari, Baby, semua-semua yang sekarat, ada di mana mereka sekarang?" Vero tampak bingung dengan penjelasanku (mungkin karena efek gigit kuku ganasku). "Oke, maksudku, sekolah tak mungkin tak curiga dengan hilangnya dua tiga murid mereka. Teman-teman mereka juga tampaknya bertanya-tanya. Orangtua mereka, semua pasti kebingungan. Ditambah lagi, kalau memang mereka selamat atau apalah, kita bisa setidaknya bertanya pada mereka mengenai penyerang-penyerangnya. Pertama, tugas kita jadi semakin mudah, dan kedua, ini bisa cepat selesai."

Tampak ada jeda selama beberapa saat di antara kami, membuatku yang berbicara panjang lebar ini rada canggung karena rupanya mereka semua sedang berusaha mencerna  kalimatku. Cih, begitu banget, memang yang kujelaskan ini seribet apa? Tapi kalau dipikir-pikir, memang rada bertele-tele, sih.

"Allegra," setelah dua menit yang sunyi, Vero akhirnya buka suara lagi. "Perlu diketahui kalau sejak tadi aku diam karena menanyakan kabar anak-anak itu. Aku baru saja menghubungi salah seorang bawahanku yang bekerja di rumah sakit. Semua korban yang kalian laporkan padaku, baik yang sekarat, sehat walafiat, maupun wafat...," Aduh, kenapa semuanya diakhiri dengan –at sih? Kesannya 'kan jadi horor. "... semuanya akan diurus oleh Pax Panacea. Korban pertama kita, Angela, yang kalian temukan di kamar itu, sedang dalam proses penyembuhan. Dia dan anak-anak lain, ada di markas pusat kita. Sedangkan Alan yang sudah meninggal, aku rasa aku dapat menyebutnya sebagai keberuntungan karena Alan adalah seorang yatim piatu, kalau kamu perhatikan baik-baik. Dia tak memiliki sanak saudara. Aku turut berduka untuk anak itu, tapi aku rasa tak ada yang perlu dikhawatirkan dari Alan."

Kecuali rohnya yang tidak  bakal tenang di alam sana.

"Aku benar-benar bingung dengan anggota-anggota SHV itu. Apa keluarganya tak mencari?" Chloe memalingkan wajah ke samping.

"Sudah kubilang, Chlo, kau tak perlu memikirkan hal itu. Semua sudah kuurus dengan mulus, dan sejauh ini semuanya baik-baik saja. Polisi akan tahu kalau aku sudah mendapatkan nama pelakunya, atau lebih tepatnya, siapapun yang menjadi dalang dibalik semua insiden ini. Entah itu anggota SDS atau orang luar. Aku akan atur semuanya, sekali lagi kukatakan. Jangan membuatnya jadi rumit, sayang."

"Oke,oke," Chloe mengangkat sebelah tangannya. "Satu lagi, yang kamu bicarakan tadi hanyalah anggota SHV. Aku ingin menyinggung soal orang-orang di luar komunitas ini. Collateral damage. Bagaimana dengan mereka? Secara harafiah, mereka 'kan orang-orang tak berdosa. Tidak kah kau merasa iba? Mereka orang-orang yang tak tahu apa-apa, ikut terseret dalam ini semua."

Tampaknya, Vero sudah mulai jengkel mendengarkan serbuan pertanyaan Chloe, tapi wanita itu tetap tersenyum sabar menanggapinya.

"Justru itu, setelah kalian mendapatkan titik terangnya, kita laporkan kasusnya ke polisi. Mereka tak ada sangkut pautnya dengan ini, polisi berhak tahu. Dan sepertinya kalian sudah semakin dekat dengan jawabannya, dapat dikatakan, sisa waktu kalian tinggal hitungan hari. Dan kalian akan mendapatkan seluruh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kalian."

"Well," kali ini Xander yang menjawab. "Kalau polisi tahu soal ini, mereka pasti akan mengusutnya sampai ke titik permasalahan, Vero. Dan kalau begitu,  cepat atau lambat mereka pasti akan tau soal ... soal kau dan komunitasmu ini. Lalu nama kami akan masuk dalam daftar. You get me?"

"Tentu saja aku sadar akan hal itu, karena itu aku perlu menyusun skenario."

"W-what?" Aqua bangkit dari tempatnya lalu menghampiri Vero. "Kau bermain-main dengan polisi menggunakan skenario? Yang benar saja, aku masih tujuh belas tahun dan belum siap masuk penjara, Veronica! Dan polisi itu cerdik, terutama kalau mereka bergerak dengan detektif swasta, kita semua bisa mampus!"

"Tentu saja  tidak. Dengar, telah kukatakan kalau aku membutuhkan bantuan kalian. Percayalah aku tak akan melakukan apapun yang merugikan kalian. Lebih tepatnya, kalian harus percaya kalau aku menjalankan ini selama tiga periode berturut-turut, dan kasusnya kurang lebih mirip dengan kalian. Yah, mungkin ini yang terparah." Shit. "Dan selama ini, skenario yang kubuat tak pernah gagal. Kalau aku tak pandai soal ini, untuk apa aku susah-susah mengontak kalian untuk bergabung barang untuk berapa minggu?"

Penjelasan panjang lebar dari Vero tidak bisa kucerna denganbaik karena rupanya aku sedang banyak pikiran. Tapi kuharap Xander atau Aqua, dan mungkin Chloe, tahu sedikit, jadi aku bisa menanyai mereka kapan-kapan.

"Pokoknya kalian tenang saja. Anak-anak itu ada di markas pusat kami. Semua anggota SDS maupun SHV yang sudah dibereskan telah diatur oleh markas pusat kita. Tinggal kebijakan mereka saja yang menentukan, dan ketahuilah kalau itu di luar tanggung jawabku."

"Kukira ini markas pusatnya," Xander menyela. "Dan kalau aku boleh menambahkan, kau sedikit mempermainkan hidup orang."

"Bukan. Ini cabang, begitukah kalian menyebutnya? Dan aku tak mempermainkan hidup mereka. Pada dasarnya, sebagian besar dari mereka selamat. Yang perlu kupikirkan hanyalah cara agar semua ini tak menyebar dan menciptakan gossip besar yang merugikan banyak pihak. Jadi, tolong tenanglah. Mereka yang kalian tanyakan itu aman, yang masih dirawat ada di bawah perawatan yang terjamin, yang sudah penyembuhan sudah dialihkan ke markas pusat. Kalau kujelaskan semuanya kalian pasti akan ketiduran."

"Kau seperti tak paham kosakata saja," sahut Aqua. "Dan penjelasanmu sejak tadi sudah membuatku mual-mual, Ver."

Vero hanya mengangkat kedua pundaknya bersamaan.

Kami semua kemudian saling diam. Vero sibuk mengurusi beberapa berkas yang aku tidak ketahui, dibantu oleh Aqua. Xander bermain Cookie Run sambil sesekali mengumpat karena kalah score dengan teman-temannya. Sementara kecanggungan yang luar biasa menyerangku dan Chloe. Kami berdua sama-sama tidak  melakukan apa pun. Dengan gaya santai yang sengak ala kami berdua, kami saling memalingkan wajah. Aku tidak  tahu apa yang ada di pikiran Chloe, yang jelas aku sedang memikirkan persahabatan kita. Sampai detik ini, aku masih berharap kalau Chloe tidak percaya begitu saja dengan rumor itu. Aku ingin sekali mendengar dari mulutnya sendiri, kenapa dia bisa semudah itu percaya dengan rumor yang disebar Zefanya sialan itu. Aku juga heran, kenapa Chloe bisa semudah dan sepolos itu percaya dengan suatu hal? Dia bukan orang seperti itu, aku tahu itu. Dan agak aneh saja melihat Chloe yang seperti kucing dihipnotis, langsung percaya tanpa bukti yang benar-benar kuat.

Disamping itu, aku juga memikirkan apa yang aku temukan di rumahku kemarin.

Kotak itu belum sempat aku buka, tapi aku harap aku bakal menemukan sesuatu saat membukanya nanti. Bayangan papa dan mama masih berkelebat di pikiranku, berputar-putar dan menciptakan sensasi sedih yang entah mengapa bercampur dengan perasaan kesal, marah, dan kecewa. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Begitu banyak masalah yang menimpaku beberapa hari ini. Bahkan, peristiwa dikeluarkannya aku dari Visual Angkasa saja masih membuatku syok.

Aku kemudian memutuskan untuk memakan roti lapis yang aku beli di sebuah toko kue tadi. Sambil menikmati isian tuna dan telur yang lumayan enak, aku mendengarkan pembicaraan antara Vero, Aqua, dan Xander.

"Jadi, sampai kapan kita harus begini?"

"Hmm, mungkin sampai persaingan ini bisa dikatakan selesai."

"Dan apakah tawaranmu di awal itu masih berlaku?" tanya Aqua penasaran, diikutioleh anggukan Vero yang mantap.

"Tentu saja. Aku selalu memegang janji. Kalau kalian berhasil lebih dari yangkuharapkan, aku akan beri kalian bonus. Tinggal sedikit lagi, semoga saja kalian berhasil menemukan anggota SDS, secepatnya."

"Kami juga berharap begitu." Xander tersenyum sambil melirikku. Aku hanya bisa termenung melihat matanya yang terpaku padaku, membuatku sedikit salah tingkah, sebenarnya.

Untuk menghilangkan rasa saltingku yang mulai mencapai level ubun-ubun ini, aku memutuskan untuk bertanya saja. "Omong-omong, aku jadi penasaran, apa kita bakal mendapat kesempatan untuk ... you know, bertemu dengan pimpinan Nefarious?"

Vero menatapku dengan mata berbinar-binar, entah apa yang sudah aku lakukan. Apa pertanyaanku barusan salah?

"Kau berani sekali, Allegra. Sebenarnya kalau kita berhasil mengalahkan mereka, kita bisa ketemu sama pimpinannya, langsung, face to face. Jadi, kembali ke masalah awal, kalahkan mereka."

"Seperti main Cookie Run saja," komentar Xander. "By the way, kalau kita ngobrol dengan Geraldine dan Marissa soal organisasi PPC ini, apa boleh?"

Vero mengangguk. "Tentu. Kita satu agensi. Aku tak mungkin melarang kalian berkomunikasi."

"I know right," jawab Xander sambil kembali bermain Cookie Run. "Hanya saja, terkadang bingung harus memulai pembicaraan seperti apa."

"Pimpinan Nefarious ini," aku berpikir sejenak, "apa dia pria atau wanita?"

Vero memandangiku dengan tatapan aneh, seakan-akan dia kaget kenapa aku bisa bertanya sampai ke Nefarious segala. Aku tahu Chloe dan Aqua memperhatikanku dan Vero diam-diam, tapi mereka diam saja. Sementara itu, Vero berusaha untuk tetap tersenyum sambil menulis sesuatu di atas sebuah memo.

"Dia laki-laki, kok." Aku masih ingin bertanya, tapi Vero keburu menyela lagi.

"Lebih baik jangan bicarakan Nefarious di sini. Bagaimanapun juga, mereka musuh. Nah, selain jaket dan kabar soal Lissa dan Mario, ada lagi yang kalian mau sampaikan? Perkara kedua korban, aku bakal cari info mengenai mereka dan memberi tahu," Vero berpikir sejenak, "Mungkin Aqua, mengenai perkembangannya."

Chloe kemudian berdiri dari sofa dan mendekati meja Vero. Dia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, seperti sebuah kartu nama berwarna putih, dan menyerahkannya pada Vero.

"Kutemukan ini di ruang arsip. Sebagai informasi lebih lanjut, ini saat kau dan Aqua sedang berduaan di TKP," kata Chloe pada Xander.

"What the heck, mesra-mesraan bagaimana? Sembarangan saja, aku dan Aqua sedang sibuk memikirkan motif penyerangan korban. Dan itu kartu nama siapa?"

"Kau masih memiliki mata, kan? Lihat saja namanya."

Kami semua kemudian berdiri untuk melihat nama yang tertera di kartu nama itu. Sekilas, mataku sempat bertatapan dengan mata Chloe, tapi cewek itu langsung membuang muka. Vero sendiri sibuk mencatat nama yang tertera di atas kartu nama itu.

"Patrena Sagita Star. Asing. Aku simpan, akan  kukabari bersamaan dengan kondisi Lissa dan Mario."

"Kau yakin kau tak pernah mendengar nama itu? Sekedar dengar-dengar di luar?" kata Chloe dengan nada menyelidik.

"Aku pernah mendengar, memang. Tapi sepengetahuanku, dia hanya pemilik perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis di Auckland. Itu saja, selebihnya, nope," Vero menggelengkan kepalanya, "Namanya unik. Sepertinya kau curiga sekali dengannya."

Chloe memiringkan kepalanya. "Aneh saja menemukan kartu nama ini di meja arsip yang sellau kosong. Ini diletakkan begitu saja, seperti tak sengaja tertinggal atau memang sengaja ditinggalkan."

Vero mengangguk-angguk. "Pemikiran yang bagus, bisa jadi ini milik seseorang. Awalnya aku tak ingin ambil pusing soal kartu nama ini, tapi," Vero membolak-balik kartu nama itu, "Aku melihat ada bekas darah yang samar-samar di sini. Bisa dilihat sendiri."

Aku memperhatikan bekas darah yang nyaris berwarna merah muda karena hanya sedikit. Seperti darah dari jempol seseorang yang memegang kartu nama itu, lalu dilepaskan begitu saja, sehingga bercaknya jadi tertarik.

"Ya, selain itu, ini juga aneh. Kartu nama ini seakan-akan berhubungan dengan jaket yang ada bercak darahnya itu. Seandainya ada kamera di ruang arsip, pasti pekerjaan kita bakal lebih mudah."

Vero menjetikkan jarinya tiba-tiba. "Yah, seharusnya ada kamera di setiap sudut ruangan di sekolah kalian. Akan aku coba akses dengan minta bantuan Oscar. Seperti dua hal sebelumnya, akan aku kabarkan melalui Aqua. Akan kuberitahu secepatnya. Berapa nomor urut ruangannya?"

"03.01," jawab Chloe, yang langsung dicatat oleh Vero.

Vero kemudian menjetikkan tangannya sekali. "Oke, kalau sudah tak ada laporan lagi, kalian bisa beristirahat dan pulang."

"Yah, sebenarnya sudah sejak tadi kita ingin cao dari sini, banyak hal yang lebih penting, yang jauh lebih mencurigakan daripada kasus ini," ujar Xander yang mendapat jitakan dobel dari Chloe dan Aqua. "Apa'an sih kalian!?"

"Kenapa kau mengusir kami begitu saja? Memang tak ada ... apa, begitu?" tanya Aqua dengan nada kecewa, mengabaikan keluhan Xander.

Vero menoleh ke arah Aqua sambil mengelus pipi cewek manis itu.

"Aku rasa, kau masih belum puas bertanya, Aqua," Vero tersenyum. "Katakan, apa yang masih  tertinggal di otakmu, hmm?"

Aqua melirikku dan Xander dengan was-was, tapi sepertinya kami berdua bereaksi supercuek, jadi Aqua memutuskan untuk bungkam.

Vero di sisi lain tersenyum ramah. "Masih banyak yang harus aku kerjakan, Aquaris, seperti yang kau lihat. Aku harus memberi kabar padamu secepatnya. Jadi, lebih baik kalian juga istirahat. Kalian pasti lelah." Vero tersenyum sambil berdiri dari tempatnya dan berjalan mengitari ruangan dalam diam. Sebelum beliau berbalik, tangannya terangkat setengah, seperti ingin memberitahu kami sesuatu. "Oh ya, mulai sekarang, aku rasa kita akan jarang bertemu. Semua informasi akan aku berikan melalui surel atau telepon atau lewat seseorang dari kalian, dan orang itu akan memberitahu yang lainnya. Ada banyak hal yang harus kuurus terkait masalah perusahaan. Ketika semua telah selesai, aku akan menemui kalian lagi."

Aku sedikit kaget mendengarnya, tapi tetap berusaha terlihat biasa-biasa saja.

"Memang kalau boleh tahu, urusan apa yang mengganggu jadwal pertemuan kita yang langka?" 

Vero menoleh padaku. "Urusan pribadi yang menyangkut keluarga, sayang. Aku baru saja mendapat telepon dari ayahku kalau ada sesuatu yang terjadi, jadi, maaf sekali. Aku bakal jarang di markas. Tapi kalau ada hal mendadak yang gawat, aku akan mengusahakan diri untuk bertemu kalian. Proyek tetaplah proyek. Jadi, laksanakan saja tugas dengan baik, apakah jelas?"

Aku yang pertama mengambil tasku di sofa kemudian beranjak menuju pintu kamar apartemen Vero. Membuka pintu, aku berjalan cepat menuju lift, ingin segera sampai di kamar karena badanku begitu lelah, entah mengapa. Diam-diam aku mengambil satu pil zat besi dan meminumnya tanpa air. Anemiaku yang sialan pasti sudah kumat lagi. Aku kemudian berbelok cepat ke arah lift dan masuk ke sana. Setelah menekan tombol lima, aku berdiri menghadap pintu lift dan nyaris mati melihat wajah Xander yang sudah berada di baliknya. Cowok itu menahan pintu lift dengan sebelah tangan, dan dia menerjang masuk ke dalam lift.

Selama beberapa detik, kami hanya diam-diaman dan aku berusaha keras untuk menghilangkan pusing yang tiba-tiba menyerangku ini dengan mendongak menatap langit-langit lift. Sementara itu, di sebelahku Xander tertawa kecil, membuatku mengangkat sebelah alisku karena bingung.

"Ada yang lucu?"

Xander menggeleng. Cowok itu lalu mengusap rambut yang jatuh ke keningnya sambil tetap tersenyum.

"Kau tadi canggung sekali dengan Chloe."

Aku tersenyum kecil. "Bukan sesuatu yang patut ditanyakan."

"Tapi kau hebat banget dapat mengendalikan diri, Al." Cowok itu lalu menoleh padaku sambil membalikkan tubuh. "Dan aku mendadak kangen denganmu."

Aku nyaris menjotos wajahnya kalau saja wajahnya taidk tampan dan terlihat lebih tampan lagi sekarang. Cowok yang merupakan sahabatku ini memang suka bercanda yang tidak-tidak.

"Kangen sebagai teman, kan?"  Aku membalas.

Xander mengerjap beberapa kali, tapi kemudian tersenyum.

"Yap, sebagai teman, Alle. Kita kan sudah lama berteman. Dan aku berharap ... kita dapat kembali seperti dulu lagi. Seperti aku, kau, dan Chloe."

"Masalahnya ada di Chloe, Xan."

"Itulah gunanya aku ada di sisinya setiap saat, Al. Kau tenang saja. Pakai waktu untuk beristirahat dan bersenang-senang. Biar temanmu ini yang bekerja."

Xander tersenyum sambil menepuk pelan kepalaku, membuatku sedikit gugup. Sialan, kenapa jantungku yang sangat tidak tahu malu ini mendadak melonjak-lonjak kegirangan? Itu cuma tepukan sayang dari teman, dari sahabat, Xander, dan tidak seharusnya aku segugup ini. Aku menarik napas dan memaksakan seulas senyum, tepat setelah lift berdenting sekali. Xander dan aku langsung menoleh ke arah layar yang menunjukkan angka lima, lantai kamarku.

"Aku duluan. Akan kutelepon kau secepatnya."

"Dengan senang hati akan kujawab, Allegra. Istirahatlah, anemiamu kambuh."

Aku tidak  menoleh lagi saat keluar dari lift selain membatin darimana Xander tahu kalau anemiaku kambuh.

**

Memasuki kamar, aku merasakan sensasi yang lebih menenangkan. Aroma terapi yang kupasang di kamar apartemenku membuat kepalaku yang berdenyut-denyut tadi membaik. Tanpa melepas sepatu boots yang kelewat panjang, aku melempar tasku dan langsung masuk ke dalam selimut (dan kemudian aku sadar kalau sepatuku kotor, dan aku malas mencuci seprei, jadi aku melepas sepatuku dengan paksa dan melemparnya begitu saja ke ujung ruangan, lalu aku segera menutup kepalaku dengan bantal.

Music player yang aku setel secara otomatis mendadak menyala, dan lagu The Fray yang sudah kujadikan playlist langsung memenuhi ruangan kamarku. Aku memejamkan mata sambil membayangkan kejadian yang baik-baik, dan mau tidak mau aku bernostalgia ke masa lalu, ke masa-masa baik di mana aku dan keluargaku menikmati makan malam bersama yang hangat dan harmonis. Aku menarik napas saat membayangkan wajah mama dan papa, dan nyaris menangis saat membayangkan wajah Aloysius, kakakku yang sudah meninggal dengan tragis, bersamaan dengan hari perginya aku dari rumah masa kecilku. Aku langsung sesak saat membayangkan masa-masa itu. Dari sekian banyak orang di dunia, kenapa aku yang dipilih untuk merasakan tanggungan beban sebesar ini?

Kenapa bukan Xander, atau Pak Opal, atau Keenan?

Aku kemudian membalik badanku menjadi posisi terlentang dan membiarkan refrain lagu How To Save A Life menguasai perasaanku. Mendadak, aku teringat dengan buku yang aku temukan di rumah masa kecilku. Buku yang aku temukan bersama Victor. Aku melirik ke samping, dan menemukan kotak itu diletakkan di meja lampu. Aku langsung bangun dan mengambil buku itu.

Buku yang awalnya berdebu itu sudah sedikit lebih bersih, maupun masih ada bekas jaring laba-laba yang bersarang di puncak buku. Diiringi oleh lagu The Fray dan aroma terapi murahan, aku meraba buku itu. Tampaknya buku ini sudah berumur belasan tahun, terlihat dari kertasnya yang sudah mulai menguning, seakan-akan tidak pernah dibuka. Tidak ada apa pun yang menarik dari sampul buku, hanya sampul biasa berwarna cokelat tua yang dipenuhi sarang laba-laba. Pelan-pelan, aku membuka buku itu, lembar demi lembar, dan tak ada apa pun yang aku temukan di sana.

Aku mengernyit. Lalu kenapa buku ini ada di rumah itu kalau isinya kosong? Bahkan tulisan satu baris pun tidak ada. Aku terus membuka lembaran buku itu, halaman 12, dan 34, hingga 50, tidak ada yang dapat kutemukan. Aku memiringkan kepalaku lalu mengambil gelas yang ada di meja, dan meminumnya. Sembari merenggangkan tubuh, aku berjalan menuju kulkas dan melihat barangkali ada yang bisa kumakan. Aku menemukan kue yang aku buat subuh tadi, kue cokelat dengan taburan cashew dan oreo yang lumayan enak, no bake. Sambil memakannya, aku mondar-mandir di sekitar apartemenku.

Dan pikiranku kembali melayang pada buku itu. Aku yakin betul buku itu menyimpan sesuatu, masalahnya, sejak tadi kuperiksa dengan seksama isi buku usang itu, tidak ada satu pun tulisan atau setidaknya huruf atau gambar yang muncul. Buku itu sebelumnya diletakkan di atas kasur yang telah tinggal kerangka, dan aku yakin, ada maksud yang tersembunyi di balik kenapa buku itu masih ada di sana. Seakan-akan mama membiarkan buku itu berada di sana sampai aku mengambilnya. Tunggu, kenapa mendadak aku kepikiran mama? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku lalu beranjak ke jendela besar yang menghadap ke pemandangan jelek berupa bangunan yang sudah nyaris runtuh. Meletakkan piring berisi kue di atas meja kecil di sebelah jendela, aku berusaha untuk menenangkan pikiranku.

Chloe masih peduli denganku. Dia masih khawatir denganku, walaupun gayanya masih sengak dan sok dingin. Xander adalah sahabat yang baik dan pengertian. Aqua ceria, dia bisa bikin perasaan hatiku naik drastis. Untuk apa bergabung dengan The Patron atau apalah, dan akhir-akhir ini aku nggak ngeliat si Oscar. Apa dia ada urusan dengan keluarganya? Dan semua hal tentang SDS dan SHV ini semakin membingungkan saja.

Aku menundukkan kepala sambil memejamkan mata. Mendadak semua pikiran itu berkelebat di kepalaku. Kadang, aku sampai bingung dan berpikir. Kenapa bisa manusia mempunyai pikiran yang begitu rumit, dan bagaimana bisa otak menampung semua pikiran itu? Aku juga berpikir tentang hati dan otak yang berhubungan. Bagaimana bisa ada perasaan sesak dan kecewa? Darimana asalnya perasaan itu? Apakah itu pengaruh hormon? Mengapa manusia tidak diciptakan tanpa perasaan? Bukankah semuanya akan lebih nyaman kalau kita tidak dapat merasakan berbagai macam emosi, dan melakukan segala sesuatu tanpa harus merasa bersalah atau sedih? Mengapa kita, manusia, tidak diciptakan seperti robot, yang tidak memiliki perasaan dan tidak akan pernah bosan dengan kehidupan yang serba monoton? Adanya naik dan turun dalam kehidupan hanya semakin menggetarkan emosi kita, dan sudah jelas kalau emosi adalah sesuatu yang liar, dan sesuatu yang liar itu susah dijinakkan.

See, being a robot is quiet happy, right?  Hanya berkata "Ya" atau "Tidak" atau "Selamat Pagi" tanpa adanya intonasi, dan sekalipun tidak merasa bersalah karena telah mengucapkannya tanpa emosi. Dan setahuku, robot tidak akan mendapat masalah, ya, kecuali kalau beberapa kabel di dalamnya lepas atau mengalami konsleting. Dan yang paling menguntungkan adalah robot tidak pernah merasakan sakit. Tidak akan pernah dia sakit karena masalah periodik tiap bulan, atau sakitnya dikhianati, sakitnya menjalani hidup tanpa orangtua ataupun sanak keluarga.

Dan robot tidak akan pernah bosan dengan rutinitasnya, tidak banyak pkiran, tidak seperti manusia yang diciptakan dengan ribuan emosi yang bisa merugikan dirinya kalau emosi itu tidak dapat dikendalikan, yang mudah sekali bosan dengan hal-hal di sekitarnya.

Ah, sudahlah, tidak ada gunanya menyesali kehidupan. Toh juga ini semua telah direncanakan oleh-Nya. Mau tidak mau, rela tidak rela, tugas kita hanyalah menjalaninya. Syukur-syukur masih diberi kesempatan bernapas.

Aku menarik napas dan memutuskan tidak akan memikirkan hal-hal aneh lagi.

Kubuka mataku, dan aku nyaris melompat melihat apa yang aku temukan di depan mataku.

Amplop cokelat yang aku temukan di rumah masa kecilku. 

Normalnya, dengan segala hal yang telah kualami beberapa hari terakhir, ini tidak perlu sampai mengejutkanku. Karena beberapa detik setelah penemuan tidak terlalu mengesankan itu, teleponku berdering. 

Nama yang tertera di layarnya jauh lebih membuatku terkejut. 

Sambil menghela napas panjang, aku meraih ponselku dan menekan tombol hijau. 

"Aku tak bilang aku bebas hari ini." Aku menjawab malas-malasan. 

"Tapi honey, aku sudah merindukanmu. Bisa bertemu? Mungkin aku ke tempatmu?" 

Yap, benar. Itu Keenan. Dan tebak apa? 

Dalam situasi normal bebas konflik, baik Xander maupun Chloe tidak akan menyukai ide Keenan yang mendatangiku di kamar apartemen. 

Sendirian. 

Continue Reading

You'll Also Like

2M 153K 34
[Fantasy & Romance] SEQUEL of The Sorcery: Little Magacal Piya [published] Temukan cerita ini secara lengkap, tersedia di Toko Buku terdekat! ^^ Saat...
225K 12.4K 10
#1 Horror 18/08/2021 Tesla Briliantia gadis Indonesia yang mendapat beasiswa di Budapest. Di kota dengan banyak bangunan tua itu, Tesla menyewa sebua...
6.3K 1.8K 24
[Pembuka dari seri mata-mata remaja] Tahun pertamanya di SMA menjadi awal petualangan baru bagi Adira. Demi memotong jalurnya pulang sekolah, gadis 1...
69K 1.5K 16
Namaku Giania, semua orang memanggilku putri Giania alasannya tentu saja karena ayahku seorang Raja yang memerintah di sebuah kerajaan yang besar. ak...