EPOCH [Selesai]โœ“

By trajec70ries

42.1K 7K 442

Lavanya Yozita harus mengalami hal aneh di hidupnya. Karena setelah kecelakaan malam itu, dunia Lava berubah... More

โ€ขPROLOGโ€ข
[1] Siapa kamu?
[2] Masih Shaga
[3] Jawaban Tuhan?
[4] Pasar Malam
[5] Jembatan Untuk Pemberhentian
[6] Dunia Asing
[7] Dunia Karangan?
[8] Merah
[9] Spiderman Badungan
[10] Seni Memahami
[11] Sesederhana Rembulan
[12] Bumi Dan Cinta
[13] Tentang Satu Hari
[14] Perihal Rasa
[15] Sajak Yang Bersuara
[16] Kebutuhan Hati
[17] Perbatasan Antara Hidup Dan Mati?
[18] Tangis Yang Disembunyikan Peluk
[19] Malam Manis
[20] Sebuah Petaka
[21] Buku
[22] Lembaran Kosong
[23] Siapa Pembunuhnya?
[24] Tidak Berdetak
[25] Titik Terang?
[26] Kekacauan Manis
[27] Isyarat Mimpi
[29] Jalan Yang Tertutup Kabut
[30] Bunga Terakhir (End)
โ€ขEPILOGโ€ข

[28] Mawar Merah dan Rimbawa

732 149 7
By trajec70ries

Instagram : aksaralatte

🌷🌷🌷


Entah kapan terakhir kali, Lava mencium aroma mawar merah yang menguar dalam paru-paru. Lava tak terlalu memperhatikan bagaimana bunga merah itu mulai mekar, bahkan ada beberapa tepian bunga yang sudah memudar, menandakan masa mereka hampir berakhir. Mungkin hanya perlu menunggu hari, kelopak layu itu jatuh satu persatu meninggalkan tangkainya dan memendam segenap harum bersama tanah kering.

Bagaimana mungkin pikiran itu muncul kala Lava tanpa sengaja mencabut kelopak mawar, akan beginikah Shaga berakhir? Mawar merah ini memiliki pesona yang kuat, warna yang pemberani dan kelopak bak mahkota yang merajakan pesona. Shaga memiliki aura kuat dan memikat, ia mekar bersamaan dengan musim yang telah dibumbui berbagai rasa. Mungkin layaknya musim yang menghinggapi, Shaga telah mekar dengan sempurna, sesekali serangga bahkan mendekat guna menabur sedikit rasa agar ia lebih memaknai sedikit sakit yang diperoleh. Setelah selesai pada harum dan mekar yang sempurna, dia jatuh pada tepian sebuah akhir. Dia perlu layu dan melebur bersama butiran tanah kering yang entah kapan pastinya. Yang jelas musim itu akan tergantikan dengan musim mekar yang baru.

Lava tidak benar-benar menjadikan mawar itu sebagai alat untuk menghanguskan binar seri kala menanti kedatangan Shaga. Pagi ini, Shaga berniat membawa Lava pergi, entah sekedar memakan es krim, meniti jalanan setapak yang bersebrangan dengan jalur kereta api atau mungkin melakukan segalanya hari ini dan berakhir menikmati secangkir teh di rumah Shaga.

Namun siapa sangka, semerbak yang awalnya ia hirup kuat-kuat nyatanya mengulitinya dari dalam secara perlahan. Lava habis ditelan ketakutan-ketakutan yang nyatanya sudah dirinya bangun jauh sebelum mawar itu mekar. Sebab terkadang, Lava hanya menekan sedikit takut itu agar hari yang dilewati terbebas dari sesak. Walau Lava sendiri tau, usahanya hanya akan berakhir sia-sia dan tubuh lelahnya terkulai begitu saja, persis seperti dirinya yang seringkali menghabiskan waktu di atas meja belajar hanya untuk memikirkan spekulai-spekulasi menakutkan.

Ini racun, Lava selalu menyadari bahwa terlalu larut dengan ketakutan-ketakutan yang sebenarnya belum terjadi atau bahkan tidak akan terjadi adalah seni pembunuhan yang tak kasat mata namun mutlak. Membunuh mental, membunuh semangat dan membunuh waras yang diwaraskan mati-matian. Semua berakhir sia-sia.

Jadi terkadang Lava membiarkan dirinya lelah terbakar spekulasi menakutkan. Atau mungkin membiarkan semua itu mengalir begitu saja seperti satu kelopak mawar yang runtuh itu Lava biarkan tergeletak di atas tanah kering. Mungkin dibiarkan mengering begitu saja atau bahkan menghilang dibawa angin. Lava membiarkan panas karena isi kepala yang carut marut itu reda tanpa ada obat penawar, layaknya kelopak mawar yang jatuh, sudah sepatutnya ia biarkan sebagaimana mestinya. Merekatkan lagi juga tidak akan mungkin. Jadi, ia biarkan mawar dan pikiran yang berantakan itu terkulai begitu saja. Meski itu akan sangat melelahkan.

Masih ada mawar merah yang bertahan di tangkai berdurinya, dan sudah sepatutnya mawar itu menyebarkan sudut-sudut halaman dengan keharuman. Meskipun di detik ke tiga Lava menarik sudut-sudut bibirnya tinggi, sebab wangi yang entah sedari kapan menjadi sangat candu dan memabukkan telah memukul telak aroma semerbak mawar merah. Shaga datang.

Pemuda itu ikut menarik kedua sudut bibir, menjadikan hangat mentari seakan mencair karena senyuman hangat Shaga.

Lava sadar, selalu ada celah yang membuat manusia merasa kosong, mungkin seperti gelas yang akan menyediakan ruang untuk air. Gelas tanpa airnya terlihat hampa dan kosong, namun begitu air mengisi penuh gelas maka yang terlihat hanyalah utuh. Lava tak pernah mengira bahwa bersama Shaga akan membuat gelas itu terisi penuh. Merasakan utuh yang selalu Lava syukuri hingga detik ini.

Hal-hal kecil yang Shaga lakukan padanya ternyata mengisi rumpang tak kasat mata milik Lava hingga penuh dengan sendirinya, mungkin hal ini tak akan pernah Shaga duga sebelumnya. Sama halnya Shaga yang tak akan pernah tau ada degup jantung yang begitu berdebar kencang setiap kali bersama Shaga. Shaga pun tak akan mengerti, bahwa senyuman yang ia lemparkan di bawah sinar mentari, pelukan yang ia bumbui pada rintikan hujan sore hari dan juga genggaman erat yang selalu Shaga berikan di setiap kerapuhan diri selayaknya rona jingga yang membakar langit biru bagian barat. Lava akan merasa hidup bersama Shaga.

Seperti ketika mereka berjalan menuju kedai es krim di sepanjang jalan setapak, lagu romansa memang tidak terputar untuk mengaluni setiap langkah raga yang dimabuk asmara. Yang ada hanyalah suara kereta api yang tak berjarak jauh dari jalanan setapak. Bahkan aroma bunga mawar yang tadinya melekat di hoodie berwarna maroon milik Lava kini lenyap karena aroma besi berkarat yang lekat sekali dari seberang. Meskipun sesekali angin membawakan harum itu terbang ke indra penciumannya, menyamankan paru-paru Lava dengan keharuman milik Shaga.

Kaki mereka terus melangkah dengan kaitan erat pada genggaman, seakan menjelaskan pada derap yang mantap bahwa keduanya tidak mau terpisahkan. Meski pada hal kecil sekalipun, contohnya saat ini yang bagaimana kaki Lava akhirnya melangkah menuju sebuah cafe di pinggir kedai es krim. Lava melupakan tujuan awalnya begitu melihat kafe yang didominasi oleh dedaunan hijau dan bunga berwarna putih. Mungkin menyelaraskan kafe yang bercat putih dan menghidupkan pucat itu dengan hijau alam. Menyegarkan pemandangan. Sesuai dengan nama kafe itu, Rimbawa.

Shaga pun mengikuti keinginan gadis itu, apa saja untuk Lava. Batinnya bersuara dengan berbunga-bunga. Shaga menyukai senyuman yang menerbitkan binar di bola mata Lava.

Payung-payung putih tulang tampak mekar layaknya jamur raksasa, meneduhkan kursi-kursi panjang dihalaman depan Rimbawa yang sedang di ramaikan para manusia. Ada yang hanya menyesap sedikit demi sedikit secangkir kopi, ada yang bersendau gurau bersama rekan kerja- terlihat dari pakaian formal yang sama. Ada juga yang menyuarakan pedih hatinya melalui lagu balada yang dibawakan sebuah band di panggung kecil kafe. Lava enggan menyebut langit hitam yang menaungi semesta sebagai kebetulan, karena mungkin mendung itu hadir untuk menemani si para patah hati yang bermelodi. Hanya dengan bahasa elegi lara dari lirik lagu, setitik demi setitik air mata mulai membasahi wajah mereka. Lava mengerti, bukan hanya air mata yang jatuh, tapi juga lirik lagu yang jatuh itu nyatanya menumbuhkan perih yang merayap ke alas mereka berpijak. Sebab yang tak patah pun turut merasakan lara, yang sedang ada pada sebuah jalur bernama asmara pun ikut redup karena alunan melodi berlirik sendu. Lagu di Rimbawa menjatuhkan mereka yang sedang bangkit.

Seketika pikiran Lava berkecamuk, meskipun bola mata itu kini memandang lurus ke depan. Menyoroti punggung dari pemuda yang memakai kemeja flanel hitam. Shaga tengah memesan minuman dan makanan, meski terlihat jelas Shaga bersendau gurau dengan barista kafe, sebelumnya Shaga memang berkata bahwa teman laki-laki yang satu ekstrakurikuler dengannya memang kerja part time di Rimbawa. Jadi, Shaga dan temannya mengalir begitu saja dalam percakapan yang mungkin akan ditutup ramah oleh salah satu pihaknya.

Jelas ada perbedaan kental dengan Shaga yang sumringah dan hanyut bersama percakapan menggelitik, Lava justru membiarkan dirinya hanyut di pojok kafe, membiarkan lirik-lirik lagu yang jatuh dan merayap di jendela sampingnya itu merundung kewarasan Lava. Ketakutan itu menyergap Lava jauh lebih kuat dari sebelumnya. Lava tau kilat yang menyambar di dalam kepala tak akan pernah redup. Ketakutan datang kembali tanpa di duga, seperti halnya karena melodi sendu di tiap sudut Rimbawa yang dirundung mendung.

Bagaimana jika musim hujan itu menghanyutkan dirinya? Bagaimana jika Lava tak akan menatap punggung pemuda itu lagi? Bagaimana jika ditempatnya berpijak nanti, tidak ada Shaga yang berdiri ditempat biasanya? Shaga tak akan kemana-mana kan?

Shaga bilang, dia akan terlahir kembali. Shaga mengatakan bahwa dia akan mencari Lava. Tapi Lava dan hujan di pagi itu jelas mengerti, kalimat-kalimat yang Shaga berikan hanyalah penenang belaka. Bahkan aliran sungai yang menderas pagi itu seakan tengah berteriak pada semesta bahwa ada sebuah kebohongan besar dari mulut seorang pemuda.

Jadi pagi itu, Lava membiarkan semuanya berjalan dengan mengesampingkan resah. Meskipun Lava tau, di dibohongi.

Bersamaan dengan lagu yang berganti, Shaga tersenyum dari kejauhan. Garis lurus yang membentang berhasil membawa Shaga mendekat pada Lava. Nampan berisi dua cangkir kopi dan waffle tak mampu membuat fokus Lava teralihkan dari wajah tegas milik Shaga. Mungkin Lava tidak akan berkedip dan memekik jika saja Shaga tak menyentil keningnya.

Lava melotot tajam. "Jahat!"

"Siapa suruh nggak kedip? Melongo lagi kek ikan kelelep. Iya tau aku ganteng tapi harus banget sampe liatin begitu?" celetuk Shaga.

"Pede banget!"

"Tapi emang iya kan?"

"Iya apa?"

"Aku ganteng." Shaga dengan sombong mendeklarasikan hal tersebut.

"Dih, gantengan juga temen lo!"

Shaga mengikuti arah pandang Lava, menatap barista yang sedang meracik kopi. "Nggak doyan cewek dia mah."

Beberapa detik setelahnya Shaga sedikit memundurkan badan hanya untuk menghindari Lava yang mencondongkan badan terkejut. "Serius?!"

"Dia doyannya ikan bakar sama sambel ijo." Jawaban Shaga menjadi pemancing dengusan sebal dari Lava.

Aroma waffle kemudian menjadi pembuka topik berikutnya, bagaimana skenario pastinya Lava tak mau tau. Tapi harumnya waffle, lagu baru yang tak kalah sendu juga gerimis kecil di luar Rimbawa nyatanya membawa mereka kepada percakapan hangat.

"Ga, lo tau nggak, kayaknya hari ini gue bakal membutuhkan lebih banyak pelukan dari lo dibandingkan dengan hari-hari kemarin," tutur Lava, kemudian menyesap secangkir kopi lalu tersenyum manis kepada Shaga.

Lava menemukan senyum itu lagi, senyuman manis dengan rona sedikit kemerahan di wajah Shaga. "Ketakutan-ketakutan itu datang lagi?" tanyanya yang mengusap teratur puncak kepala Lava.

Lucunya, Lava mengangguk-anggukan kepalanya dengan bibir mengerucut. "Takut lo pergi."

"Nggak akan, sekalipun aku pergi kamu nggak akan terluka," jawab Shaga.

"Mana ada kayak gitu?! Nggak boleh pergi." Lava betulan kesal mendengar ucapan Shaga, dimana Shaga justru tertawa melihat reaksi Lava. Diambilnya tangan Lava, menggenggamnya erat untuk sekedar memberi tau bahwa kehangatan itu selalu ada. Sekalipun hujan terus menerus turun, sekalipun gemuruh menyentak malam dan angin yang membawa keresahan. Shaga ada bersama genggaman erat, pelukan dan cintanya.

"Gaaa, gue serius. Jangan pergi ya?" Lava merengek, walau terlihat jelas ada sendu dan amarah yang coba ia redam mati-matian.

"Nggak akan. Aku sama kamu terus."

Jawaban itu menemukan sebuah senyuman lebar. Lava ingin selalu mendengarkan kalimat menenangkan itu dari Shaga dan hari ini ia mendapatkannya. Walau Lava sendiri tau, tidak ada jaminan akan kalimat tersebut.

"Mau cerita?" tanya Shaga.

Lava terdiam sejenak hanya untuk menatap bola mata jernih milik Shaga. Kemudian, Lava melemparkan pandangannya pada grup band Rimbawa di depan sana. Lagu ketiga yang ia dengarkan di Rimbawa tidak sesendu dua lagu sebelumnya, tapi tetap saja hati Lava tercubit di setiap liriknya. Seketika Lava menggerutu, sepertinya vokalis band itu sedang mengalami patah hati yang luar biasa, sampai dengan teganya membuat semua yang mendengarkan turut patah. Bahkan dedaunan yang merayap di dinding luar Rimbawa terlihat sedikit tunduk, entah karena dinginnya hujan yang menderas atau ikut layu bersama melodi yang menguar ke penjuru ruangan.

Kemudian, Lava menatap Shaga lagi yang masih menanti jawabannya. "Lagunya galau banget. Jadi agak sedih. Dikit si, tapi sedih," akunya.

"Masih sama aku ini, masa sedih."

"Iya soalnya belum dipeluk,"

"Sini."

Lava tertawa pelan. Kemudian ia mencondongkan badan dan membisikan Shaga sebuah kalimat nakal. "Entar aja kalo ke rumah lo. Kita minum teh berdua."

Shaga terbahak. "Punya siapa si ini nakal banget!" ucap Shaga seraya menyubit pelan pipi kanan Lava.

"Tapi beneran, Ga. Pelukan lo nyaman banget. Favorit gue."

"Favoritnya Shaga cuma Lava," ucap Shaga enteng, bahkan ketika ia menyesap secangkir kopi pun ia membiarkan rona merah hadir lebih lama di pipi Lava.

"Kayaknya lo aslinya jadi buaya darat deh di cerita ini," celetuk Lava.

"Pawangnya tetep kamu." Lagi-lagi Lava mendengus hanya untuk menyembunyikan sesuatu yang memanas pada kedua pipi.

Lava membiarkan detik mengambil alih tanpa percakapan. Di saat lagu itu berhenti, Lava menyantap waffle yang sempat ia biarkan begitu saja.

"Kamu tau, teman aku tadi itu sebenarnya nggantiin aku. Ini bukan hari libur aku, tapi aku pengin ngabisin hari ini sama kamu, jadi aku tuker shift sama dia," tutur Shaga. Dia membicarakan barista Rimbawa yang tidak doyan cewek, katanya.

"Lo kerja juga di sini?" tanya Lava yang memang baru tau.

Shaga mengangguk. "Hmm, Sabtu-Minggu 8-12 jam kerja tergantung keramaiannya. Tapi untuk hari-hari biasa aku cuma ngisi setelah pulang sekolah. Dan itu pun kalo nggak ada kegiatan tambahan dari sekolah."

Lava mengangguk-angguk. "Kapan-kapan kalo lo lagi ngeshift, gue nyamperin ah!"

"Mau ngapain?"

"Beli lah," ucap Lava mantap.

"Bukan karena kangen?"

"Itu juga," jawab Lava.

"Ya udah sering-sering ke sini, soalnya aku juga kangen terus."

"Buaya!"

"Lah?"

"Apa?"

"Gemes jadi pengin minum teh berdua."

***
To be continue

Ramyeon meokgo gallae
Mau melihat kupu-kupu di rumahku?❎
Mau minum teh berdua? ☑️ (Emot bulan hitam hehe)

*Karena part kemarin agak spaneng, jadi part selanjutnya aku kasih moment Shaga & Lava walaupun agak garing. Shaga kang gombal, si buaya ygy.

Kalian udah siap pisah sama Shaga belum ini?😗

Cuma tanya nggak usah pada ovt🙂tanya doang, kan nggak ada salahnya tanya.

Kalian kalo suka bab ini jangan lupa vote sama komen, nanti ditinggal Shaga loh! Wkwk [tertawa agak jahat]

Udah yaa ketemu besok besok lagiii!

Minggu, 02 Oktober 2022.

See you🌷

Continue Reading

You'll Also Like

2.1K 1.6K 16
Ini adalah cerita kami di hari kelulusan SMA, baik buruk seseorang terungkap di cerita ini. Berharap saja ini bisa menjadi kenang-kenangan sebelum ka...
14.6K 2.8K 37
"Es saja bisa mencair, masa Dika enggak?" -Eca. โš ๏ธFANFICTION ---- ยฉItscanee 7 november 2021 ๐ŸŽ‰Rank : #1 penulispemula [041221] #1 guinnmyah [261121] ...
441 228 11
Ketika mendapat kabar duka tentang sahabat kecilnya yang tiba-tiba saja meninggal, ini tentang Achavella Gritte Lovata. Mencari alasan dibalik sahaba...
5.1K 712 22
Bagi Nantya, Raiyyan adalah tempatnya untuk pulang. Satu-satunya lelaki yang membuatnya menetap tinggal tanpa bisa melangkah pergi sekalipun dia ingi...