Love Vs. Logic

By maulabronte

881K 121K 3.6K

Harapan Nana untuk mulai belajar mencintai kekasihnya pupus ketika pria yang tidak mau dia sebut namanya itu... More

Chapter 1 - Kenapa Harus Dia, Sih?
Chapter 2 - Katanya sih Rada Gesrek
Chapter 3 - Pure, White and Deadly
Chapter 4 - Memulai, Berhenti Menyapa, kemudian Berpisah
Chapter 5 - Nana Si Pencuri Teh
Chapter 6 - We Need to Talk
Chapter 7 - Hidup Memang Begitu, kan?
Chapter 8 - You're Long Gone
Chapter 9 - Cranky Bos
Chapter 10 - Pawang Sang CEO
Chapter 11 - Nice Try
Chapter 12 - Live Drama Sinetron
Chapter 13 - Suara Hati Eros
Chapter 14 - Alasan Logis
Chapter 15 - See Ya in Surabaya
Chapter 16 - Nana Forever
Chapter 17 - Kok, Malah Jadi Curhat?
Chapter 18 - Penata Rambut Dadakan
Chapter 19 - Freaking Nuts
Chapter 20 - Mercy Me
Chapter 21 - Kamu Selamanya
Chapter 22 - Grow Up!
Chapter 23 - Eros yang Terluka
Chapter 24 - Young Love (For Nana, forever years ago)
Chapter 25 - I Love You, Darling
Chapter 26 - Overreact and Selfish
Chapter 27 - Regret and Apologies
Chapter 28 - Eros Vs Mami
Chapter 29 - Impressed
Chapter 30 - Renegade
Chapter 31 - Kita Bisa Mengatasi Ini
Chapter 32 - Conclusion
Chapter 34 - Rencana Resign
Chapter 35 - Nana and The Queen
Chapter 36 - Tarik Ulur
Chapter 37 - Pernyataan Cinta Diterima
Chapter 38 - Sebuah Tameng untuk Keegoisan
Chapter 39 - Officially Over
Chapter 40 - Kembalinya Roro
Chapter 41 - So-called Detox
Chapter 42 - Next Cross Path
Chapter 43 - Better Man
Chapter 44 - Sorry for your Loss
Chapter 45 - Relief
Chapter 46 - His True Love
Chapter 47 - Time Can Heal but this Won't
Chapter 48 - Officially Come Back

Chapter 33 - Honesty & Friendship Gone Wrong

13.7K 2.2K 69
By maulabronte

Playlist: The Civil Wars - Poison & Wine

 . . .

I don't have a choice, but I still choose you

Oh, I don't love you, but I always will

. . .

Aku tidak bertanya waktu mobil Roro yang membawa kami masuk ke area rumah sakit. Dia memarkir mobil, lalu menelepon Andro untuk mengatakan keberadaan dirinya. Nomor Roro ternyata luput dari blokiran pengkhianat itu. Aku sama sekali tidak merespon atau menanggapi apa yang dilakukan Roro sekarang, karena sibuk menyiapkan hati untuk fakta yang akan kudengar, entah itu dari Andro ataupun Roro, sahabat yang sudah kuanggap adik sendiri.

Tidak sampai lima menit Andro menghampiri kami. Ia mengetuk kaca di pintu kemudi.

"Kita nggak bisa masuk ke dalam soalnya jam besuk udah habis, Na. Dan gue tahu lo butuh melampiaskan emosi yang ada di diri lo," kata Roro sebelum keluar dari mobil.

Roro pindah ke jok belakang. Kini yang ada di sampingku adalah Andro. Aku masih punya pengendalian yang baik—setidaknya untuk sekarang, karena tanganku tidak melayang untuk menampar atau meninju pipinya meski aku sangat ingin melakukan itu. Aku mengenyahkan rasa iba yang muncul ketika melihat ekspresi Andro. Selama aku mengenalnya, baru kali ini dia menunjukkan ekspresi lemah. Perpaduan dari rasa sesal, sakit, dan ling-lung.

"Lo pasti udah tahu alasan gue kemari. Gue akan dengerin tanpa menyela. Silakan jelaskan bagaimana lo bisa bertindak layaknya penjahat berengsek!" suruhku tegas.

Andro langsung memberikan penjelasannya.

"Bokap gue sakit. Diabetes, jantung dan komplikasi lainnya yang nggak bisa gue jelasin apa aja. Ada biaya-biaya yang nggak bisa di-cover BPJS. Nyokap gue kabur ninggalin bokap udah lama, sejak bokap nggak bisa kerja lagi karena kesehatannya. Sedangkan gue punya tiga adik yang masih butuh biaya banyak buat kuliah dan sekolah. Gue tahu dan sadar apa yang gue lakukan itu salah, tapi waktu itu gue kepepet banget. Lo pernah bilang ke gue kalau lo anak pertama, jadi lo pasti bisa ngerti gimana sulitnya ada di posisi gue."

Andro menghela napas. Aku meremas tasku yang ada di pangkuan, lalu menoleh ke arah Andro sambil memasang tatapan penuh benci.

"Lo dirasukin setan mana sampai tega berbuat kayak gini, Ndro," ucapku geram. "Lo punya opsi lain selain nilep duit perusahaan. Kalau lo terlalu malu minjem duit ke Eros, lo bisa ngomong ke gue, biar gue yang bilangin ke Eros untuk bantu. Lo tahu yang paling jahat? Lo nikam Eros dengan kerjasama sama Melissa, mantannya Eros! Otak lo ada di mana sih, Ndro? Lo nggak bisa apa mikirin perasaan orang yang udah bantuin lo? Lo nggak mikirin perasaan gue yang kena limpahan proyek lo karna lo keluar gitu aja tanpa serah terima? Fuck!"

Aku tertawa kecut, mengasihani diri sendiri. "Lo sendiri tahu tim kita udah berkurang dua orang, nyari orang baru juga nggak segampang itu, tapi lo malah—"

"Masalah Melissa mantannya Eros sumpah gue nggak tahu, Na," bela Andro.

"Bullshit!"

"Sumpah! Demi Tuhan sebelum perjanjian itu gue nggak ngerti kalau Melissa dulu pernah punya hubungan sama Eros."

"Perjanjian apa yang lo sepakati sama Melissa?"

Andro mengusap wajahnya gusar lantas menjawab, "Gue ngelamar kerja di kantornya Melissa awalnya iseng nemu di Jobstreet. Dapat panggilan interview. Ditawarin gaji gede, tapi dengan syarat gue harus bocorin daftar calon klien punya anak project, biar klien itu lari ke kantornya Melissa. Waktu itu gue nggak bisa mikirin apa-apa, yang ada di kepala gue Cuma duit buat operasi bokap dan sekolah adek-adek gue. Jadi nggak ada yang keluar dari mulut gue selain kata iya."

Aku tersenyum miring, emosiku memuncak, hanya bisa melampiaskan dengan mengepal tangan.

"Di hari gue resign dan pamitan lewat WA, gue cuma kerja sehari di kantornya Melissa karena hati gue nggak tenang."

"Oh, jadi sia-sia dong udah ngasih data klien ke Melissa sementara lo cuma kerja sehari di sana. Nggak jadi dapet duit yang lo idam-idamkan itu," balasku menohok.

"Lo berhak berkomentar apa pun, tapi memang gue nggak tenang dan terus dihantui rasa bersalah ke Eros, ke lo, dan anak-anak Erosoft yang lain. Gue udah coba hubungi Eros, tapi dia cuma balas lewat pesan, gue nggak mau liat muka lo lagi. Dia udah benci banget sama gue, Na."

"Karena lo memang pantas untuk dibenci," jelasku, lalu melirik ke kaca spion depan untuk melihat Roro yang duduk di kursi belakang. "Lo sejak kapan tahu masalah ini, Ro?"

Roro menunduk, tak lama isak tangisnya terdengar.

"Sejak lo berangkat ke Surabaya," jawabnya dengan suara bergetar. "Ma-maafin gue karena—"

"You guys totally traitor!" Aku berteriak meluapkan emosi. "Dan, lo Ro... gue nggak nyangka lo bisa kayak gini ke gue. Kita temenan berapa lama sih? Kita udah kayak sodara, Ro! Kalau aja lo bisa ngomongin ini lebih awal ke gue, gue bisa mencegah hal ini terjadi."

Air mataku mulai menggenang. Aku sudah siap atas penjelasan apa pun, tapi mengetahui fakta dari Roro rasanya lebih menyakitkan daripada penjelasan runut yang dituturkan Andro.

"Jangan salahin Roro, Na. Gue yang minta ke dia." Andro membela.

"Lo lebih percaya sama cowok berengsek ini daripada gue, Ro? Hah?!"

Roro hanya bisa menangis. Makin lama suara tangisannya makin kencang. Air mataku akhirnya tumpah. Buru-buru kuusap dengan tangan.

"Gue anggap persahabatan kita selesai," kataku sambil menahan tangis.

"Na... Tolong jangan gitu." Ia memohon. "Gue sayang sama lo, Na. Gue udah anggap lo kayak kakak yang nggak pernah gue punya." Roro menyentuh lenganku.

Dengan rasa sesak di dada, aku keluar dari mobil, berlari keluar area rumah sakit untuk mencegat taksi.

Aku tidak pulang ke kos, melainkan datang ke apartemen Eros, tanpa mengabarinya lebih dulu. Untungnya Eros ada di apartemen ketika aku bertanya pada resepsionis. Sekitar lima menit setelahnya Eros menjemputku di lobi. Wajahnya terlihat khawatir waktu bertatapan denganku. Namun, dia tidak menanyakan apa-apa.

"Suka nasi hainan?" tanya Eros kemudian waktu aku membuka pintu kamar mandi.

Aku mengangguk.

"Nasi hainan buatan Mami. Tadi diantar sama sopir ke sini," jelasnya tanpa kutanya. "Mau makan di meja makan, atau di depan TV aja yang lebih nyaman?"

"Depan TV aja," sahutku. Berjalan ke ruang TV, lalu duduk menyelonjorkan kaki di karpet, sembari menyandarkan punggung ke badan sofa.

Eros datang membawa nampan berisi sepiring nasi hainan, teh panas di dalam mug dan segelas air putih.

"Makan gih," suruhnya. "Biar enteng rasanya kalau cerita sambil makan." Dia duduk di sebelahku, menekan-nekan remot TV, mencari tayangan yang bagus di HBO hingga pilihannya jatuh ke acara Selena + Chef, melihat bagaimana si cantik multitalenta Selena Gomez memasak di dapur bersama chef terkenal dunia yang terhubung jarak jauh.

Aku minum seteguk air, lalu mengambil sendok dan mulai menyuap nasi ke dalam mulut.

"Tahu dari mana kalau aku punya masalah yang harus diceritain?" Aku bertanya di sela makan.

"Nggak balas-balas chat, telepon juga nggak diangkat, tapi tahu-tahu kamu datang ke apartemen dengan wajah kusut." Eros menghela napas, mengalihkan tatapan dari layar TV padaku.

Selanjutnya aku menceritakan apa yang terjadi, secara keseluruhan. Tentang Andro dan Roro.

"Roro pasti punya alasan. Tapi coba pikirin lagi untuk memutus hubungan persahabatan kalian," komentar Eros.

"Nggak ngerti aku sama dia." Aku meneguk sisa air di dalam gelas sampai habis. Nasi di piring sudah habis kulahap. "Dia bilang mundur karena tahu Andro nggak bisa serius, tapi kenapa sekarang dia berpihak sama Andro yang jelas-jelas pengkhianat."

Eros mengedikkan bahu. "Pas dia ngomong begitu mungkin belum tahu rencana Andro. Aku percaya dia nggak sejahat itu sama kamu. Roro cuma kasihan sama Andro, itu jelas. Pilihan Roro atau hidupnya nggak bisa kamu atur sesuai apa yang kamu inginkan, Na."

"Dan dia juga nggak bisa ngatur aku untuk mau sahabatan lagi sama dia atau enggak," tegasku.

"Setiap orang punya pilihannya masing-masing, kan? Begitu juga dengan aku yang nggak mau liat muka Andro lagi. Terserah dia mau jungkir balik berusaha untuk ngeyakinin kalau dia kepepet pun, aku udah masa bodoh."

"Bukannya waktu itu kamu bilang nggak bisa mutusin sebelum kamu tahu penyebab kenapa Andro melakukan itu?"

Eros mengangguk menyangga kepala dengan lengannya. "Akhirnya udah tahu pun, aku bisa apa? Udah males aja buat memperpanjang masalah. Prihatin sih prihatin dengar kondisi keluarganya dia, tapi harus ya menghancurkan kepercayaan dan menimbulkan masalah buat banyak orang demi kepentingan pribadi? Aku benci banget itu. Jadi aku putusin udah nggak mau lihat muka dia lagi. Titik. Ngapain mesti ngurusin orang yang nggak penting dan bikin ribet diri sendiri."

"Duit bisa dicari, tapi kepercayaan?" Aku mengingatkan pada kata-katanya.

"Yap." Eros mengusap belakang kepalaku.

"Padahal tadi kamu bahas-bahas duit lima ratus juta ke anak-anak accounting," ledekku.

Eros mencebik. "Bedalah. Buat nunjukin wibawa sebagai pimpinan dong, darling... Kalau nggak ditegasin gitu anak-anak tuh suka pada ngelunjak."

"Btw, kamu bisa nggak lebih ngedesak Satria untuk buruan dapetin orang buat tim SA? Aku keteteran," pintaku penuh harap.

"Oh, jadi kamu ngelobi aku nih?" goda Eros.

"Kali aja kalau kamu yang bilangin Satria jadi sat-set gitu."

"Yakinin aku dulu dong, untuk melakukan apa yang kamu minta."

Aku memutar bola mata. "Ya udah kalau nggak mau. Bodo amat ya kalau ada klien yang nggak keurus."

Eros tergelak. Tangannya merangkul leherku dan melabuhkan ciuman singkat di pipi.

"Tidur sini ya. Udah malam banget, aku males keluar lagi."

Aku melihat ke jam dinding dekat TV. Sudah pukul setengah dua belas. Aku ingin bersuara untuk protes, tapi sudah keburu ditangkis Eros.

"Jangan bilang mau naik taksi atau ojol. Nggak boleh! Udah malam banget. Besok pagi-pagi aku antar ke kos. Tidur pakai kaos sama celanaku dulu."

Aku menatap kedua mata Eros dengan saksama. Wajahnya memang terlihat sudah ngantuk.

"Oke." Aku mengangguk setuju, lalu mengusap pipinya.

"Tidur di kamarku. Nanti aku tidur di kamar satunya."

"Yang mana aja."

Eros tersenyum. Senyuman yang entah sejak kapan bisa membuatku tenang dan nyaman ketika dia bersamaku. Meski dia suka bicara sesuka hatinya aka asal jeplak, hal itu tidak lantas membuatku mencari alasan untuk pergi menjauh. Namun, makin membuatku ingin terus berada di sisinya. Apalagi dengan sarannya yang memintaku untuk menceritakan masalah sambil makan supaya lebih santai dan membuatku rileks. Itu terbukti. Tadinya kupikir aku akan meluap-luap ketika menceritakan masalah Andro-Roro ke Eros, ternyata nggak sama sekali. Aku menceritakannya nyaris tanpa emosi, tanpa kata-kata kasar dan sumpah serapah yang keluar dari mulutku, dan itu sangat membuatku nyaman.

Entah ini baik atau tidak. Kurasa aku mencintainya.

***

Hello para darlings...

Continue Reading

You'll Also Like

455K 50.1K 46
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
1.5M 20.3K 24
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
1.9M 27.9K 44
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
2.5M 183K 34
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...