Bab 15 adegannya dewasa 21+, biar aman jadi ditaruh di Karyakarsa.
Tanpa baca bab 15, masih nyambung kok tenang aja. 🥰👍
***
FORBIDDEN BEAUTY part 16 - Two Men
Ada begitu banyak kemungkinan yang bisa terjadi, tapi Luna tidak menyangka bahwa dia akan melihat Raiden tertidur di sampingnya. Luna pikir, Raiden akan segera pergi sesaat setelah dia selesai melakukan semua itu pada Luna. Bahkan Luna saja tidak ingat kapan dia tertidur dan memakai pakaian lengkap lagi, sementara di sampingnya Raiden tidur memeluk diri sendiri tanpa ditutup oleh selimut.
Mengesampingkan rasa herannya terlebih dahulu, Luna menyampirkan selimutnya ke tubuh Raiden.
Dan tiba-tiba saja Raiden bergerak, lalu pria itu mengubah posisi tidurnya sehingga berbalik menghadap Luna.
Luna menahan napas, tertegun akan kedekatan wajah mereka yang hanya beberapa senti.
Di luar, matahari tengah bersinar terik. Cahayanya menembus gorden putih lalu menerpa wajah Raiden. Di saat itu, baru Luna sadari bahwa bulu mata Raiden sangat panjang. Rambut pria itu juga, seolah lebih panjang dari terakhir kali Luna melihatnya, sekarang sampai mengenai kelopak matanya yang tertutup. Wajah pria itu jadi tampak begitu polos seperti anak kecil. Ketampanannya adalah suatu anugerah yang sangat suka Luna pandang, bahkan dari semenjak pertemuan pertama mereka. Memandangnya seperti ini sampai beberapa menit ke depan saja rasanya bukan masalah.
Luna kemudian teringat pada kejadian semalam. Kenikmatan yang Raiden berikan benar-benar berhasil mengalihkan perhatian Luna sepenuhnya.
Luna tidak ingin membandingkan Raiden dengan laki-laki yang pernah bersamanya sebelumnya, namun dia tidak tahan sehingga membandingkan mereka tanpa sadar. Semua yang pria lain pernah lakukan pada Luna, terasa jauh berbeda saat Raiden yang melakukannya.
Padahal mereka baru bertemu beberapa kali.
Tapi Luna tahu bahwa Raiden jelas berbeda. Karena dari semua pria itu, cuma Raiden yang pernah membersihkan tubuh Luna dan bahkan memakaikannya pakaian kembali. Sikap penuh perhatian pria itu menjadi ancaman yang begitu besar bagi hati Luna yang tengah rapuh.
Luna tanpa sadar menyunggingkan senyum tipis di bibirnya saat bulu mata Raiden yang lentik itu bergerak. Lalu kelopak mata itu terbuka perlahan, manik berwarna emas tampak semakin menyala saat diterpa cahaya matahari.
"Hm. Kau sudah bangun." Raiden mengerjapkan matanya, lalu menggeliat pelan sebelum bangkit duduk. Dia menoleh ke arah Luna sekilas yang ikut bangun. Pandangan wanita itu tertuju padanya, seolah meminta penjelasan.
"Kupikir kau sudah pergi," kata Luna.
"Maafkan aku karena tidur di sini tanpa seizinmu. Tadinya aku tidak berniat, tapi—"
"Sudahlah. Tidak apa-apa," Luna memotong ucapannya.
Raiden mengangguk paham, lalu dia turun dari ranjang dan berdiri. Pakaian yang pria itu kenakan masih sama seperti semalam, yang pria itu tidak izinkan Luna untuk melepasnya.
Luna menerka-nerka, sampai sejauh mana pertahanan diri Raiden, karena semalam dia benar-benar menepati janjinya.
"Kau bilang manajermu akan datang hari ini, kalau begitu urusan kita sudah selesai, bukan?" kata Raiden.
"Kau seharusnya menyadari itu sejak semalam setelah aku jatuh tertidur, bukannya malah tidur di sampingku sehingga kita bangun dalam keadaan canggung begini."
Raiden menunduk menatap lantai seolah merasa bersalah. "Sekali lagi, maaf," katanya.
Luna mengernyitkan dahi. Padahal ucapannya itu tidak benar-benar serius, dia tidak merasa canggung sama sekali sekarang. Hanya ... heran, mengingat betapa keras kepalanya Raiden semalam.
Dan ke mana perginya pria keras kepala itu pagi ini? Yang di hadapannya sekarang adalah pria kaku itu lagi.
"Kalau begitu, saya akan pergi. Selamat pa—siang, Miss Carmine." Raiden yang canggung kemudian berbalik, keluar dari kamar Luna.
Dan Luna tidak berniat untuk mencegahnya. Walau begitu, ada sesuatu di dalam hatinya yang membuat Luna menatap sedih ke arah pintu.
Pada akhirnya, sang pelipur laranya pun pergi meninggalkannya.
Namun di sisi lain, Luna juga tidak berharap pria itu untuk tinggal. Saat ini, Luna mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia memiliki masalah yang jauh lebih besar dari hanya sekadar mengaharapkan seorang pria.
Luna segera bangun dari ranjang, mengambil ponselnya untuk mengecek pesan masuk dari Cecile. Isinya sangat panjang dan dipenuhi oleh kata maaf.
Tatapan Luna mendingin.
Inti dari pesan itu adalah bahwa Cecile tidak bisa datang seperti yang kemarin wanita itu janjikan.
Luna melempar asal ponselnya itu ke ranjang, lalu bangkit berdiri dengan perasaan marah.
***
"Hai, Man! Kenapa wajahmu cemberut begitu?" Jonathan yang melihat Raiden masuk ke ruangannya langsung menyapa.
"Apa yang kau lakukan di sini pagi-pagi sekali?" tanya Raiden dengan heran.
Jonathan menatapnya lebih heran lagi. "Pagi? Ini sudah siang! Dan lagi pula, karenamu aku jadi harus bekerja ekstra untuk memeriksa catatan keuangan ini. Apakah sebegitu menyenangkannya menghabiskan waktu bersama kekasih artismu itu? Kau—awh!" Jonathan meringis karena Raiden melempari wajahnya dengan baju kotor. Selain meringis, Jonathan juga langsung memasang wajah jijik.
"Jaga ucapanmu!" peringat Raiden.
"Ah, maaf kalau begitu. Kau memang pria tersuci yang pernah kutemui, tidak mungkin kau mengambil kesempatan pada wanita yang tengah tidak berdaya. Ya, kan?"
Raiden mengambil sebuah kaos polos bersih berwarna putih dari laci penyimpanan di meja kerja Jonathan. Dan dia benar-benar tidak mau menjawab pertanyaan pria itu. Karena kenyataannya adalah, Raiden tidak sesuci dan sekaku yang temannya ini kira. Semalam, dia telah mengambil begitu banyak kesempatan dari wanita tengah tidak berdaya itu.
"Jadi, seberapa banyak dia menangis?" tanya Jonathan.
Raiden tahu bahwa pria itu hanya berbasa-basi. Dia juga pasti melihat berita semalam.
Dan kali ini, Raiden menjawab pertanyaannya, "Banyak. Begitu banyak sampai dia sendiri tidak tahu bagaimana cara menghentikannya."
Dan saat itu terjadi, Raiden sempat berpikir, bahwa dia akan melakukan apa pun asal bisa membuat Luna berhenti menangis.
Dan Raiden benar-benar melakukan itu.
***
Luna tadinya hendak langsung pergi siang itu juga, tapi karena pesan singkat Cecile, dia memutuskan untuk tinggal lebih lama lagi. Malam akan menjadi waktu yang tepat. Luna hendak mendatangi agensinya untuk meminta penjelasan dari mereka. Tidak hanya membenarkan isu perselingkuhan Luna—yang walau memang benar, tapi mereka juga membenarkan isu kehamilan Luna yang tidak pernah terjadi. Padahal Luna mengaharapkan pembelaan mereka.
Malam kemudian tiba dengan cepat. Dua kali seorang pelayan mengantarkan makanan dengan menu yang sama, padahal Luna tidak pernah memesan. Dan saat ini, nafsu makannya telah hilang. Luna hanya duduk di atas tempat tidurnya yang masih beraroma seperti Raiden.
Parfum jenis apa yang pria itu gunakan sehingga aromanya terasa begitu menenangkan begini?
Luna kemudian bangkit berdiri dan memutuskan bahwa inilah saatnya dia pergi. Setelah menbersihkan diri dan bersiap-siap, Luna keluar dari kamar itu membawa sebuah ransel yang dia temukan di dalam lemari. Sudah pasti, ini adalah milik Raiden. Dan Luna juga membawa dua kemeja polos milik pria itu.
"Aku tidak mencuri, aku akan membayarnya nanti," ucap Luna pada dirinya sendiri tadi sebelum memasukkan pakaian itu ke dalam ransel. Dia sengaja meninggalkan kopernya dan beberapa potong pakaian yang dia pikir tidak akan dia butuhkan lagi ke depannya.
Luna keluar dari lift, menatap ke kiri dan kanan memastikan tidak ada yang melihatnya. Untungnya malam ini pengunjung bar tidak banyak. Musik mengalun dengan lembut sehingga Luna pun melanjutkan langkahnya penuh percaya diri. Namun, baru beberapa langkah saja Luna langsung berhenti.
Itu karena dia mendengar suara tawa seseorang yang sangat dia kenal.
Tubuh Luna langsung membeku. Dia mengedarkan pandangnya. Dan saat itulah dia kemudian melihat Richard Campbell, ayahnya, duduk di sebuah meja bersama seorang pria berjas rapi yang pria itu panggil David.
Di kepala Luna saat ini, hanya ada satu pria bernama David, yaitu David Gregory—pria yang akan dijodohkan dengannya.
Apa yang dua pria itu lakukan di sini?
Dan sebelum Luna sempat tahu jawabannya, salah satu dari mereka menoleh dan menatap ke arah Luna berdiri.
***