Chapter 23 - Change Mind

565 68 2
                                    

Hari baru, dengan kegagalan yang sama.

Semalam Raiden telah memikirkannya dengan sangat dalam, untuk membawa Luna pergi pada keesokan harinya. Karena tempat ini sangat tidak cocok untuk wanita itu, dan juga karena Raiden tidak mau berurusan dengan seseorang seperti Luna. Dia hanya ingin kembali menjalani harinya yang monoton, tanpa riak yang terlalu seperti ini. Semuanya memang terasa membosankan, tapi Raiden lebih memilih itu, ketimbang resiko terbelit masalah yang lebih berat dari yang pernah dia alami sebelumnya.

Pengecut; Raiden menyebut dirinya sendiri. Tapi sekali lagi, dia tidak peduli. Dia hanya harus melalui episode-episode membosankan ini sebelum sampai pada akhir, yaitu kematiannya. Ke tempat dia akan menyusul ayahnya ke dalam neraka.

Namun, kenapa semua pemikiran itu dengan sangat cepat bisa sirna sesaat setelah dia membuka mata dan memandang langsung ke arah wanita itu? Raiden harusnya bersikap tegas, karena Luna bukanlah siapa-siapa baginya. Dan dia juga tidak berhutang apa pun dengan wanita itu. Seharusnya, berbuat sedikit kejam untuk melindungi dirinya sendiri bukanlah masalah, sebelum semuanya terlambat dan menjadi semakin lebih rumit. Tapi Raiden benar-benar tidak bisa melakukannya sekarang.

Pikiran dan hatinya berperang dengan sengit.

"Tidak hari ini," gumam Raiden kemudian, mengambil keputusan akhir. Ya, tidak hari ini. Dia memutuskan untuk membantu Luna lebih jauh, terjebak dalam kehidupan wanita itu yang rumit. Tapi, Raiden hanya harus bersikap lebih hati-hati agar tidak ikut terdorong ke dalam cahaya gemerlap kehidupan seorang Luna Carmine.

Entah sudah berapa lama Raiden duduk di atas permukaan lantai yang dingin itu. Alas tidurnya telah dia lipat dan siap untuk masukkan ke dalam lemari. Matanya yang berwarna emas itu menatap ke arah ranjang, ke arah wanita cantik yang tengah tertidur dengan sangat pulas. Cahaya fajar menerpa wajahnya, membentuk gerakan-gerakan bayangan yang seolah menari di sana.

Raiden sendiri lupa sudah berapa lama dia duduk di situ dengan pandangan yang tidak terlepas dari wajah bak Dewi Aphrodite tersebut, sampai dia tersadar bahwa apa yang dilakukannya tidaklah benar. Dia segera bangkit, memasukkan alas tidurnya ke lemari, lalu melangkah mendekati ranjang dengan niat untuk merapikan selimut yang tersingkap. Pandangan Raiden terhenti sejenak pada kulit paha Luna yang tak bercela, tapi kini dinodai oleh warna kemerahan dari bekas gigitan nyamuk.

Ah, bahkan ketidaknyamanan seperti ini tidak membuat Raiden goyah. Kalau dia peduli, seharusnya dia membawa Luna ke tempat yang lebih layak. Sepertinya keputusannya ini pasti juga didorong oleh keegoisannya. Namun Raiden tidak mau mengakui hal itu, bahkan sedikit saja. Dia pun dengan cepat mengoleskan salep ke bagian merah bekas serangga itu.

Dan saat Raiden sedang melakukannya, dia teringat pada malam lalu di mana dia menggigit Luna di bagian sini, dan berhasil membuat wanita itu merintih oleh rasa sakit dan juga kenikmatan.

Raiden sontak menjauhkan tangannya seolah kulit Luna adalah api yang tengah menyala.

Ini bukan karena gigitan serangga, melainkan gigitan sesuatu yang lain.

Tanda merah ini tidak akan hilang kurang lebih sampai tiga hari, dan ini baru satu hari semalam berlalu, warna merahnya tampak semakin gelap. Bagaimana Raiden bisa tidak mengingatnya?

Dia pun mengembalikan obat itu ke tempatnya semula, kemudian menghela napas seraya memejamkan matanya. Wajahnya memerah saat merasakan celana yang ia kenakan mulai terasa sesak. Dengan cepat dia melangkah menuju kamar mandi dan mulai bersiap-siap untuk pergi. Selama melakukan itu, tidak sekali pun Raiden menoleh lagi ke arah ranjangnya.

Dan dia tidak menyangka, bahwa paginya akan dimulai dengan seberat ini.

***

Matahari telah bersinar sangat terik, dengan cahayanya yang masuk melalui jendela dan langsung menerpa wajah Luna yang masih terduduk di atas ranjang dengan mata setengah tertutup. Kantuk masih menggantung di bawah matanya yang dia paksa untuk terus terbuka. Luna harus sadar bahwa dia sedang tidak berada di rumahnya sendiri.

"Ke mana pria itu?" gumam Luna, mengedarkan pandang ke kamar yang kini dibasuh oleh cahaya yang sangat banyak sehingga Luna bisa melihat semuanya dengan jelas.

Pikirnya, kamar ini benar-benar tampak seperti kamar laki-laki. Sangat sederhana dengan minim barang. Luna hanya melihat lemari dan sebuah nakas, juga ranjang tempatnya saat ini, hanya itu saja.

Pintu berderit terbuka, membuat Luna terlonjak dan langsung menoleh ke belakang. Dia melihat Raiden di ambang pintu, dengan tatapan ramahnya dan juga senyuman hangat.

"Kau sudah bangun?" ucapnya.

Kenapa pria ini? pikir Luna bingung. Dia tidak bisa menebak apakah keramahan yang pria itu tunjukkan tulus atau tidak.

Raiden kemudian masuk ke dalam, duduk di dekat Luna.

Karena ranjang tersebut yang berukuran kecil, jarak di antara mereka juga jadi menipis. Luna perlahan beringsut menjauh.

"Bagaimana perasaanmu sekarang? Kuharap dua belas jam tidur itu membuatmu merasa lebih baik."

Luna membelalakkan mata. "Dua belas jam?!" serunya dengan tatapan tidak percaya, seolah dia baru saja mendengar hal yang sangat tidak masuk akal.

Raiden mengangguk dengan santai.

"Kenapa kau tidak membangunkanku?!" cerca Luna.

"Bagaimana aku bisa tega membangunkanmu? Kau tertidur dengan sangat pulas. Dan kupikir kau juga membutuhkannya, istirahat yang banyak." Raiden mengulurkan tangan, meraih sejumput rambut Luna yang tidak beraturan. Saking pelannya gerakan pria itu, Luna bahkan nyaris tidak menyadarinya kalau saja dia tidak melihatnya langsung.

"Tapi tetap saja," gerutu Luna, mencoba untuk mengabaikan perlakuan pria itu yang berpotensi membuat hati dan pikirannya kembali teralihkan. "Bagaimana dengan keluargamu? Apa mereka semua sudah tahu kalau aku di sini?"

"Hm."

Sekali lagi, manik mata hijau Luna membesar. Apa saja yang telah terjadi selama dia tertidur selama dua belas jam? Tidur terpanjang yang mungkin pernah dia miliki selama ini.

"Ba-bagaimana kau ... bagaimana kau memberi tahu mereka?" tanya Luna dengan terbata.

"Ibuku tahu begitu saja, sepertinya Hazel memberitahunya. Dan dia memberikan pakaian ganti ini untukmu." Raiden menunjuk pada pakaian terlipat yang terletak di ujung tempat tidur, lalu beralih ke pakaian yang dipakai Luna. Tatapannya tidak sengaja tertuju ke arah paha Luna dan melihat bekas merah itu masih ada di sana. Raiden langsung mengalihkan pandangannya ke mata wanita itu. "Setidaknya, pakaian ini lebih baik daripada milikku. Ya, kan?" ucapnya, dengan senyum yang kali ini tampak dipaksakan.

"Y-ya," jawab Luna, terbata. Karena dia tidak berpikir demikian. Karena dia lebih menyukai menggunakan pakaian kebesaran milik Raiden ini. Sial! Wajah Luna menjadi begitu panas karena malu ketika menyadari pemikirannya tersebut.

Dan di luar sana, keluarga pria ini tengah menunggunya. Sebagai tamu yang tidak diundang, hal terkecil yang bisa dia lakukan adalah menyapa mereka dan memperkenalkan dirinya. Wajah Luna semakin memerah. Dia tidak bisa membayangkan suasana canggung yang akan dia hadapi nanti.

"Sebaiknya kau bersiap-siap."

Setelah mengatakan itu, Raiden bangkit berdiri, tapi Luna menarik ujung pakaiannya sehingga Raiden berhenti saat dia hendak melangkah pergi.

Luna mendongak padanya. "Aku pasti sudah membuat keluargamu merasa tidak nyaman. Maafkan aku. Setelah menyapa ibumu nanti, apakah kau mau mengantarku ke tempat lain?" pinta Luna.

Raiden terdiam untuk beberapa saat. Sekelebat emosi tampak di matanya, yang dengan cepat hilang ditutup oleh senyum menenangkan.

"Hm. Aku akan mengantarmu."

***


FORBIDDEN BEAUTYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang