Stolen Sweetheart

By xadaragoe

225K 17.6K 5.3K

"Let's pretend nothing happened tonight. Deal?" Jangan sekali-sekali kau berani untuk terjun ke sebuah lingk... More

๐๐‘๐Ž๐‹๐Ž๐†
๐€๐ญ๐ฅ๐š๐ฌ ๐”๐ง๐ข๐ฏ๐ž๐ซ๐ฌ๐ข๐ญ๐ฒ ๐’๐ญ๐ฎ๐๐ž๐ง๐ญ
๐Ÿ. ๐“๐ก๐ž ๐†๐จ๐ฌ๐ฌ๐ข๐ฉ
๐Ÿ. ๐“๐š๐ข๐œ๐ก๐š๐ง ๐’๐ž๐ง๐š๐ฒ๐š๐ง
๐Ÿ‘. ๐’๐จ๐ฃ๐ฎ & ๐๐ฒ๐ฑ ๐๐š๐ซ
๐Ÿ’. ๐‡๐ž ๐Š๐ง๐จ๐ฐ๐ฌ
๐Ÿ“. ๐“๐ž๐š
๐Ÿ”. ๐€ ๐๐ฎ๐ง๐ข๐ฌ๐ก๐ฆ๐ž๐ง๐ญ
๐Ÿ•. ๐ƒ๐ข๐ซ๐ž๐œ๐ญ ๐Œ๐ž๐ฌ๐ฌ๐š๐ ๐ž๐ฌ
๐Ÿ–. ๐Œ๐ž๐ฌ๐ฌ๐ž๐ ๐”๐ฉ
๐Ÿ—. ๐–๐ž ๐€๐ฅ๐ฅ ๐๐ซ๐จ๐ค๐ž
๐Ÿ๐ŸŽ. ๐”๐ง๐ข๐ญ ๐Ÿ•๐ŸŽ๐Ÿ
๐Ÿ๐Ÿ. ๐‘๐ž๐ฏ๐ž๐š๐ฅ
๐Ÿ๐Ÿ. ๐‚๐จ๐ง๐Ÿ๐ฎ๐ฌ๐ข๐ง๐ 
๐Ÿ๐Ÿ‘. ๐“๐ก๐ž ๐‡๐ข๐๐๐ž๐ง ๐“๐ฐ๐ข๐ง๐ฌ
๐Ÿ๐Ÿ’. ๐‡๐จ๐ฌ๐ฉ๐ข๐ญ๐š๐ฅ
๐Ÿ๐Ÿ“. ๐๐ž๐ฐ ๐ƒ๐š๐ฒ ๐๐ž๐ฐ ๐Œ๐ž๐ง๐Ÿ๐ž๐ฌ๐ฌ
๐Ÿ๐Ÿ”. ๐‚๐ฎ๐ญ๐ž ๐‘๐ข๐ฏ๐š๐ฅ
๐Ÿ๐Ÿ•. ๐‡๐š๐ ๐š ๐’๐š๐ง๐๐ž๐ซ๐ฌ
๐Ÿ๐Ÿ–. ๐ƒ๐ฎ๐›๐ข๐จ๐ฎ๐ฌ ๐‚๐จ๐ง๐ฌ๐ž๐ง๐ญ
๐Ÿ๐Ÿ—. ๐๐ž๐š๐ฎ๐ญ๐ข๐Ÿ๐ฎ๐ฅ
๐Ÿ๐ŸŽ. ๐‡๐ž ๐ข๐ฌ ๐๐š๐œ๐ค
๐Ÿ๐Ÿ. ๐‹๐ž๐ ๐š๐ฅ ๐›๐ฎ๐ญ ๐ˆ๐ฅ๐ฅ๐ž๐ ๐š๐ฅ
๐Ÿ๐Ÿ. ๐‹๐จ๐ฏ๐ž ๐ข๐ฌ ๐Œ๐ฎ๐ญ๐ฎ๐š๐ฅ
๐Ÿ๐Ÿ‘. ๐–๐ก๐š๐ญ ๐“๐ก๐ž ๐‡๐ž๐ฅ๐ฅ ๐ข๐ฌ ๐’๐ก๐ž ๐ƒ๐จ๐ข๐ง๐ ?
๐Ÿ๐Ÿ’. ๐†๐จ๐ฅ๐Ÿ ๐๐š๐ซ๐ค๐ฏ๐ข๐ž๐ฐ?
๐Ÿ๐Ÿ“. ๐€ ๐‚๐ซ๐š๐œ๐ค ๐ข๐ง ๐ญ๐ก๐ž ๐†๐ฅ๐š๐ฌ๐ฌ
๐Ÿ๐Ÿ”. ๐‚๐ฎ๐ฉ๐ข๐ ๐’๐œ๐ซ๐ž๐ฐ๐ž๐ ๐€๐ฅ๐ฅ
๐Ÿ๐Ÿ•. ๐‹๐š๐ฎ๐ ๐ก๐ญ๐ž๐ซ ๐š๐ง๐ ๐ƒ๐ข๐ฌ๐š๐ฌ๐ญ๐ž๐ซ
๐Ÿ๐Ÿ–. ๐–๐š๐ซ ๐จ๐Ÿ ๐–๐จ๐ซ๐๐ฌ
๐Ÿ๐Ÿ—. ๐…๐š๐ฅ๐ฅ๐ข๐ง๐  ๐€๐ ๐š๐ข๐ง
๐Ÿ‘๐ŸŽ. ๐Ž๐ก, ๐…๐ฅ๐จ?
๐Ÿ‘๐Ÿ. ๐’๐ข๐ฅ๐ž๐ง๐ญ ๐“๐ซ๐ž๐š๐ญ๐ฆ๐ž๐ง๐ญ
๐Ÿ‘๐Ÿ. ๐“๐ฐ๐ž๐ฅ๐ฏ๐ž ๐€๐Œ
๐Ÿ‘๐Ÿ‘. ๐‡๐จ๐ญ๐ž๐ฅ ๐‘๐จ๐จ๐ฆ
๐Ÿ‘๐Ÿ’. ๐‡๐ž ๐‚๐ซ๐ข๐ž๐
๐Ÿ‘๐Ÿ“. ๐“๐ก๐ž ๐๐š๐ซ๐ญ๐ž๐ง๐๐ž๐ซ
๐Ÿ‘๐Ÿ”. ๐˜๐จ๐ฎ๐ซ ๐Œ๐š๐ฃ๐ž๐ฌ๐ญ๐ฒ
๐Ÿ‘๐Ÿ•. ๐‡๐š๐ ๐š & ๐‰๐จ๐ž, ๐€๐ ๐š๐ข๐ง?
๐Ÿ‘๐Ÿ–. ๐‹๐ž๐ญ ๐‡๐ž๐ซ ๐†๐จ
๐Ÿ‘๐Ÿ—. ๐๐จ ๐Œ๐จ๐ซ๐ž ๐‰๐จ๐ž
๐Ÿ’๐ŸŽ. ๐‹๐ข๐ค๐ž ๐…๐š๐ญ๐ก๐ž๐ซ ๐‹๐ข๐ค๐ž ๐’๐จ๐ง
๐Ÿ’๐Ÿ. ๐ˆ๐ญ'๐ฌ ๐‡๐š๐ณ๐ž๐ฅ๐ง๐ฎ๐ญ๐ญ๐ข๐ž๐ฌ?!
๐Ÿ’๐Ÿ. ๐–๐ž ๐ฐ๐ž๐ซ๐ž ๐…๐–๐
๐Ÿ’๐Ÿ‘. ๐“๐ž๐š๐ซ๐ฌ ๐จ๐Ÿ ๐๐ฅ๐š๐๐ž
๐Ÿ’๐Ÿ’. ๐“๐ข๐ฅ๐ฅ ๐–๐ž ๐Œ๐ž๐ž๐ญ ๐€๐ ๐š๐ข๐ง
๐Ÿ’๐Ÿ“. ๐€ ๐‚๐จ๐ฎ๐ฉ๐ฅ๐ž ๐’๐ž๐ญ?
๐Ÿ’๐Ÿ”. ๐๐ž๐š๐ฎ๐ญ๐ข๐Ÿ๐ฎ๐ฅ ๐’๐ฎ๐ง๐ฌ๐ž๐ญ
๐Ÿ’๐Ÿ•. ๐๐ฒ๐ฑ ๐ฐ๐š๐ฌ '๐“๐‡๐„' ๐ฉ๐ฅ๐š๐œ๐ž
๐Ÿ’๐Ÿ–. ๐‹๐ž๐ญ ๐“๐ก๐ž๐ฆ ๐…๐ข๐ง๐ ๐ญ๐ก๐ž ๐„๐ง๐
๐Ÿ’๐Ÿ—. ๐–๐ข๐ง-๐ฐ๐ข๐ง ๐’๐จ๐ฅ๐ฎ๐ญ๐ข๐จ๐ง?
๐„๐๐ˆ๐‹๐Ž๐†

๐Ÿ“๐ŸŽ. ๐๐จ ๐Œ๐จ๐ซ๐ž ๐’๐ฎ๐ง๐ฌ๐ž๐ญ, ๐ˆ ๐‹๐จ๐ฏ๐ž ๐˜๐จ๐ฎ ๐ญ๐จ ๐ญ๐ก๐ž ๐Œ๐จ๐จ๐ง ๐š๐ง๐ ๐๐š๐œ๐ค

4.2K 215 42
By xadaragoe

"Huh? The only one who called you sweetheart?"

Malam itu, Hanna sedang makan bersama di kostannya dan tiba-tiba mendapat pesan masuk di Twitter. Namun, pesan itu datang dari sebuah akun kosong yang bahkan tak Hanna kenali, dan tak diikuti oleh siapa pun di sana.

Setelah melihat bio yang tertera, Hanna lantas berpikir singkat. Tak perlu waktu lama untuk ia menemukan jawabannya.

"Haga?"

Hanna memikirkannya lagi. Rasanya, masih sedikit tidak yakin. Walau hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggilnya sweetheart.

"Huh? Kak Haga? Iyakah?"

"Kenapa, Han?" Heira pun bertanya, karena mendengar nama sang kakak.

"Kak Haga ngechat lo?" tanya Keenan.

"Haga ngechat Hanna? Kesambet apaan itu anak?" oceh Janson yang juga sedang menikmati ayam goreng tepung dan bir bersama mereka, karena Keenan yang mengajaknya.

"Eh? Enggak tau sih, ini Kak Haga atau bukan."

"Coba sini gue lihat," ucap Heira.

Hanna pun menyerahkan ponselnya kepada adik dari orang yang dicurigainya itu. Sementara Heira mengamati akun kosong yang mengirimkan pesan, Hanna menunggunya sembari mengunyah ayam.

"Haga bukan, Ra?" tanya Janson yang juga ikut penasaran.

"Hmm, kayaknya sih iya. Coba deh nih lihat, menurut Kak Janson gimana?" Heira mengoper ponsel Hanna kepada Janson.

Sekarang, Janson yang mengamatinya. Sementara Hanna, Heira, dan Keenan menunggu hasil pengamatan Janson.

Tanpa ada sepatah kata pun jawaban yang keluar dari mulutnya, Janson tiba-tiba tersenyum dan tertawa.

"Heh! Ketawa-ketawa! Aduh, kesurupan kamu ya?!" tuduh Keenan. Ia menatap kekasihnya dengan sedikit kengerian.

"Hahaha! Aduh, enggak, Nan! Ini lho ... duh! Temen gue kenapa sih, ya? Lucu banget!"

"Eh? Jadi itu Kak Haga, beneran?" tanya Hanna.

"Menurut lo aja, Han. Tiga belas kosong tiga, Heineken. Siapa lagi yang bakal pakai username itu kalau bukan seorang Haga Sanders?"

"Sebentar ...." Heira tampak mulai memahami benang merahnya di sini. "Tiga belas kosong tiga, Heineken ...  birthday party Jimmy?"

"Exactly!" sahut Janson dengan cepat. "Tanggal pertama semua huru-hara ini terjadi. Their first kiss!"

"Eh?! Kak Janson!!!" Wajah Hanna langsung merah padam. Ia begitu malu setelah Janson mengatakan hal itu. Lagipula, bagaimana Janson bisa tahu?! Sekelebat pertanyaan itu muncul di kepala Hanna.

"Heh! Sssstt! Jahil banget! Kasihan Hanna-nya maluuuu!" ujar Keenan, membela teman baiknya.

Sementara itu, pelakunya hanya tertawa terbahak-bahak. Begitu juga dengan Heira yang tak bisa menahan tawa melihat wajah merah Hanna.

"Hahahaha serius?! Jadi ini beneran Kak Haga?!" tanya Heira yang masih sedikit tak menyangka.

"Ya iyalah! Jelas!" balas Janson.

"Hahahaha dasar! Enaknya, kita isengin gak, sih?"

"Huh? Isengin gimana?" tanya Keenan.

"Bentar, gue chat Jimmy dulu, Nan."

Sementara itu, Hanna masih kebingungan.

"Jadi ... ini gue bales apa?"

"Tahan! Jangan dibalas dulu, Han!"

.

.

Dan setelahnya, huru-hara beranda Twitter pun terjadi ....

.

.

"Gue bisa maafin lo pada yang semalam ikut spam mention ke Hanna. Gue maafin juga Heira yang punya ide iseng begini. Keenan juga termaafkan, mengingat dia pacar si Janson. Tapi, Ales?! Lo semua lihat 'kan ketikannya kayak apa?! Itu anak punya masalah hidup apa sih, anj—"

"Yah ...," Jimmy langsung memotongnya, "namanya juga Ales."

"Mending lo fokus lihat jalanan deh, gue ngeri banget lo nabrak!" timpal Janson yang duduk di kursi penumpang, tepat di sebelah Haga. 

"Iya, Ya Tuhan ... jangan sampe deh, udah tinggal bentar lagi wisuda!" ujar Nial.  

"Eh, ngomong-ngomong soal wisuda, thanks banget nih Yal udah bantuin skripsi gue."

"Santai, Jim."

Malam ini, sesuai dengan rumor yang sudah disebarluaskan Jimmy bahwa Haga akan membawa mereka ke Nyx dan minum bersama, Haga pun merealisasikannya. 

Namun, motor Jimmy yang sedang masuk bengkel, dan mobil Janson yang dipakai pergi ke luar kota oleh orang tuanya, membuat Haga terpaksa menjemput mereka satu persatu. 

Haga tak masalah. Sungguh.

Karena sebenarnya, sebelum Jimmy membuka pembicaraan di mobil tentang bagaimana Haga bisa menghubungi Hanna dan menyambar hingga cuitan Ales di akun 1301Heineken, suasana hati Haga sedang baik-baik saja. Bahkan, ia cenderung begitu bersemangat karena malam ini akan menjadi pertemuan pertama bagi Haga dan Hanna dalam keadaan sudah baik-baik saja.

Sayangnya, ketika mengingat-ingat lagi cuitan Ales semalam, Haga mendadak emosi dan kesal. Bartender itu kadang-kadang memang ucapannya bisa di luar dugaan. 

"Udah lah, nanti juga si Ales minta maaf. Dia mana bisa kehilangan customer loyal macam lo," ujar Janson.

"Betul!" timpal Jimmy.

"Udah, Son. Jangan ngomongin Ales mulu, nanti si Haga kesel lagi," balas Nial.

Jimmy mengangguk, setuju dengan ucapan Nial. Janson pun sama. Meski tak ikut menganggukkan kepala, ia ikut tutup mulut seperti Jimmy yang tak membuka suara.

Demi menghilangkan keheningan di tengah empat pria yang sedang menuju Nyx Bar, Janson lantas memutar playlist-nya. Lantunan lagu dari Los Retros yang berjudul Someone to Spend Time With pun mengiringi perjalanan mereka sebagai track pertama.

"My sweetheart, where are you?" Janson bernyanyi mengikuti irama di mobil.

Dan Jimmy iseng ikut mengiringi. "I need someone, to spend time with."

"To give and share all my love." 

Sementara Haga fokus menyetir, tak begitu peduli dengan ketiga temannya yang mulai kompak saling sahut menyahut saat bernyanyi.

"Back in bed ...." Nial pun mulai mengikuti.

Disambung oleh Janson yang sangat hafal lagu ini.

"It's three AM, with no one at my sideee ... sambung Jim!! Anjing, anjing, gue baru engeh ini lagu Haga banget!"

Jimmy lantas melanjutkan liriknya.

"It gets real cold ... because these blankets, WILL NEVER WARM MY HEAAARTTTT!"

"Ahahaha! Yo, semuanyaaa!" Janson mengomando Jimmy dan Nial di belakangnya. Ia mendadak mencintai lagu ini yang sangat terdengar seperti curahan hati temannya—Haga.

"MY SWEETHEART!

WHERE ARE YOU?

I NEED SOMEONE! TO SPEND TIME WITH ....

TO GIVE, AND SHARE ALL MY LOVEEE!"

"HAHAHA ANJIR GA INI LAGU LO BANGET, GA!" seru Jimmy. Ia juga menyadari hal yang sama seperti Janson.

"Sweetheart-nya dicari-cari, soalnya habis dicuri!" timpal Janson.

"Kok dicuri sih, Son? Dicuri siapa?"

"Dicuri sama banyak oknum sih. Dicuri sama kesalahpahaman, kebohongan, jiwa pengecut, banyak lah! Tanya aja sama si Haga!"

"Hahaha sialan!"

"Makanya, Ga. Itulah pentingnya komunikasi dalam sebuah hubungan," timpal Nial. Satu-satunya orang yang menanggapi lebih serius dibanding Jimmy dan Janson.

"Eh, udah deh. Ini bukan lagi kelas relationship goals. Simpan materi-materimu, Nial." Janson meresponsnya dengan sedikit sebal.

"Haha, iya! Gila juga ya, 'dicuri' kesalahpahaman ini sampai satu semester loh lost contact. Stress!"

"Makanya, kayak apa yang gue bilang ... penting juga buat saling menjaga kepercayaan."

"Nial, stop. Kita udah sampe, jangan banyak bacot, oke? Let's get drunk tonight!"

.

.

Malam minggu, menjadi pilihan terburuk bagi orang yang tak suka keramaian untuk datang ke bar. Pengunjungnya bisa dua kali lipat dari hari biasa, dan semua meja penuh terisi mulai dari lantai bawah hingga lantai atas. Untungnya, Jimmy sudah menghubungi bartender andalannya untuk memasang tanda 'Reserve' di salah satu meja. Jadi, mereka tak akan tak kebagian.

"Wah wah, udah lama banget enggak lihat lo semua kumpul berempat gini!"

Ales datang, menghampiri mereka dengan membawa seorang waiter bersamanya. Sementara waiter itu mencatat pesanan-pesanan gerombolan Haga, Ales sedang menyempatkan diri untuk menyapa.

Padahal, seharusnya sekarang ia berada di balik meja bar.

"Ey, Ga! We're good, right?"

Haga melirik sekilas ke arah Ales, lalu mengabaikannya karena malas bertegur sapa dengan pria itu.

Jimmy, Janson, dan Nial pun saling bertukar pandangan canggung.

"Ekhm!" Janson harus menghentikan kecanggungan ini. "Jelas baik-baik aja lah, ya 'kan, Ga?"

Haga tak menjawab. Pertanyaan Janson rupanya hanya memperkeruh atmosir di sana.

Lantas, Jimmy langsung mengalihkannya.

"Eh, Les! Gimana, Hanna udah datang belum?"

"Oh, belum. Gue kira bakal datang bareng kalian."

"Enggak, soalnya kita bareng semua."

"Right. Hanna sama Keenan sih, mereka bareng. Sama Heira juga," timpal Janson yang sebelumnya mengetahui bahwa Keenan pergi menjemput Hanna dan Heira. 

"Iya, gue tau," sahut Jimmy. "Tapi gue pikir mereka udah datang dulu—"

"Eh! Itu mereka!"

Ales yang matanya sangat tajam menangkap kehadiran seseorang, langsung dapat mengidentifikasikan siapa yang baru saja datang melewati pintu masuk bar.

Sontak, Haga dan ketiga temannya langsung menoleh ke arah pandang yang sama dengan Ales.

Dan benar saja, Hanna datang dengan dua teman baiknya.

"HANNA!!! SINI!!"

Gadis manis itu, melambaikan tangan dengan sangat ramah dan senyum yang merekah kepada Ales yang berteriak menyapa mereka.

Haga tak marah melihat Hanna tersenyum karena seseorang yang telah membuatnya kesal. Justru, sekarang ia ingin mengucap terima kasih. Berkat teriakan Ales yang menyapa dengan semangat, membawa Hanna mengukirkan senyuman dengan indah.

Perlahan, Haga bahkan ikut tersenyum dibuatnya.

Hanna cantik malam itu.

Tidak.

Hanna selalu cantik kapan pun itu.

"Hai, Han!" Janson menyapanya, begitu mereka sudah berada di depan mata.

"Hanna doang?! Kamu enggak nyapa aku???" protes Keenan.

"Eeeeh? Sini-sini jangan rewel. Duduk sini ya, aku 'kan cuma nyapa doang, soalnya dia udah ditunggu-tunggu sama Haga dari tadi."

Keenan pun hanya memanyunkan bibir, dan menuruti Janson yang menarik tangannya untuk duduk bersebelahan.

Sementara itu, secara otomatis Heira pun mengambil posisi duduk di sebelah Jimmy. Sontak membuat Haga menggeser duduknya, demi memberi ruang kosong untuk Heira.

"Hai juga, Kak Janson! Wah, lama banget ya enggak kumpul-kumpul gini!" balas Hanna. Gadis itu masih berdiri tepat di sebelah Ales, dan tersenyum melihat mereka akhirnya berkumpul bersama setelah sekian lama.

"Iya! Sini lah, duduk!" ujar Janson.

Dengan sofa memanjang yang menghubungkan meja-meja lain di sebelah meja mereka, dan posisi yang dipilih tepat di lekukan letter L, memberikan ruang yang cukup bagi satu orang lagi untuk duduk.

Belum lagi, Nial memilih untuk duduk di kursi daripada di sofa. Janson dan Keenan pun sama, mereka berdua duduk di kursi yang berhadapan dengan Heira dan Jimmy.

Haga duduk di sebelah temannya, Jimmy.

Sekarang, ada dua ruang yang dapat dipilih Hanna untuk mengambil posisi duduk.

Di sebelah Nial, atau di sebelah Haga.

Sekilas, Ales yang berdiri pun mengamati Hanna. Jangan salah, ia memiliki intuisi yang kuat. Ia tahu, Hanna kini sedang bingung. Lantas, demi mempercepat pengambilan keputusan, Ales dengan santainya menarik kursi di sebelah Nial dan mendudukinya.

"Ekhm! Jadi, gue boleh 'kan nih gabung di sini?"

"Boleh lah, santai aja!" balas Jimmy.

"Nice!" sahut Ales. "Eh, Hanna. Duduk lah! Jangan berdiri terus, nanti kalau capek dan jatuh enggak ada yang nangkep!"

Beberapa dari mereka tertawa mendengar celotehan Ales yang jelas mereka ketahui bartender itu hanya bercanda untuk memancing Hanna.

Satu-satunya yang tak tertawa adalah Haga.

Ia malah sibuk mengalihkan pandangan saat Hanna mulai berjalan mendekat ke arahnya.

Jantung Haga kembali berdebar hebat. Sama kencangnya seperti saat ia pertama kali mencium bibir Hanna.

Ah, sial!

Kenapa insiden itu yang ada di pikirannya?!

"Hai, Kak." Hanna akhirnya menyapa. Gadis itu duduk tepat di sebelah Haga. Keduanya hanya berjarak satu telapak tangan saja.

"H-hai ...."

Tunggu! Haga kesulitan mengatur debaran jantung!

Sejenak, ia memejamkan mata, mengatur debaran yang tak karuan, dan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menyapa.

Ia harus terlihat natural. Ia tak boleh terlihat grogi sekarang. Ia harus tampak biasa-biasa saja. Meski sebenarnya, rindu sudah menggerogoti sejak lama.

Dalam satu tarikan napas setelahnya, keberanian dan ketenangan Haga pun kembali. Ia lantas menoleh, menatap dalam ke arah manik mata coklat itu, dan tersenyum kepada gadis pujaannya.

"Hai, Hanna."

Hanna membalas senyumannya dengan tulus. Ia tampak begitu berseri setelah melihat Haga mampu menyapanya seperti ini.

"Hai, Kak Haga."

Keduanya, saling bertukar tatap dan senyum untuk beberapa detik yang membuat semua orang menjadi tak betah melihatnya.

Seolah dua manusia itu tak peduli dengan sekitar yang menatap penuh heran kepada mereka.

Wah, Heira tak tahan melihat kakaknya terhipnotis seperti ini.

"Uh—uhuk!"

"Eeeeeh, kenapa Baby?"

Perhatian pun teralihkan kepada Heira yang berpura-pura batuk. Padahal, tak terjadi apa-apa kepada dirinya.

"Ah, enggak. Keselek asep rokok kayaknya!"

"Eh? Kan belum ada yang merokok?"

"Ih! Ya asap orang lain, Jimmy!"

"Oh ...."

"Ah-oh-ah-oh! Tau ah!" Heira menggerutu sebal, kekasihnya tak begitu peka untuk mendukung kebohongannya.

"Ih, kok kesal? Baby marah sama aku, um? Jangan marah yaaa, mau makan apa niii cantiknya aku?"

Janson tertawa, begitu pun Keenan yang juga menganggap Heira dan Jimmy itu lucu. Pasangan paling awet di antara mereka semua, dan tak pernah tampak sedikit pun berkurangnya kebucinan Jimmy kepada Heira.

Sementara itu, Nial hanya bergidik jijik melihat orang-orang di sekelilingnya ini.

Apalagi ketika kedua matanya kembali menangkap pemandangan Haga dan Hanna. Dua insan itu masih saja saling bertatapan dan bertukar senyuman, dengan sedikit obrolan-obrolan kecil yang tak bisa Nial dengar. Pula sesekali, Hanna terlihat tertawa. Begitu manis, dan Haga tampak tak bisa mengalihkan pandangannya.

Ia terkunci dalam pesona senyum dan indahnya Hanna.

Tak peduli dengan Jimmy dan Heira yang berseteru kecil di sebelahnya, tak peduli juga dengan Janson dan Keenan yang sedang berfoto-foto demi kebutuhan sosial media, pun ia tak peduli dengan Nial yang sendirian.

Bahkan, ia sampai tak sadar bahwa Ales sudah pergi meninggalkan meja mereka, karena manajernya memanggil untuk segera kembali ke meja bar.

Haga terlalu fokus pada dunianya.

Hanna.

"Umm ... terlalu berisik enggak, Han?"

"Enggak, kok. Namanya juga di bar."

Sayang sekali, padahal Haga berharap Hanna menjawab iya. Namun, kali ini Haga tak akan menyerah begitu saja. Ia harus berusaha lebih. Ia tak boleh terlalu mengikuti arus yang dibawa Hanna. Ia tak boleh menjadi pengecut lagi seperti yang Hazel katakan padanya.

Ia harus mulai mengambil langkah.

"Tapi, agak sedikit berisik, sih. Mau keluar?"

"Keluar?"

"Ke atas, maybe? Rooftop Nyx."

"Loh? Emang Nyx ada dining area di rooftop-nya?"

"Eh? Lo belum tau, ya?"

Hanna menggeleng, ia tak begitu tahu banyak tentang Nyx. Setahunya, tak ada apa-apa lagi setelah menginjakkan kaki di lantai dua.

Namun, Haga tersenyum. Ketidaktahuan Hanna, mampu membuka kesempatan untuknya.

"Kalau gitu, mau coba?"

.

.

Hanna kira, Haga hanya membual saja. Namun, begitu ia melihat Ales membawa kunci dan membuka salah satu pintu yang terletak di ujung lantai dua, Hanna mulai percaya.

Begitu pintu itu terbuka, menunjukkan anak-anak tangga yang mungkin membawanya ke rooftop seperti yang Haga bilang.

"Well, anggaplah ini permintaan maaf gue soal tweet yang bikin lo kesal. Jadi setelah ini, we're good ya, Bro."

Haga mengangguk, "Thanks, Les."

"Oke. Kalau butuh apa-apa, calling aja ya."

"Thank you, Ales! Wah, gue baru tau ada rooftop di sini," ujar Hanna.

"Ssstt, secret place! Ini tempat rahasia gue kalau lagi break kerja. Dan si kunyuk ini waktu itu malah ngikutin gue naik! Jadilah, markas rahasia gue terbongkar."

"Ups!" Hanna langsung buru-buru menutup mulut.

Ales terkekeh melihatnya, "Tapi, berhubung lo sekarang udah tau juga gara-gara si kunyuk ini, rahasiain ya Han! Gawat kalau member Nyx pada tau, bisa-bisa mereka nodong gue buat kepo ke rooftop!"

"Oke-oke, tenang aja!"

"Nice! Kalau gitu, buruan sana naik! Ini pintu mau gue kunci lagi. Have fun, ya! Jangan lupa, calling gue kalau butuh apa-apa."

"Ok—"

"Butuh kondom, misalnya."

"Eh?"

Plak!

"Aduh!"

Haga tak bisa menahannya lagi. Setidaknya, sekali seumur hidup ia sudah menoyor bagian belakang kepala Ales dengan tangannya sendiri. Sudah bukan kadang-kadang, tapi memang bartender itu benar-benar bajingan!

Sementara itu, Hanna hanya bergeming di tempat. Ia terlalu terkejut untuk sekadar merespons Ales dengan kata-kata, atau toyoran kepala seperti Haga.

"Enggak usah didengar, Han. Ayo naik, di atas ada private bar!"

Lantas, Haga langsung menggenggam tangan Hanna dan membawanya masuk melewati pintu itu. Menaiki anak tangga, dan tak mengacuhkan Ales yang mengaduh serta menggerutu kesal di sana. Haga tak mau peduli dengan bartender yang banyak mulut itu.

Ia hanya ingin memedulikan Hanna, melihat Hanna, mendengarkan Hanna, dan melakukan segala hal bersama Hanna.

Bahkan sekadar bernapas, ia ingin melakukannya di dekat Hanna.

Haga mutlak telah menjadi budak cinta, ia sudah kalah dari ego dan citranya sebagai pemain wanita.

"Wah ...."

Lampu-lampu berwarna putih hangat yang terbentang di atasnya, remang-remang menerangi malam. Satu meja dengan dua bangku panjang terletak di tengah-tengah rooftop Nyx Bar, seolah menyambut dengan hangat kedatangan Haga dan Hanna.

Di sudut rooftop, ada meja bar kayu dengan kondisi yang sudah sedikit rusak. Berbeda jauh penampilannya dengan meja bar marmer di bawah mereka yang terlihat mewah. Namun, beberapa botol bir bekas ada di atasnya. Tersusun rapi seolah masih ada kehidupan di sini. 

Kalau mengedarkan pandangan lebih jauh lagi, terlihat ada satu hal yang janggal di sini untuk ukuran sebuah bar.

Kasur.

"Huh? Itu ...."

Hanna mulai berpikir macam-macam.

Jangan-jangan, ini alasan Ales tadi nawarin kon—

"Itu kasurnya Ales. Tau tuh dia dapat dari mana. Tapi, emang sering dia pakai buat istirahat di sini. Katanya lumayan, walaupun kasur jelek, bisa buat rebahan lihat bintang."

"O-oh ... hahah! Ales ... Ales ...."

Syukurlah, Hanna merasa lega. Setidaknya, itu bukan kasur untuk melakukan hal yang tidak-tidak di rooftop sebuah bar.

Lagipula, tidak ada niatan apa-apa juga pergi ke atas sini selain menjauhi kerumunan yang berisik. Haga ingin sebuah tempat privat bersama Hanna. Kalau di Nyx Bar, memang rooftop ini yang paling cocok. Markas Ales.

"Woy!" 

Tiba-tiba seseorang memanggil mereka dari arah belakang, dan membuat mereka berdua menoleh ke arah yang sama. Suara yang terdengar selalu bersemangat itu sudah jelas milik siapa. Ales. 

"Ngapain?" tanya Haga, melihat Ales yang ikut naik dan mendekat ke arahnya. 

"Nih, tadi lo pesan minum 'kan?" jawab Ales. Ia datang dengan membawa dua botol minuman di tangan kanan, dan dua gelas besar berisi es batu di tangan kiri. 

"Oh, iya." Haga baru ingat, ia sempat memesan minuman kepada waiters di bawah. 

"Eh? Gue belum pesan tau, Les!" balas Hanna.

"Ya udah sih, ini aja," ucap Ales seraya meletakkan minuman yang ia bawa ke atas meja di tengah-tengah rooftop. "Lagian lo berdua suka 'kan? Heineken? "

Hanna tak peka, Ales menekan kata Heineken di sana. Seolah ia sedang menggoda dengan merek minuman yang baru ia ketahui memiliki banyak arti di hubungan mereka. Tadi, Jimmy dan Janson sempat mengobrol dengan Ales tentang username Haga. 

"Y-ya ... ya suka-suka aja sih. Ya udah, thanks ya!" sahut Hanna.

Ales yang masih ingin menjahili karena Hanna tak peka juga, lantas kembali membuka suara. Tak peduli dengan Haga yang sudah merengut di sana. Haga pasti tau, Ales sedang meledeknya.

"Sama-sama, Sweetheart! Heineken emang kesukaan kita semua enggak, si? Paling cocok juga buat dibawa birthday party," ucap Ales dengan penekanan yang begitu mengganggu telinga Haga. 

"Eh?" Hanna sedikit terkejut dengan panggilan yang Ales berikan. "I-iya, Les."

Sementara Ales tersenyum jahil, Haga tiba-tiba menyebut nama lengkapnya. 

"Alessandro Tedja."

"Huh?"

"Udah selesai? Mau pergi sekarang atau gue seret ke bawah?" 

"Ehehe, udah kok! Santai ah, jangan galak-galak! Iya enggak, Sweetheart?

"ALES!" 

"AMPUUUUN!" Ales langsung berlari sekencang mungkin, demi menghindari Haga yang nyaris mengambil langkah maju untuk ... entahlah, mungkin menghajarnya? 

Apapun itu, Ales harus menghindari Haga. Setidaknya, ia sudah sedikit puas setelah meledek dua orang yang dikiranya ingin bermesraan. Ales tak tahu saja, Haga sedari tadi menahan grogi. Bagaimana bisa ia bermesraan di sini?! 

"Huh ...." 

Pasti melelahkan menghadapi orang seperti Ales, ya?  

"Sorry, Han. Si Ales tuh kadang-kadang ...."

"Enggak apa-apa, Kak. Lagian, emang Heineken favorit kita 'kan? Bagus deh dia bawain itu ke sini." 

Haga pikir, Hanna akan merasa risih setelah Ales mengganggunya seperti tadi. Namun, tampaknya Hanna tak apa-apa. Gadis itu malah langsung mengajak Haga untuk duduk bersama dan menikmati minuman mereka berdua. 

Sembari ditemani lampu-lampu yang menghiasi, semilir angin yang menghampiri, dan bintang-bintang di langit yang tinggi. Hening, tapi terasa menenangkan ketika memusatkan pandangan pada orang yang disayang. 

"Han ...." 

"Hm?" sahut Hanna setelah meneguk bir dinginnya. 

"Gue ...."

Melihat Hanna memandang lurus ke arahnya, menunggu ia melanjutkan kalimatnya, malah membuat Haga semakin tak berdaya. Entah bagaimana awalnya, tapi kini ia kesulitan mengatur detak jantungnya yang terus berdebar kencang. Haga kehilangan kendali diri. Ia benar-benar grogi! 

"Gue ... apa, Kak?" 

"Ah, enggak. Lupain aja. Gimana birnya, enak?" 

"Ya ... biasa aja sih. Enak, kayak biasa. Kan enggak berubah rasanya, dari dulu juga begini."

"Ah, iya juga ya? Hehe."

"Hehe, iya." 

Duh! Haga mati kutu. Ia malah tak tahu harus berkata apa sekarang. Padahal ia tadi sangat bersemangat, karena bisa kembali mengobrol bersama Hanna. 

Dari gerak gerik dan lirikan mata yang terus bergerak ke bawah, Hanna tahu Haga sedang merasa canggung. 

Ia lantas tersenyum tipis, gemas melihat pemain wanita ini malah kikuk di hadapannya. 

"Kak Haga." 

"Ya?" sahut Haga hanya sepersekian detik setelah Hanna menyebut namanya. 

"Tadi mau ngomong apa? Ngomong aja." 

"Emmm, enggak kok." Haga masih belum bisa menemukan waktu terbaiknya. 

Hingga saat pandangannya kepada Hanna perlahan buram, dan terfokuskan pada bulan yang berada di belakang Hanna, Haga menemukan-nya. 

Waktu terbaiknya. 

"Eh, bulannya cantik, ya?"

"Huh?" 

"Bulan! Bulannya cantik, lihat deh!" 

Hanna lantas menuruti apa kata Haga. Ia menolehkan kepala, melihat bulan yang berada di belakangnya. Bulan yang tak begitu penuh seperti purnama, tapi tetap terlihat cantik dengan pantulan cahayanya. Dan Hanna tersenyum seraya melihat ke arah bulan itu. 

"The moon is beautiful, isn't it?

Sejenak, Hanna membeku di tempat. Sebelum akhirnya ia perlahan kembali menolehkan kepala dan menatap ke arah Haga. Pria itu tersenyum, Hanna jelas yakin Haga mengetahui betul arti dari kata-kata yang baru saja ia lontarkan padanya. 

Kalau Haga bisa mengerti tentang sunset yang indah, maka semestinya Haga pun mengerti tentang frasa yang satu ini. 

I love you. 

Itu artinya, dan hampir seluruh umat manusia di belahan dunia manapun tahu arti dari frasa itu. Katanya, ini adalah cara yang lebih puitis untuk mengatakan aku cinta padamu. 

"K-Kak ...."

"Am I wrong, Hanna?"

"N-no ...."

"The moon is beautiful, isn't it?"

Hanna menelan saliva, sudah dua kali Haga mengatakannya. Kini, Hanna pun mulai gelisah dengan dirinya sendiri. Ia tak mengerti juga mengapa ia bisa berdebar seperti ini.

"I'm in love with you, Hanna."

Dang! 

Kalau Haga sudah berterus terang, Hanna semakin tak bisa berkutik. 

"Sejujurnya, gue juga lebih suka bulan daripada matahari," Haga memberi jeda, "apalagi sunset."

"Kak Haga enggak suka sunset?"

Haga menggeleng. "Cantik, tapi gue enggak suka." 

"Kalau sunrise?" Hanna malah semakin memperluas topik pembicaraan. 

Namun, Haga tetap menanggapinya, meski pernyataan cintanya yang tersirat itu tidak digubris. 

"Sunrise ... nothing special." 

Hanna lantas mengangguk tipis, seolah mengerti dengan segala hal yang Haga bicarakan.

"Tapi, Hanna ...."

"Y-ya?" Hanna masih tak bisa mengelak bahwa dirinya kembali berdebar hebat. 

"Tentang sunrise ... gue punya satu hal yang pernah gue baca."

"Oh ya? Apa?" 

"Someone said ... I'll love you till the sun stop rising. Dan gue rasa, gue bisa melakukan hal yang sama. I definitely can, and I truly will ... love you till the sun stop rising."

"You do?" Hanna tiba-tiba bertanya. 

"Yeah." 

"Then, love me till the sun stop rising, Kak Haga. So, we won't see another sunset anymore." 

Haga terhenyak untuk sejenak. Haga perlu mencerna lebih lama untuk mengerti maksud Hanna yang sebenarnya. 

Namun, bagi Hanna tak ada gunanya membuang waktu. Sudah terlalu lama untuk mereka memendam semuanya. Lantas, jika Haga sudah memberanikan diri menyatakan cinta yang kesekian kali, maka kini giliran Hanna yang memutuskan jawabannya. 

"I love you too." 

Haga benar-benar tersentak. Bukan, bukan karena ia tak menyangka hal ini akan terjadi padanya. Ia yakin beribu-ribu yakin bahwa suatu saat pasti akan ada jalannya untuk bersama Hanna. 

Hanya satu yang tak ia duga, harapannya benar-benar terjadi di malam ini. 

"Y-you do?" tanya Haga. 

"Yes, I do."

"Jadi ... mulai hari ini, kita akan saling berbagi cerita dan cinta, sampai matahari enggak terbit lagi?" 

Hanna mengangguk, "Sampai matahari enggak terbit lagi, jadi kita enggak akan ketemu sunset-sunset yang lain. Kak Haga bilang ... Kak Haga enggak suka sunset, 'kan?"

Haga memang mengatakan hal itu. Ia tak menyukai sunset, dan makna dibalik frasanya tentang sunset cantik yang terkenal.

"That means ... you'll never leave me again, right?"

"Right. So ...," Hanna menjeda sembari mengambil botol bir di atas meja, "we're dating?" 

Senyum pun merekah dengan sempurna, dan hatinya kini berbunga-bunga. Tentu tak ada lagi kata selain bahagia yang mewakilkan perasaan Haga. Karena pada akhirnya, ia dan gadisnya menemukan jalan untuk bersama. Untuk menempuh perjalanan panjang dalam satu arah yang sama, dengan satu tujuan yang sama, atas dasar kata cinta dan perasaan yang sama.

"We're dating," jawab Haga.  

"Jadi, sekarang ... kita pacaran?" 

"Umm ... yup." 

"Jadi, sekarang ... aku pacar Kak Haga?" 

"Ya ... begitulah?"

"Jadi, sekarang ...."

"YEAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!!!!!!"

Tiba-tiba, sorak sorai meriah terdengar dari arah pintu tangga. Dan benar saja, tak lama setelah sorakan bahagia itu terdengar, satu persatu dari mereka yang turut berbahagia pun bermunculan. 

"AKHIRNYA YA TUHAN! SETELAH SEKIAN PURNAMA SI HAGA MENDAM PERASAAN!" 

Barusan, Janson yang berteriak memalukan. Ah, Janson tak peduli. Tak ada juga yang bisa menghentikan betapa bahagianya ia sekarang. 

"SON, SON, TEMAN KITA PUNYA PACAR SON!!!" seru Jimmy yang dengan gemasnya merangkul Janson hingga nyaris mencekik. 

"Uhk—woy! J-Jim! Lepas, anj—"

"AAAH, SORRY SORRY!" Jimmy segera melepas rangkulannya yang nyaris membunuh teman sendiri. 

"Congrats, Bro!" ucap Nial seraya mengangkat botol birnya ke udara. Seolah mengajak Haga bersulang dari kejauhan. 

Haga tersenyum. Ia senang, ia bahagia, bahkan senyuman itu tak sedikit pun luntur dari wajahnya. 

Sementara Jimmy, Janson, dan Nial menahan diri untuk tetap berada di ambang pintu. Heira dan Keenan tak bisa menahannya. Dua muda mudi itu lantas berlari menghampiri Hanna, dan langsung membawa temannya ke dalam pelukan penuh kebahagiaan. 

"Hannaaaaaaaa! Finally, jadian juga!" ucap Keenan sembari memeluk erat sang teman.

Heira yang juga sangat senang, turut menunjukkan suka citanya. "Huaaaa! Masih enggak nyangka, temanku ternyata calon iparku!" 

Hanna tertawa, Haga pun terkekeh malu mendengarnya. 

Melihat semua orang berbahagia di rooftop Nyx Bar, Haga memanggil teman-temannya untuk mendekat dan duduk bersama di sana. Sayangnya, meja dan bangku yang Haga dan Hanna duduki terlalu kecil untuk tujuh orang duduk bersama. 

Namun tenang, masih ada satu solusi

"Itu kasur tarik aja ke sini!" seru Janson.

Masalah pun terpecahkan, dengan memanfaatkan kasur Ales yang terbengkalai. Akhirnya, mereka bisa menikmati malam bersama-sama di rooftop Nyx Bar. 

Semua orang berbahagia, semua orang bersulang dengan memegang botol birnya. Semua orang juga mendapat tempat duduk yang nyaman. Haga berpindah duduk di kasur bersama Janson, Jimmy, dan Nial. Hanna duduk bersama Keenan dan Heira di bangku yang cukup untuk mereka bertiga. 

Mereka semua tertawa dalam kebahagiaan, merayakan hari jadi pertama Haga dan Hanna. 

"Good job, Bro. Akhirnya, sampai di titik ini juga, ya?" ujar Janson.

"HOOOOY!!!!!!!" 

Semuanya menoleh. Satu teriakan lagi, terdengar kencang meski hanya bersumber dari satu orang yang berlari menghampiri dengan histeris.

Ales. 

"GUE KETINGGALAN APA?!"

Tak ada yang menjawab, hanya ada lirikan-lirikan dari mereka yang saling bertukar pandangan. Setelahnya, gelak tawa pun kembali terdengar. Mereka masih berada dalam euforia hari jadi Haga dan Hanna. 

"HEH? GUE KETINGGALAN APA, ANJIR?! HAGA HANNA JADIAN, ENGGAK?!" 

"Ya ... menurut lo aja, Les!" 

"Eh, tapi sebentar ...." Hanna tiba-tiba menyadari satu hal. "Kok kalian semua bisa naik ke sini? Bukannya pintu di bawah Ales kunci?" 

Ah, iya. Benar juga. 

"Oh ... itu. Nih ya, Han. Gue kasih tau sama lo. Menaruh kepercayaan kepada Ales adalah sebuah kesalahan besar jika tidak diiringi dengan uang!" ucap Jimmy yang langsung disambut tawa dan anggukan dari semua orang. 

"Eh! Enggak gitu ya, anjir! Itu gue lupa, Han. Sumpah, lupaaaa! Soalnya tuh ya, tadi manajer gue langsung manggil pas ada customer dat—"

"Halaaaah! Alasan! Udah, sini duduk!" Jimmy tak ingin mendengar dan langsung memotongnya. "Itu di tangan lo ... bucket isinya minuman 'kan?  Bukan es batu doang?" 

Oh ya, Ales memang datang dengan membawa dua bucket yang embun-embunnya terlihat dari luar. 

"Iya, dong! Jelas!" sahut Ales. 

"Kalau gitu, segala kesalahan lo termaafkan. Sini duduk, bartenderku sayang! Kita rayakan hari jadian bos besar kita!" 

"SERIUS?! HAGA HANNA BENERAN UDAH JADIAN?! HAGA, LO SERIUS UDAH JADIAN SAMA HANNA?! LIKE ... LO BERDUA SEKARANG OFFICIALLY DATING?!"

Haga menganggukkan kepala, senyumnya itu masih juga tak lepas dari wajahnya. 

Seharusnya, melihat senyum yang merekah itu saja sudah cukup menjadi jawaban dari pertanyaan Ales. Namun, kemampuan otak Ales yang begitu minim, membuat ia terus-terusan bertanya. Jadi ... maklum saja, ya. 

"AAAAAAAAAA! CONGRATULATION SIR SANDERS!" 

"Hahahahaha! Thank you, Bartender Ales!" 

"Congrats, Hanna!"  

"Ehehe, thank you, Les!" 

"Wah, enggak pernah gue sangka, presiden FWB di Atlas ini akhirnya taken juga." 

"Taken lah! Emangnya lo, disewa sana sini mulu! Belum aja lo ke-spill di base Batara!" timpal Heira. 

"EH?! Gue bukan disewa buat yang begituan ya, anjir! Heira jangan menyebar fitnah lo! Nama Alessandro Tedja tuh bersih ya di kampus gue!"

Alih-alih menanggapi Ales dengan serius, semua orang justru tertawa. Tak perlu dijelaskan pun, mereka sebenarnya tahu Ales tak mungkin seperti itu. Luarnya saja terlihat pintar menggoda wanita seperti Haga, tapi tak pernah sekali pun mereka lihat Ales membawa seorang gadis ke Nyx Bar.

"Udah-udah, sekarang kita happy-happy aja okeeey?!" Hanna memotong pertikaian kecil mereka. "Karena ini hari bahagia buat gue juga, jadi ... BILLS ON ME!!!" 

"YEAAAAAAAAAAAAAAAAY!!!" 

Semua orang bersorak senang, saling mengangkat botol ke udara untuk bersulang. 

Namun, saat tinggal lima centi lagi botol itu saling mendentingkan suara kemenangan, Haga tiba-tiba menahan teman-temannya. 

"Wait." 

Lalu, ia bangkit dan beranjak dari kasur yang semula ia duduki bersama. Haga beralih mendekat ke arah gadisnya, dan mengatakan sesuatu dari belakang gadis itu.

"Bills on me, Sweetheart. Not you. Let me pay all of this, for us. Just enjoy our first day, okay?"

Uh—uhuk! 

Tak hanya Heira, semua orang pun nyaris tersedak atmosfir kebucinan Haga. Sial, Heira tak pernah menyangka kakaknya bisa bersikap seperti ini kepada seorang wanita. Kacau! 

"E-eh, pegel nih tangan!" protes Keenan, yang sudah sedari tadi mengangkat botol birnya seperti semua orang.

"Cepetan woy! Hanna jangan malah bengong lihatin Haga dong! Buru! Tangan gue putus dah nih!" protes Ales. 

Lantas, setelahnya Hanna dan Haga ikut mengangkat bir mereka ke udara. 

Jimmy pun memimpin komando untuk mereka bersulang malam hari ini.

"Untuk Haga dan Hanna, selamanya!" 

"UNTUK HAGA DAN HANNA, SELAMANYA!" 

Ting! 

Dua tiga tegukan bir pun menjadi pembuka acara perayaan malam itu, yang akan diikuti oleh berbotol-botol minuman lagi. Meski tak ada live music, playlist Janson pun sudah lebih dari cukup untuk meramaikan acara kecil mereka. Sudah bukan lagi lagu Someone to Spend Time With dari Los Restros, tapi lagu dari Stephen Sanchez ft. Em Beihold berjudul Until I Found You yang kini menemani mereka menikmati malam ini. 

Janson bersama Keenan dan Nial bernyanyi mengikuti alunan. Pun dengan Ales yang setia membukakan botol bir untuk mereka, ia ikut menikmati malam ini di jam istirahatnya dari bar. Jimmy dan Heira? Dua muda mudi itu menikmati minuman sembari berangkulan selayaknya pasangan, dan sesekali ikut bernyanyi bersama Janson, Keenan, dan Nial. 

Sementara Haga dan Hanna ... mereka secara perlahan menjauh dari kerumunan. Haga mengajak gadisnya untuk duduk di tepian rooftop Nyx Bar, memandangi bulan yang indah, bersama ia yang dipujanya melebihi dunia memuja Aphrodite dan Cleopatra.

"I love you to the moon and back, Hanna." 

"And I'll love you till the sun stop rising, Kak Haga." 

Haga tersenyum, "So we won't see another sunset anymore?" 

"So we won't see another sunset anymore."





 — END 

Stolen Sweetheart by Xadara Goe
11/01/2022 — 11/09/2022

Continue Reading

You'll Also Like

33.4K 975 2
"Kakak macam apa yang tega menyiksa adiknya, Rom?" Kata Robin dengan nelangsa. "Kamu nggak berpikir sebelum menyakiti Asmaralaya? Dia adikmu, tapi ka...
15.2K 423 6
Aksel Efendi telah menambatkan hati pada satu gadis. Gadis yang hanya ketika tersenyum saja sudah membuat hatinya terasa penuh. Jantungnya bahkan sel...
1.9M 27.8K 44
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
29.2K 2.9K 72
Katanya, jangan gunakan orang lain untuk melupakan seseorang; sang ia yang masih ada dalam benak dan kenangan masa lampau. Demi hadir di acara lamar...