TPE : Seven Rivalry (2014)

By steefoy

247K 20.5K 1.2K

Completed ☑ The Penumbra Escapade : Seven Rivalry - Seakan tidak pernah puas, kejahatan selalu menyerang SMA... More

TPE: Seven Rivalry
DEMESNE I : GENESIS
DEMESNE II : DISTRESSED
DEMESNE III : INTRIGUE
DEMESNE IV: FESTIVITY
DEMESNE V: FORBEARANCE
DEMESNE VI : STARTLE
DEMESNE VII : RAPACITY
DEMESNE VIII : GLIMPSE
DEMESNE IX: UNRUFFLED
DEMESNE X : BLACKLIST
DEMESNE XI: CARNATION
DEMESNE XII: EMULATE
DEMESNE XIII: UTTERANCE
DEMESNE XIV: ELUCIDATE
DEMESNE XV: INTELIGIBLE
DEMESNE XVI: DEVASTATION
DEMESNE XVII: LASSITUDE
DEMESNE XVIII: SCRUTINIZE
DEMESNE XIX - I - EXPECT
DEMESNE XX : AMBUSH
DEMESNE XXI : INFLAGRANTEDELICTO
DEMESNE XXII: RANDOM
A SHORT ESCAPE-ADE ( A NOTE FROM ALLEGRA)
DEMESNE XXIII - SCUTTLEBUTT
DEMESNE XXIV : EXPEL
DEMESNE XXV - DIVULGE
DEMESNE XXVI - NARRATIVE
DEMESNE XXVII - VISUALIZE
DEMESNE XXVIII - EATERY
DEMESNE XXIX: CONSCIUSNESS
DEMESNE XXX : REVERSE
DEMESNE XXXI: DISSEMBLE
DEMESNE XXXII : ON - SLAUGHT
DEMESNE XXXIII : DRAWBACK
DEMESNE XXXV : EMOLLIENT
DEMESNE XXXVI: ULTERIOR
DEMESNE XXXVII: INTELLECTUALIZATION
DEMESNE XXXVIII: PAPYRUS
DEMESNE XXXIX : COUP D'OEIL
DEMESNE XL: AMENITIES
DEMESNE XLI: SUPREMACY
DEMESNE XLII: INAUGURATE
DEMESNE XLIII: PRESUMPTION
DEMESNE XLIV : CONVICTION
DEMESNE XLV - DEMOLITION
DEMESNE XLVI- DISCLOSURE
DEMESNE XLVII- INCONGRUITY
DEMESNE XLVIII - UNMITIGATED
DEMESNE XLIX: SUBJUGATE
DEMESNE L : ULTIMATE
DEMESNE LI: ENTOMB ( FINAL )
E P I L O G U E
UCAPAN TRIMS DARI MARKAS ABAL-ABAL DORMI VORTEX DI PINGGIR DANAU

DEMESNE XXXIV: AGHAST

3.3K 313 9
By steefoy

a·ghast

/əˈɡɑːst/

Struck with overwhelming shock or amazement; filled with sudden fright or horror.


*mengandung kata-kata kasar, mohon tidak ditiru kecuali memang diperlukan sewaktu-waktu* 


 "Mungkin kalian pikir ini tak menyeramkan, tapi masih ada tetesan darah, tanah, dan beberapa cemilan anak-anak di luar sana. Petugas tak membersihkannya. Entah itu memang ide mereka atau kelakuan Renata yang tak peduli dengan kebersihan sekolah," komentar Xander sambil menutup pintu pelan-pelan. "Dan apa ini oke-oke aja? Maksudku, kalau ada yang lihat kita masuk ke sini bagaimana?"

"Memang apa yang mereka bakal lakukan? Melaporkan kita pada guru? Mereka pasti bakal mempertimbangkan itu kok, Xander. Kau tenang saja. Ada hal yang lebih penting di sini, seperti apa yang dapat kita temukan. Aku sedikit penasaran dengan yang tadi, kupikir mereka tahu sesuatu. Dan siapa tahu ada kaitannya dengan anggota Seven Heavenly Virtues dan lawannya."

Yah, aku sempat berpikir saat Chloris mengatakan "akan mempertimbangkan kembali", tapi kemudian aku sadar, sepenuhnya sadar, kalau anak-anak pasti takut dengan Chloris. Allegra dan Chloris adalah dua cewek yang paling ditakuti di Visual Angkasa. Kalau ada anak-anak yang sok berani menantang mereka berdua dan mengangkat tinju tinggi-tinggi ke langit, mereka hanya berani di belakang saja. Saat didatangi oleh Alle dan Chloris, aku yakin mereka pasti berusaha keras mencari tempat persembunyian terbaik yang bebas dari jangkauan dua cewek keren itu, berusaha keras agar nyawa mereka masih bisa dipertahankan setidaknya sampai mereka dapat jodoh. Pantas saja Chloris santai banget pas masuk ke ruangan ini, seakan-akan tidak ada yang bisa menghentikannya.

"Nah, Aq, coba kau cek ke sana, teriak saja kalau kau menemukan sesuatu. Xan, kau denganku."

"Lo, kenapa aku tak pencar sendiri saja?" tanya Xander tidak terima. "Memangnya aku terlihat seperti orang yang tak dapat menjaga diri?"

"Sebaliknya, kau sangat bisa jaga diri, Xander," Chloe mendesah, "karena itu aku mohon agar kau bersama denganku, karena aku tak mampu menjaga diri."

Xander tertawa meremehkan. "Kau pernah tahu kata bullshit, kan?"

Chloris melirik Xander dengan tatapan menyeramkan yang menunjukkan kalau dia akan segera mencincang cowok itu kalau Xander tidak berkata iya, dan aura yang dipancarkan cewek itu begitu kuat, sehingga mau tidak mau Xander tunduk pada perintahnya yang mulia.

"Oke, Aq, kalau ada apa-apa, jotos saja, ya," kata Xander sambil berjalan mengikuti Chloris.

Setelah berpisah dengan Chloris dan Xander, aku berjalan menyusuri rak-rak tinggi yang tentu saja berisi data diri anak-anak di Visual Angkasa. Aku tidak tahu kenapa Chloris memutuskan untuk masuk ke dalam sini, tapi aku tahu cewek itu memiliki insting yang kuat, jadi aku yakin kalau dia pasti bisa menemukan sesuatu dari tempat ini.

Omong-omong, tidak ada yang dapat aku lakukan selain memperhatikan sudut-sudut ruangan itu. Yang tertangkap di depan mataku hanyalah rak-rak tinggi dan beberapa meja kecil juga kursi dan sebuah tangga di ujung ruangan. Sisanya, tidak ada yang menarik. Selayaknya ruangan-ruangan sekolah yang akrab dengan kesan membosankan, ada atmosfer kental yang memaksaku untuk segera keluar dan menghirup udara bebas ketika berada di ruangan ini. Aku berjalan-jalan pelan menyusuri beberapa area, di antara rak-rak tinggi yang terlihat jarang disentuh dan hanya ada di sana sebagai pajangan, lalu ke area lainnya, sambil berusaha mencari sesuatu yang barangkali bisa membantu aku dan dua temanku untuk mengetahui siapa korban penyerangan kali ini. Sebenarnya ini cukup menyenangkan. Aku tidak perlu masuk ke sekolahku yang terkutuk dan menyusup ke sekolah orang lain lalu menyelidiki kasus keren yang menyangkut dua organisasi yang ... oke lah, lumayan keren, bersama dua orang keren. Ini menyenangkan.

Dan keren.

Aku bersenandung kecil saat melewati sebuah area dengan tulisan "Arsip Siswa Angkatan 1996" dan mendadak tatapan mataku terpaku pada jendela yang terdapat beberapa meter dari tempat aku berpijak. Di bawah jendela itu, terdapat sebuah meja dengan sebuah kursi yang tersusun rapi pada tempatnya. Namun yang menarik perhatianku bukanlah itu. Untuk memastikan penglihatanku yang kuharap tidak bakal salah ini, aku mendekati meja itu pelan-pelan. Setengah meter dari meja itu, aku melihat sesuatu yang terlihat seperti gundukan kain diletakkan begitu saja di atas meja. Aku mengernyit ketika mendekati gundukan kain yang rupanya adalah sebuah jaket berwarna hijau tua yang tampak mahal. Bukan hanya jaket itu saja yang menarik perhatianku, tapi bercak merah yang ada di bagian lengan jaket itu juga membuatku terkejut. Aku langsung meneriakkan nama Xander dan Chloris yang segera bergegas ke lokasiku. Dua anak itu ikut memperhatikan temuanku.

"Jaket siapa ini?"

Aku menggeleng tidak tahu. Xander memberanikan diri untuk menyentuh jaket itu (dan tentu saja dia sudah mengenakan plastik untuk melapisi tangannya, dia tidak mungkin seteledor itu, kali). Dia membalik jaket itu dan menemukan label merknya.

"Jaket mahal, Massimo Dutti. Siapa anak di sekolah ini yang biasa beli barang-barang mahal?" tanya Xander pada Chloris, si yellow page berjalan.

Chloris berpikir sejenak sambil berputar-putar. Cewek itu pasti sedang memikirkan segudang nama anak di Visual Angkasa yang termasuk mad shoppaholic, dan sepertinya dia sudah punya banyak gambaran.

"Cewek-cewek di sini semua gila brand, semua bisa saja termasuk daftar. Tak perlu jauh-jauh, aku sendiri mengenakan Guess sekarang, dan Alle serta aku selalu memakai Abercrombie and Fitch sebelum ke sekolah, aromanya harum banget dan aku sedang tidak p--"

"Kau kok jadi pamer begitu? Dan kok mendadak kau jadi membicarakan Alle, sih?" sergah Xander, yang melirik padaku dengan tatapan mencurigakan, seakan-akan dia dan aku sudah mendapati Chloris secara tidak sengaja membela Allegra.

Cewek yang dituding langsung salah tingkah dan segera memasang wajah kesal. Dia mengibaskan tangannya sambil berbalik.

"Hanya kepedulian dengan sesama. Aku memiliki beberapa nama, seperti Zefanya dan Sabrina, dua cewek itu bisa semir bolak-balik sampe rambut mereka seperti ganggang di lautan, dan ada beberapa anak lagi yang benar-benar terobsesi dengan barang mahal, seperti Natasha Nebula dan seorang yang kalian tak kalian ketahui, namanya Bernadette de Mozambique."

"Kau tak mengarang namanya, kan?" tanya Xander tidak percaya.

Chloris mengangkat kedua pundaknya. "Tanya saja orang tuanya, kenapa anaknya diberi nama aneh begitu. Mungkin saja ayahnya pecinta peta dan  ibunya kolektor bola dunia. Jadi, bagaimana? Empat orang itu saja sih yang paling menonjol  diantara semua anak yang cinta brand."

Aku menelan ludah. "Semua anak bejat dan menyebalkan itu?"

Chloris mengangguk sambil mengerucutkan bibir. "Sebenarnya, anak baik-baik yang alim dan suka pergi beribadah juga suka barang mahal sih, jadi itu tak dapat dijadikan patokan. Dan lagipula, mereka tak sebejat itu, demi katak. Darimana kau tahu kalau mereka bejat?"

Aku menggelengkan kepala tidak percaya.

"Masih saja meragukan kemampuan mengorek informasiku? Anak culun berkacamata sang maestro bidang elektronik itu seperti Wikipedia berjalan, tahu? Kau kira darimana aku tahu soal rumormu yang kabarnya terancam diskors hampir 10 kali dan kabar kau hampir mematahkan 'milik' Keenan?"

"Uhhh, yang itu favoritku, sih!" Xander menyenggol Chloris, bangga. "Kapan-kapan kalau kau betulan mau menghajarnya, panggil aku, ya! Aku harus mengabadikan momen menyakitkan itu!"

"Itu tak membuatku sebejat itu, toh aku tak pernah berniat mencabut nyawa seorang wanita tua yang renta atau menyiram wajah mantanku dengan air raksa akibat sakit hati!"

"Tapi kau pernah membuat separuh kelas bolos karena mereka terancam bakal dihabisi sepulang sekolah hanya karena mereka membicarakan topik tentang kau yang menyodok 'milik' Keenan dengan tongkat bisbol. It's like hitting two birds with one stone. Aku jadi tahu sejarah terkenalnya namamu dan dua temanmu." Aku menjawab sambil berusaha membayangkan wajah kesakitan Keenan dan ekspresi sadis Chloris.

"Yah, bagiku sih itu masih ringan. Kalau saja mereka tahu aku bisa menjebak mereka dalam pesta miras dan membuat mereka semua dihukum selama sebulan tanpa uang jajan."

Sekarang aku jadi tahu siapa yang bejat.

"Kalau yang baik-baik, siapa saja misalnya?" tanya Xander.

Chloris berpikir sejenak. "Banyak sih, seperti Madeleine yang Malang, kaus-kausnya, walaupun terlihat jelek dan lusuh,  mereka Dorothy Perkins dan Zara, sepatunya tak perlu ditanya lagi, aku sendiri sampai kesulitan menghapalkan semua nama desainer-desainer ternama itu."

"Kalau begitu, besar kemungkinan ini milik Madeleine, kan?" usulku berusaha memberi pendapat.

Chloris menggeleng. "Madeleine itu bisa-bisa XS, kalau ini jelas-jelas ukuran medium."

Aku menyuruh Chloris melihatku dan pakaian yang kukenakan. "Aku lebih suka yang besar-besar begini, lo. Selain ketiakku dapat akses oksigen lebih banyak dan bebas bau, aku jadi mudah bergerak. We could be in the same boat, me and this Madeleine girl."

Chloris tetap menggeleng pada Xander. "Madeleine tak pernah memiliki jaket warna gelap. Baju-bajunya terang semua. Kalaupun iya dia pakai warna gelap ke sekolah, itu hanya saat perayaan Halloween aja. Itupun dia pakai aksesoris berwarna terang untuk mendongkrak warna busananya. Maklum lah, gadis terang."

Aku mengangguk-angguk. "Oke, menurut Chloe yang kepo, bukan Madeleine. Jadi siapa?"

Aku dan Xander hanya bisa diam, dan tentu saja cowok itu berpikir karena dia pasti tahu nama-nama anak di sekolah ini, dibandingkan aku yang baru beberapa hari jadi murid baru palsu. Aku hanya bisa termenung memandangi jendela kaca yang cukup besar. Jendela itu terletak dekat sekali dengan meja, dan hal itu membuatku mau tidak mau memperhatikan setiap detail yang ada di jendela itu, seperti korden tipis yang disibakkan ke atas, dan pengait jendela yang terletak di tengah-tengah jendela bagian bawah.

Tunggu, ada sesuatu yang aneh dari pengait itu.

Terbuka sedikit. Aku memicingkan mataku untuk melihat kalau jendelanya terbuka. Dan dugaanku benar. Jendelanya benar-benar terbuka sedikit. Pantas saja ada hembusan angin sejak tadi. Aku mendekati jendela itu untuk melihat lebih jelas lagi bagaimana bisa jendelanya terbuka. Dan sesuatu yang hampir sama dengan apa yang aku temukan pada jaket itu tertangkap mataku lagi. Bercak darah di ujung jendela, seakan-akan sesuatu ditarik keluar dari jendela dengan paksa. Aku langsung memanggil Xander yang sepertinya juga ikut memperhatikanku sedari tadi. Cowok itu mendekatiku.

"Aku mau lihat jaketnya," kataku sambil menyuruh Xander membuka jaket hijau itu.

 Sesuai dugaan, bercak darah yang ada di jaket itu berbentuk seperti darah yang dilapkan di atas meja, sehingga tampak seperti tertarik ke atas. Logikaku berkata, seseorang yang mengenakan jaket ini sedang berada di atas meja sebelum dia ditarik keluar lewat jendela, dan darah yang ada di jaketnya tentu saja masih panas dan basah, kalau tidak , tidak mungkin ada bekas darah di sekitar jendela. Setelah itu, aku berpikir lagi. Kemana orang yang ditarik keluar dari jendela ini?

Hanya dengan satu tatapan benang emas dengan Xander, kami berdua langsung melihat ke arah jendela, tangan Xander yang panjang menahan jendela itu, dan suara Chloris di belakang terdengar memanggil-manggil kami, tapi aku dan Xander lebih terkejut dengan apa yang kami temukan.

Dua tubuh yang sudah kaku berada di atas tumpukan sampah di halaman belakang sekolah.

Ada sebuah kotak besar berisi kumpulan dari pembuangan sampah sekolah, dan menurut Xander, sampah-sampah itu akan diangkut oleh truk pengangkut sampah dua kali seminggu.

"Hari ini ada pengangkutan sampah, Xan?" tanyaku setengah berbisik.

Xander mengangguk. "Hari ini jadwal pengangkutan sampah akan dilaksanakan jam satu  siang. Mana Chloe? Chloe! Kemari, dasar lambat!"

Aku melihat jam tanganku yang sialnya menunjukkan jarumnya yang pendek di antara angka dua belas dan satu, tapi lebih dekat dengan satu, dan jarum panjang yang berada di antara angka sebelas dan dua belas. Sisa dua menit hingga truk pengangkut datang dan mengangkut sampah-sampah itu.

"Sialan, Xander, kita  hanya punya waktu dua menit sebelum truk datang dan mengangkut semua sampah-sampah itu plus dua anak malang yang tergeletak kaku di dalamnya. Kita harus segera turun!"

Tanpa menunggu komando, aku langsung berlari keluar dari ruang arsip, membuat Chloris yang baru saja menghampiri Xander dengan ocehannya yang sepanjang Tembok Cina terkejut dan ikut mengejar Xander dan aku. Aku turun dengan cepat menyusuri tangga yang entah kenapa tampak lebih panjang dari sebelumnya, berbelok beberapa kali sambil menghindari anak-anak yang tampak bingung melihat ulahku. Di belakang, aku melihat Xander dan Chloris mengikutiku. Setelah penantian berlari yang panjang, kami sampai juga di halaman belakang, dan truk pengangkut sampah sudah siap mengangkut sampah-sampah itu. Ada dua orang yang keluar dari truk sambil membawa beberapa kertas yang tampak banyak, mungkin data sampah-sampah yang akan diangkut hari ini.

"Xander, kau bisa tolong hentikan dua orang itu? Alatnya telah bergerak, ada dua orang sekarat di dalam bak sampah raksasa itu. Aku akan tarik mereka dari sana bersama Chloris," usulku sambil bersiap berlari, tapi Chloris menahanku.

"Tunggu, ada apa sih ini? Kalian kok seenak perut gitu aja lari-lari kayak orang kesetanan tanpa bilang aku apa yang sebenernya terjadi, hah?"

Xander menggaruk kepalanya sambil menyibakkan rambut yang jatuh ke keningnya.

"Intinya, ada dua anak yang jatuh dari atas sana, atau ditarik oleh sesuatu dari jendela, dan jaket tadi milik salah satu dari kedua anak itu, dan mereka ada di dalam bak sampah itu, siput gurun! Sebelum truk sialan itu mengangkut semua sampah beserta dua anak itu, kita harus menghentikan  mereka!"

"Noted, cepat ke sana dan pastikan mereka tak kehilangan nyawa karena kalian tarik-tarik dari dalam tempat sampah, aku akan berbicara dengan si supir, doakan aku beruntung!"

Aku  belum sempat berkata iya, dan begitu pula dengan Xander, tapi cewek itu sudah melesat secepat kilat ke arah si supir truk. Tidak ingin membuang waktu, aku mengajak Xander untuk mendekati bak sampah yang tingginya kelewatan itu. Ada sebuah tangga yang menempel dengan bak sampah itu, dan seorang pengurus dari truk menghampiri bak sampah itu untuk mengurus sesuatu yang tidak aku ketahui. Chloris sudah berbicara dengan si supir truk dengan gaya Jangan-Macam-Macam-Dengan-Tinju-Legendaris-Ini-Dasar-Botak, dan si supir truk tampaknya seperti mengabaikan Chloris.

"Kau cukup kuat buat naik ke sana dan menarik mereka, kan?" tanya Xander, diikuti oleh anggukanku. "Kalau begitu, kau naik, aku akan jaga di bawah sini. Tarik tubuh mereka dan lempar ke bawah, aku akan tangkap. Tapi ingat, jangan lempar ke arah lain. Bisa-bisa kau yang dituduh membunuh mereka dengan sengaja."

Aku mengangguk dan langsung menaiki tangga secepat kilat. Sesampainya di atas, demi lubang hidung Hades, bau tidak sedap langsung menyeruak ganas ke dalam lubang hidungku, membuatku harus menoleh ke Xander dan memasang wajah mau mati, dan Xander hanya tersenyum kecut sambil menyebutkan kata-kata yang kalau dibaca dari gerakan bibirnya terdengar seperti Hidup-Memang-Susah. Aku berusaha untuk mengabaikan bau tidak  sedap yang keluar dari tumpukan sampah itu, dan berjalan mendekati dua badan yang sudah kaku dan dingin. Mendekati badan yang pertama, aku langsung tahu kalau itu adalah seorang anak laki-laki berbadan lumayan besar. Wajahnya tidak kukenali tentu saja, tapi di perutnya ada bekas luka tusukan dan di lehernya terdapat bekas jeratan yang menunjukkan kalau dia dicekik menggunakan sesuatu berbahan keras.

Dalam hati aku menyumpahi Xander yang tega-teganya menyuruhku naik dan menarik tubuh sebesar ini. Tubuhku yang sangat kecil sedikit menyulitkan, tapi aku tahu aku harus bertindak cepat karena bisa saja alat pengangkut sampah itu bergerak mendadak dan aku tidak sempat menurunkan mereka berdua. Aku menarik tangan si laki-laki dengan kuat dan kasar, berusaha keras untuk mengabaikan sisa makanan seperti kulit pisang dan kentang tumbuk sisa yang menempel-nempel di kakiku.

Butuh waktu beberapa puluh detik sebelum akhirnya aku bisa mengarahkan kepala cowok itu ke ujung bak sampah, menyuruh Xander bersiaga. Dengan sekali dorongan, aku menyentak tubuh cowok itu dan Xander yang berbadan besar langsung menangkap badan besar itu.

"Sialan! Kau seharusnya memberi aba-aba dulu, Aq!" bentak Xander sedikit kewalahan, tapi dia berhasil menurunkan tubuh berat itu dari pegangannya.

"Hidup memang sulit, Xan. Dan sekarang, badai belum berhenti!"

Aku langsung kembali masuk ke tumpukan sampah yang sangat bau (aku bersumpah, ini bau banget, dan jangan sekali-kali masuk ke sini dan menjadikan bak sampah sebagai wadah persembunyian kalau kalian tidak ingin mati dengan cara menghirup aroma dahsyat dari sampah, sangat tidak elit), dan memaksa kakiku untuk bergerak menembus lautan sampah yang kelewat banyak. Aku menghampiri badan kedua, seorang cewek yang sedang mengenakan tanktop bunga-bunga berwarna putih, dan lebih parah dari korban pertama, luka sayatan memenuhi sekujur tubuhnya, dan nggak  ketinggalan, sebuah luka tusukan yang cukup dalam meninggalkan bekas luka yang kelihatan horor. Wajah cewek ini juga tidak familiar, jadi aku hanya bisa membawanya turun dan segera melemparnya ke Xander sebelum truk sampah yang tidak kalah jeleknya dengan si supir itu bergerak.

"Oke, siapapun kau, aku berdoa semoga kau masih hidup karena kau cantik dan kau tak pantas mati, dan kalaupun kau sudah tak ada, semoga dosa-dosamu diampuni dan jangan ganggu orang yang telah melakukan ini padamu." Aku berpikir sejenak dan meralat kata-kataku. "Oke, mungkin kau boleh menghantui hidup mereka seminggu tiga kali, kau tahu, seperti muncul di dalam kaca saat mereka sedang mencukur bulu kaki atau dada, mungkin mainkan saklar kamar mereka, tapi yang penting, sebelum hal itu terjadi, aku akan mengeluarkan kau dari si..."

KRRAAKKK!

Suara yang memekakkan telinga itu sukses membuatku kaget dan nyaris berteriak, kalau saja aku tidak  ingat kalau ini adalah misi tersembunyi yang harus aku lakukan tanpa sepengetahuan kedua petugas sampah itu. Getaran merambat hingga ke kakiku, dan aku langsung tahu kalau alat itu mulai bergerak menaikkan bak sampah raksasa ini dan bermaksud untuk memasukkannya ke dalam truk untuk dibawa pergi.

"Holy shit!"

Setelah umpatanku yang tidak begitu bagus itu, aku langsung bergegas menarik tubuh si cewek malang yang sudah aku doakan tadi secepat dan sekuat yang aku bisa. Tapi, gravitasi seakan menarikku untuk jatuh dan masuk ke dalam truk sialan itu. Aku berusaha keras untuk tetap menarik tubuh si cewek sekuat yang aku bisa sambil menahan tubuhku untuk tidak ikut masuk ke dalam truk yang sudah berisi lebih banyak sampah lagi dari sampah-sampah yang ada di bak sampah ini. Dari yang bisa aku lihat, Chloris berusaha menyuruh si supir truk untuk menghentikan alat sialan yang bergerak semakin ke atas ini, membuatku nyaris jatuh kalau saja aku tidak memberi tekanan pada kaki bagian depanku. Dari tampangnya yang bete, Chloris sudah kentara sekali ingin menjotos wajah si supir truk yang mirip PewDiePie gagal.

Aku menoleh ke samping, jarak antara tempat aku berpijak sekarang dengan ujung bak sudah dekat, hanya dua langkah saja dan aku bisa mengangkat tubuh cewek ini dan melemparkannya pada Xander. Tapi, bak sampah ini terangkat semakin tinggi dan gravitasi ke bawah semakin kuat, sehingga mau tidak mau aku memakai shortcut: Melempar saja cewek itu ke bawah. Itu akan mengurangi tekanan pada tubuhku. Jadi, dengan tekad yang begitu kuat, aku mengangkat tubuh cewek itu (yang untung saja jauh lebih ringan dari tubuh si cowok yang bobot tubuhnya telah mirip hasil kawin silang badak dengan kuda nil), aku memberi isyarat pada Xander dengan melambaikan tangan, lalu melempar tubuh cewek malang  itu dengan ganasnya, dan aku memejamkan mata kuat-kuat, berharap lemparanku tidak jauh-jauh amat dari tempat Xander berdiri.

Setelah lima detik berlalu, aku bisa memastikan kalau si cewek baik-baik saja, jadi aku buru-buru berjalan ke ujung bak sampah dan memegang tangga. Oke, rupanya si cewek memang tidak apa-apa, tapi si Xander yang kenapa-kenapa. Cowok itu meringis kesakitan karena tubuh si cewek yang aku lempar menindasnya dengan ganas, membuat cowok itu jatuh dengan posisi terlentang dan rambut gondrongnya terlihat seperti singa dari sini. Aku ingin sekali tertawa, tapi aku tahu kalau posisiku tidak lebih baik dari Xander, jadi aku buru-buru menaiki tangga itu. Dan bodohnya, bak sampah itu diangkat semakin tinggi. Paling tidak aku harus menunggu sampai semua sampah yang ada di dalam bak sampah itu berpindah tempat semua.

Masalahnya, pegangan tanganku mulai kendur dan lenganku sakit semua. Aku melihat ke bawah, kira-kira satu meter saja. Aku mulai berpikir, seandainya aku melompat, apa aku bakal selamat? Oh, ya tentu saja aku akan selamat. Aku hanya perlu mendarat dengan gaya kucing, dan semuanya akan baik-baik saja. Masalahnya, aku tidak punya cakar yang bisa menahan badanku nanti. Oke, sepertinya opsi pertama adalah satu-satunya jalan. Aku mempererat peganganku pada pegangan tangga, berharap truk sialan itu cepat-cepat pergi dari sini dan aku bisa turun dengan leluasa.

"Aq, lompat aja, kita harus buru-buru bawa dua anak ini kabur!"

"Kau cari mati, hah?! Kalau aku sampai koma seribu tahun dan tidak bisa memiliki anak, kau ingin tanggung jawab, hah? Kau ingin mencarikan anak adopsi untukku, hah?!"

"Kau kira untuk apa aku melatih otot dan angkat beban bertahun-tahun begini, hah?!" Xander tampak tidak terima. "Aku yang akan menangkapmu! Dan astaga, tolong cepat! Kau sudah hampir diangkut ke penampungan sampah, dasar siput danau!"

Ah, iya, kenapa aku tidak  memikirkan hal itu tadi? Aku menarik napas untuk menenangkan diri, lalu dalam hitungan detik segera melompat ke bawah, di tangkap dengan ringannya oleh Xander, dan aku selamat. Aku membetulkan ikatan rambutku sambil menoleh ke Chloe yang sudah berada di sampingku dan Xander.

"Brengsek, dasar supir truk sialan. Kenapa sih orang yang bertemu denganku selalu bilang kalau aku ini anak preman?" tanya Chloe bingung.

Aku menoleh pada Xander yang juga menoleh padaku, mungkin memikirkan hal yang sama.

"Mungkin karena emang kamu mirip preman, Chlo. Lihat tuh bajumu, semuanya mirip seperti anggota perkumpulan sekte gelap pemuja uang haram."

"Memang apa yang kau katakan pada si supir truk?" tanya Xander.

"Aku usir, dong! Kukatakan padanya bu Renata mengganti jadwal pengangkutan sampah. Tapi dia tak percaya, katanya kalau belum dapat telepon dari si Macan Betina itu, mereka tak bakal percaya. Mereka bahkan menyuruhku untuk menyatu dengan tumpukan sampah itu agar aku diam dan tak banyak bacot, dasar botak kurang ajar!"

Aku hanya tersenyum sambil membantu Xander mengangkat si cewek malang. "Lupakan saja, itu tak penting. Yang penting, dua orang ini berhasil kita turunkan. Lihat keringat-keringat ini, aku bekerja keras. Dan nih, ini jaket milik cewek ini."

"Lissa Rasi? Ratu gosip ini?"

Kali ini aku dan Xander yang menoleh ke arah Chloe si yellow page berjalan dengan tatapan bingung.

"Siapa dia?"

Chloris menyilangkan kedua tangannya. "Kupikir kalian menyimakku. Aku sempat menyebut namanya tadi. Baiklah, perkenalkan, Lissa, ratu gosip di sekolah. Bisa saja dia tahu soal gosipmu yang adalah murid palsu  di sini. Dia bahkan tahu merk bra yang kukenakan, dasar capung sialan."

Kami bertiga terdiam. Sesekali, pandangan kami jatuh pada cowok yang menurut Chloris bernama Mario, dan kami hanya bisa termenung memperhatikan kondisi mereka yang udah tragis. Truk sampah sudah pergi sedari tadi, dan sekarang tinggal kita bertiga dan dua korban penyerangan yang berkerumun di halaman belakang sekolah ini. Setelah beberapa lama kami diam-diaman seperti orang bodoh, akhirnya Chloris buka mulut.

"Well, karena tak ada yang tahu harus berbuat apa, lebih baik kita bawa mereka ke rumah sakit sekaligus memberi laporan. Aku sudah rindu dengan Vero."

"Pertanyaan lainnya, Chlo," selaku  kemudian sembari mengusap keringat dan berusaha mengatur napas. "Bagaimana kita akan membawa mereka keluar dari lingkungan sekolah tanpa ketahuan satpam-satpam kalian yang kepo luar biasa itu?" 

"Satpam kami?" Xander tertawa mengejek. "Yah, yang berkumis pirang memang teman baikku, sih, kupikir aku bisa mengajaknya bicara, jadi kalian angkut mereka lewat pintu belakang tempat kita biasanya kabur. Chloe tahu tempatnya. Sederhana, kan?" 

"Bisakah kau berhenti bertindak bodoh, Xander?" Chloe maju selangkah sambil menusuk-nusuk dada Xander yang tidak terpengaruh sedikit pun. "Kau kira aku, dengan tubuh begini, sanggup mengangkat...," Chloe melirik Mario yang terlihat tidak  berdosa dan kasihan, "... dia? Belum lagi Aqua bertubuh mirip tangkai padi begini..." 

"Tutup mulut, dasar titisan Mammon!" 

"Well, aku ingin sih mengangkut mereka berdua dengan mudah, tapi melihat pengalamanmu bernegosiasi dengan si botak tadi, aku jadi ragu kalau kita bisa selamat. Sudah, coba saja seret atau angkat dia di punggungmu. Jangan sok lemah. Aku tahu kau pernah mengangkat dua puluh kilo di gimnasium." 

"Dengan bantuanmu, bodoh!" 

Namun sepertinya, Chloris juga tidak ingin berdebat lebih lama. Cewek ini pun menyuruh Xander buru-buru pergi. Tapi malang memang nasib kami (dan nasibku), langkah kami diketahui oleh seseorang. 

Awalnya, kukira dia hanya murid biasa yang kebetulan lewat atau bisa saja sedang merokok di jam pelajaran, tapi melihat gestur Chloris yang telah siap menjotos wajahnya dan Xander yang tampaknya ingin segera berduel dengan cowok tegap bertampang nakal ini, aku jadi sadar kalau kita benar-benar tertangkap basah. 

Keenan memandangi kami dengan tampang penasaran sebelum dia berjalan mendekati tubuh Mario dan Lissa yang terbaring lemah. Cowok itu tidak berjongkok seinci pun, tapi dia menyipitkan mata lalu mendongak melihat kami bertiga. 

"Yes, sir? Anything I can help? Can't wait for your frickin' turn?" ujar Chloris sarkastik sambil berusaha keras untuk mengelap keringat dingin yang bercucuran di telapak tangannya (yang dia usapkan ke belakang celana). 

"My turn ain't on you guys. It's on Allegra, darling." Keenan menggigit bagian dalam pipinya sambil melirikku. Dia lalu tersenyum menggoda (atau licik?). "Si murid baru. Apa yang kau lakukan di sini dengan anak-anak legendaris ini, Alaris?" 

"Aquaris," koreksiku sambil berusaha terlihat santai walau jantungku telah hampir copot dari tempatnya. "Membantu mereka menghilangkan bukti. Kita keren, kan? Mau ikut?" 

Keenan tersenyum lagi, menunjukkan sekilas wujud tampan yang selama ini jadi bahan pembicaraan seantero Visual Angkasa. 

"Well, tidak, trims. Aku mendengar ribut-ribut tadi. Kupikir itu ulah Zefanya lagi. Rupanya, kalian ikut campur." 

Tanpa banyak omong, Chloris dan Xander langsung maju dengan gerakan cepat dan menekan Keenan ke tembok di belakang kami. Melihat mereka saling bersitegang seperti itu tidak terlalu membuatku keder, jujur saja. Habis, wajah mereka sama-sama terlihat menantang, seakan-akan kalau salah satu dari mereka mulai memukul, yang lain tidak bakal menunggu sirine dibunyikan hingga giliran mereka tiba untuk balas memukul. Aku, yang hanya anak bawang di sini, hanya dapat melongo melihatnya. 

"Apa pun yang kau lihat saat ini, mereka sungguhan terluka. Satu hal yang perlu kau tahu, ini ulah dayang-dayang kesayanganmu itu. Jadi sebelum kau jadi raja gosip sekolah dan menghancurkan reputasi rendahmu itu, lebih baik kau tutup mulut," desis Chloris menyeramkan. 

Keenan di sisi lain hanya tertawa. "Pantas Allegra senang berteman denganmu. Kau kelihatan seksi sih kalau sedang mengancam begitu."

Sebuah pukulan dilayangkan Xander hingga membuat bibir Keenan mengeluarkan darah. 

"Ingin sekali kucopot mulut itu dari wajahmu, tapi aku sadar kalau itu tindakan pengecut. Ingat ini, sialan, kau tak tahu apa-apa!" 

"Hahaha, semuanya, tenang dulu. Kalian kira aku bakal melakukan apa dengan ini semua?" ujarnya tanpa berusaha untuk melepaskan diri. "Aku sudah mengamati kalian sejak di gimnasium, aku mengikuti kalian kemari, bahkan sudah kupastikan dua petugas itu mendapatkan ganjaran  mereka." 

"Apa?" 

"Hah?" 

"Bagaimana bisa?" 

Aku, Chloris, serta Xander saling bersahut-sahutan, membuat kami bertiga kelihatan bodoh. 

"Yah, yang itu sih kalian nanti bakal tahu. Yang jelas, bawa mereka keluar dari area sekolah secepatnya. Si Gendut itu sedang mencari mereka. Kalau dia tahu mereka di sini bersama kalian, percayalah, aku juga pasti bakal kena." 

"Memang apa urusannya denganmu?" sergah Chloris tidak sabaran. 

Keenan lalu memandang cewek itu serius. Untuk sedetik, aku dan otak kotorku betulan berpikir dia akan mengecup bibir Chloris, tapi cowok itu kemudian menyandarkan kepalanya ke tembok pasrah. 

"Karena aku melihat siapa yang melakukan ini semua." 

Untuk sesaat, kami semua diam. Iya, aku tahu apa yang kalian pikirkan, aku pun berpikir kisah ini akan terpotong begitu saja. Tapi tidak. Masalah kami belum selesai sampai di sana. 

"Siapa pelakunya?" Xander semakin menekan tangannya ke leher cowok itu, membuat Keenan kali ini mulai terpojok. "Katakan sekarang juga atau kupatahkan lehermu!" 

"B-bagaimana bisa aku me-mengatakannya pada kalian kalau aku dice-cekik sampai mati b-begini?!" bentaknya tidak senang sambil mulai berusaha melepaskan dirit dari tekanan Xander yang terlalu kuat. 

Untuk beberapa detik lamanya, kukira kami akan memupuk korban lagi, tapi Chloris mendapatkan hati nuraninya kembali. Cewek itu pelan-pelan  melepaskan Keenan, lalu menyuruh Xander menjauh. 

"Oke. Katakan. Apa yang kau lihat, Keenan?" 

Keenan berusaha mengambil napas sambil membungkukkukan tubuhnya. 

"Jujur saja, aku tak dapat memastikan b-betul, tapi kalau memang benar itu dia, kita semua dikut..."

"Itu! Ada kaki di sana! Bu Renata, saya melihat kaki di sana!" 

"Jangan berbohong, pak Opal! Saya tak melihat apa pun!" 

"Bukan kaki, maksud saya, sepatu, ada sepatu di sana!" 

"Itu pun saya tak melihatnya, pak! Saya harap Anda pergi ke dokter mata setelah ini."

"Motherfucker," umpat Keenan tidak senang. "Sudah kuduga si banyak mulut itu bakal mengikutiku kemari." 

"Pak Opal, itu pak Opal!" Xander terdengar panik luar biasa. "Ini gawat, kita bakal selesai di sini." 

"Tidak." 

Kami semua menoleh pada Keenan yang terlihat tenang. 

"The heck you mean?!" bentak Chloris diam-diam. 

"Astaga, darah! Ada darah! Bu Renata, kita harus panggil paramedis!"

"Sialan, kita sudah tertangkap!" Aku ikut panik. "Pikirkan sesuatu, Xander!" 

"Kenapa aku?!" 

"Karena kau yang paling cerdik di sini! Kau bilang kau berlatih otot, kuharap itu termasuk otot otak!" balasku heboh. 

"Kalian berdua, tenang!" Keenan membentak kami tidak senang, tapi kubalas dengan pelototan maut juga. "Aku dan Xander akan angkat mereka ke luar sekolah. Kalian berdua...," Cowok itu menoleh padaku dan Chloris yang telah siap mematahkan tengkoraknya jadi empat. "... lakukan sesuatu untuk menggantikan mereka." 

"Menggantikan apa, sialan?!" Chloris makin terdengar bingung. "Pura-pura mati seperti mereka? Kita bahkan tak memiliki saus tomat di sekitar sini!" 

"Lakukan saja sesuatu!" Keenan bersikeras sambil mulai mengangkut Lissa dengan penuh waspada. "Aku berjanji aku akan menggantikan luka dan lebam kalian nanti, Alaris, kau boleh memukul-mukulku hingga puas nanti, kau bahkan boleh menggemboskan bokongku, tapi sekarang, lakukan sesuatu sebelum kita berempat diseret ke ruang kepala sekolah dan berakhir seperti sahabatmu itu!" 

Tanpa tunggu lama, Xander dan Keenan telah menghilang bersama dua korban kami di balik tembok dan pohon besar di belakang sekolah. 

Dan beginilah jadinya. 

Aku dan Chloris. 

Berdarah-darah. 

Bersama bu Renata kepala sekolah Visual Angkasa yang memandangi kami dengan pelototan penuh pertanyaan. 











March, 2016:

HELO! It's me again, seperti biasa, aku sudah bilang mulai dari sini semuanya gak bakal santai-santai lagi. Aku hanya perlu menampilkan beberapa karakter yang penting. Seperti yang sudah kubilang, kisah ini lama habisnya. Tugas aku hanyalah berusaha menjaga momentum supaya semuanya jadi jelas. Karena aku bikin cerita ini tanpa storyline, jadi kubiarkan mengalir begitu saja, sesuai yang ada di otak aku, old style. I hope you guys like it."

Continue Reading

You'll Also Like

69K 1.5K 16
Namaku Giania, semua orang memanggilku putri Giania alasannya tentu saja karena ayahku seorang Raja yang memerintah di sebuah kerajaan yang besar. ak...
3.7K 473 37
( TAMAT ) LAGI TAHAP REVISI. Teori dunia paralel bisa dijelaskan sebagai kehidupan manusia beserta alam semesta secara bersamaan satu sama lain. Yang...
3.4M 434K 36
"Aneh, kok gue jadi cantik?" ketika gadis yang memiliki IQ yang tinggi, namun bar-bar, tiba-tiba tersesat di tubuh seorang gadis cantik yang bodoh, e...
225K 12.4K 10
#1 Horror 18/08/2021 Tesla Briliantia gadis Indonesia yang mendapat beasiswa di Budapest. Di kota dengan banyak bangunan tua itu, Tesla menyewa sebua...