=/= Love

By SangBison

4.9K 205 445

Untuk menjadi lebih baik kita perlu berubah, namun dengan berubah apakah kita selalu jadi lebih baik ? Bagaim... More

Disclaimer
Chapter 1 : Endless Free Fall
Chapter 2 : Good Boy Gone Bad
Chapter 3 : "Kontak"
Chapter 4 : Now and Before
Chapter 6 : The First Hit
Chapter 7 : Ally or Foe
Chapter 8 : Student Council
Chapter 9 : The Terror Behind Her Smile
Chapter 10 : Him
Chapter 11 : Memories
Chapter 12 : Blood
Chapter 13 : Theo
Chapter 14 : Dirinya
Chapter 15 : Regret(s)

Chapter 5 : Asserting Dominance

181 13 30
By SangBison

"I like it better now... This completely altered face of mine"

---------------------------------------------

3rd P.O.V.

"Dey mereka mirip banget yak ?" Ucap Vino sambil tertawa.

"Iyak, rutinitas paginya sama persis. Rebahin kepala di meja."

Orang yang Dey dan Vino bicarakan adalah si anak baru Yonat dan teman mereka Gita. Mereka berdua terkekeh melihat posisi Gita dan Yonat yang sama persis meletakkan kepalanya di meja. 

"Kayanya mereka bakal jadi best friend," lanjut Vino.

"Cocok si, terlalu mirip."

Pergantian pelajaran berlanjut, kini saatnya mapel pertama di hari kamis. Mapel yang melibatkan banyak perhitungan dan rumus, pasti kalian mengira mapel itu adalah matematika. Salah ! Mapel itu adalah Fisika. 

"Selamat pagi pak."

Ucap kelas itu dengan separuh semangat kepada guru yang baru saja meletakkan barang bawaannya di meja guru. Gita yang tadi masih tertidur kini sudah bangun, ia tak ingin mencari masalah dengan guru yang satu ini. Namun hal ini berbeda kasusnya dengan Yonat.

"Psst ! Yonat ! Bangun !"

Yonat tak bergeming, ia terlelap dengan nyaman seperti batu. Teman-teman sekelasnya hanya bisa merinding dan merasa takut. Pasalnya guru satu ini cukup killer.

*BAM*

Guru itu menghantam meja Yonat dengan kepalan tangannya. Saking kencangnya, meja malang itu kini sedikit rusak. Amarah tercetak jelas pada wajahnya yang tak muda lagi itu.

"Anak baru masuk-masuk udah belagu banget ya ?"

Yonat mengusap matanya perlahan sembari menguap. Ia melihat ke arah guru itu, bukannya kenapa-kenapa tapi guru itu adalah guru yang ia kurang sukai dan ya kita tahu siapa guru itu. 

"Udah pinter kamu ?"

"Maaf pak, saya ngantuk."

"Pulang sana kalo ngantuk"

Yonat hanya diam, ia sendiri sebetulnya belum sepenuhnya bangun. Ditambah guru yang satu ini hanya mengoceh penuh emosi, membuatnya malas untuk menanggapinya.

"Diem aja sekarang ? Dasar ! Saya juga kesel tau gak liat rambut kamu. Saya gunting juga nih !"

"Saya rasa rambut tak terlalu penting untuk diperhatikan di sekolah pak. Kan cuma dekorasi."

Kalimat terakhir Yonat entah mengapa membuat seisi kelas itu menahan tawa. Sebagai anak baru sepertinya Yonat belum tahu, bahwa rambut Pak Slamet benar-benar hanya "dekorasi". Bongkahan rambut yang ada di kepala Pak Slamet itu benar-benar bisa dicopot layaknya lego.

"HEH KAMU NGEJEK SAYA YA ?!" bentak Pak Slamet, ia sungguhan marah kali ini.

"Hah kok ngejek pak ? Lagian bener kan ? Yang penting dari murid isi kepalanya pak."

"Emang kepala kamu ada isinya ? Udah attitude gak punya, kepala juga gak ada, Apa sih yang sekolah ini mau dari kamu ? Standarnya rusak gara-gara kamu !"

Ucapan kencang Pak Slamet itu membuat kelas begitu hening. Bentakannya terdengar hingga kelas lain walaupun memang tidak tersebut jelas kata-katanya.

Walau dibentak, Yonat tampak tetap tenang. Senyum liciknya muncul, terlihat seperti mengejek oknum guru di depannya ini. Ia senang gurunya mengambil kail emosi yang ia lempar.

"Perlu saya buktiin pak ? Kalau kepala saya ada isinya ?"

Tantangan Yonat memang tak ada obat. Ia terlihat confident, tak mengetahui momok mengerikan yang dibawa oleh guru ini. Teman-teman sekelasnya saja tampak pucat mendengar tantangan itu.

"Ho ? Kamu mau pre-test dari saya ?"

Vino menyenggol Yonat sambil menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tak ingin Yonat mengambil pre-test itu. Ia tau sendiri betapa sulitnya soal Pak Slamet dan selalu ada sesuatu yang dipertaruhkan.

"Boleh pak, Fisika kan ?"

"BAGUS, Saya ambil dulu soalnya."

Pak Slamet berjalan tanpa melepaskan pandangannya dari Yonat. Dengan mata batin, sepertinya kita bisa melihat listrik yang saling beradu dari pandangan kedua kubu itu. Mereka seperti musuh bebuyutan yang lama tak bertemu.

Perginya Pak Slamet menjadi peluang untuk Vino menanyakan kewarasan teman barunya itu. Jika bisa memilih untuk tidak melakukannya, semua murid yang ada di sekolah ini akan mengambil opsi yang sama. Hari pertama sekolah bagi sudah menjadi momen mengerikan bagi teman sekelasnya. 

"Emang susah ?"

"Gue kasih tau, itu si Zee anak paling pinter di sekolah ini cuma bisa dapet 75. Lu sinting apa ?!"

"Ah elah santai."

"Yon lu serius ? Ini problemnya Pak Slamet bakal naro sesuatu buat taruhan." 

Dey tak kuasa menahan diamnya, apalagi orang yang akan berhadapan dengan guru yang kerap dipanggil Pak Safe itu adalah teman barunya sendiri. Memang oknum guru satu ini suka membuat taruhan yang merugikan siswa. 

"Lu yakin bisa menang ?" 

Yonat, Dey, dan Vino menengok ke serong kanan. Suara itu datang dari Gita, yang akhirnya membuka mulut. Dia yang sejak tadi hanya memperhatikan, mulai tertarik dengan rasa pede Yonat.

"Kalo soal Fisika, gue bisa jamin. Gak ada yang bisa ngalahin gue."

Yonat memang menyukai Fisika. Ia benar-benar mendalami ilmu itu ketika ia berhenti menjadi Bad Boy tahun lalu. Di waktu yang singkat itu, ia berhasil mendapatkan nilai akhir yang nyaris sempurna 99,8. 

"Gue cuma bisa bilang, apa yang dibutuhin kadang gak keliatan," sebut Gita.

Pak Slamet kembali dengan soal di tangannya itu. Nampaknya ia kembali diikuti oleh beberapa guru dan siswa yang memakai seragam olahraga. Mereka tahu ini akan menjadi sesuatu yang menarik untuk dilihat. 

"Peraturannya gampang, ini ada 10 soal essay. Kamu kerjakan dalam waktu 90 menit, kalau kamu dapat skor di atas 75 kamu menang. Kalo di bawah kamu kalah, paham ?"

Yonat mengangguk merasa cukup jelas dengan penjelasan sang oknum guru. Namun belum sempat ia mengambil soal itu, Pak Slamet menepis tangannya. 

"Saya belum selesai. Kayaknya kalo cuma begitu gak seru ya...?"

Yonat bisa mendengar beberapa teman sekelasnya menelan ludah, merasa cemas dengan apa yang akan menjadi taruhannya kali ini.

"Kalo bapak menang, bapak boleh lakuin apa aja ke kamu."

"Jadi babu bapak gitu maksudnya ?"

"Agak kasar, tapi ya benar."

"Okeh, kalo saya menang saya dapet apa pak ?"

"Ya kamu boleh ikut kelas saya, adil kan ?"

Yonat tertawa keras, ia merasa apa yang dikatakan oleh Pak Safe itu begitu lucu. Sepertinya definisi adil menurut guru satu itu sangat berbeda dengan adil dalam diksinya.

"Yah kurang seru pak, gimana kalo saya menang...

Bapak yang jadi babu saya ?"

Mata semua orang yang mendengar itu terbelalak, termasuk mata sang guru Fisika. Bahkan Zee yang berhasil memenuhi kriteria tidak berani memberikan taruhan seperti ini. 

"Kenapa pak ? Takut ?" ejek Yonat kembali, menantang guru itu. 

"O-Okeh ! Deal ! Maju kamu sini."

Sepakat, Yonat maju ke kursi paling depan. Ia bertukar kursi sementara dengan salah satu murid hanya untuk mengerjakan pre-test ini. 

Segala kebutuhan telah terpenuhi, Yonat pun memulai pengerjaan 10 soal itu sembari diawasi oleh Pak Slamet. Ia membaca soal demi soal terlebih dahulu, berusaha melakukan fast scanning terhadap maksud soal. 

Menit demi menit berlalu, Yonat perlahan menulis apa yang diketahui dalam soal. Ia mulai paham mengapa banyak yang tak mampu memenuhi kkm pre-test ini dan mengapa Gita mengatakan apa yang dibutuhkan kadang tak terlihat.

Soal yang diberikan sengaja disusun dengan pola yang rumit untuk dipahami. Peletakan informasi dan data yang digunakan tidak urut dan disusun seolah-olah data yang diberikan tidak cukup untuk menjawab pertanyaan. 

Rumus yang digunakan juga merupakan rumus turunan yang harus di "otak-atik" sendiri baru bisa didapatkan jawabannya. Cukup cerdik juga ternyata Pak Safe ini.

Yonat tersenyum setelah memahami maksud soal-soal ini. Jemarinya lihai menggerakan pulpen di tangannya itu untuk menulis jawaban-jawaban yang ia yakini benar.

***

"Yak waktu habis !"

Pak Slamet mengambil kertas yang dikerjakan oleh Yonat. Untunglah ia sempat mengerjakan 10 soal itu, walau memang sebagian besar waktunya habis untuk menganalisis soal. 

Semua orang nampak tegang, guru-guru yang ikut menonton mendekat bahkan jumlahnya bertambah dibandingkan ketika awal tadi. 

Pak Slamet memeriksa jawaban-jawaban yang diberikan Yonat. Awalnya ia percaya diri bahwa ia akan menang, namun semakin ke bawah tingkat kepercayaan dirinya ikut ke bawah hingga akhirnya ia selesai memeriksa. 

Ia berjalan dan meletakan hasil penilaiannya di meja Yonat. Melihat skornya, Yonat menampakkan senyum kemenangan. 

Teman-teman lainnya mendekat perlahan dan melihat skor yang dimiliki Yonat. "Terkejut bukan main" mungkin bisa menjadi gambaran ekspresi wajah mereka melihat skor Yonat.

"89 ?!'

"What the hell.."

"G-gile 89 cuy !"

"Keren..."

Itu beberapa kata-kata yang dilemparkan teman-teman sekelasnya. Mereka seperti baru saja melihat sejarah baru terukir di sekolah ini. 

Guru-guru dan murid yang ada diluar sejak tadi menonton mulai melangkah pergi dalam diam. Beberapa masih shock dengan hasil yang didapatkan Yonat. Ini tentunya akan menjadi berita hangat di SMA 8.

"Sesuai yang kita sepakati, bapak tau kan posisi bapak sekarang sebagai apa ?"

Pak Slamet hanya mampu menggesekan kedua rahangnya, berusaha menekan rasa kesal terhadap kekalahannya hari ini Selama bertahun-tahun soalnya tak pernah terkalahkan, kini sang penakluk telah tiba. 

"Suruh kita libur Yon !"

Yonat tertawa mendengar salah satu pernyataan teman sekelasnya yang tidak ia kenal itu. Tapi tawanya itu bukan tawa karena lucu, lebih tepatnya ia mengejek rekan sekelasnya itu.

"Enggak..."

"Ha ? Maksud lu ?"

"Kalo lu mau liburin diri, kerjain aja itu pre-test sendiri."

"W-woi, ayolah kita kan temen."

"Temen ? Pftt...gue aja baru masuk sehari, gue juga gak tau lu siapa,"

Murid itu terdiam dan kembali duduk, entah merasa malu atau takut. Merasa tak lagi butuh untuk berada di kelas ini, Yonat berdiri dan pergi keluar kelas. 

"Mau kemana kamu !?"

"Lho mau ke kantin pak, laper belom makan."

"HEH BELOM JAMNYA !"

"Lhoo kan saya menang pak, babu gak boleh ngatur majikannya kan ? Haha"

Yonat berjalan terus tidak memperdulikan perkataan sang pendidik. Namun sebelum ia benar-benar hilang dari pandangan ia berhenti. 

"Oh iya sekedar saran pak, sistem yang bapak pake sekarang tuh bukan mendidik. Kalo gurunya tau cara buat respect sama murid, murid juga bakal respect ke gurunya."

Kata-kata itu keluar dari mulut Yonat tanpa ada niatan sedikitpun. Entah mengapa ia tiba-tiba berkata seperti itu. Namun sepertinya ia belum selesai.

"Gita, lu mau ikut gue ke kantin gak ?"

"Ha ?"

"Gue mo ngomong sama lu."

Gita menjadi skeptis terhadap anak baru ini. Ia sebetulnya tak ada niat untuk membolos, namun kesempatan kali ini sepertinya bisa dimanfaatkan. 

"Oke."

Gita berdiri dan menyusul Yonat diluar pintu, meninggalkan Dey dan Vino yang hanya tercengang dan bertanya-tanya. Gita dan Yonat bahkan belum kenal satu sama lain, apa yang akan mereka obrolkan ?

***

"Lu mau makan apa ?"

"Masih pagi, kayanya gue makan yang entengan aja", balas Gita santai.

"Sama kalo gitu"

Mereka duduk di kantin dengan santai tanpa memperhatikan beberapa orang melihat ke mereka, mempertanyakan kenapa dua murid SMA ini tidak di kelas.

"Lu mau nanya apa Yon ?"

"Kenalan dulu kali, Yonathan Junardi. Lu tau lah ya gue biasa dipanggil apa."

"Iya-iya, Gita Sekar Andarini. Lu juga tau lah gue biasa dipanggil siapa."

"Paham-paham."

Keduanya berbincang sambil memakan santapan enteng pagi ini. Roti isi selai dan satu box susu. Satu combo yang cukup untuk memberikan energi bagi mereka. 

"Lu ngikutin gue ?" ucap Gita tiba-tiba.

"Ha darimane ?"

"Itu makanan lu, terus itu kotak susu kenapa lu taro kebalik juga ?"

Yonat melihat barang yang dimaksud oleh Gita. Lucunya, ia baru menyadari kesamaan yang mereka miliki. Roti isi selai yang rasanya sama, diikuti dengan kotak susu yang diletakan terbalik.

"Lah gue biasa emang gitu, elu kali yang ngikutin gue,"

"Yeh jelas lu,"

Seperti yang dikatakan Vino, mereka berdua ini mirip. Bukan secara fisik, tapi sepertinya jiwa mereka ini ibarat cermin. Rutinitas yang dilakukan untuk makan mereka sama, bahkan arah gigitan mereka yang 45 derajat pada roti itu juga sama.

"Gue mau nanya soal Dey,"

"Kenapa ?"

"Dia habis sekolah biasanya ada kegiatan ekskul ?"

"Pramuka si palingan, kenapa lu nanya ke gue ?"

"Oh gapapa si, keliatannya lu yang deket ama die"

Obrolan yang sungguh berbobot, rasa canggung yang ada sepertinya masih mengitari Yonat dan Gita. Tapi pertanyaan itu sebetulnya karena Yonat ingin tahu lebih dalam tentang Dey, paling tidak ia tahu sedikit jadwal Dey.

"Bentar lu...jangan-jangan...."

Kalimat itu membuat Yonat berdebar, ini baru approach awal yang ia lakukan dan ia sudah ketahuan ? Berusaha terlihat tenang, Yonat kini meminum susu kotak miliknya sendiri.

"Lu...suka ama Dey ?"

Yonat seketika tersedak, minuman susu kotak tadi masuk ke paru-parunya. 
Untuk jawaban itu sudah jelas, ia tak suka pada Dey. Kepindahannya kesini justru untuk membuat kehidupan Dey menderita sembari mencari info mengenai Ardi.

"Ngaco lu Git kalo ngomong"

"Ya gapapa kalo lu suka, lu bukan satu-satunya yang suka soalnya."

Informasi yang tak dibutuhkan oleh Yonat sebetulnya, tapi info tambahan yang cukup bermanfaat. Kalau kenyataannya seperti itu, Yonat harus berhati-hati karena akan banyak mata yang mengamati.

"Tapi gue pengen bilang sesuatu"

"Hm ?"

"Bukannya gue judging tapi gue ngerasa lu bukan orang baik-baik Yon,"

Mata Yonat melihat ke Gita dengan intensitas yang sama. Ia tahu betul, Gita tak main-main dengan ucapannya tadi. Tatapan mereka sama, berhati-hati, berusaha untuk menjaga diri, dan membaca gerak gerik lawan secara perlahan.

"Kenapa gitu ?"

"Garis luka di leher lu masih ada tuh, itu jelas bukan garis luka gara-gara jatoh."

Gita menyadari garis luka itu sejak berbicara dengan Yonat di kantin. Garis luka yang sebetulnya juga tidak Yonat sadari. Sepertinya luka itu hadir dari pertarungan semalam.

"Lu bebas si buat berasumsi,"

"Untuk sekarang gue cuma bisa bilang gitu, insting gue belom pernah salah Yon kalo soal orang,"

Yonat hanya mengangguk, menerima asumsi Gita pada dirinya sebelum melanjutkan kegiatan makannya sendiri. Nampaknya ia harus berhati-hati dengan teman Dey yang satu ini, tidak seperti Vino yang bisa diabaikan.

"Eh Calon Bu Ketos kenapa disini ?"

Pertanyaan yang terlempar dari pihak ketiga memecah atmosphere yang kurang bersahabat di antara dua orang dingin ini. Siswi itu membawa kantong plastik berisikan kertas fotocopy-an. 

"Eh Zee ? Habis fotocopy ?"

Yonat tak terlalu memperhatikan apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. Ia hanya melihat ke arah Zee. Gadis SMA dengan tinggi 160-an cm itu sepertinya bukan sosok yang perlu Yonat perhatikan.

"Eh sorry-sorry Git gue ganggu ya ?" 

"Ha ? Ganggu apaan ?"

"Ciah, cowok ama cewek makan hadep-hadepan berduaan doang. Masa si gak ada apa-apa ?"

"Heh Azizi ngomong ape si ?!" tolak Gita yang sepertinya tak ingin terlibat dalam skenario Zee. 

"Yeh Kak Gita, masa yang kaya gini gak mau juga ?"

"Mendingan balik dah ke kelas, liat jam tu",

Zee yang melihat jam ke kantin itu terkejut dan berlari kembali ke kelas tanpa mengucapkan kata-kata selain "AHHHHHH GAWAT KALO TELAT".

"Unik ya anaknya...", sebut Yonat.

"Ya gitu deh..."

-------------------------------------------
Words count : 2303 words

Makasii yang udah baca chapter ini yak, jan lupa pencet bintang di pojok kiri bawah biar nyala-nyala hehe. Mau follow juga boleh bett.

Jan lupa nonton Phi Sisca di GoPlay gengs nanti malemm



Continue Reading