Calista (My You)

By NeaYoz

83.3K 8.6K 798

Mature Content! Daren sangat membenci Calista dan putranya. Anak itu adalah anak hasil perselingkuhan Calista... More

Blurb
Prolog
Part 01
Part 02
Part 03
Part 04
Part 05
Part 06
Part 07
Part 08
Part 09
Part 10
Part 11
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 26

Part 12

2.3K 333 20
By NeaYoz

Calista membuka mata dan langsung disergap kecewa begitu menyadari apa yang ia alami tadi hanyalah mimpi.

Tapi mengapa rasanya begitu nyata Daren berada disini?

Calista menghela napasnya perlahan, berusaha mengusir sesak yang sulit ia jabarkan. Sedetik kemudian ia terkesiap saat menyadari ada sesuatu yang menempel dikeningnya. Pantas saja jika demamnya turun, ternyata semalam memang bukan mimpi. Mengenang Daren yang telah merawatnya semalam membuat hati Calista menghangat.

Si bodoh itu kenapa melakukan hal seperti ini untuknya, padahal ia sudah berbuat kejam padanya dimasa lalu. Sungguh Calista merasa tidak pantas mendapatkan kebaikan ini, karena kebencian Daren jauh lebih baik daripada mendapati dirinya masih saja dipedulikan oleh pria itu.

Kesadaran tersebut membuat Calista merasa sedih, ia semakin merasa berdosa pada pria itu. Ia sudah membalik tubuhnya menghadap Zain ketika menyadari putranya tidak ada disana.

Kemana Zain pergi? Ia bahkan tidak memakai kursi rodanya.

Dengan perasaan khawatir, Calista langsung melonjak bangun, menyibak selimutnya sebelum turun dari ranjang dan menghelakan langkahnya dengan terburu-buru. Tiba di pintu keluar, pandangan Calista berputar, pijakkannya limbung dan membuatnya nyaris terjatuh jika saja tubuhnya tidak ditangkap oleh Daren.

"Jika masih sakit seharusnya kau tidak turun dari ranjang!" sentak pria itu seraya menggendong Calista dan membawanya kembali kedalam kamar.

"Daren ... Zain dimana? Kemana kamu membawa putraku?" Calista menarik kemeja yang Daren pakai dan mengguncangnya dengan keras.

Daren tidak menjawab.

"Daren jawab aku, kemana kamu membawa putraku?" tanya Calista dengan ketakutan yang berpendar dibola matanya.

Usai membaringkan Calista diatas ranjang, Daren memberikan tatapan lelahnya pada wanita itu. "Putramu berada ditempat yang aman, jadi kamu tidak perlu khawatir." Ia sudah akan beranjak ketika Calista menahan lengannya.

"Kamu apakan Zain, Daren? Aku mohon jangan pernah kamu limpahkan kemarahanmu padanya, dia tidak bersalah!" ujar Calista dengan air mata yang sudah menggenangi kedua netranya.

Daren tertegun, ia baru akan menjawab ketika Zain memasuki ruangan.

"Mama...." Seru bocah itu seraya menghambur kearah Calista.

"Zain...." Calista langsung memeluk putranya itu dengan lega. "Zain habis darimana? Kenapa Zain tidak memakai kursi roda?"

"Zain sudah sembuh Ma, lihat Zain sudah bisa lari-lari sekarang," kata bocah itu seraya mengurai pelukan mereka.

"Tapi luka Zain kan masih belum sembuh benar, jadi Zain nggak boleh banyak gerak dulu." Calista menyentuh bahu Zain.

"Nanti siang akan ada dokter yang memeriksakan kondisi putramu," timbrung Daren.

"Terimakasih Om. Om baik sekali."

Jika kemarin bocah itu hanya mencium punggung tangannya, kini Zain dengan berani memeluk tubuhnya. Tindakannya itu membuat Daren membeku sesaat lamanya kala sesuatu yang menyesakkan berhasil memenuhi dadanya.

Setelah berhasil mendapat pengendalian diri, Daren pun menarik bocah itu hingga membuat pelukannya terlepas. "Aku melakukan ini semata karena tidak ingin penyakit yang kalian bawa menulariku," gumamnya sesaat usai berdeham kikuk.

"Tetap saja Zain harus bilang terimakasih sama Om. Terimakasih sudah mengijinkan Zain dan Mama tinggal disini, Mama jadi tidak perlu lagi memikirkan bayar uang sewa rumah untuk kami tinggali."

"Zain kenapa bicara seperti itu?" Calista langsung menarik Zain menjauhi Daren.

"Waktu dirumah sakit, Zain dengar Mama ditelepon sama ibu pemilik kontrakan. Mama bilang Mama belum ada uang untuk bayar karena uang Mama sudah habis untuk membayar biaya pengobatan Zain."

Calista tercenung, biasanya Nurul yang membayar uang sewa rumah mereka. Sejak Calista berhenti kerja untuk fokus merawat Zain, sahabatnya itu yang menanggung semua biaya hidup mereka. Tapi Calista tidak menyangka Zain rupanya telah mendengarkan pembicaraannya dengan pemilik kontrakan. Seharusnya ia lebih berhati-hati mengingat Zain adalah anak yang cerdas dan sangat perasa.

Daren berdeham pelan, guna mengurai sesak yang tak semestinya berada didada. "Aku akan menyuruh pelayan untuk mengantarkan makananmu, setelah itu kau bisa langsung meminum obatmu. Tapi jika tidak sembuh juga, aku akan mendatangkan dokter lain untukmu," ucapnya sebelum membalik tubuhnya. "Oiya, mulai semalam putramu tidak lagi tidur disini, dia sudah kuberikan kamar sendiri," imbuhnya sebelum menghela langkah.

"Kenapa?"

'Karena aku tidak mau penyakitmu menularinya.' Daren ingin mengatakan kalimat itu tapi sayangnya justru kalimat lain yang keluar dari mulutnya. "Kita butuh privacy, Calista! Aku tidak ingin putramu nanti mengganggu kita," ucapnya dengan penuh penekanan nada.

Kata-kata pria itu yang penuh maksud membuat wajah Calista merona. Tapi ia bersyukur karena Daren tidak melihatnya, pria itu langsung beranjak keluar usai melontarkan kalimat terakhirnya.

"Menurut Mama siapa yang sudah memindahkan Zain di kamar baru? Seingat Zain semalam Zain masih tidur bersama Mama."

Calista terkesiap, ia menoleh pada putranya yang kini nampak tengah berpikir serius. "Mama tidak tahu, Sayang. Mungkin pelayan...."

Wajah Zain seketika menjadi murung setelah mendengar jawaban mamanya. "Padahal Zain berharap Om Angel yang sudah memindahkan Zain semalam," gumamnya.

Mendengar itu Calista seketika dicengkeram kesedihan. Sebenarnya ia juga berpikir hal yang sama, tapi jika melihat reaksi Daren tadi yang tidak mau disentuh oleh Zain, rasa-rasanya pemikiran seperti itu adalah hal mustahil.

Tanpa mereka ketahui, dibalik pintu Daren mendengarkan pembicaraan mereka. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia begitu tertarik menguping percakapan ibu dan anak itu. Ia juga tidak mengerti pada hatinya yang selalu saja berdenyut nyeri tiap kali berinteraksi dengan bocah itu.

"Mama tahu tidak, kamar baru Zain itu baguuuus sekali. Zain suka tidur disana karena disana banyak mainan."

Daren kembali memasang telinganya, tanpa sadar celotehan bocah itu membuatnya tersenyum.

"Benarkah?" Calista berusaha menjadi pendengar yang baik bagi anaknya kendati kepalanya masih berdenyut tak nyaman.

Zain mengangguk dengan semangat, tapi raut wajahnya kembali murung sesaat kemudian. "Tapi Zain nggak berani pinjam, soalnya Zain nggak tahu mainan itu punya siapa? Kan kata Mama sebelum meminjam barang kita harus minta ijin lebih dulu."

Daren tertegun, mengapa kepolosan anak itu selalu saja berhasil menyentuh hatinya?

Padahal Daren sengaja memesan semua mainan itu untuk Zain. Kemarin ia memerintahkan para pelayan untuk menyiapkan kamar dan juga membelikan bocah itu mainan. Bahkan ia sendiri yang mendekor kamar itu. Tapi kan tidak mungkin juga ia berkata jujur pada bocah itu? Yang ada nanti bocah kecil itu makin besar kepala dan melunjak padanya.

"Anak pintar," timpal Calista.

"Siapa dulu Mamanya," balas Zain.

Dibalik pintu Daren kembali mencetak senyumnya sebelum memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.

***

"Apa Mama masih sakit?"

Pertanyaan Zain menyambutnya pertama kali begitu Calista membuka mata. Ia tadi tertidur usai meminum obat, merasa bersyukur karena kini peningnya sudah hilang.

"Iya Sayang, mama sudah baikan sekarang."

"Puji Tuhan. Zain senang Tuhan mengabulkan doa Zain," gumam Zain seraya memeluk sang mama.

Calista membalas pelukan putranya. "Zain dari tadi nungguin Mama disini?"

Zain mengangguk. "Zain kan harus jagain Mama."

Calista tersenyum haru. Ia lalu mengurai pelukan mereka. "Tapi nanti kalau Zain ketularan penyakit Mama gimana?"

Zain menunduk. "Zain soalnya nggak bisa jauh-jauh dari Mama. Zain takut mama kenapa-napa."

Sebenarnya Daren sudah menugaskan dua orang pelayan untuk menjaga Zain dan merawat Calista yang sakit, ia melakukan itu karena khawatir Zain akan ketularan sakit seperti Calista. Tapi karena bocah itu terus merengek meminta untuk tidak dipisahkan dari mamanya, jadi mau tak mau Daren terpaksa membiarkannya berada didekat Calista.

"Mama nggak kenapa-napa kok Sayang. Mama hanya sakit pusing biasa. Lihat Mama sudah sembuh kan sekarang," ucap Calista yang kini berusaha menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang.

Zain tersenyum senang, sejurus kemudian ia sudah kembali memeluk wanita itu. "Jangan sakit lagi ya Ma."

"Iya Sayang." Calista membalas pelukan putranya seraya mengecup sisi kepala bocah itu.

"Ma, coba lihat ini. Ada yang kirim Zain kado tapi Zain nggak tahu siapa?" ucap Zain sambil meraih sebuah kado berukuran besar dari atas nakas.

Calista memperhatikan kado itu dengan kening berkerut. "Memangnya siapa yang memberikan ini ke Zain?"

"Pelayan dirumah ini, dia bilang kado ini untuk Zain. Coba Mama baca, ada nama Zain juga disini," ucap bocah itu sembari menunjukkan sebuah kartu kepada Calista. Meski tidak sekolah, Zain sudah bisa membaca. Calista yang mengajarinya, ia tidak ingin putranya itu buta huruf dan angka.

Calista mulai membaca kartu tersebut-dimana terdapat nama putranya disana. Tapi tidak ada nama pengirimnya. Bolehkah ia berpikir Daren yang sudah mengirim hadiah itu mengingat tidak ada orang lain yang mengetahui keberadaan mereka disana?

***

Tbc

Siapa yg nungguin cerita ini?

Cerita Calista sudah tersedia di karyakarsa

Yang mau ikutan open PO juga boleh ya dears, selain dapet potongan harga ada hadiah dompet kartu jg loh😉

Continue Reading

You'll Also Like

9.6M 298K 21
Akibat perusahaan keluarganya bangkrut, Arka menjadi sasaran ayahnya untuk bersedia menikah dengan keponakan teman bisnis ayahnya yang bisa memberika...
86.3K 1.4K 12
21+ Perlakuan tidak adil yang didapatkan Maura dari ayah dan neneknya membuatnya memutuskan pergi ke Paris dengan alasan kuliah. Ia hidup bebas di sa...
1.9K 268 21
Inayah dibuat syok saat tahu kekasih yang selama ini dicintainya adalah laki-laki yang sama, yang sudah menghamili kakak kandungnya. Impiannya untuk...
2.4M 29.6K 28
"Lebarkan kakimu di atas mejaku! Aku ingin melihat semua yang menjadi hakku untuk dinikmati!" desis seorang pemuda dengan wajah buas. "Jika aku meny...