PSIKE | TELAH TERBIT

By Afnansyhrn

2.1K 397 245

"Gue gak bisa lari kemanapun, karena yang gue hadapi adalah jiwa gue sendiri. Segala hal yang menyakitkan dan... More

Introduction
Siapa Yang Tahu?
Kamu Tidak Sendiri
Dunia yang Seperti Ini
Siapa Aku?
Sisi Lainnya
Memang Begitu
Intuisi yang Tajam
Berlari
Kuat?
Titik-titik Cahaya
Melepas Luka
Permainan yang Gila
Target
Sesulit Itukah?
Dewa Dimana?
Pengumuman!

Semakin Jelas

73 16 12
By Afnansyhrn

Brian dan Rangga menggelengkan kepala dengan raut wajah yang lelah, mereka sedang membaca lembaran laporan hasil pemeriksaan test kesehatan dengan tatapan heran.

"Gila," ceplos Brian dengan kedua tangan memegang kedua laporan hasil pemeriksaan yang berbeda. Satu di tangan kanan hasil dari laboratorium tempatnya bekerja dan di tangan kiri hasil pemeriksaan dari laboratorium swasta.

Mereka berdua menemukan hasil pemeriksaan test kesehatan yang jauh berbeda. Hasil dari laboratorium tempat mereka bekerja menulis hasil akhir bahwa para tersangka tidak positif narkoba. Tapi, hasil pemeriksaan dari laboratorium swasta yang terpercaya di daerah Jakarta menuliskan bahwa daftar tersangka itu positif menggunakan narkoba.

"Ini udah jelas. Terus sekarang kita harus gimana? Lu tahu sendiri, kasus besar kayak gini beresiko banget. Untung kemarin catatan yang diambil dari mobil lu itu yang palsu. Gue gak kepikiran untuk buat kloning itu catatan. Lu emang cerdik," Brian berdiri di samping Rangga yang sedang melihat luas ke luar jendela kaca besar kantornya.

Pemandangan yang selalu sama, jajaran bangunan tinggi kota Jakarta selalu menghiasi pemandangan dari ruang kerja.

Beberapa hari yang lalu Brian sempat dibuat emosi karena Rangga yang ceroboh menaruh buku catatan buku mendiang Joni di dalam mobilnya. Ternyata, itu hanyalah taktik Rangga agar ia dan orang-orang yang ada di dalam kasus ini tidak di teror lagi karena mereka begitu menginginkan catatan itu.

Rangga sudah merencanakan ini sejak jauh-jauh hari. Ia sengaja menipu orang-orang itu dan memberikan buku catatan palsu yang telah di buat tiruannya. Rangga merangkai tulisan-tulisan dalam catatan dengan tulisan sederhana yang tidak memberi kesan mencurigakan.

Tidak seperti isi asli dari buku catatan itu yang sebenarnya memiliki banyak sekali petunjuk. Untungnya rencana Rangga ini berjalan dengan mulus, dan mereka berhasil ditipu. Hampir saja Brian ingin memukul kepala Rangga waktu itu saking kesalnya.

"Gue udah tahu, mereka ngincar catatan itu makanya Vito terus diganggu. Apalagi Vito punya hubungan keluarga dengan mendiang Joni. Gue yakin mendiang Joni tahu sesuatu tentang kasus ini sampai-sampai si pelaku pengen banget ambil ini buku catatan. Dalam buku catatan itu ada banyak titik-titik petunjuk yang kalau kita tarik garisnya bakalan nunjukkin sesuatu yang selama ini disembunyikan. Tujuan dari kenapa catatan itu ditulis," terang Rangga sambil membuka dua kancing kemeja putihnya. Entah kenapa Jakarta makin hari makin panas, bahkan kota Bogor tempat Rangga lahir pun saat ini tak kalah panasnya sepert di Jakarta.

"Kalau boleh gue simpulkan, mendiang Joni termasuk orang yang cerdas dan cerdik. Teliti, punya penglihatan juga sensitivitas tinggi kayak lu. Peka banget dengan apa yang sedang terjadi di sekitar. Mungkin, dia ancaman bagi si pelaku itu. Mungkin, ya, ini hanya asumsi sementara gue aja," tambah Brian lalu melihat Rangga yang terlihat sedang tersenyum simpul.

Rangga berjalan mendekati Brian lalu menepuk pundaknya, "gue gak sehebat yang lu kira. Gue malah ngerasa mendiang Joni ini jauh lebih pintar. Dia bahkan bisa memprediksi apa aja yang bakalan terjadi di depan."

Brian menoleh, ia lalu menepuk kepala Rangga sambil tertawa, "lah? Kan, lu juga gitu? Kalian satu spesies. Adit juga samanya kayak lu. Setelah dengar pernyataannya dari lu waktu di caffe itu. Kelihatan kalau itu anak berbakat. Gak kebayang kalau dia nanti lanjut study di psikologi kriminal dan jadi profiler hebat kayak lu. Kalian mirip."

Rangga yang selalu kesal jika kepalanya dipegang seenaknya oleh Brian, memegang pergelangan tangan Brian kemudian menghempaskan lengan kawannya itu dengan kesal. Brian seperti biasa, ia selalu tertawa jika Rangga bersikap sinis padanya.

"Nah! Gue jadi ingat sesuatu karena lu ngomong tentang hal ini. Kemarin Adit hampir ditikam orang yang gak dikenal. Dia juga sempat berantem sama orang-orang itu. Gue yakin orang-orang itu pun orang suruhan dari dalang kasus ini. Kepala gue rasanya sakit mikirin kasus ini. Gue benar-benar gak suka dengan cara si pelaku yang menargetkan tiap orang yang berkaitan dengan kasus ini. Tadi malam aja lu sama gue hampir aja mati, kan? Gue sebenarnya udah muak dengan semuanya," Rangga mendesah kesal sambil menendang tong sampah kecil di sampingnya.

Sampah-sampah yang ada di dalam tong sampah itu bertebaran keluar, ada banyak kertas dan tissue yang terlihat kotor dan basah.

Brian mengangguk setuju, "puji Tuhan gue dan lu selamat. Untungnya yang punya tempat makan juga selamat."

Kemarin malam ketika Rangga dan Brian sedang asyik makan seafood di pinggir jalan. Tempat biasa mereka berdua nongkrong dan bersantai setelah penat bekerja. Lokasi tempat makan itu tak jauh dari kantor. Mereka cukup berjalan kaki lima belas menit pun sampai.

Saat kejadian itu terjadi, Rangga masih ingat betul ia dan Brian meloncat dan spontan berguling jatuh ke bawah menghindari mobil avanza hitam yang tiba-tiba ingin menabrak mereka yang sedang duduk di bangku plastik sembari menikmati kerang juga kepiting.

Rangga dan Brian menyadari bahwa kejadian itu bukanlah kecelakaan yang disengaja. Tapi, malah lebih mirip penyerangan. Brian dan Rangga merasakan sakit di sekujur tubuh, begitu mereka berhasil melompat dan menghindar dari tabrakan mobil tersebut.

Setelahnya bahkan Brian tidak bisa berdiri dengan tegak. Kedua lututnya bergetar kuat dan terasa lemas. Lain halnya dengan Rangga, ia bahkan kesulitan untuk berdiri. Ia hanya bisa berjongkok dengan napas yang terengah-engah seperti seseorang yang baru saja selesai berlari marathon. Jelas sekali mereka berdua sungguh terkejut, bahkan sang pemilik tempat makan jatuh pingsan karena saking shock nya.

Kejadian itu sangat cepat, terjadi hanya dalam hitungan detik. Yang paling membuat mereka berdua tambah kesal dan marah adalah, pelaku tabrakan tersebut berhasil kabur. Padahal sudah dikejar oleh banyak orang, tapi, berhasil lolos. Rangga perhatikan, pelaku itu sepertinya memang sudah terbiasa melakukan hal ini. Ia bahkan kabur dengan berlari kencang. Seolah sudah tahu hal apa yang akan terjadi selanjutnya. 

"Okay, kesimpulan hari ini. Para tersangka adalah pengguna narkoba aktif. Fakta ini bisa memperkuat bukti yang kita temukan juga perihal analisa pola pikir dan tingkah laku pelaku yang memiliki kaitan erat dengan ciri-ciri pemakai narkoba. Dan, gue bisa simpulkan juga bahwa para tersangka ini diiming-imingi narkoba agar mau melancarkan aksi pembunuhan. Apalagi ternyata latar belakang pelaku semua hampir sama, kasus mereka sama, masuk bui karena menjadi pengedar dan pemakai narkoba."

"Lu benar, gue setuju. Apalagi setelah tahu jenis narkotika apa yang sudah digunakan pelaku selama ini. MDMA itu memiliki sifat yang jika dikonsumsi dalam jangka panjang. Maka para penggunanya akan terus membutuhkan dosis yang semakin tinggi. Karena mereka terus menginginkan stimulan untuk mencapai rasa bahagia yang diinginkan. Kalau si pengguna tidak sadar dan punya tekad yang kuat untuk sembuh. Pada akhirnya mereka akan overdosis dan tewas. Makin tinggi dosis MDMA yang mereka inginkan. Maka, makin gila dan gak waras lah mereka untuk berusaha mendapatkannya," tambah Brian sambil berkacak pinggang.

Rangga sempat terdiam sejenak begitu mendengar penjelasan Brian. Wajahnya terlihat seperti sedang berusaha mengingat sesuatu. Ia lalu tersenyum tipis dan segera berjalan menuju meja kerja, membuka laptop miliknya kemudian langsung membuka file dokumen yang berisi rekaman para pelaku dalam kurun waktu satu minggu sebelum kejadian pembunuhan yang telah ia dan Brian kumpulkan waktu itu.

Brian yang melihat Rangga dengan cekatan pergi menuju ke meja kerjanya kembali lantas berjalan menghampiri. Brian lalu menarik kursinya dan duduk tepat di samping Rangga yang sedang serius memutar video rekaman satu-persatu sambil mencatat informasi apapun yang ia dapatkan dari hasil pengamatannya melalui rekaman tersebut.

"Ada yang kita lupain dari penyelidikan kemarin," ujar Rangga dengan kedua mata yang fokus melihat rekaman video.

Brian menatap wajah lawan bicaranya tak mengerti, benarkah ada bagian yang mereka lupakan?

"Masa, sih? Apa?"

Rangga langsung mematikan video rekaman yang ia tonton dan menatap Brian dengan tatapan serius.

"Riwayat kejiwaan tersangka. Kalau kita berhasil cari informasi di sini mungkin kita bisa menemukan fakta dan bukti baru lainnya. Dari hampir semua rekaman video yang udah kita tonton, para tersangka ini selalu rutin mengikuti sesi terapi selama dua kali dalam seminggu dan di jam kunjung dengan durasi waktu tiga puluh menit. Cuma," Rangga menggaruk-garuk rambutnya bingung.

"Cuma apa? Lu kalau ngejelasin tuh yang lengkap bisa gak, sih? Jangan bikin orang penasaran!" Brian kesal mendengar penjelasan Rangga yang terpotong-potong.

"Karena rekaman ini berada sebagian di titik buta kamera. Gue gak bisa lihat wajah psikiater atau psikolog di rekaman ini. Yang kelihatan cuma pergelangan tangan dan jam tangannya. Coba deh lu perbesar," Rangga menyuruh Brian memperbesar video yang memperlihatkan pergelangan tangan beserta jam tangan.

Brian berusaha melihat dengan mendekatkan kedua matanya ke layar laptop, "lho? Gue tahu jam tangan ini. Ini merk keluaran Jerman. Edisi terbatas pula. Gue yakin ini orang kaya, cuma orang kaya yang bisa punya jam tangan kayak gini."

Rangga lalu berusaha melihat ke layar laptop dan mengernyitkan kedua matanya.

"Serius lu?"

"Iya, lah. Serius. Lu, kan, kenal gue. Gue banyak tahu soal barang branded," jawab Brian meyakinkan Rangga.

"Okay, kalau gitu. Mulai sekarang kita harus cari tahu siapa pemilik jam tangan ini," ucap Rangga.

Rangga lalu mencatat sesuatu di buku catatan hitam miliknya, "oiya, besok bantu gue untuk terjemahin teka-teki dari buku catatan mendiang Joni. Ada beberapa tulisan di sana yang mengganggu gue belakangan sampai gue susah tidur karena kepikiran."

"Ah, ya. Gue jadi ingat juga. Lu udah baca pesan Pak Henry belum kemarin tengah malam? Besok ada seseorang yang ingin membicarakan kasus ini dengan kita. Tapi, pertemuan ini kita adakan secara diam-diam. Karena untuk melindungi identitas seseorang tersebut. Lu ada waktu, kan? Feeling gue, orang ini bakalan bantu banyak untuk mengungkap kasus ini."

Rangga mengacungkan jempol tangannya, "siap!"

🤝🤝🤝🤝

"Sudah selesai?" tanya Dokter Hendrik pada Vito yang masih menulis sesuatu di selebaran kertas.

"Sebentar lagi selesai, dok," jawab Vito lalu beberapa detik kemudian menyerahkan lembaran itu pada dokter Hendrik.

"Maaf, ya, karena Dokter Zahid sibuk. Jadi hari ini kamu harus mengikuti sesi terapi dengan saya. Tidak keberatan, kan?" Dokter Hendrik menatap wajah Vito sambil tersenyum ramah.

Vito yang melihat senyum itu ikut tersenyum, "tidak sama sekali, dok."

"Hal-hal apa saja yang paling kamu ingat selama terapi dengan Dokter Zahid?" tanya Dokter Hendrik lalu meletakkan tissue dan semprotan anti bakterinya ke atas meja kerja miliknya.

Sebelum Vito menulis di atas meja kaca, Dokter Hendrik menyuruh Vito untuk menunggu selama beberapa menit karena ia ingin membersihkan permukaan meja kaca terlebih dahulu sebelum digunakan. Vito yang melihat hal itu hanya tersenyum sambil menundukkan kepalanya sopan. Wajar jika seorang dokter sangat menyukai yang namanya kebersihan. Mana ada seorang dokter yang kotor dan jorok, pikir Vito memaklumi.

Mendengar pertanyaan itu Vito kemudian menatap Dokter Hendrik, "jiwa kita itu sama pentingnya dengan pikiran dan hati. Kita harus berjuang sekuat tenaga untuk menjaganya agar tidak menjadi sakit, rapuh, dan lalu mengeras karena kurangnya cinta dan kasih sayang. Itu perkataan Dokter Zahid yang paling saya ingat."

Dokter Hendrik mengangguk, "dan kamu percaya dengan perkataan itu?"

"Iya, saya percaya," jawab Vito mantap.

"Apa yang membuatmu percaya?" tanya Dokter Hendrik lagi.

Vito terdiam sejenak, lalu, "karena saya sendiri merasakannya, dok. Terus terang saja, saya terkadang takut dengan diri saya sendiri."

"Takut dengan diri sendiri? Kenapa kamu bisa sampai berpikiran seperti itu?"

Vito lagi-lagi terdiam selama beberapa detik. Lalu, katanya, "saya takut kalau saya ini sebenarnya monster seperti kakak saya mendiang Joni. Sampai detik ini saya sedang berusaha keras untuk memaafkan apa yang kakak saya telah lakukan selama hidupnya. Ketika mendengar kabar bahwa ia meninggal. Saya sendiri bahkan bingung harus merasa sedih atau lega. Karena selama kakak saya hidup, ia selalu menyakiti keluarga kecil saya. Ini sulit bagi saya, memaafkan seseorang yang telah membunuh ayahnya sendiri."

Setelah bercerita tentang hal itu, Dokter Hendrik melihat kedua tangan Vito yang gemetar begitu pun kedua kakinya tak henti mengetuk-ngetuk lantai seperti orang sedang dilanda cemas. Pandangan matanya pun kabur, bergerak cepat ke kanan lalu ke kiri, seperti seseorang yang linglung dan ketakutan.

Terjadi perubahan emosi Vito yang amat jelas. Pasti kejadian ini amat membuatnya terpukul dan trauma. Pikiran mungkin bisa menyangkal dan berbohong, tapi tangan dan kaki tidak. Ketika kita menghadapi atau memiliki pengalaman yang menyakitkan dan traumatis.

Walau kita berusaha kuat untuk menutupinya, tetap saja tangan dan kaki menunjukkan reaksi yang sangat jelas terlihat. Tangan dan kaki akan bergetar, berkeringat dingin dan sulit untuk tenang. Bergerak dengan kacau tak tentu arah.

Melihat Vito yang seperti itu, Dokter Hendrik lalu bangkit dari duduknya dan duduk tepat di samping Vito sambil tersenyum manis.

"Baik, saya mengerti. Nanti malam kita bisa lanjutkan sesi terapi ini lewat telepon jika kamu bersedia. Besok, saya ingin bertemu dengan kamu lagi. Tak apa, kan?" Dokter Hendrik menepuk pundak Vito cukup kuat hingga membuat Vito tersadar dari lamunannya.

Dengan senyum dan anggukan mantap Vito pun langsung menatap Dokter Hendrik. Dan berkata, "baik, dok."










🤝 Bersambung 🤝

Continue Reading

You'll Also Like

405 160 150
(401-600) Ling Ran, senior sekolah kedokteran, mulai melihat dunia seperti game UI. Dia menggunakannya untuk membuka jalan menuju kelulusan, residens...
235K 24.3K 76
[FINISHED] Lo tau gak sih gimana rasanya jadi gue yang selalu di bandingin sama kembarannya sendiri?? ⚠Warning ⚠ *Cerita tidak Jelas *Luar Dalam ti...
1.5M 128K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
8.8K 731 28
Seorang anak remaja bernama Arfan bercita-cita menjadi seorang penulis. Namun dalam kehidupannya ia mengalami banyak masalah; kegagalan cinta, ketida...