PSIKE | TELAH TERBIT

By Afnansyhrn

2.1K 397 245

"Gue gak bisa lari kemanapun, karena yang gue hadapi adalah jiwa gue sendiri. Segala hal yang menyakitkan dan... More

Introduction
Siapa Yang Tahu?
Kamu Tidak Sendiri
Dunia yang Seperti Ini
Siapa Aku?
Sisi Lainnya
Memang Begitu
Intuisi yang Tajam
Berlari
Kuat?
Titik-titik Cahaya
Melepas Luka
Permainan yang Gila
Target
Semakin Jelas
Dewa Dimana?
Pengumuman!

Sesulit Itukah?

69 17 15
By Afnansyhrn

"Bentar ya, lu tunggu di sini dulu. Gue sama Praja mau beli roti," Fariz menepuk pundak Adit sambil berlalu meninggalkan bersama Praja yang sudah berjalan lebih dulu.

Adit berdiri tepat di samping bangku panjang stasiun sambil menyentuh layar ponsel. Ia tersenyum karena pesan chatnya dibalas oleh Kak Zahra. Belakangan Adit memang memiliki banyak waktu untuk berkomunikasi dengan Kak Zahra. Kak Zahra bilang, kalau ia akan ke Bogor nanti dan tinggal beberapa bulan di kota kelahirannya ini.

Saat ini Kak Zahra sedang berkuliah di salah satu PTN negeri di Bandung dengan mengambil jurusan kedokteran. Nantinya ia ingin mengambil spesialisasi untuk dokter kejiwaan. Adit masih ingat pertemuan mereka waktu itu di perpustakaan sekolah. Pertemuan ketika mereka masih berkuliah di semester awal. Membicarakan banyak hal tentang cita-cita dan berfoto bersama. Mendapatkan kesempatan seperti itu saja Adit sudah sangat bahagia. Apa jadinya kalau Kak Zahra menerima perasaannya? Mungkin Adit akan kegirangan seperti anak kecil.

Adit terkekeh konyol seperti orang tak waras begitu melihat postingan Kak Zahra di instagram miliknya. Mau tanpa make up atau dengan make up, Kak Zahra selalu terlihat cantik di mata Adit. Karena kecantikan sejati terpancar dari dalam. Lewat kecerdasan dan indahnya akhlak.

Adit dan Kak Zahra memiliki kesamaan, mereka sama-sama suka perbincangan yang mendalam. Mereka tak begitu suka dengan perbincangan basa-basi yang menghabiskan banyak waktu. Mungkin karena hal itu Adit merasa nyaman ketika berbincang atau sekedar chat dengan Kak Zahra.

Setelah puas tersenyum sendiri seperti orang kasmaran. Adit lalu memasukkan ponsel miliknya ke dalam ransel dan melihat ke sekeliling stasiun Bogor sore itu. Suasana stasiun Bogor selalu ramai, yang Adit paling suka dari suasana stasiun adalah aroma roti manis yang menyeruak dari dalam toko roti. Suasana di sini semakin syahdu ketika hujan atau gerimis turun. Bau tanah, aspal dan bebatuan yang menyatu jadi satu begitu diguyur air hujan, adalah aroma yang menenangkan.

Adit kemudian melihat ke arah toko roti yang terlihat ramai, nampaknya Fariz dan Praja sampai harus mengantri di sana. Karena merasa mulai bosan, Adit berjalan berniat menghampiri dua kawannya itu. Namun, tiba-tiba ada dua orang lelaki tinggi dengan topi dan masker hitam mendekati. Dua pria itu bahkan kini tengah berdiri di hadapan Adit hingga membuat Adit menghentikan langkah kakinya.

Adit menatap kedua lelaki itu dengan tatapan heran, sebelah alisnya mengernyit ke atas, "maaf, siapa, ya? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Adit berusaha melihat wajah dua pria itu dari balik topi dan masker hitam. Bukannya mendapat  jawaban, perut Adit tiba-tiba ditendang oleh seorang lelaki yang menggunakan gelang berwarna merah.

Adit langsung terpental hingga jatuh ke atas aspal, ia lalu berusaha bangkit sambil memegangi perut, "tunggu, sebentar. Kalian punya masalah apa sama gue?"

Dua lelaki itu sama sekali tak berbicara, dengan gerakan cepat mereka langsung menyerang Adit lagi. Salah seorang lelaki lainnya memegangi lengan Adit kuat-kuat, membuat Adit tidak bisa bergerak bebas. Sedangkan satu lelaki lainnya mulai menendang perut Adit berulang kali hingga Adit kesakitan. Setelah puas menendang perut, lelaki itu memukul wajah Adit dengan cukup kencang, karena pukulan itu, ujung bibir Adit sedikit sobek dan mengeluarkan darah segar.

Orang-orang di sekitar yang melihat kejadian menjadi panik, ada yang berlarian menghindar, berteriak karena terkejut, dan ada beberapa orang yang berlari mencari petugas keamanan meminta pertolongan. Benar-benar kacau, yang tak kalah anehnya, masih ada sebagian orang yang sibuk mengabadikan kejadian itu dengan ponsel mereka. Tidak ada yang berani menolong Adit satu pun, karena mereka semua ketakutan melihat bagaimana dua orang lelaki itu terus memukuli Adit tanpa ampun.

Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Adit lalu menggigit lengan lelaki yang memeganginya dengan kencang. Lalu mengambil tong sampah dan melemparnya ke arah mereka berdua. Terlihat dari kejauhan petugas keamanan mulai berlarian untuk menghentikan kekacauan itu.

Seorang lelaki bergelang merah lalu tiba-tiba mengeluarkan sebilah pisau dari kantung jacketnya dan berlari menerjang. Adit dengan sigap segera menghindar dan mengeluarkan sesuatu dari dalam ransel. Begitu lelaki itu mendekati Adit, Adit langsung menyemprotkan semprotan merica ke wajahnya hingga lelaki itu tertunduk sambil meringis kesakitan. Setelah itu Adit langsung menyentrum lelaki itu dengan alat kejut listrik hingga membuat lelaki itu akhirnya jatuh pingsan. Karena melihat kawannya jatuh tak berdaya, seorang lelaki satunya lagi berlari kabur.

Petugas keamanan langsung menyebar, ada yang segera menangkap lelaki yang hampir menusuk Adit. Petugas keamanan langsung memegangi kedua lengan lelaki yang pingsan itu dengan kuat. Dan petugas keamanan lainnya mengejar seorang lelaki yang sudah kabur.

Praja dan Fariz yang melihat keramaian itu merasa heran dan bingung. Mereka berdua pun menerobos masuk, berusaha melihat apa yang sedang terjadi di dalam sana.

"Adit!" teriak Fariz dan Praja bersamaan begitu melihat Adit sedang terkulai lemas di aspal dengan beberapa luka lebam di wajahnya.

"Dit! Ada apa, ini?" tanya Praja panik sambil berusaha membantu Adit untuk duduk. Fariz langsung berjongkok di belakang Adit dan membiarkan temannya itu menyender di pundaknya.

Terdengar deruan napas Adit yang berantakan dan tubuhnya yang bergetar cukup kuat. Praja yang menggenggam tangan Adit bisa merasakan kalau Adit sangat shock dengan kejadian ini. Tubuhnya dibasahi keringat, sampai-sampai rambutnya sangat basah seperti habis dikeramas. Belum pernah Praja melihat Adit yang sangat ketakutan. Biasanya kawannya ini selalu tenang dan berani. 

"Gak, kok. Cuma oknum, orang gila. Gue mau pulang sekarang," jawab Adit dengan napas yang terengah-engah. Adit berusaha bangun dari duduknya dengan sempoyongan. Fariz lalu menahan lengan Adit kemudian membantunya untuk berdiri.

Salah satu petugas keamanan di stasiun menghampiri Adit dan menanyakan beberapa pertanyaan. Apakah Adit mau melanjutkan masalah ini pada pihak berwajib atau tidak? Adit hanya berkata bahwa masalah ini tidak perlu diperpanjang. Adit sudah tak mau berurusan lagi dengan lelaki yang menyerangnya tiba-tiba barusan.

Fariz yang mendengar pernyataan tak terduga dari Adit itu malah marah-marah pada Adit. Kenapa Adit malah memilih melepaskan  orang yang jelas-jelas sudah menyerangnya? Tidak hanya di situ, Fariz terus melemparkan sumpah serapah pada lelaki bergelang merah yang mulai sadar dari pingsannya sambil menunjuk-nunjuk penuh emosi kepadanya. Adalagi Praja, ia berusaha berkali-kali untuk memukul lelaki itu, mencoba menendangnya dengan wajah yang memerah karena marah.

Adit yang melihat pemandangan itu hanya tertawa kecil sambil berkata bahwa dirinya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia pun akhirnya menarik Fariz dan Praja agar berhenti dan meminta tolong pada mereka untuk mengantarkan Adit pulang ke rumah.

Adit sudah tahu, insiden penyerangan yang terbilang berani ini dilakukan oleh siapa. Adit pun sudah mengerti, ia akan menjadi target itu. Karena ia sudah terlanjur masuk ke dalam permainan gila ini. Itulah alasan mengapa kemarin Rangga memberikan alat-alat perlindungan diri untuk Adit bawa kemana pun ia pergi. Dan untungnya Adit ingat untuk menggunakan alat itu di saat yang tepat.    

Walau di sepanjang jalan pulang Adit terus dilempari pertanyaan cemas dari Fariz dan Praja. Adit tetap bungkam, ia tak berbicara sedikit pun tentang kebenaran yang selama ini ia sedang jaga. Adit hanya tak ingin ada orang lain masuk ke dalam masalah ini. Ia tak ingin ada orang tak bersalah yang turut merasakan betapa ngeri dan kejamnya permainan ini. Apalagi orang-orang terdekatnya, Adit sungguh tak rela jika ada di antara mereka yang terluka.

🤝🤝🤝🤝

"Kamu ini preman atau mahasiswa? Kapan kamu hidup dengan tenang dan berhenti membuat masalah?" Raihan menunjuk-nunjuk ke arah Adit yang sedang diobati oleh Ajeng, mamanya.

"Kamu ini anak papa, bukan anak jalanan. Kamu terdidik, terpelajar. Kapan papa bisa berhenti melihat masalah yang terus kamu buat ini, ha?!" ceplos Raihan membuat Adit menatapnya dengan sinis.

Ajeng terlihat menatap kedua mata Raihan, memberi isyarat bahwa perkataanya itu sudah keterlaluan. Tapi Raihan malah terus mengoceh dan melemparkan perkataan-perkataan tajam pada Adit yang sedari tadi hanya menundukkan kepala. Kedua tangan Adit mengepal dengan keras, ia berusaha menahan emosi yang mulai menjalar ke sekujur tubuhnya.

"Kamu seharusnya bisa bersikap lebih dewasa dan berhati-hati. Ini akibat kamu menolak ajakan papa untuk study di LN. Akhirnya masalah terus berdatangan dalam hidup kamu. Idealisme itu tidak akan membawamu pada kekuatan dan kekuasaan. Kenapa kamu tidak bisa seperti anak-anak teman papa lainnya yang penurut? Papa tidak pernah mendidikmu menjadi seorang pemberontak seperti ini. Kalau kamu masih membuat masalah, papa akan paksa kamu untuk pindah ke LN dan hiduplah di sana," jelas Raihan panjang lebar. Ia menatap wajah anak lelaki satu-satunya itu dengan tatapan marah.

Adit lalu bangkit dari duduknya dan menatap wajah Raihan dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Raihan sempat menatap kedua mata Adit itu sebentar, ia lalu segera membuang muka. Menghindari tatapan Adit yang sangat menjelaskan perasaannya saat itu.

"Papa ingin kamu hidup dengan layak, nyaman, dan tenang. Jaga nama baik papa yang selama ini telah papa bangun dan jaga bertahun-tahun. Kenapa kamu malah selalu memilih hidup yang penuh dengan masalah? Kenapa kamu malah memilih menyusahkan dirimu sendiri untuk orang lain? Apakah kamu pikir dengan kepedulian itu kamu bisa hidup dengan sejahtera? Biarkan orang lain menyelesaikan masalah mereka sendiri. Berhenti menolong mereka. Urusi kehidupanmu sendiri," tambah Raihan sambil berkacak pinggang. Ia kini sama sekali tak berani menatap ke dalam manik mata Adit yang begitu dalam.

Adit masih terdiam sembari melihat Raihan yang terus menghindari tatapan Adit, berharap papanya itu mengerti perasaannya saat ini. Namun, tampaknya ia tak berhasil. Adit lalu membuang muka dan berjalan menuju kamar tidur tanpa mengucap sepatah katapun. Biasanya Adit selalu bertengkar dan beradu argumen ketika dalam situasi seperti ini. Ia akan ngotot dan bersikeras dengan ucapannya. Tapi, entah kenapa, hari ini Adit sangat lelah dan merasa terluka begitu mendengar perkataan Raihan. 

Ajeng yang melihat raut wajah Adit yang pucat dan suram, segera menyusul Adit dan masuk ke dalam kamar. Ia melihat Adit sedang terduduk di samping tempat tidur dengan wajah yang lesu. Begitu Ajeng duduk di samping Adit, ia melihat air mata yang menetes dari kedua mata anak lelaki satu-satunya itu.

Ajeng merasakan sakit di dadanya begitu melihat Adit menangis. Ajeng sangat jarang melihat anak lelakinya ini menangis. Mungkin sedari kecil bahkan, Adit tidak terlalu pandai berekspresi, wajahnya datar. Ia pun tak pandai bersosialisasi, ia juga tak pernah terlihat marah.

Namun, Adit berubah drastis sejak ia mulai memasuki usia remaja, semenjak saat itu Adit tumbuh menjadi anak yang berbeda, sangat berbeda. Ia begitu nakal, senang membuat onar, selalu marah-marah, dan sulit diatur.

Ajeng mengerti bahwa anaknya itu berubah karena ia memiliki masalah, dan memendam banyak masalah. Ajeng merasa sangat bersalah, hingga kini ia berusaha untuk memperbaikinya. Walau ia pun tak tahu, apakah keluarga kecilnya bisa kembali membaik atau tidak.

Ajeng lalu mengusap pundak Adit lembut dan memeluknya erat.

Mendapat pelukan erat dari Ajeng, Adit tersenyum tipis, "papa gak pernah nanya Adit baik-baik aja atau enggak. Papa gak pernah peduli sama Adit. Walau wajah Adit udah babak belur begini pun papa gak peduli. Dari dulu sampai sekarang papa gak pernah peduli dan gak mau tahu tentang Adit."

Ajeng menahan air matanya yang sebentar lagi ingin jatuh, "tapi, mama gak seperti papa. Kamu bisa berbagi kesedihanmu dengan mama."

Adit lalu tertawa kecil, "apa susahnya, sih? Bertanya, kamu baik-baik aja, kan?"

Lama-kelamaan air mata Adit jatuh semakin deras, terdengar suara tangisannya yang mulai memenuhi kamar, "sesulit itukah untuk peduli?"

Ajeng langsung memeluk tubuh Adit semakin erat sembari mengusap-usap kepalanya lembut. Ia menangis begitu mendengar perkataan Adit yang memilukan. Perkataan jujur seorang anak lelaki yang merindukan kasih sayang dari sosok ayahnya.














🤝 Bersambung 🤝   

Continue Reading

You'll Also Like

14.8K 301 12
Yang lagi butuh Cover wattpad. Tapi bingung cara buat nya, bingung juga Order nya di mana? Yuk lah di sini aja Akun WP resmi Ai_graphic ig : Ai_g...
FRIENDSHIT By Ala

Fanfiction

12.4K 1.8K 10
Haechan ft All member NCT Yang satu ngga peka, yang satunya lagi takut persahabatannya celaka. Kalau kayak gini terus, siapa yang mau memulai? Β©aiurs...
235K 24.3K 76
[FINISHED] Lo tau gak sih gimana rasanya jadi gue yang selalu di bandingin sama kembarannya sendiri?? ⚠Warning ⚠ *Cerita tidak Jelas *Luar Dalam ti...
6.9M 291K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...