HELP [Tamat]

By TintaBiru26

304K 23.5K 2.9K

Aksa bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Hidupnya hanya di isi dengan luka,kecewa dan air mata. Dirinya... More

Kilas balik
Tokoh
Awal dari semuanya
Keluarga baru Dika
keluarga baru Mona
Doa Arya
Terlambat?
Pingsan
Ikut senang
Alergi
Amarah
perundungan
khawatir
Sendirian
hal yang tak di inginkan
Aksa atau Rayyan?
bagaimana caranya?
Darren
haruskah?
andai Dika tau
Rencana tuhan
kenapa selalu aku?
Pertanda?
Sakit.
kenapa?
Harus kemana?
yang selalu ada
Haruskah berkorban?
haruskah berkorban? 2
jadi seperti ini rasanya?
Rasa yang tak biasa
Birthday Keenan
niat menolong
belum usai
Rayyan
sama-sama tumbang
tidak ada rasa kasihan
istirahat sejenak
Trauma
Kecewa
Sekedar Info
Bullying
di pendam sendiri
ternyata?
sama-sama takut
salah?
pertanda? 2
Kesakitannya
amarah?
berhenti berdetak?
Arka Bodoh
Mimpi dan kabar baik
satu kesakitannya terbongkar
tawanya
aku lagi?
siapa sebenarnya Calista?
Pergi.
jadi?
berawal
menyesal?
mulai mencari?
menghilang bak di telan bumi.
Baru
Dami-nya Rio
Akhir?
kepergiannya
Selesai
Cerita baru
GaReNdra
Baca dulu yukk

Good Bye

7.2K 365 64
By TintaBiru26


Dika, lelaki itu melangkah perlahan memasuki ruang rawat Calista dengan tatapan mata yang kosong. Di belakangnya, ada Keenan serta Zaidan.

"M-mas D-dika..." lirih Calista, keningnya sedikit mengerut. Ada apa? Kenapa suaminya itu terlihat sendu? Kenapa suami serta anaknya memakai baju serba hitam?

"Mama," Keenan segera menghambur, memeluk Calista. Hingga beberapa detik setelahnya, Isak tangisnya terdengar.

"A-ada apa?" tanya Calista, perasaannya jadi tidak enak. Ia menatap Dika yang kini sudah terduduk bersama Zaidan, dengan kepala yang tertunduk dalam.

"K-kenapa pakaian kalian hitam-hitam? S-siapa ya---"

"Anakku sudah meninggal, apa kamu puas sekarang Calista?"

Calista terdiam, siapa? Siapa yang meninggal? Arya? Arka? Aksa atau bayi nya yang baru saja di lahirkan?

"Anakku mati dan itu gara-gara kamu!" teriak Dika, membuat tangis Keenan kian pecah. Lelaki itu semakin menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Calista.

"Anakku pergi hiks, anakku pergi sebelum aku meminta maaf. D-dia pergi membawa semua lukanya, dia pergi dalam keadaan bertanya-tanya siapa ayahnya. Dia sudah pergi Calista hiks. Dia pergi karena kesalahan aku Calista hiks. A-aku, aku harus bagaimana Calista hiks."

"M-maksud kamu...A-aksa?"

Hati Dika mencelos begitu saja saat mendengar Calista menyebut nama Aksa. Dirinya masih tidak percaya bahwa anaknya, sudah tidak ada.

"Dia terluka. Dan sialnya, dia pergi tanpa sempat lukanya terobati hiks."

Mata Calista memanas, ia menatap Zaidan, seolah meminta lelaki itu keyakinan bahwa semua ini hanya-lah bualan. Tetapi nyatanya, Zaidan hanya terdiam dengan air mata yang sesekali menetes.

"K-kamu bercanda kan mas? G-gak mungkin A-aksa pergi gitu aja. A-aku belum sempat m-meminta maaf. A-aku---"

Dika bangkit, ia menatap Calista dengan wajah yang sudah basah akibat air mata.

"Aku yang menguburkannya Calista. T-tubuh anakku tertimbun tanah dan aku tidak bisa apa-apa. Ah, seharusnya aku tidak membiarkan tubuhnya tertimbun. Dia pasti kesakitan bukan? A-anakku kesakitan Calista hiks. Anakku pergi karena ulah ku sendiri."

"H-hentikan mas, A-aku ingin bertemu Aksa. A-aku ingin meminta maaf."

"PERCUMA CALISTA! ANAKKU SUDAH PERGI! ANAKKU MATI DAN ITU SEMUA GARA-GARA KAMU! KAMU PENYEBABNYA, KAMU PEMBUNUH!"

Calista menggeleng kuat, wajahnya terlihat sembab. Tidak, dirinya bukan pembunuh. Tapi---Calista akui, semua ini karena ulahnya.

"Anakku mati hiks, Anakku mati haha. Anakku sudah mati, apa kamu puas Calista? A-anakku pergi...hahaha, tidak anakku masih hidup. Dia hanya tertidur, sebentar lagi juga bangun. Tunggu saja. Iya, anakku tidak mati. Ma-ti hiks, A-anakku mati."

Tubuh Dika kembali merosot, ia mencengkeram kuat rambutnya, setelah itu memukuli kepalanya sendiri. Zaidan hanya terdiam menatapnya. Berbeda dengan Keenan yang kini tengah berusaha menenangkan Calista yang terisak.

"Anakku tidak mati, dia baik-baik saja. Selama ini, dia baik-baik saja bukan. Dia tidak sakit, tapi aku memberinya rasa sakit. Makanya dia pergi. Tidak, dia tidak pergi. Anakku masih hidup, anakku masih hidup hiks."

"Papa..." Zaidan berusaha mendekati Dika.

"Zaidan, anakku tidak mati kan Zaidan? Lihat, dia sedang tertidur. Ah, tampan sekali, lihatlah Zaidan, bukan kah dia menggemaskan?" Dika menunjuk sesuatu, Zaidan menoleh, di sana, di pojok sana tidak ada apa-apa.

"Papa..." Zaidan mencekal kedua pundak Dika.

"Anakku mati hiks. A-anakku kesakitan Zaidan. A-anakku sakit, a-anakku sendirian. Tapi tapi, mulai hari ini, anakku tidak sendirian Zaidan, iya anakku tidak sendirian. Aku, aku akan selalu ada bersamanya, lihatlah Zaidan, dia---"

Dika terdiam, menatap kesuatu objek. Hingga beberapa detik setelahnya. Dika berteriak, memberontak. Beruntung, Zaidan cepat memeluknya.

Ada apa ini? Kenapa Zaidan merasa ada yang tidak beres dengan Dika?

"Papa,"

"Hiks, jangan jangan. Jangan sakiti anakku." tangan Dika melambai, berusaha meraih sesuatu yang ada di dalam fikirannya.

"Zaidan lepas hiks. A-anakku butuh aku Zaidan. Orang itu, orang itu membenturkan kepala Anakku dengan kencang ketembok berkali-kali Zaidan. Anakku kesakitan, aku harus menolongnya. Lepas Zaidan."

Zaidan menggeleng, ia semakin erat memeluk Dika. Namun, Dika semakin berontak, kalau seperti ini Zaidan tidak akan kuat.

"Papa." Keenan datang, ia membantu Zaidan, meninggalkan Calista yang kini tengah syok. Matanya tak lepas menatap Dika.

"AGHHH! JANGAN! JANGAN CAMBUK ANAKKU HIKS. LEPASKAN, ANAKKU KESAKITAN! TOLONG, SIAPAPUN ITU TOLONG ANAKKU HIKS. AGHHH...KU MOHON HENTIKAN HIKS. HENTIKAN!" Dika semakin berontak, ia menggeleng-gelangkan kepalanya kuat.

"Papa sadar," ucap Zaidan. Dika tak menanggapi, ia terus berteriak, memanggil nama Aksa seraya berusaha lepas dari dekapan Zaidan serta Keenan.

"Papa hiks, hentikan. Aku mohon jangan seperti ini." lirih Keenan.

"HENTIKAN! JANGAN SAKITI ANAKKU LAGI! SUDAH CUKUP HIKS, CUKUP!"

tubuh Dika merosot, membuat Keenan dan Zaidan sedikit terhuyung.

"Mas..." lirih Calista. Dika pasti syok dengan kepergian Aksa yang tiba-tiba. Pikir Calista.

"Ku mohon hentikan hiks. Jangan sakiti anakku lagi. Kasihan, dia kesakitan." lirih Dika, perlahan tapi pasti, matanya terpejam.

"Papa hiks,"

'A-aksa...m-maafkan mama Calista Sa... Kenapa? Kenapa kamu pergi secepat ini? Padahal mama belum sempat meminta maaf. Lihatlah, ayah mu sedang tidak baik-baik saja.'

******

Rio, lelaki itu terdiam, menatap satu lembar kertas yang ia ambil dari dalam tas milik Aksa yang ia temukan di ruang rawat Aksa kemarin. Bahkan, tas itu ada di sampingnya sekarang.

Rio menghela nafas berkali-kali. Haruskah ia buka lembaran kertas itu? Ia ingin, terlebih lembaran kertas itu di tujukan untuknya. Di satu sisi, ia belum siap, tapi di sisi lain, ia begitu penasaran.

Jadi, dengan perlahan, lembaran itu terbuka lebar. Mata Rio memanas.

Untuk : Bang Rio (Dokter bawel)

Bang, Abang tau gak sih, Abang itu...Abang sekaligus dokter paling bawel yang pernah aku temuin. Terkadang, aku risih dengan ocehan-ocehan Abang. Tapi aku tau, itu semua demi kebaikan aku. Maka dari itu...terima kasih, terimakasih atas semuanya bang.

Terimakasih sudah mau di repotkan oleh seorang Aksa Damian. Terimakasih atas perhatiannya selama ini. Aku gak tau, kehidupan aku akan seperti apa jika aku tidak ketemu sama Abang. Aku beruntung dan aku bersyukur bisa kenal orang baik sebaik Abang.

Bang...maaf, maaf atas semuanya. Maaf sudah merepotkan, maaf aku sering kali membuat Abang khawatir, maaf sering buat Abang marah. Maaf, aku belum bisa balas semua kebaikan Abang. Dan maaf...sudah terlahir menjadi saudara Abang.

Seharusnya, aku tidak di lahirkan kan bang? Seharusnya, aku tidak terlahir sebagai saudara abang. Maaf, Abang pasti kecewa. Tapi...Aku enggak bisa milih, aku harus terlahir dari rahim siapa, aku gak bisa milih aku ingin bersaudara dengan siapa. Tapi, ini semua kehendak Tuhan. Aku tidak bisa menolak apalagi memberontak.

Bang... Selama ini, aku selalu bergantung ya sama Abang? Seharusnya, sedari awal aku tidak begitu. Seharusnya aku Tidak terlalu bergantung sama Abang. Jika sudah begini, aku juga yang susah.

Aku buat Abang kecewa ya? Aku buat Abang benci ya? Aku memang anak pembawa sial bang. Maaf, maaf atas meninggalnya ibu Abang. Kalau aku tau kejadiannya akan seperti ini. Aku memilih tidak untuk di lahirkan.

Mulai hari ini, aku tidak akan lagi menganggu Abang. Aku akan pergi sejauh mungkin dari kehidupan Abang dan om Farris. Jika kita ketemu nanti, anggap saja kita tidak saling mengenal ya bang. Lupakan aku, anggap aku tidak ada. Anggap aku bukan saudara Abang.

Bang...jaga diri Abang baik-baik ya. Jaga kesehatan, jangan telat makan, banyak istirahat biar gak sakit. Aku titip om Farris bang. Tolong jaga om Farris dengan baik. Sekarang, Abang hanya memilik om Farris. Titip salam untuk nya ya bang? Bilangin, Aku izin pamit. Sampaikan maaf ku juga untuk om Farris. Selamat tinggal bang...sampai bertemu di takdir allah yang terbaik. Aku pamit.

Tertanda, Aksa Damian.

Adikmu, si pembawa sial.

"Nyatanya kamu benar-benar pergi jauh, sampai-sampai Abang tidak bisa lagi menggapai kamu Dami hiks. Kenapa, kenapa harus kamu yang meminta maaf? Bukan kah posisinya terbalik? Bukan kah Abang yang sudah buat kamu kecewa? Kenapa kamu seperti ini Dami. Andai waktu itu, Abang tidak mengusir kamu, hari ini, detik ini mungkin kamu masih ada disini hiks. Maaf, maafkan Abang."

Rio terisak, ia memeluk surat itu. Kepalanya menggeleng pelan. "Kamu bukan pembawa sial. Ibu Abang meninggal, bukan karena kamu. Bukan kah semua itu takdir? Hiks. Dami...Abang menyesal. Harus dengan cara apa Abang menebus semua kesalahan Abang sama kamu Dami hiks. Abang harus bagaimana?"

*******

Mona, wanita itu terdiam, memangku sebuah kotak peninggalan Sarah, sang ibu. Yang sempat Sarah berikan sebelum Sarah meninggal beberapa tahun lalu.

Tangannya yang gemetar perlahan membuka sebuah kotak itu. Hal yang pertama ia lihat adalah, baju-baju bayi yang tersusun rapih di dalam kotak itu serta beberapa lembar foto bayi yang Mona yakini adalah Aksa. Anaknya. Bibir Mona bergetar, matanya berkaca-kaca.

Mona mengambil satu lembar foto itu. Menatapnya dalam, ibu jarinya mengusap lembut foto itu.


"Aksa? Ini kamu kan nak?" suara Mona bergetar. Hatinya terasa sesak. Mengingat bagaimana kerasnya ia dulu menolak merawatnya. Jangankan merawat, memeluk atau bahkan melihatnya pun tidak.

Tangan Mona kembali mengambil, satu lembar Foto lainnya.

Hatinya bertambah sesak. Mengingat malangnya nasib sang anak yang ini sudah di peluk oleh sang pencipta.

"Seharusnya, kamu tidak tidur sendiri nak. Seharusnya, ibu ada disini, di samping kamu. Memeluk kamu." Mona menatap Foto itu setelahnya, memeluk foto itu dengan erat.

"Maafkan ibu," lirih Mona, air matanya mengalir membasahi pipi. Setelahnya, ia kembali mengambil satu lembar foto lainnya.


Senyum Mona sedikit terukir, menatap foto Aksa. Mona berfikir, mungkin Foto itu, Sarah ambil saat Aksa-nya berulang tahun. Mungkin, yang ke-5? Entahlah. Tapi, bukan kah anak nya begitu tampan?

"Tampan sekali kamu nak? Senyum kamu manis. Sayang sekali ibu tidak bisa menikmati nya. "

Lama, Mona menatap foto itu. Di otaknya, banyak kata yang Mona fikirkan. Hingga, fokus Mona terbelah saat melihat sesuatu, yang terselip di antara tumpukan baju-baju bayi itu.

Dengan cepat, Mona mengambilnya. Surat dari rumah sakit? Mona sedikit mengernyit. Jantungnya berdesir hebat. Buru-buru ia membukanya.

Mona meneguk salivanya susah payah setelah membaca kata awal yang tertera di surat itu HASIL TES DNA. Jantung Mona semakin berdetak kencang.

Positif.

Dalam surat itu, menyatakan bahwa Aksa Damian positif, anak kandung dari Mona Adelicia dengan Mahardika Adhitama.

Tubuh Mona benar-benar lemas. Mengapa dirinya baru membuka kotak itu? Kenapa tidak sedari dulu? Jadi selama ini, Sarah menyelidikinya? Jadi selama ini, Sarah mengetahui bahwa Aksa adalah memang anaknya dan Dika?

Mona semakin di buat menyesal. Ia menangis hebat. Tangannya meremas kuat rambutnya.

"Hiks, ibu... Hiks, aku salah. Seharusnya dari awal, aku melakukan tes DNA hiks. Seharusnya aku mengetahui semua ini sedari awal hiks. Maaf Bu, hiks maafkan aku. Aku menyesal."

Mona semakin meratapi kesedihan serta penyesalannya. Ia menenggelamkan wajahnya di antara lipatan lututnya.

Sementara disisi lain, tepatnya di suatu ruangan di dekat dapur. Ada Arya yang tengah melenguh, matanya perlahan terbuka. Bibirnya meringis kecil. Setelahnya, lelaki itu terdiam, menatap langit-langit ruangan itu.

Ini di mana? Ini bukan kamarnya. Arya ingat, dirinya sedang berada di kamar Aksa. Terbukti, dari tubuhnya yang terasa sakit karena terlalu lama tertidur di atas kasur tipis, tanpa dipan.

Arya jadi berfikir, jika dirinya saja sesakit ini. Apalagi Adiknya? Air mata Arya menetes di ujung matanya.

"Dek...kamu pasti kesakitan setiap bangun tidur. Kasur ini tidak nyaman, tetapi, kenapa kamu begitu kuat? Apa kamu sudah terbiasa? Mungkin salah satunya itu. Dan Abang yakin, kamu lebih ke terpaksa."  

"Abang macam apa Abang ini dek? Abang tertidur di kasur yang empuk sementara adiknya tertidur di atas kasur ah bahkan kasur ini sama seperti tikar."

Perlahan, Arya bangkit, menatap kosong kamar Aksa. Tidak ada apa-apa disini. Arya melangkah, membuka lemari plastik yang terletak di pojok ruangan. Lemari itu Arya buka, kosong. Tidak ada apa-apa nya. Ah, Arya jadi teringat saat ia beserta Mona memasukan baju-baju Aksa kedalam tas. Setelah itu, mengusirnya. Dan sayangnya, Aksanya benar-benar pergi dan tidak akan pernah kembali walau ia memohon sekali pun.

"Hhh sudah kosong," lirih Arya. Mata Arya mengedar, menatap ruang kamar Aksa yang seharusnya menjadi kamar pembantu.

Mata Arya mengernyit saat melihat tulisan-tulisan kecil di tembok. Ia mendekat. Membuka matanya lebar-lebar. Ternyata, banyak sekali coretan coretan tidak jelas. Arya mulai membacanya perlahan, walau ia sedikit tidak mengerti. Tulisan itu, mungkin saja, tulisan tangan Aksa waktu Aksa masih kecil.

'Ampun Bu...jangan pukuli Aksa lagi, rasanya sakit sekali.'

'Aksa ingin sekali main bersama Abang, Abang. Pasti seru sangat seru.'

'Padahal, Aksa tidak apa-apa. Tetapi, om Raffa memukul Aksa karena Bang Rayyan menangis. Rasanya sakit dan perih sekali ya bu? Padahal, bang Rayyan menangis karena terjatuh, bukan karena Aksa.'

'Ibu...tolong bilangin sama ayah. Jangan pukul Aksa lagi. Pukulan ayah sakit, Aksa tidak kuat.'

'Aksa iri, lihat bang Arya sama bang Arka bermain dengan bang Darren dan bang Rayyan. Aksa ingin bergabung, tapi mereka malah marah-marah. Aksa salah ya Bu?'

'Ibu sama om Raffa pergi. Dua hari mereka tidak di rumah. Abang, Abang mengerjai Aksa. Mereka memukul Aksa, mereka melempari Aksa. Sakit, tapi Aksa senang. Dengan begitu Aksa bisa bermain dengan mereka. Mereka tidak berhenti mengerjai Aksa, sampai ibu dan om Raffa pulang. Aksa berdiri di pojokan, menatap ibu dan om Raffa yang sedang memberi mainan ke Abang Abang. Aksa ingin, tapi ibu tidak memberinya. Mainannya bagus. Aksa suka.'

'Ibu marah karena Aksa mengambil mainan bang Rayyan. Padahal, Aksa tidak mengambilnya. Aksa menemukannya di teras dan Aksa ingin memberinya ke bang Rayyan. Tapi bang Rayyan keburu nangis dan ibu datang. Ibu memukuli Aksa, Aksa menangis kesakitan, tapi ibu tidak berhenti sebelum ibu puas. Rasanya sakit oma.'

'Ibu menghukum Aksa. Ibu bilang Aksa tidak boleh makan. Tapi Aksa lapar Oma, Aksa ingin makan.'

'Ibu, ayah bilang. Aksa mati saja. Mati itu sakit tidak ya Bu? Kalau sakit, Aksa tidak mau mati. Kalau tidak sakit, tidak apa-apa Aksa mati.'

'Aksa kira, mati itu hanya tertidur dari pagi sampai sore. Tapi nyatanya, mati itu di kubur. Apa di kubur seperti Oma, ibu? Kalau begitu, Aksa tidak mau mati. Kalau Aksa di kubur, nanti Aksa tidak bisa nafas ibu. Bilangin ke ayah, Aksa tidak mau mati.'

Arya terisak pelan, dadanya terasa sesak membaca setiap tulisan tangan kecil Aksa. Apa sesakit itu Aksa kecil hingga ia mencurahkan isi hatinya dengan cara menulisnya di tembok?

Arya menggeleng, ia tidak kuat lagi. Masih banyak sekali sebenarnya tulisan tangan Aksa. Tapi, Arya benar-benar tidak kuat. Dadanya semakin sesak. Hingga matanya tidak sengaja melihat sesuatu di bawah kasur.

Dengan wajah yang masih sembab, ia mendekati kasur tipis itu. Mengambil sesuatu di bawahnya. Ternyata sebuah buku. Arya menepuk pelan debu yang berada di atas buku itu.

BUKU DIARY.

Arya mengernyit, Buku Diary? Apa Aksa mencurahkan semua isi hatinya disini? Perlahan Arya membukanya, lembar pertama yang ia baca adalah....-Jangan di buka, kalau di buka Aksa marah. Please jangan di buka. Nanti, Aksa benar-benar marah-

Arya tersenyum tipis, "Marah saja, Abang ingin lihat kamu marah. Pasti...sangat menggemaskan." tawa Arya sumbang. Dan Arya yakin, Diary ini baru, karena tulisan Aksa yang begitu rapi. Berbeda sekali dengan tulisan tangan Aksa di tembok itu.

Tangan Arya perlahan membuka lembar demi lembar buku itu. Membaca isinya satu persatu. Matanya kembali memanas. 

'Ibu...Aksa gak tau ada apa dengan Aksa. Akhir-akhir ini, tubuh Aksa benar-benar di rasa tidak enak. Aksa mudah lelah dan mudah kantuk. Bu...apa ginjal ini sudah tidak berfungsi dengan baik ya? Ibu, Aksa takut.'

Terlihat, Arya menarik nafasnya perlahan.

'Dua bulan lagi, ibu ulang tahun. Aksa bingung mau kasih hadiah apa. Apa tas? Atau jam tangan? Heum...Aksa takut, ibu membuang nya seperti yang sudah-sudah.'

'Ibu...ayah...kepala Aksa rasanya sakit sekali. Dan juga, beberapa jam yang lalu, Aksa sempat mimisan. Ada apa dengan Aksa ya Bu? Ya yah? Aksa benar-benar takut.'

'Aksa sudah tidak kuat, alhasil Aksa memberanikan diri untuk memeriksakan kondisi Aksa. Dokter bilang, Aksa harus melakukan tes lab. Aksa mengikutinya saja. Tapi...Aksa sedikit takut. Menurut ibu dan ayah, hasilnya akan seperti apa ya?'

'Tiga hari lagi, hasil tes lab Aksa keluar. Doakan Aksa ya Bu, doakan Aksa ya yah, semoga semuanya baik-baik saja.'

Tubuh Arya bergetar hebat, apa ini awal Aksa di vonis kanker darah?

'Bu...yah...hasil tes lab nya, sudah keluar. Hasilnya tidak baik-baik saja. Sesuai dengan dugaan Aksa. Aksa jadi teringat dengan ucapan bang Arya kemarin, bang...Tuhan mengabulkan doa abang, itu tandanya Aksa orang jahat bukan? Tapi...Aksa tidak merasa melakukan apa-apa. Aksa ingin menangis, Aksa ingin mengadu tapi Aksa gak tau mau mengadu ke siapa. Disini, di dalam dada ini, rasanya begitu penuh dan sesak.'

Arya mencengkeram kuat buku itu. Ternyata Adiknya di vonis setelah ia menyumpahkannya sakit kanker. Dan Tuhan langsung mengabulkannya. Arya menyesal.

'Tante Calista pingsan, tidak tau penyebabnya apa. Tapi mereka menyalahkan Aksa Oma. Padahal, Aksa tidak melakukan apa-apa. Tolong bantu doanya ya Oma, supaya Tante calista baik-baik saja.'

'Oma...Aksa senang. Ternyata, Tante Calista pingsan seperti itu karena Tante Calista tengah mengandung. Bukan kah itu Artinya, Aksa akan segera mempunyai adik baru? Ahh... Aksa  Senang Oma, sangat-sangat senang.'

'Tante Calista mengidam Oma. Dia meminta Aksa untuk membelikannya martabak. Aksa senang, Tante Calista meminta Aksa untuk membantunya. Tapi...karena hal itu, Keenan masuk rumah sakit. Dia tidak sengaja memakan martabak itu. Dan mereka menyalahkan Aksa lagi. Aksa sudah biasa. Tapi, kenapa rasanya masih sama oma? Sesak sekali. Di tambah dengan ibu dan ayah yang mencambuk Aksa. Rasanya, sakit, perih dan linu menjadi satu.'

Arya ingat betul kejadian itu. "Aksa..." lirih Arya. Ia tidak bisa membayangkan jika dirinya yang menjadi Aksa.

'Tubuh Aksa rasanya sakit semua. makin hari, penyakit itu semakin menyiksa tubuh Aksa Oma. Tiap malam, Aksa tidak bisa tertidur dengan tenang. Rasa sakit itu selalu menggangu. Seperti malam ini. Sakit Oma...tolong Aksa.'

Air mata Arya mengalir. Adiknya, setiap malam kesakitan. Dimana dirinya? Dirinya malah enak-enakan tertidur di atas kasur yang empuk nan nyaman.

'Dokter bilang, Aksa harus melakukan kemo satu Minggu 2 kali. Hah, Apa dokter itu tidak berfikir, dapat uang dari mana Aksa? Emangnya, dokter itu fikir, Aksa mempunyai banyak uang? Yang benar saja. Untuk kebutuhan sehari-hari saja terkadang kurang.'

'Bang Rayyan pingsan, ada apa? Semoga tidak ada apa-apa.'

'Kanker hati? Aksa tidak percaya, bang Rayyan di vonis sakit itu oma.'

'Tante Calista masuk rumah sakit lagi, Dan ayah memukul Aksa lagi. Rasanya benar-benar sakit. Padahal waktu itu, Aksa hanya membantu Tante Calista. Bukan untuk mencelakainya.' 

'Semenjak Bang Rayyan di vonis. Ibu dan bang Arya memaksa Aksa untuk mendonorkan hati Aksa untuk bang Rayyan Oma. Apa tidak sepenting itu hidup Aksa? Apa tidak seberharga itu nyawa Aksa? Aksa harus bagaimana Oma?'

Arya menahan nafas. Aja, banyak sekali luka yang ia torehkan. Arya menutup wajahnya dengan buu itu. Bahunya terlihat bergetar. Setelah sekian lama. Ia kembali, membuka lembar demi lembaran buku itu.

'Ayah...sakit. ibu...dingin. kepala Aksa rasanya mau pecah ayah, sakit sekali. Seluruh tubuh Aksa dingin sekali Bu. Ya...mereka menghukum Aksa lagi. Padahal, niat Aksa waktu itu hanya menolong Tante Calista. Ada 2 orang, Aksa tidak bisa menyebutkan namanya. Mereka, ingin mencelaka-kan Tante Calista. Aksa hanya ingin menyelamatkan nya Oma. Tetapi, lagi lagi mereka salah paham. Tidak apa, Aksa rela sakit asal Tante Calista baik-baik saja.'

"Hiks, terbuat dari apa hati kamu dek? Orang yang kamu tolong adalah awal kehancuran hidup kamu. Dia wanita jahat, tetapi kamu membalasnya dengan kebaikan yang justru kebaikan itu membuat kamu kesakitan. Hiks. Hiks. Dia tidak pantas dek, dia tidak pantas mendapat kebaikan kamu."

'bang Rayyan saja kesakitan saat kemoterapi. Bang Rayyan hebat. Mungkin, kalau Aksa jadi bang Rayyan, Aksa tidak sekuat itu. Ngomong-ngomong kemoterapi, besok kemoterapi pertama Aksa Oma. Aksa takut.'

"K-kamu sempat m-melakukan kemo? "

'Ibu...ini, kemoterapi pertama Aksa. Doakan semoga semuanya lancar ya Bu?'

'Ahh, Aksa tidak suka kemoterapi. Rasanya sakit sekali. Belum lagi efeknya. Bang Rayyan hebat bisa melewati semuanya. Tapi, Aksa iri, bang Rayyan melewatinya di temani ibu. Aksa pun ingin di temani ibu. Semoga, suatu saat nanti, kemoterapi Aksa selanjutnya, ibu bisa menemani Aksa.'

'Ibu...Aksa ingin makan bubur buatan ibu. '

'Ibu...Aksa ingin di suapi ibu.'

'Aksa ingin bermain dengan ayah."

'Bang Arya, bang Arka. Ayok kita main.'

Wajah Arya semakin basah. Ia bisa merasakan se-kesepian apa adiknya. Bahkan ia bisa merasakan, sesakit apa adiknya.

'Ibu, banyak sekali yang menginginkan Aksa mati. Aksa takut mati ibu, Aksa tidak ingin mati. Aksa mau disini, sama ibu.'

'Aksa benar-benar syok saat mendengar kabar bahwa bang Arka kecelakaan. Bang Arka kehilangan banyak darah Oma. Mereka meminta Aksa untuk mendonorkannya. Aksa ingin tapi Aksa tidak bisa.'

'Mereka marah, mengira Aksa sengaja tidak mendonorkan darah Aksa untuk bang Arka. Mereka mencaci Aksa, mereka memaki Aksa. Apa mereka akan berhenti mengatakan hal menyakitkan jika Aksa memberitahu alasannya?'

'Aksa tidak bisa, bukan tidak mau. Suatu saat, kalian akan tau kenapa Aksa bersikeras menolak untuk mendonorkan darah Aksa. Kalian akan paham jika kalian sudah tahu alasannya.'

Arya mengangguk, "Abang paham hiks. Abang paham. Kamu tidak mendonorkan darah kamu karena kamu sedang sakit. Terlebih, Abang tau, kanker darah bukanlah penyakit biasa. Jika waktu itu kamu mendonorkan darah kamu, maka hari ini Arka tengah terbaring di rumah sakit. Kamu, baik sekali dek. Selalu memikirkan yang lain di banding memikirkan diri kamu sendiri."

Arya sudah tidak sanggup. Ia menutup buku itu. Berhenti membaca. Padahal masih banyak tulisan tangan Aksa. Arya membawa buku itu kedalam dekapannya.

"Terimakasih sudah lahir menjadi adeknya Abang. Abang bangga."

******

"Saya minta maaf Mona,"

Mona hanya terdiam, disini, Mona berdiri. Di ruang rawat Calista. Awalnya Mona menolak saat Calista meminta nya untuk bertemu. Tetapi pada Akhirnya, Mona datang. Menemui Calista sendirian.

Dapat Mona lihat, wajah Calista benar-benar pucat, keringatnya begitu banyak mengalir.

"Maaf atas semua kesalahan saya. Saya tahu, kata maaf tidak bisa mengembalikan semuanya. Terlebih mengembalikan Aksa. "

"Benar, beribu kata maaf yang terlontar dari mulut kamu. Tidak dapat mengembalikan Anakku. Jadi, untuk apa kamu melakukan itu?"

"Saya rasa saya perlu meminta maaf. Terserah kamu mau memaafkannya atau tidak."

Hening.

"Saya titip anak saya Mona."

Mona sedikit mengernyit. Ia menatap Calista. Wajah itu terlihat semakin pucat.

"Saya tahu, kesalahan saya tidak patut untuk di maafkan terlebih dengan Aksa dan kamu. Saya benar-benar menyesal. Saya gak tau, saya harus melakukan apalagi. "

Calista meraih tangan Mona, menggenggam tangan itu dengan erat.

"Saya titip anak saya ya Mona?"

"Cih, kamu gila? Untuk apa kamu menitipkannya? Untuk apa juga saya mau di titipkannya? Anak saya saja terluka karena kamu."

"Bayi ku tidak bersalah Mona. Saya mohon, sekali ini saja. Sebagai gantinya, saya akan donorkan hati saya untuk Rayyan."

Mona terdiam, ia menatap Calista. Lagi, wajah itu terlihat semakin pecut dengan keringat dingin yang membasahinya.

"Mona...saya mohon."







































..................GOOD BYE.................






Yuhuuuu.....

Akhirnya selesai juga. Hihi.

Lepas juga ni cerita, lega banget rasanya☺️

Gimana dengan Chapter tambahnnya ini?

Terlalu berbelit? Aku tau itu.

Terlalu lebay? Aku juga tau itu.

Gantung? Yaa...memang sengaja🤣

Btw, terimakasih ya untuk kalian yang udah support dan dukung FF ini☺️

Kecewa ya sama cerita ini? Maaf🙏

Sampai jumpa di cerita ku yang lainnya:)

Selamat malam:)

Salam hangat dari Aksa Damian yang kini sudah berada di keabadian.

BTW, FOTO BERSUMBER DARI GOOGLE:)

Continue Reading

You'll Also Like

42.5K 2.7K 38
[END] Raga tahu, kesalahannya di masa lalu itu sangat fatal. Namun, mengapa? Mengapa harus Ayahnya yang membencinya? Disaat yang dirinya punya hanya...
33.6K 2.8K 21
Berawal dari menemukan seorang anak kecil tengah malam dijalanan, Gama justru harus terjebak mengungkap kasus rumit sindikat penjualan anak. "Papa...
41.6K 2.4K 45
Menceritakan tentang seorang anak yang menginginkan kasih sayang dari seorang Ayah sejak ia lahir. Fahrizal Bayu Permana, seorang lelaki yang berusah...
GAVIN By Agusgirl

Teen Fiction

253K 17.4K 27
"Pah, Gavin hanya ingin papa peluk Gavin disaat terakhir Gavin" "Paru paru Gavin sakit papa, tapi hati Gavin jauh lebih sakit" "Gavin hanya ingin pa...