Fragile Fantasy

By J14070b

15.1K 1.9K 79

[Bukan Novel Terjemahan] / [Slow Update] Lena mati karena menjadi sasaran tembak perampok bank. Padahal ia ha... More

Profile
00
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
19
20
21
- 22 -

18

171 33 5
By J14070b

"Ara, kamu boleh mengatakan semuanya."

Setelah keheningan beberapa saat, Noah akhirnya membuka suara. Sejujurnya aku merasa aneh dengannya. Perasaanku mengatakan bahwa Noah mengetahui semuanya. Seakan-akan ia melihat semua di balik kulitku.

Jika tidak, kenapa ia menanyakan hal itu?

"Aku hanya ingin bermain di sana sebentar, Noah~~" Aku memasang wajah melas dan menarik ujung pakaiannya pelan.

Urghhh, aku harus membuang harga diriku secara sempurna. Demi kelancaran rencana!

Noah tersenyum lembut, namun matanya mengisyaratkan hal sebaliknya. "Aku tahu kalau kamu tak akan melakukan sesuatu tanpa tujuan."

Waw, dari mana kepercayaan dirimu itu?

Aku menghentakkan kaki, bersandiwara layaknya anak kecil yang merajuk. "Aku hanya bocah empat tahun yang ingin bermain, Noah ih!"

"Tidak ada anak normal yang akan mengatakan itu sebagai alasan, Ara."

... Ughh dia benar-benar sulit ditaklukkan. Aku seperti berdebat dengan Grand Duke.

Aku jatuh dalam diam. Berpikir apakah ini ujung dari perjuanganku? Tapi, bagaimana jika semua yang mengusikku di mimpi ini menjadi kenyataan?

Aku tak ingin teror yang aku alami di mimpi menjadi realitas. Maka dari itu ... aku harus memastikannya. Aku harus menggagalkan awal tragedi yang terjadi di dalam mimpiku.

"Aku akan membantu, tergantung dari jawabanmu."

Aku mendongak. Kini wajah Noah terlihat lebih tenang. Ia kembali seperti biasanya saat menyapaku. Aura yang menekan tadi lenyap seakan-akan tak pernah ada di sana.

Bisakah aku memercayainya? Apa dia akan membantuku? Bagaimana jika ini hanya akal-akalannya sebelum melaporkanku?

Tapi entah mengapa hatiku tersenggol. Di lubuk terdalam, aku ingin memercayainya. Mengingat bagaimana ia selalu percaya padaku selama ini.

"Aku ...," menarik napas dalam lalu mengembuskannya, "ada sesuatu yang harus aku pastikan di sana. Jika tidak, aku akan merasa tidak tenang seumur hidupku."

Mengatakan tujuan utamaku, namun meninggalkan detailnya.

Aku mempercayai Noah, tapi tidak sampai di titik di mana aku akan membocorkan semuanya. Lagipula, ia pasti tidak akan mempercayaiku, bukan?

"Baiklah, aku akan membantumu."

Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Dengan mulut sedikit terbuka, aku menatap Noah dengan mata membola. Tidak, bagaimana ia mungkin memercayai omongan bocah empat tahun? Hanya orang hilang akal yang percaya padaku!

"Kalau melakukan ini akan membuatmu lebih baik ... maka lakukanlah. Tapi, aku memiliki syarat."

Ah ya, jangan lupakan syarat menyebalkan. Apa yang akan dia minta? Uang, kah? Kue? Atau jang--

"Tolong bawa Liam bersamamu."

Huh?

Tunggu, kenapa Liam harus ikut denganku?

Menyadari kebingunganku, Noah langsung menyambung ucapannya, "Kalau dia tetap di sini, rencanamu akan kacau balau. Kamu tahu sendiri Liam bagaimana, bukan?"

Ah ... ya, bocah tempramen itu tak bisa ditinggalkan. Rencana ini akan sia-sia kalau Liam membuka mulut embernya itu. Lagipula aku meragukan kualitas aktingnya, yang tentu saja inferior daripada Noah.

"Juga dia juga cukup kuat," tambahnya.

Aku mengangguk. "Baiklah." Aku tersenyum lembut. Perasaan senang kini merambat di dalam dadaku.

"Omong-omong, kamu akan pergi lewat barat, kan? Aku akan membantu mengalihkan penjaga sehingga kalian bisa lewat."

Mataku penuh binar. Aku begitu antusias karena bantuan yang aku dapat. "Terima kasih, Noah!"

Noah tersenyum. "Katakan itu setelah kalian kembali dengan selamat."

---

"Toko perhiasan?"

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Charles yang baru saja membeli daging tusuk di pedagang langganannya. Ren yang melihat itu mengangkat bahunya, tak tahu menahu apa yang sedang terjadi sekarang.

"Sepertinya tuan sedang membeli hadiah untuk nona muda. Hari ini ulang tahunnya, bukan?" Victor pun bangkit dari posisinya lalu berkata, "aku akan pergi membeli jus dulu, ya."

Sepeninggalannya, Charles sibuk menyantap makanannya. Ren sendiri hanya duduk dan memandangi orang yang berlalu lalang di jalan utama ibu kota. Sungguh, mereka layaknya anak terlantar.

Detik pun terus bergilir menjadi menit. Sudah lima menit berlalu, akhirnya Victor kembali dengan tiga jus jeruk yang dibelinya.

"Thanks, Vic."

"My pleasure." Victor kini duduk di sebelah Charles.

"Omong-omong, aku tadi melihat anak kecil yang seperti nona muda. Kecil begitu, jadi menggemaskan." Victor mulai menceritakan kejadian tadi saat melihat beberapa anak kecil manis yang berhasil menarik perhatiannya.

Charles berdecak. "Astaga, harusnya aku ikut denganmu. Aku juga ingin melihat mereka, daripada di sini saja." Ia merengut, seakan-akan menyesal.

Perbincangan di antara keduanya terus mengalir. Tentu saja topik utamanya adalah nona muda yang mereka layani. Walau tidak menimbrung, Ren turut mendengarkan percakapan itu.

Setelah hampir setengah jam berlalu, akhirnya Eugene keluar dari toko perhiasan tersebut dengan dua buah kantong belanja. Pandangannya jatuh pada bawahannya yang sibuk bercengkerama dan menikmati makanan dan minuman.

Mereka menikmati waktu mereka.

Eugene hendak mengajak yang lainnya untuk kembali, akan tetapi matanya tak sengaja jatuh pada gang di seberang jalan. Ia melihat seorang anak yang ....

Ara?

"Master? Ada apa?"

Suara Ren menyadarkannya pada kenyataan. Mengerjapkan mata beberapa kali, Eugene berusaha menemukan sosok kecil tersebut, namun ... gang itu kosong dan begitu gelap.

Ugh, apa aku terlalu lelah sampai berhalusinasi?

"Tidak ada. Beri tahu semuanya, kita akan kembali ke rumah."

"Baik, Master."

---

Jantungku hampir saja copot untuk ketiga kalinya hari ini.

"Hoi, kenapa kau diam di situ?"

Aku menoleh ke asal suara. Liam tengah menantiku di ujung gang ini. Wajahnya tampak kesal semenjak kami pergi bersama. Bahkan di sepanjang perjalanan pun ia tak berhenti mengomel. Entah itu perkara rencanaku atau keputusan Noah.

Tapi bukannya mendekat, aku masih diam di tempat. Susah payah aku menenangkan hatiku yang tidak keruan.

"Kenapa wajahmu pucat? Apa kau baru saja melihat hantu?"

Tidak, ini bukan hantu. Bahkan lebih buruk dari makhluk tak kasat mata itu.

"Sepertinya Noah akan kerepotan," ungkapku setelah beberapa saat.

Liam mengangkat sebelah alisnya. "Huh? Memangnya kenapa?"

"Grand Duke ... maksudku, ayahku. Sudah kembali."

"Hahh??!"

Baik Liam maupun Zeke terperangah. Zeke langsung komat-kamit merapalkan doa, sedangkan Liam sibuk merutuki keadaannya sekarang.

Mengabaikan mereka, fokusku kini kembali pada jalanan di hadapanku. Salah satu jalan utama di alun-alun ibu kota. Dan juga ... awal dari mimpi burukku.

"Hei, apa kau yakin kereta itu akan muncul? Tidak ada jaminan, bukan? Lebih baik kita kembali saja ke rumahmu."

"Aku akan menunggunya." Aku duduk di atas kotak kayu kosong itu. Pandanganku tak bergeser sedikit pun.

"T-tapi Nona, b-bagaimana jika orang di rumah mencari?" Zeke yang sejak tadi diam pun angkat suara.

Liam melipat tangan di depan dada. "Dengar katanya, bukan? Lebih baik kita kem--"

"Kalau kalian ingin kembali, pergi saja. Aku akan tetap di sini."

Liam meraung frustasi. Namun persetan dengannya, aku akan menunggu kereta itu sampai datang. Tapi kalau malam menjemput dan kereta itu tak datang, aku akan kembali. Bagaimanapun Grand Duke telah pulang, kan? Bisa gawat kalau pengumuman hilangnya diriku tersebar di ibu kota.

"Memang sepenting apa kereta itu, hah? Memang mau kau apakan?" Liam memotong lamunanku. Ia memutuskan untuk duduk di sampingku dan meneliti kendaraan yang melintas di jalan tersebut.

"Aku tak tahu apa tujuanmu, tapi aku tak habis pikir dengan keputusan Noah. Semenjak bertemu kak Rena, ia jadi aneh."

Aku diam dan mendengarkannya. Apakah mungkin Putri Rena tahu identitas pahlawanku dan memberitahu Noah? Tapi ... jika memang seperti itu, kenapa tak mengatakannya pada Liam juga?

"Ck, pasti otaknya konslet karena menyukaimu. Pasti ini taktik dari kak Rena. Seratus persen!"

... Atau tidak?

"N-nona." Zeke meraih tanganku. Jari telunjuk anak laki-laki itu menunjuk lurus ke depan.

Kepalaku ikut tertoleh. Di seberang jalan sana, di sebuah gang kecil, kereta yang selalu kulihat di dalam mimpiku hingga aku muak. Kendaraan roda empat itu terus berjalan. Yang untungnya tidak dalam kecepatan penuh.

Aku turun dari tempatku.

"Kereta itu! Ayo pergi!"

---

Kini kediaman Clary tengah terjadi keributan. Hilangnya sang nona muda memporak-porandakan keadaan rumah. Amarah melonjak dari berbagai pihak.

Eugene, sang ayah, hanya diam memperhatikan tas di tangannya, sebelum melihat langit sore itu.

Charles semakin tidak keruan. Ia sibuk menyalahkan Glen yang tak becus menjaga nona muda. Namun perdebatan mereka tak akan pernah menghasilkan solusi.

Noah hanya diam, mengamati suasana di sekitar. Sejujurnya ini di luar prediksi. Ia mengira rombongan ekspedisi akan datang setelah Arabella kembali.

Sepertinya aku harus mengendalikan ini.

"Apa kalian akan terus bertengkar seperti itu?"

Anna akhirnya membuka suara setelah diam. Ia berdiri di antara Charles dan Glen dan menatap nyalang pria bersurai merah itu.

"Anna, menyingkirlah. Jangan karena dia kakakmu, kau--"

"Memangnya dengan bertengkar seperti ini akan menyelesaikan masalah?" Anna sedikit berteriak. Ia tak gentar untuk menghadap Charles.

Walau biasanya ia akan diam mengikuti alur, namun kali ini keterlaluan. Bukannya menemukan titik terang, malah pertumpahan darah yang ada.

"Semuanya, diam." Ren pun ikut membuka suara.

Kegaduhan yang sempat memuncak itu langsung padam. Terlebih lagi Ren yang berbicara. Orang yang jarang mengeluarkan suara dan juga kaki tangan terpercaya Grand Duke Clary. Tentu saja tindakannya itu memberi dampak besar.

Hening menyelimuti mereka.

Noah sedikit menyesali keputusannya. Ia tak menyangka keluarga Clary akan sericuh ini. Lagipula ini pertama kalinya ia mengunjungi mansion dari bangsawan bergelar Grand Duke tersebut.

"Hei."

Satu suara itu berhasil menghantarkan hawa mencekam bagi semua orang yang ada di sana. Suara bariton khas itu membuat mereka menunduk, takut dengan tekanan yang tengah mereka tanggung.

"Ugh--"

Beberapa dari mereka langsung bertekuk lutut, tak kuat dengan kekuatan dari sang tuan. Bahkan Noah kewalahan mempertahankan posisinya. Kakinya gemetar, tapi ia tak boleh gentar.

Eugene yang kembali pada realita langsung menatap Pangeran Kedua. Iris merahnya itu beradu dengan netra ungu milik Noah.

"Kau. Ke mana saudara bajinganmu itu?"

Ya, penuh penekanan dan juga kata kasar. Eugene tak peduli lagi jikalau di hadapannya ini anggota keluarga kerajaan. Ia gelap mata dengan status saat amarah dan kegelisahannya memuncak.

Dan saat itu pula Noah ingin lari dari kenyataan. Yang ia hadapi saat ini bukan Grand Duke Clary yang biasanya, melainkan Monster dari Barat yang sempat memporak-porandakan istana 4 tahun yang lalu.

"Cepat katakan, bocah tengik sialan."

Ya, Noah berharap Dewa memanggilnya untuk kembali ke pangkuan-Nya.

---

To be continued

Hi, Zee's back~~

Hahahaha, jujurly lupa mau update pas minggu. Ketiduran karena besoknya sekolah.

Mana udah masuk full alias sampai sore, lmao. Langsung teparrr. Ditambah besok tiga mapel hitungan di hari yang sama, langsung komat-kamit Zee😄☝🏻

Doakan saja semoga tidak gila dan tetap waras😔☝🏻

Okay, see u next chapter! Malam minggu alias Sabtu malam Zee update, hehew.

Love ya!

- Zee, 20 July 2022

Continue Reading

You'll Also Like

75.3K 9.4K 14
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 3) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ____...
90K 5.9K 16
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...
681K 46.7K 28
"kenapa foto kelulusanku menjadi foto terakhirku.."
66.6K 175 8
konten dewasa 🔞🔞🔞