DINI HARI GALIH βœ”οΈ

By purpleliyy

34K 4.6K 2.7K

Tentang Galih yang penuh pengorbanan. Selalu sabar, menyayangi tanpa syarat. Bersusah-payah, berkorban tanpa... More

01 - Galih, Nenek, dan Januar
02 - Galih, Si OB
03 - Mas Galih
04 - Bertanya-tanya
05 - Nenek Bangga sama Galih?
06 - Harus Lebih Keras
07 - Tak Ingin Jauh
08 - Tidak Sedih
09 - Dera
10 - Sekat Napas
11 - Marah, Seperti Apa?
12 - Tidak Boleh Sedih, Galih...
13 - Semangat, Galih!
14 - Masih Banyak yang Peduli
15 - Gambar Nenek
16 - Gara-gara Gelas
17 - Diceritakan Saja
19 - Mama Afiani
20 - Menawan
21 - Bunga itu Layu
22 - Bunga itu Dipetik
23 - Yang di Dunia
24 - Lenyap Berkumpul (TAMAT)
cerita angst baru!πŸ’”

18 - Dengan Pak Rafdi

865 159 54
By purpleliyy

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

2 hari kemudian...

Malam itu, Januar berniat ikut balap liar bersama teman-temannya. Namun, tidak diizinkan oleh kepala geng balapan. Alasannya, motor Januar tidak cocok untuk diikutkan balapan. Katanya, matic kurang keren. Boleh, sih, tapi setidaknya harus diganti knalpot berisik dulu, jangan knalpot yang halus kalem seperti milik Januar. Supaya jantan, katanya.

Januar tidak pernah suka kekalahan. Tidak suka jika direndahkan. Mendengar penolakan itu, darahnya jadi memanas. Tidak mau tahu, pokoknya knalpot motornya harus diganti! Supaya bisa 'keren' dan 'jantan' seperti para pemuda ingusan yang suka balapan gila, alay, dan agak kurang berfaedah itu.

Remaja 17 tahun itu sedang duduk di sofa tua ruang tamunya. Memikirkan tentang kesenjangan sosial yang begitu memuakkan dan menjijikkan baginya. Benci sekali jadi orang susah!

Ponsel andalannya, Januar raih dari atas meja ruang tamu. Melihat benda yang masih sangat mulus itu, senyumnya jadi terbentuk. Selalu merasa keren punya iPhone terbaru yang harganya membuat sang kakak semakin jadi babu.

"Januar...," panggil Nenek lembur dari dalam kamar.

"Yaaa."

"Nenek minta minum, Jan...."

"Iyaaa." Januar turun dari sofa, kemudian berjalan ke dapur untuk mengambilkan cerek berisi air, juga gelas bersih.

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Siang yang sama di sisi lain Jakarta, di sebuah kantor, ada Galih yang tidak tahu-menahu tentang impian brutal adiknya. Ia sedang sibuk dengan pekerjaan---membereskan ruang rapat yang baru saja digunakan.

Selagi merapikan meja-meja dan kursi-kursi, mata Galih sesekali melirik Pak Rafdi yang masih merokok santai di ujung meja, bersama Pak Andrew juga. Mereka berdua tengah membicarakan hasil rapat tadi---yang tidak Galih mengerti artinya.

Pak Andrew yang peka itu menyadari tatapan Galih. Sedari tadi, kerap curi pandang kepadanya dan Pak Rafdi.

"Galih, kenapa ngeliatin?" Pak Andrew bertanya santai, lalu terkekeh.

Galih terkaget dengan mata membesar lucu. Langsung jadi kikuk karena tak menyangka Pak Andrew sadar tengah ditatap-tatap. Terlihat juga Pak Rafdi yang tersenyum-senyum tipis melihatnya. Galih jadi makin salah tingkah.

"Hehe, maaf, Pak," ujar Galih untuk Pak Andrew dan Pak Rafdi, lalu kembali sibuk membereskan meja dan kursi.

Sejujurnya, ada sesuatu yang sangat ingin Galih utarakan kepada atasannya, terlebih khusus pada Pak Rafdi selaku pemilik perusahaan. Maka dari itu, ia curi-curi pandang terus. Namun, nyali kecil Galih menghalangi cakapnya. Pemuda 23 tahun ini begitu khawatir bila salah bicara.

Ah, tapi Galih tidak tahan lagi rasanya. Ia ingin mengatakan, tapi kalau pekerjaannya sudah selesai saja. Lantas, Galih lekas mempercepat laju kerjanya.

Pak Rafdi dan Pak Andrew memerhatikan. Gerak-gerik Galih yang begitu tergesa-gesa, membuat mereka menahan-nahan senyuman. Lalu, Pak Andrew membisikkan sesuatu pada Pak Rafdi yang lebih tua darinya. Sebuah ungkapan pujian tentang Galih, OB andalannya.

Pak Rafdi tersenyum mendengarnya. Menyeringai kecil, tetapi bukan lambang kelicikan. Memang begitu wajahnya. Justru, ia sedang menyimpan kekaguman terhadap Galih, salah satu OB-nya.

Sekadar informasi, Pak Andrew telah banyak menceritakan tentang Galih kepada Pak Rafdi. Tentang perjuangan Galih sejak 8 tahun yang lalu. Seorang pemuda baik, pekerja keras, dan tak kenal marah pun lelah. Sedikit-sedikit, juga menceritakan tentang adik Galih---yang menurut Pak Andrew agak-agak tak tahu diri bentukannya.

Sebenarnya, Pak Rafdi sedikit-banyak juga tahu tentang Galih---seorang karyawan yang dulu melamar kerja dengan modal ijazah SMP, juga pengalaman kerja sebagai pembantu rumah tangga selama 5 tahun di dua rumah berbeda.

Mendengar cara Galih bicara---waktu itu masih 20 tahun umurnya, ditambah melihat ijazahnya, dan mengetahui pengalaman kerjanya, Pak Rafdi langsung paham seorang Galih Bramastya pastilah seorang yang kekurangan dalam ekonomi, tetapi pekerja keras dan begitu rendah hati. Lantas, Pak Rafdi menerima Galih tanpa pikir panjang---setelah ditolak oleh pihak HRD.

Hari itu, tak sengaja Pak Rafdi bertemu Galih yang tengah duduk lesu di bawah pohon pinang depan gedung kantor---karena lamaran ditolak sebab hanya lulusan SMP.

**
".... Coba saya lihat berkas lamaran kamu," pinta Pak Rafdi setelah menemui pemuda 20 tahun yang tampak lesu di bawah pohon pinang, setelah menanyakan siapa Galih dan apa yang dia lakukan di halaman perusahaan.

Kala itu, ia beminat menghampiri Galih sebab anak itu membawa-bawa map dan sebuah kantong plastik berisi entah apa. Pak Rafdi kira peminta sumbangan, tenyata pelamar kerja yang baru ditolak.

"Ini, Pak." Galih menyerahkan mapnya.

Pak Rafdi duduk di bangku yang sama dengan Galih. Membuka map, lalu mengeceknya sebentar. Mendapati Ijazah SMP sebagai ijazah terakhir sang pemuda.

Pak Rafdi betanya-tanya sedikit tentang pengalaman kerja kepada Galih. Menyimak penuturan anak itu dengan saksama. Menilai, memindai, dan menyimpulkan. Kemudian... ia menyatakan, "Kamu boleh kerja di sini."

Mata Galih berbinar mendengarnya. "Beneran, Pak?"

"Iya. Tapi cuma bisa jadi OB, gajinya 2 juta per bulan. Baru bisa segitu karena perusahan ini perusahaan swasta dan masih baru, istilahnya start-up." Pak Rafdi tersenyum kecil dan tenang. "Mau kamu?"

Pemuda 20 tahun itu mengangguk mantap. "Mau, Pak." Senyumnya merekah terkembang. Dirinya juga tahu diri, masa mau minta jadi sekertaris?

"Oke. Kamu mulai kerja besok," ujar Pak Rafdi lagi.

"Iya, baik, Pak." Lalu, Galih terdiam sejenak, kemudian tersadar. "Tapi, Pak... tadi kata Bapak HDR-nya, saya gak boleh kerja di sini karena cuma lulusan SMP," ucapnya dengan suara merendah.

Pak Rafdi tersenyum saja, mengeluarkan kotak rokok dari saku jasnya. "HRD, bukan HDR," katanya membetulkan.

Galih terkekeh kikuk dan malu. "I-iya, Pak. HRD...," balasnya canggung.

Pak Rafdi tertawa, tapi masih sangat terlihat wibawanya. "Ya HRD... tapi saya yang punya perusahaan ini," ujarnya agak sombong, tetapi santai dan bermaksud baik.

Galih mengerjap-ngerjap. Beberapa detik ia mencerna, lalu paham. Senyumnya kembali terulas, kali ini bercampur gurat haru juga. "Ya Allah... makasih, Pak," ucapnya, lalu mengambil tangan kanan Pak Rafdi untuk cium tangan lambang hormat kepada orang lebih tua, juga lambang terimakasih yang tak terkira.
**

Selaksa nostalgia muncul di ingatan Pak Rafdi. Galih adalah OB tersopan dan terajin, dari dulu hingga kini. Sifat anak itu selalu jadi bahan introspeksi Pak Rafdi sebagai pekerja dan lelaki sejati.

Beberapa menit kemudian, Galih selesai dengan beres-beresnya. Dengan langkah ragu sambil menunduk-nunduk, ia menghampiri Pak Rafdi dan Pak Andrew.

"Selamat sore, Pak," ucap Galih dengan intonasi dan ekspresi sopan.

"Ya?" Pak Rafdi menyahut dengan suara baritonnya.

"Pak... saya mau-"

"Duduk, duduk." Pak Rafdi mempersilakan Galih duduk dulu.

Memanglah Pak Rafdi galak, dingin, dan sangat tegas, tapi seperti yang Galih pernah bilang tempo hari, Pak Rafdi itu baik hati dan tidak pelit.

Dengan gerakan santun perlahan, Galih pun duduk di salah satu kursi yang ada. Dekat dengan Pak Andrew, lalu di samping Pak Andrew, ada Pak Rafdi. Galih mengarahkan kursi agak menyerong supaya lebih berhadapan dengan Pak Rafdi.

"Jadi, ada apa?" Pak Rafdi bertanya pada Galih.

"Oh, saya ke luar aja kali, ya? Supaya Pak Rafdi lebih leluasa bicara sama Galih," kata Pak Andrew.

Manajernya sangat tahu diri, Pak Rafdi tersenyum kecil penuh wibawa, lalu mengangguk saja.

Pak Andrew tersenyum, lalu berdiri dan berlalu. Keluar dari ruangan itu. Menyisakan Galih dan Pak Rafdi, sang direktur.

"Nah, sudah berdua," gumam Pak Rafdi basa-basi. "Ada apa, Galih?" tanyanya melanjutkan.

Pandangan Galih senantiasa rendah. Senyuman sopan nan manis tersemat. "Ini, Pak... mungkin agak personal, saya minta maaf sebelumnya, Pak," ujarnya sebagai awal.

Pak Rafdi menaruh sebelah sikunya pada pinggir meja, memangku dagunya. "Ya. Terus?"

"Adik saya, Pak... semisal mau cari kerja buat keperluan kuliahnya, bisa tidak, Pak, kalau saya rekomendasikan dia kerja di kantor ini? Dia pinter, Pak. Insyaallah, nanti mau kuliahnya teknik sipil," ucap Galih perlahan dan hati-hati.

Pak Rafdi melepas tangan dari dagunya, beralih melipat tangan di atas meja. "Perusahaan kita kan bergeraknya di bidang pangan, agak kurang cocok dengan background adik kamu yang kuliahnya teknik sipil," komentar Pak Rafdi santai. "Tapi... sebenarnya sih tidak masalah, ya. Adik kamu kan belum lulus, cuma mau cari part time, kan?"

"Iya, Pak," jawab Galih sopan. Kemudian, diam.

Sebetulnya, Galih belum terlalu paham tentang pekerjaan di bidang teknik sipil itu apa, bagaimana, dan harusnya seperti apa. Ia hanya ingin merekomendasikan saja, siapa tahu diterima.

Pak Rafdi menegakkan postur duduk, sedikit bersandar di sandaran kursi. "Kalau ada posisi yang cocok untuk adik kamu, nanti saya kabari kamu. Kamu bisa juga tanya-tanya di bagaian HRD. Untuk sekarang, coba cari ke tempat-tempat lain dulu," tolaknya dengan halus.

"Begitu ya, Pak? Iya, Pak. Terimakasih ya, Pak." Galih berujar pelan.

Korek gas, Pak Rafdi raih dari dalam saku jas. Mengambil sebatang rokok dari dalam kotak, lalu teringat akan sesuatu tiba-tiba. "Oh ya, Galih, saya jadi ingat."

"Ya, Pak?"

"Kamu benar-benar tidak minat kerja di rumah saya? Gajinya lebih besar dari di sini, lho," ujar Pak Rafdi.

Ah, itu.... Iya, Galih tahu gajinya lebih besar. Akan tetapi, entah mengapa Galih serasa sulit dan enggan menerimanya. Hati kecilnya seolah mengirim sinyal tersirat. Tak terbaca, bahkah Galih pun juga tak dapat membaca.

Jika kalian curiga pada Pak Rafdi dan keluarganya di rumah, buanglah jauh-jauh curiga itu karena tak ada sedikit pun niat jahat dari mereka. Masalahnya ada pada Galih saja, yang berat sekali menerima tawaran tersebut.

Galih menatap meja yang jadi pembatas dirinya dan Pak Rafdi. "Maaf, Pak. Saya gak bisa.... Tapi, kalau adik saya mau, apa boleh adik saya saja yang kerja di rumah Bapak?" tanyanya sebagai jalan tengah.

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚Bersambung˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Continue Reading

You'll Also Like

17.3M 825K 69
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...
442K 70.4K 38
<< Sebuah seni untuk merelakan yang pergi >> Dua saudara kembar Hiroshima dan Nagasaki harus berjuang menyelamatkan hidupnya dari kelaina...
15.4K 3.5K 31
"do you hear me?" . . . Sammy, Leo, Dilan and Jeffri stayed in the same band for like two years already. People claimed they do look like siblings, o...
Memory By Arineko

Teen Fiction

104K 4.6K 30
[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Apa pun keadaanmu, bisakah aku terus hidup dalam memorimu yang katamu sehebat ingatan gajah itu? _...