HELP [Tamat]

By TintaBiru26

328K 24.3K 2.9K

Aksa bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Hidupnya hanya di isi dengan luka,kecewa dan air mata. Dirinya... More

Kilas balik
Tokoh
Awal dari semuanya
Keluarga baru Dika
keluarga baru Mona
Doa Arya
Terlambat?
Pingsan
Ikut senang
Alergi
Amarah
perundungan
khawatir
Sendirian
hal yang tak di inginkan
Aksa atau Rayyan?
bagaimana caranya?
Darren
haruskah?
andai Dika tau
Rencana tuhan
kenapa selalu aku?
Pertanda?
Sakit.
kenapa?
Harus kemana?
yang selalu ada
Haruskah berkorban?
haruskah berkorban? 2
jadi seperti ini rasanya?
Rasa yang tak biasa
Birthday Keenan
niat menolong
belum usai
Rayyan
sama-sama tumbang
tidak ada rasa kasihan
istirahat sejenak
Trauma
Kecewa
Sekedar Info
Bullying
di pendam sendiri
ternyata?
sama-sama takut
salah?
pertanda? 2
Kesakitannya
amarah?
berhenti berdetak?
Arka Bodoh
Mimpi dan kabar baik
satu kesakitannya terbongkar
tawanya
aku lagi?
siapa sebenarnya Calista?
Pergi.
jadi?
berawal
menyesal?
mulai mencari?
menghilang bak di telan bumi.
Baru
Dami-nya Rio
kepergiannya
Selesai
Good Bye
Cerita baru
GaReNdra
Baca dulu yukk

Akhir?

8.6K 505 150
By TintaBiru26

Hy guys:)

Aksa comeback yuhuu🤗

Aish, udah berapa hari nih aku gak up?

Kangen gak?

•••••


Aksa, lelaki itu melangkah dengan langkah tertatih. Tubuhnya bergetar hebat, wajahnya terlihat pucat. Bulir-bulir keringat membasahi seluruh tubuhnya.

Entahlah Aksa hendak kemana, ia terlihat bingung. Mata Aksa terpejam saat, alisnya bertaut saat sesuatu memukul belakang kepalanya. Tidak, bukan pukulan suatu benda, melainkan satu penyakitnya.

"Ahh," ringisnya, nafasnya terlihat memburu. Ia salah, seharusnya, ia membiarkan dirinya lebih lama tertidur di samping makam Sarah.

Huft.

Aksa menghela nafas pelan, berkali-kali. Aksa melanjutkan langkahnya setelah berhenti sejenak. Kepalanya celingak-celinguk, memastikan keadaan jalan sepi.

Setelah di rasa aman, ia mulai melangkah, menyebrangi jalan dengan mata yang sesekali terpejam. Di tengah jalan sama, langkah Aksa tidak karuan.

Hingga, kejadian itu tidak bisa Aksa hindari. Tubuhnya terpental cukup jauh dari tempatnya berada. Setelahnya, tubuh Aksa berguling di atas aspal. Jeritan dari warga sekitar terdengar berdengung di telinga Aksa.

Mata Aksa mengerejap pelan, mencoba menahan kesadaran. Seluruh tubuhnya benar-benar terasa sakit. Banyak darah yang keluar dari mulut, hidung bahkan belakang kepala Aksa. Dan sudah banyak orang juga, mengelilingi tubuh Aksa.

'Oma, apa ini sudah waktunya Aksa pulang? Seluruh tubuh Aksa sakit semua Oma.'

"I-ih-bu heu...ah, toh---"

Aksa memejamkan matanya, tangannya sedikit terangkat namun satu detik setelahnya kembali terjatuh. Terkulai di atas aspal, matanya mulai terpejam erat.

"---lohng..."

"DAMI..."

*****

Rio terisak saat mendengar cerita dari Farris. Bahwa keadaan Aksa seperti ini karena kecelakaan. Lebih tepatnya, tabrak lari. Ya, Aksa menjadi korban tabrak lari.

Farris yang saat itu tengah melintas di buat bertanya-tanya, saat melihat banyak orang yang berkerumun. Bahkan, banyak keadaan jalanan saat itu, mendadak macet.

Farris yang di Landa penasaran segera turun. Menghampiri orang-orang itu. Dan betapa terkejut dirinya saat melihat, orang yang dia kenal dan dia cari menjadi korban tabrak lari.

Cepat-cepat Farris membawa tubuh Aksa kerumah sakit. Dan meminta pihak rumah sakit untuk menutupi keberadaan Aksa.

"Papi...hiks." lirih Rio, wajahnya ia tutup dengan kedua tangannya.

Sungguh, jika harus ada yang di salahkan. Maka, salahkan saja dirinya. Karena dirinya, Aksa seperti ini. Jika saja dirinya tidak mengusir Aksa waktu itu, Aksa tidak akan seperti ini. Rio menyesal, benar-benar menyesal.

"Maaf, hiks. Maaf." lirih Rio. Farris yang melihat itu pun ikut berkaca-kaca. Ia meraih tubuh Rio, lalu membawanya kedalam dekapan. Dagu Farris di letakkan telat di atas kepala Rio.

"Hiks, Maafin Rio Pi...maafin Rio. Harusnya waktu itu Rio tidak mengusir Dami. Harusnya waktu itu, Rio tidak membuat Dami kecewa. Seharusnya waktu itu, Rio tidak menyakiti Dami hiks. Rio bersumpah, kalau terjadi apa-apa sama Dami, Rio tidak akan pernah memaafkan diri Rio sendiri."

Farris menggeleng, itu tidak benar. Apapun yang terjadi nanti, itu adalah suratan takdir dari Tuhan. Tidak boleh ada yang membenci diri sendiri.

"Jangan berbicara seperti itu nak, semua ini sudah takdirnya Dami. Allah memberi ujian seberat ini kepada Dami, karena Allah percaya, Dami bisa melewatinya. Dan terbukti, Dami bisa melewatinya seorang diri. Allah sayang sama Dami. Jadi kamu, jangan berbicara macam-macam heum? Ikhlas, kamu harus ikhlas. Doa'in Dami, supaya Dami cepat sadar dan kita bisa mulai semuanya. Kamu bilang, kamu ingin melihat Dami sembuh. Ayok, mulai sekarang kita berjuang sama-sama heum?"

Rio tidak menanggapi, ia malah membalas dekapan Farris. Isakkannya begitu terdengar jelas.

*****

Wanita itu meringis, wajahnya memerah. Bulir-bulir keringat berjatuhan.

"Sshh, ya tuhan sakit sekali. Apa ini sudah waktunya?"

Wanita itu menggeliat di atas kasur, mengelus perut buncitnya yang sedang terasa mulas dan sakit.

Tangan nya bergetar, mengambil ponsel di atas nakas. Mengutak-atik ponselnya cepat. Setelahnya, menaruh benda pipih itu di samping telinganya. Bibir bawahnya, ia gigit kuat-kuat.

"Mas ahww, angkat hiks. Ahh, sakith..." runtuhnya, tubuhnya menggelinjang.

"Mas Dika ayok angkat, hiks. Aku gak kuat." runtuhnya sekali lagi.

Wanita itu sedikit berdecak saat ponsel Dika tidak bisa di hubungi. Setelahnya, ia mencoba menghubungi  Zaidan. Anak pertama-nya. Ah, ya, wanita itu Calista.

'Halo, ma...'

Terdengar suara Zaidan di seberang sana. Calista mengucap syukur.

"Zaidan tolong mama hiks, s-sakit. M-mama sudah tidak kuat. S-sepertinya a-adek bayi akan lahir. Tolong mama Zaidan hiks."

Wanita itu terisak, suara Zaidan terdengar lagi.

"M-mama, akan kirim alamatnya ke kamu ya. Kamu cepat kesini. Mama benar-benar tidak kuat."

Tut.

Sambungan telfon itu terputus, Calista yang memutuskannya.

Calista benar-benar tidak kuat, rasa sakitnya tidak biasa. Dulu, waktu ia akan melahirkan Zaidan maupun Keenan, sakitnya tidak sesakit ini.

Dirinya jadi teringat saat kontraksi dulu. Aksa menemaninya, mengelus lembut perutnya, dan hebatnya rasa sakit itu hilang. Tapi anehnya saat Aksa berhenti mengelus, perutnya kembali sakit.

Apa ini adalah teguran dari Allah?

Apa ini karma?

"AGHHH..." rintih Calista kuat-kuat.

Blash.

Mata Calista mendelik saat merasakan sesuatu mengalir deras sekali dari vaginanya. Calista membuka selimutnya, dan betapa terkejutnya Calista, banyak darah yang menggenang di atas kasur, tepatnya di area vaginanya.

"Agrhh, Sakit hiks. Tuhan, ampun, sakit sekali."

Perutnya seperti di remas, di putar lalu di injak-injak. Rasanya sakit dan sesak. Bahkan nafas Calista terdengar putus-putus.

"Maaf, maaf... Maafkan tante, Aksa. Maaf atas semua kesalahan tante. Tolong, tolong beri tahu Tuhan, tolong berdoa pada Tuhan untuk keselamatan adik kamu Sa... Hiks. Tolong tante. Ini sakit sekali."

"Mama minta maaf, mama Calista benar-benar minta maaf Aksa. Aghh..." Calista meringis sekali lagi. Matanya perlahan terpejam, dengan bibir yang menggunakan nama Aksa.

"Mama!" pekik Keenan dan Zaidan secara bersamaan. Kedua lelaki itu datang bersama dengan Dika. Tidak hanya Dika, tetapi Raffa, Darren dan Rayyan.

Bukan maksud Raffa untuk membantu Calista, tetapi, Raffa ingin Calista bertanggung jawab atas perbuatannya. Dan Raffa pastikan, setelah Calista melahirkan, Calista akan mendekam di dalam penjara.

Raffa dan kedua anaknya di buat meneguk ludahnya kasar saya melihat keadaan Calista. Keadaan Calista jauh dari kata baik, banyak darah menggenang di area vaginanya. Bahkan, kepala bayinya sedikit terlihat menonjol keluar. Raffa dan kedua anaknya di buat meringis.

"Mama hiks," Keenan tidak sanggup melihatnya, Zaidan langsung membawa tubuh Keenan kedalam pelukannya. Kedua lelaki itu sama-sama terisak.

Begitu pula dengan Dika, ia tidak yakin dengan keselamatan anaknya yang masih berada di dalam kandungan Calista.

'Tuhan, tolong selamatkan anakku. Aku mohon tuhan.'

Tanpa menunggu waktu lama, Dika segera mengangkat tubuh Calista dan segera membawanya kerumah sakit. Diikuti oleh Keenan dan Zaidan.

Raffa dan kedua anaknya hendak melangkah, mengikuti langkah Dika. Namun urung, saat ponsel Darren berbunyi.

Darren segera mengeceknya. Matanya membulat segera, matanya sedikit berkaca-kaca, senyumnya sedikit merekah.

"A-ayah, Rayyan. Arka ngasih tahu, kalau Aksa udah di temuin."

ucapan Darren membuat air mata Rayyan menetes begitu saja. Tidak, itu air mata kebahagiaan.

"Abang serius?"

Darren mengangguk cepat.

"Aksa udah di temukan hiks, a-ayok. Ayok kita kesana."

Raffa dan Rayyan mengangguk. Ketiganya melangkah cepat menuju mobil. Setelahnya, segera bergegas ke rumah sakit yang sudah Arka kasih tahu lewat chat.

*****

T

ubuh Mona melemas begitu saja di ambang pintu. Jika tidak ada Arka, sudah di pastikan, Mona akan terjatuh.

Mata Mona berkaca-kaca, menatap seseorang yang kini tengah terbaring lemah di atas ranjang pesakitan. Itu anaknya. Anak bungsunya. Sakit hati Mona melihatnya.

Dengan keberanian, kaki Mona melangkah perlahan, memasuki--lebih tepatnya, menghampiri anaknya.

Semakin dekat, semakin sesak pula dadanya. Tidak jauh dari keadaan Mona. Arya dan Arka pun sama. Mereka sama-sama terdiam, menatap tubuh adiknya yang terpasang berbagai alat medis.

"A-ak-sa..." lirih Mona bergetar. Tangannya terangkat mengusap puncak kepala Aksa perlahan. Tangisnya pecah begitu saja.

Dirinya tidak kuat, benar-benar tidak kuat melihat kondisi tubuh Aksa. Hatinya terasa perih, berdenyut sakit. Dadanya terasa penuh dan sesak. Anaknya, anaknya tengah berjuang antara hidup dan mati.

Rasa bersalah tiba-tiba saja menyeruak, memenuhi hati Mona.

"A-aksa nya ibu hiks. "

Hening.

Hanya ada suara mesin pendeteksi jantung.

Arya dan Arka menunduk, menangis dalam diam.

"A-aksa, i-ini ibu sayang. Ibu datang. Ibu sudah datang. Kenapa, kenapa Aksa bisa seperti ini? Aksa kesakitan ya? Ibu jahat sama Aksa. Aksa bangun heum? Aksa ingin ibu peluk Aksa kan? Ayok bangun, ibu akan peluk Aksa lama-lama, atau kalau perlu, ibu gak akan lepasin pelukan Aksa. A-ayok bangun, ibu sudah datang."

Mona menunduk, membiarkan air matanya mengalir deras.

"Sa..." lirih Arya, bayangan saat dirinya memperlakukan Aksa buruk, berputar seperti kaset rusak di dalam otaknya.

"Maaf...a-abang salah, a-abang jahat. Maaf." lirih Arya, dirinya benar-benar tidak sanggup berbicara. Dadanya terlampau sesak.

Adiknya kesakitan, adiknya berjuang dan adiknya sendirian.

Arya mengalihkan pandangan, tidak sanggup menatap wajah Aksa lama-lama. Berbeda dengan Arka, tangan lelaki itu terangkat, menggegan lengan kurus Aksa.

"Sa...ini bang Arka. Abang minta maaf atas semua kesalahan Abang dek. A-abang menyesal. Seharusnya, Abang gak memperlakukan kamu dengan buruk. Pastinya rasanya sakit sekali. Maaf, Abang benar-benar minta maaf. Jadi tolong, beri Abang kesempatan untuk menebus semua kesalahan Abang. Bertahan heum? Sedikit lagi saja." Arka menempelkan tangan Aksa ke pipinya.

"A-abang hiks. A-abang gak tau harus ngomong apa. A-abang banyak salah sama kamu. A-abang gak bisa jadi Abang yang baik buat kamu. Abang macam apa Abang ini dek? Adeknya menderita, adeknya kesakitan tapi Abang malah menambah penderitaan dan rasa sakit itu. Abang minta maaf, mungkin dengan kata maaf tidak bisa mengubah semuanya. Tapi Abang benar-benar menyesal, maaf, maaf hiks maaf." Arya semakin menundukkan kepalanya. Terisak pelan di sana.

"Sayang ayok bangun, beritahu ibu di mana letak sakitnya. Disini ya?" Mona mengelus dada Aksa lembut.

"Di sini pasti banyak luka, mau ibu obati? Ayok bangun sayang hiks. Ibu rindu, "

Mona menatap wajah Aksa yang terlihat kurus dan pucat, setelahnya menatap dada Aksa yang turun naik dengan lambat. Mona semakin menatapnya, banyak pikiran buruk melintas di otaknya. Bagaimana jika mata itu tidak akan pernah lagi terbuka? Bagaimana dengan jantung itu yang tidak mau lagi berdetak?

"Jangan pergi dulu nak. Berikan ibu kesempatan untuk mengobati luka kamu, berikan ibu kesempatan untuk membahagiakan kamu. Mulai sekarang, kamu tidak berjuang sendirian. Ibu aja selalu disini, nemenin kamu."

Cup!

Untuk yang pertama kali, Mona mengecup kening Aksa. Tangis Mona kembali terdengar, mengingat ia tidak melakukan ini terhadap Aksa, selama hidup Aksa. Bertepatan dengan itu, air mata keluar dari ujung mata Aksa.

Arya yang melihat itu, segera menghapusnya. Arya yakin, Adiknya itu mendengar.

"Jangan nangis dek, air mata mu terlalu berharga untuk menangisi orang macam kami. " lirih Arya.

Arka hanya terdiam, semakin menggenggam tapak tangan Aksa. Namun setelahnya, matanya di buat melotot, apa ia tidak salah merasakan? Tangan Aksa bergerak?

Arka segera menatap tangan Aksa yang berada di dalam genggamannya. Terlihat, tangan itu membalas genggamannya.

"Sa..." lirih Arka.

Fokus ketiganya kini beralih, menatap wajah Aksa. Dapat mereka lihat, perlahan tapi pasti, mata itu, mata indah itu terbuka.

"I-ib-bu..." lirihnya tanpa suara. Namun Mona yang melihat pergerakkan bibir Aksa di buat menangis hebat. Ia mengangguk.

"Iya, ini ibu. Ibu sudah datang. Ibu sudah ada di samping Aksa. " Mona, menyentuh pipi Aksa. Mata Aksa terbuka, hanya sedikit.

"A-yah..."

"Ayah lagi dalam perjanan kesini, kamu ingin ayah?" tanya Arya, dapat Arya lihat Aksa mengangguk susah payah.

"Ibu...ja-ngan per-gi."

Mona menggeleng. "Ibu tidak akan pergi, ibu akan disini, di samping Aksa."

"A-aksa ta-kut. A-aksa sen-diri-an. A-aksa takut, sakit bu..." lirih Aksa, membuat Mona, Arya dan Arka berhasil menahan isakkan.

"Mana yang sakit? Bilang sama ibu."

"Se-mua-nya, t-tapi di dalam dada Aksa ja-uh lebih sa-kit."

Mona membekap mulut sendiri, ia ingin terisak tapi tidak bisa. Sebelah tangannya terangkat, mengelus dada Aksa lembut.

"Masih sakit heum?"

Aksa tidak menjawab, lelaki itu malah berusaha meneguk salivanya susah payah.

"A-ay-yah..."

Brak!

"Ayah disini nak," Dika berlari, ia langsung menggeser posisi Mona. Di belakangnya, terdapat Zaidan dan Keenan. Tidak, tidak hanya mereka. Tetapi, ada Raffa, Darren dan Rayyan. Semuanya kumpul di disini. Termasuk, Rio dan Farris.

"Ini ayah, a-anak ayah kenapa bisa seperti ini?" tanya Dika lembut, matanya berkaca-kaca. Menatap Aksa yang berusaha untuk tetap membuka kelopak matanya walau tidak sempurna.

'Tuhan, apa sesakit itu rasa sakit yang di rasakan anak ku? Kenapa untuk membuka matanya dengan sempurna saja, anakku tidak bisa?'

Terlihat, Aksa berusaha membentuk senyuman.

"A-ayah?"

Dika mengangguk.

"Iya ini ayah, "

"A-ayah... A-ayah tidak marah?"

Dika di buat terdiam. Marah?

"A-aksa tidak---"

Glek.

Aksa berusaha menelan ludahnya.

"---Aksa, tidak apa-apa yah. J-jangan memak-sa-kan diri ayah u-untuk Aksa."

Dika menggeleng.

"Tidak, ayah tidak terpaksa. Ayah datang kesini, karena ayah sayang Aksa."

Apa Aksa tidak salah dengar?

Ayahnya, menyayangi nya?

Aksa, benar-benar senang mendengarnya. Semoga, ini bukan paksaan. Sekalipun paksaan, semoga ia tidak mengetahuinya. Biarkan semua berjalan dengan kepura-puraan.

"A-ayah?"

"Iya?"

Dika mendekatkan wajahnya ke wajah Aksa. Dapat Dika rasa kan deru nafas Aksa yang semakin memberat.

"A-ay-yah,"

"Ayah disini nak, sudah, Aksa tidak perlu banyak berbicara heum? Aksa harus banyak istirahat. Ayah temani disini."

Hening.

Mereka semua sama-sama menundukkan kepala. Tidak sanggup menatap Aksa.

"Maafkan ayah nak, maaf ayah terlalu dalam menyakiti hati kamu. "

"A-ayah, A-aksa ingin duduk." ucap Aksa sedikit berat. Dika menatap sekitar, hingga tatapan matanya bertemu dengan mata Rio. Terlihat Rio mengangguk, membolehkan Dika untuk membantu Aksa duduk.

"Ayok ayah bantu, tapi apa kamu kuat?" tanya Dika seraya membantu Aksa duduk dan bersandar pada kepala ranjang yang sedikit di naik-kan.

Tubuh Aksa benar-benar lemas Dika rasa. Jadi, akhirnya, Dika mencekal pundak Aksa Agar tubuh itu tidak limbung.

"A-ayah Farris," lirih Aksa. Farris yang merasa di panggil, segera melangkah, menghampiri Aksa.

"Ayah disini Dami, ada apa heum? Dami mau apa?"

"Maaf," lirih Aksa. Membuat mereka semua mengernyitkan alis. Maaf untuk apa?

"Untuk?"

"Semuanya. Maaf, untuk kehadiran Aksa. M-maaf udah buat i-istri a-ayah meninggal. M-maaf a-atas semua ke-kacauannya a-yah..."

Farris menggeleng. Apa-apaan Aksa berbicara seperti itu? Dia tidak salah.

"Syuutt... Istri ayah meninggal bukan karena kamu. Itu sudah takdir, kamu tidak salah, semuanya hanya salah paham. Kamu tidak tahu apa-apa Dami. Kamu hanya korban, berhenti meminta maaf heum?" ucap Farris seraya menggenggam tangan Aksa.

"T---"

"Syuutt, sudah. Apa kamu mau tahu satu hal?"

Aksa terdiam.

"Ayah kandung kamu adalah ayah Dika, bukan ayah Farris."

Aksa di buat bingung. Apa maksudnya? Apa mereka semua hanya mempermainkannya? Bukannya, Farris adalah ayah kandung nya?

"A-ayah kenapa ber-bicara seperti itu. A-apa ayah juga tidak ingin men-jadi ayah nya Aksa?"

Farris menggeleng, bukan seperti itu maksudnya.

"Tidak seperti itu Dami. Ayah memang bukan ayah kandung kamu, seperti yang ayah bilang, ini semua hanya salah paham. Kamu, anak kandung ayah Dika."

Aksa sedikit menoleh ke arah Dika, terlihat manggut-manggut di sana.

"J-jadi, a-ayah, a-ayah nya Aksa?"

Dika mengangguk.

"Iya, ayah adalah ayah kamu. Ayah kandung kamu sayang."

Air mata Aksa mengalir begitu saja. Ia senang, Dika adalah ayah kandungnya. Dika yang melihat itu segera memeluk tubuh Aksa.

"Ayah, adalah ayah kandung kamu Aksa. Ayah yang jahat ini adalah ayah kandung mu. " ucap Dika.

"A-ayah hiks. Ayah..." isakkan Aksa terdengar pilu. Membuat mereka yang ada di sana sama-sama menatapnya dengan tatapan sendu.

"Ayah, Aksa rindu..." lirihnya. Jadi, semua pencarian nya sia-sia selama ini. Ayahnya, ayah kandung nya adalah Dika. Aksa senang juga sedih.

"Ayah juga rindu kamu, ayah sayang kamu. Maaf, maaf atas semua kesalahan ayah. Ayok kamu balas semuanya. Sakiti ayah, pukul ayah."

Aksa menggeleng di dalam pelukan Dika.

"Jadi ayah adalah ayah kandung Aksa?"

Dika mengangguk seraya melepaskan pelukan.

"Ayah, a-apa be-leh, A-aksa me-min-ta se-sua-tu?" tanya Aksa terbata-bata.

"Tentu saja apa itu?"

Aksa terdiam, ia merasa, telinganya sedikit berdengung. Tubuhnya tiba-tiba saja terasa dingin, pandangannya sedikit mengabur.

"A-aksa?"

"P-peluk Aksa ayah, d-dingin. A-anginnya kencang sekali. Mereka mau bawa Aksa, peluk Aksa ayah."

Mereka di buat terheran. Apa maksud Aksa?

"A-ayah c-cepat peluk Aksa. S-satu kali lagi s-saja. M-mereka sudah datang, m-mere-ka m-mau bawa Aksa." suara Aksa semakin memberat. Dengan cepat, Dika memeluk tubuh Aksa dengan erat. Entah kenapa, perasaan Dika jadi tidak enak.

"T-terimakasih ayah. A-aksa senang. P-perju-angan A-aksa t-tidak sia-sia kan ayah? A-aksa menunggu kalian selama ini. T-tuhan s-sudah mengabulkan nya. A-aksa senang."

Mona terus menatap Aksa yang kini berada di dalam pelukan Dika. Mona sedikit mengernyit saat melihat tubuh Aksa yang sudah basah oleh keringat.

"S-semuanya t-tidak sia-sia ayah."

Dika mengangguk.

"B-bukan kah in sudah saat nya? A-aksa lelah, A-aksa c-capek."

Dika terdiam, begitu pun dengan mereka. Tidak dengan Mona, wanita itu menggeleng. Tiba-tiba saja, rasa dingin mulai Mona rasakan.

"A-aksa ingin istirahat ayah..."

Dika terdiam, hingga beberapa detik setelahnya mengangguk pelan, pelukannya semakin erat.

"I-iya, k-kamu boleh i-istirahat. I-istirahat y-yang tenang ya. M-maaf, m-maaf atas semua kesalahan a-ayah. S-sudah waktunya untuk kamu bahagia. I-insyaallah a-ayah ikhlas."

Aksa tersenyum mendengarnya. Demi tuhan, bukan Dika menginginkan Aksnya pergi. Tapi, ini sudah saatnya Aksa bahagia. Dan dirinya tahu, kebahagiaan nya bukan disini. Melain kan di tempat lain yang tidak bisa Dika jangkau.

"T-terimakasih ayah. M-maaf..."

Tiiiitttt.....

Dengungan panjang itu begitu terdengar nyaring memekakan telinga. Rio dan Arya yang mendengar itu langsung menatap ke layar monitor. Garis lurus terlihat di sana.

Membuat Mona dan yang lainnya histeris. Terlebih Mona, ia sampai memberontak di pelukan Raffa.

Kondisi mereka tidak ada yang baik-baik saja. Seperti, Rayyan yang berada di dalam pelukan Darren. Keenan yang berada di dalam pelukan Zaidan. Rio yang berada di dalam pelukan Farris. Arka yang tengah tertunduk dalam seraya mengepal tangan. Arya, lelaki itu lebih parah, terlihat Arya tengah memukuli tembok dengan kencang.

Hari itu, Aksa Damian pergi membawa lukanya, tidak lupa juga ia meninggalkan luka baru di hati mereka yang ia tinggalkan.

Aksa Damian, lelaki hebat itu sudah tenang di sana, bersama sang Oma.

Aksa Damian, sosok mu tidak akan pernah kami lupakan.

Aksa Damian, selamat jalan.













TAMAT




EH?



ENGGAK DENG CANDA.


MASIH ADA SATU ATAU DUA PART LAGI:)


GIMANA DENGAN CHAPTER INI?

SESUAI EKSPETASI GAK?

ENGGAK? YAA, MAAF:)



Continue Reading

You'll Also Like

6.9K 488 12
Lanjutan dari cerita Blue Sky. "memang benar jika melupakan masa lalu tidak semudah saat kita kembali untuk jatuh cinta" Caca lagi-lagi tersenyum sa...
2.3K 118 35
~TAMAT~ Lukas tumbuh menjadi seorang pemuda kasar yang masih memendam kebencian terhadap kakaknya, entah penyebab apa yang membuat hati pemuda itu te...
386K 21K 38
aneh Nathaniel selalu merasa dirinya aneh,menjijikan,tidak layak di cintai dan di banggakan.itu sebabnya ia lebih menutup diri daripada tersakiti ole...
1.6K 121 6
a.bout a collection of short stories from many couples that are also interesting while waiting for the main story update. The part is not too long bu...